II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.9. Teori Lokasi
Permasalahan lokasi yang diperuntukkan bagi setiap aktvitas atau
kegiatan pembangunan ekonomi wilayah baik secara nasional maupun regional,
harus mempertimbangkan secara cermat agar aktivitas pembangunan tersebut
dapat berlangsung secara efisien, efektif dan berkelanjutan (efficiency, effectivity
and sustainable).
Teori-teori lokasi telah lama diperkenalkan terutama pada wilayah Eropa
yang berhubungan dengan faktor tata ruang (space) dan faktor jarak (distance).
Teori-teori lokasi pada saat ini lebih banyak memusatkan perhatiannya pada
perencanaan wilayah, dimana dimensi tata ruang atau dimensi geografis dan
landskap ekonomi (economic landscape) dimasukkan sebagai salah satu variabel
penting dalam analisis aktivitas ekonomi atau pembangunan. Banyak ahli
ekonomi yang melakukan berbagai analisisnya yang ditujukkan terhadap
perusahan-perusahan individu dengan memasukkan asumsi faktor lokasi
terisolasi tanpa melihat faktor adanya persaingan dalam harga atau output.
Smith (1776), hanya membahas masalah lokasi secara terbatas. William
(1971), membahas adanya perbedaan sewa tanah yang disebabkan karena adanya
perbedaan lokasi. Sedangkan Cantillon (1755), dan Chinitz (1970), tidak hanya
membahas masalah lokasi tetapi juga membahas pentingnya pasar untuk
wilayah-wilayah berkembang sebagai akibat dari adanya kemajuan ekonomi. Dari
beberapa ahli tersebut di atas dapat dikatakan bahwa para ahli tersebut tidak
menulis atau mengemukakan pendapatnya secara jelas dan hanya memberikan
pendapatnya secara terbatas. Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata
ruang (spatial) dan lokasi (location) kegiatan aktivitas ekonomi dapat dimasukkan
ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal ini mendorong beberapa ahli
untuk melakukan kombinasi antara teori lokasi dengan teori ekonomi baik mikro
maupun makro. Perkembangan ini selanjutnya mendorong berbagai analisis
ekonomi tata ruang (spatial) yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya
teori ekonomi regional dengan dasar kajian pada aspek lokasi dan tata ruang
terhadap pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah daerah sesuai dengan
Provinsi Maluku adalah cermin kecil negara Indonesia, dimana luas
lautan wilayah ini lebih luas dari wilayah daratannya. Indonesia merupakan salah
satu negara kepulauan/maritim (archipelagic state/archipelago) terbesar di dunia.
Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah dengan luas lautan terluas di
Indonesia. Untuk itu pengembangan wilayah seperti ini diperlukan berbagai
konsep/kebijakan yang bertujuan:
1. Mewujudkan saling ketergantungan antar wilayah yang menghendaki adanya
keseimbangan diantara pusat wilayah (core region) dengan wilayah lainnya.
Hal ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya ”spesialisasi wilayah”
berdasarkan kapasitas dan potensi lokalnya.
2. Terwujudnya keseimbangan pengembangan pembangunan wilayah kepulauan
dengan mengokohkan pentingnya ”laut” sebagai bagian dari proses
pembangunan yang sama besar manfaatnya dengan wilayah daratan.
Rahardjo (1988), mengatakan pembangunan atau pertumbuhan di setiap
wilayah tidak terjadi di segala ruang (spatial) akan tetapi hanya terbatas pada
beberapa tempat atau wilayah tertentu. Dimana setiap wilayah akan memiliki
wilayah kutub (pole) yang daya tarik kekuatannya terdapat di kutub-kutub atau
pusat-pusat wilayah berbeda antara satu wilayah dengan lainnya.
2.1.9.1. Teori Perroux
Pengembangan teori Perroux (1955), sangat berpengaruh terhadap
teori-teori lokasi pertumbuhan lainnya seperti teori-teori Schumpeter yang menitikberatkan
pertumbuhan pada pentingnya inovasi-inovasi baru bagi industri besar.
berbagai kegiatan kewiraswastaan karena akan mempengaruhi atau mendominasi
kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya.
