• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Teori

2.2.3 Teori Maksud

Rahardi (2003:16−17) dalam bukunya telah berbicara perihal maksud dan makna. Rahardi memaparkan bahwa makna yang dikaji dalam

pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent), sedangkan makna

yang dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks (context independent).

Makna yang dikaji di dalam semantik bersifat diadik (diadic meaning),

sedangkan dalam pragmatik makna itu bersifat triadik (triadic meaning).

mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan linguan a sich,

yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks situasi

masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi wadahnya.

Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-ujaran. Hanya

bedanya kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar-ujaran dilihat

dari segi objeknya atau yang dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari

segi pengujarnya, orang yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah

berupa kalimat maupun frasa, tetapi yang dimaksudkannya tidak sama

dengan makna lahiriah ujaran itu sendiri. Di simpang-simpang jalan di

Jakarta banyak pedagang asongan menawarkan barang dagangannya

kepada para pengemudi atau penumpang kendaraan (yang kebetulan

kendaraannya tertahan arus lalu lintas) dengan kalimat tanya “Koran, Koran?”. Padahal mereka tidak bermaksud bertanya melainkan bermaksud menawarkan. Contoh lain, seorang ayah setelah memeriksa buku rapor

anaknya, dan melihat bahwa angka-angka dalam buku rapor itu banyak

yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji, dengan kalimat

itu dia sebenarnya bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek

anaknya.

Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang

disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain.

Selama masih menyangkut segi bahasa maka maksud itu masih dapat

disebut sebagai bahasa maka maksud itu masih dapat disebut persoalan

dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai persoalan

bahasa. Mungkin termasuk persoalan bidang studi lain; entah filsafat,

antropologi, atau juga psikologi. Maksud yang menyangkut pihak pengujar

masih memiliki persoalan semantik, asal saja lambang-lambang yang

digunakan masih berbentuk lingual. (Chaer, 2009: 35)

2.2.4 Fenomena Pragmatik

Dalam ilmu pragmatik terdapat empat fenomena pragmatik

yang telah disepakati, yaitu (1) deiksis, (2) praanggapan

(presupposition), (3) implikatur percakapan (conversational

implicature), dan (4) tindak ujaran (speech acts), (Purwo, 1990:17).

2.2.4.1Deiksis

Menurut Yule (2006:13) deiksis adalah istilah teknis (dari

bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan

dengan tuturan. Deiksis berarti „penunjukkan‟ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan „penunjukkan‟ disebut ungkapan deiksis.

Yule (2006:13-15) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis

persona (kata ganti orang pertama „saya‟, orang kedua „kamu‟, dan orang ketiga „dia laki-laki‟, „dia perempuan‟, atau „dia barang/ sesuatu‟), deiksis tempat („di sini‟ dan „di sana‟), dan deiksis waktu („pekan depan, „pekan yang lalu‟, „pekan ini‟, „kemarin‟, „hari ini‟, „nanti malam‟, „