Perroux memperlihatkan adanya kaitan erat antara, skala, dominasi, dan
dorongan-dorongan untuk melakukan penemuan-penemuan baru yang akan
menimbulkan indutri pendorong/penggerak (industrie motrice/propulsive
industry). Pemikiran dasar dari teori ini adalah adanya konsep titik pertumbuhan
atau kutub pertumbuhan (pole de croissance/growth poles).
Teori Perroux menunjukkan faktor utama pengembangan wilayah
(regional) karena adanya interaksi antara industri pendorong yang merupakan
urat nadi dari kutub pertumbuhan. Industri pendorong yang merupakan urat
nadi dari kutub pertumbuhan menurut Perroux memilki ciri-ciri seperti:
1.Tingkat konsentrasi atau pengaruh yang tinggi.
2.Pengaruh polarisasi lokal yang sangat besar.
3.Teknologi yang sudah maju.
4.Tingkat manajerial yang modern.
Jadi industri yang dimaksud merupakan industri yang relatif besar,
berkembang dengan pesat dan memiliki kedudukan oligopolistik serta
mempunyai pengaruh dalam menentukan pertumbuhan ekonomi baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Di sisi lain teori Perroux mengatakan bahwa kutub pertumbuhan yang
ada, tidak hanya merupakan petunjuk bahwa adanya industri-industri pendorong
akan tetapi kutub pertumbuhan diharapkan dapat mempengaruhi
wilayah-wilayah lain disekitarnya. Oleh karena itu pengaruh polarisasi dari industri
Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya (growth pole) menjelaskan
bahwa, perlunya interaksi antara kutub-kutub pertumbuhan dengan wilayah
pengaruh. Dengan demikian menurutnya ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dari interaksi-interaksi tersebut yaitu:
1.Dapat menimbulkan ketidak-seimbangan struktural di wilayahnya, hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kemakmuran antara kutub
pertumbuhan dengan wilayah-wilayah yang terletak disekitarnya (new
industrial complex).
2.Adanya pemusatan (agglomerasi) industri pendorong (propulsive industries)
dan industri-industri kunci (key industries) sedangkan tenaga kerja, bahan
mentah dan jasa-jasa lainnya terpencar (polarisasi) keseluruh wilayah
pengaruh.
3.Fungsi tempat sentral dari kutub pertumbuhan (growth pole) dapat memperjelas
hubungan antara kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya. Untuk itu
secara konsepsional tempat sentral tidak identik dengan dengan kutub
pertumbuhan. Tempat sentral banyak sekali jumlahnya dan tersusun dalam
suatu hirarkhi sedangkan kutub pertumbuhan hanya sedikit dan terbatas
jumlahnya dalam suatu wilayah. Perbedaan yang cukup menonjol antara kutub
pertumbuhan dengan tempat sentral adalah, yang menopang pertumbuhan
suatu tempat sentral adalah wilayah komplementernya sedangkan yang
menopang pertumbuhan wilayah pengaruh adalah kutub pertumbuhan.
Beberapa kontribusi dari teori kutub pertumbuhan Perroux (growth pole)
dalam bidang pengembangan wilayah seperti, matarantai dari interaksi antar
berasal dari industri pendorong. Walaupun teori ini mempunyai pengaruh yang
cukup besar dilain sisi teori kutub pertumbuhan belum dapat dikategorikan
sebagai teori tanpa tata ruang (spaceless), karena teori kutub pertumbuhan
belum dapat menjelaskan secara rinci tentang pemilihan lokasi optimum suatu
industri atau kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian teori Perroux sering
kali di tafsirkan scara berlebihan terutama dalam pernyataannya tentang peran
industri pendorong di suatu wilayah.
2.1.9.2. Teori Losch
Suatu model keseimbangan tata ruang wilayah (regional spatial),
pertama kali dikembangkan oleh Christaller dan diperluas lagi oleh Losch (1940)
dengan membahas atau menguraikan prinsip-prinsip dasar analisa spatial serta
menginterpretasikannya kedalam ekonomi spatial dalam bentuk pasar persaingan
monopolistik.
Losch dalam mengembangkan modelnya, menggunakan beberapa asumsi
sebagai kerangka pemikiran yang menunjukkan bahwa teorinya berbeda dengan
teori-teori regional yang telah dikembangkan terlebih dahulu. Perbedaan seperti,
tidak adanya perbedaan-perbedaan spatial baik untuk sumberdaya alam, tenaga
kerja dan modal. Seluruh wilayah dianggap sama (homogen), yang berarti bahwa
lokasi usaha/kegiatan ekonomi wilayah dapat ditempatkan dimana saja. Penduduk
tersebar merata, kepadatan penduduk uniform, sosial budaya dan ekonomi
masyarakat dianggap konstan dan perbedaan pendapatan diabaikan. Selanjutnya
menurut Losch, wilayah pasar (market region) dan permintaan (demand)
terhadap hasil produksi wilayah yang bersangkutan tidak dipengaruhi oleh lokasi
Menurut Losch, ada tiga jenis wilayah ekonomi yaitu:
1. Wilayah pasar sederhana
2. Jaringan wilayah pasar
3. Sistem jaringan wilayah pasar
Teori Losch (1940), ingin memperlihatkan bahwa suatu wilayah harus
melakukan/melihat tahapan-tahapan paling menguntungkan bagi wilayah yang
melakukan kegiatan ekonomi berdasar wilayah pasar tersebut. Wilayah pasar
sederhana biasanya sangat bergantung pada perdagangan yang dilakukan,
sedangkan jaringan maupun sistemnya sangat kompleks, walaupun hal tersebut
ideal akan tetapi masih sulit dijumpai pada suatu kenyataan, bila wilayah-wilayah
tersebut tidak mencerminkan keunggulan dari setiap wilayah pasar.
Salah satu aspek dari analisis Losch adalah mengabaikan aspek
agglomerasi pada beberapa kegiatan ekonomi dengan tidak memperdulikan
adanya titik nodal dalam ekonomi spatial. Pengabaian ini karena Losch
beranggapan bahwa bahan mentah sama atau seragam (uniform) dan terdapat
dimana-mana di semua wilayah.
Richardson (1970), menyatakan teori umum Losch ternyata masih
membutuhkan beberapa pengujian lagi sebagai akibat dari beberapa
asumsi-asumsi dasar yang dipakainya. Ia beranggapan bahwa Losch, memberikan
kebebasan setiap wilayah dapat melakukan berbagai kegiatan produksi/ekonomi
secara terpisah tanpa memperhatikan kebutuhan antar wilayah sehingga
digambarkan kegiatan ekonomi wilayah secara tidak utuh atau memiliki satu
Teori Losch yang dikenal dengan teori kerucut permintaan (demand
cone) lebih mengutamakan model keseimbangan regional spatial. Losch melihat
jika sebuah aktivitas atau kegiatan ekonomi semuanya sama di suatu wilayah
maka aktivitas atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut sama dan dapat
dilakukan di wilayah lain sehingga satu wilayah dianggap dapat mewakili
wilayah lain.
Dalam beberapa segi teori Losch belum memuaskan tetapi Losch telah
berhasil menjelaskan timbulnya kecenderungan kuat dari setiap wilayah untuk
melakukan aktivitas atau kegiatan ekonomi yang cenderung melakukan
agglomerasi karena adanya penghematan dan ketergantungan antarwilayah
dimana unsur spatial menjadi bagian analisis tata ruang wilayah.
2.1.9.3. Teori Hirschman
Konsep teori Hirschman (1958), lebih mengutamakan perhatiannya pada
pertumbuhan wilayah tidak seimbang. Dimana secara geografis pertumbuhan
ekonomi wilayah akan dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan disuatu wilayah
pada satu titik tempat yang menimbulkan dorongan ke arah perkembangan
titik-titik atau tempat-tempat wilayah berikutnya.
Teori Hirschman melihat fungsi-fungsi ekonomi suatu wilayah, berbeda
tingkat intensitasnya untuk setiap tempat yang berbeda pula. Perkembangan
suatu wilayah dimulai dari titik originalnya sebelum tersebar (polarisasi) ke
berbagai wilayah lainnya. Titik original Hischman dikenal dengan istilah growing
point atau growing centre bukan growth pole seperti yang dikemukakan oleh
Perroux. Menurut Djojodipuro (1992), teori Hirschman melihat tingkat
pertumbuhan. Dimana kegiatan atau aktivitas ekonomi lebih berkelompok di
tempat-tempat tersebut, karena memiliki berbagai manfaat dalam bentuk
penghematan dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya yaitu tersedianya
berbagai fasilitas pelayanan yang lebih lengkap dari wilayah lain. Dampak
pemusatan (agglomerasi) dapat dilihat juga dari besarnya migrasi penduduk ke
pusat titik suatu wilayah sehingga terlihat dari tingkat komplementaritas antara
dua tempat wilayah yang saling bergantung tersebut. Dengan demikian tingkat
pembangunan yang dicapai pada saat itu cenderung mengalami tingkat perbedaan,
namun dalam jangka panjang akan mengalami penurunan tingkat perbedaan pada
wilayah-wilayah disekitarnya.
Komplementaritas yang kuat akan mengakibatkan terjadinya proses
penyebaran pembangunan ke wilayah-wilayah belakang (trickling down), namun
sebaliknya jika komplementaritas lemah maka akan menimbulkan atau
mengakibatkan terjadinya polarisasi. Jika polarisasi lebih kuat dari pengaruh
aglomerasi pembangunan maka akan menimbulkan ciri-ciri wilayah perkotaan
yang modern tetapi juga menimbulkan ciri-ciri wilayah perdesaan yang
terbelakang. Walaupun pengaruh aglomerasi yang cukup kuat, Hirschman
masih optimis bahwa pada akhirnya pengaruh trickling down akan dapat
mengatasi pengaruh polarisasi yang terjadi pada wilayah-wilayah terbelakang.
Trickling down yang terjadi pada wilayah terbelakang harus mampu
mendorong percepatan pembangunan wilayah perdesaan. Dengan demikian dalam
jangka panjang komplementaritas antar wilayah-wilayah pusat dengan wilayah
perdesaan akan menjamin polarisasi pembangunan wilayah keseluruh wilayah
konseptual yang memperkenalkan struktur titik-titik pertumbuhan dan wilayah
terbelakang. Myrdal mempergunakan istilah backwash effect dan spread effect,
yang pengertiannya hampir sama dengan istilah polarisasi dan trickling down.
Penekanan perbedaan yang terjadi antara Hirschman dan Myrdal pada analisis
Myrdal lebih menekankan pemahaman tentang pengaruh agglomerasi yang lebih
kuat dari polarisasi pembangunan.
Pesimistis tersebut terjadi karena Myrdal tidak melihat teori Hirschman
yang menyatakan bahwa, timbulnya titik-titik pertumbuhan wilayah adalah suatu
hal yang merupakan syarat bagi perkembangan pembangunan selanjutnya serta
syarat bagi penyebaran pembangunan terhadap wilayah di sekitarnya. Di sisi lain
timbulnya kekuatan yang menyebabkan titik balik apabila perkembangan ke arah
polarisasi di suatu wilayah sudah terjadi atau berlangsung untuk waktu yang
telah lama. Perbedaan antara Hirscman dan Myrdal, teori Hirschman menekankan
pendapatnya untuk membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan sehingga
dapat menciptakan pengaruh penyebaran pembangunan yang lebih efektif.
Sedangkan Myrdal menyatakan pada langkah-langkah kebijakan untuk
memperlemah backwash effect dan mempercepat spread effect agar proses
memperkecil ketimpangan regional (disparity regional) antarwilayah dapat
diperkecil.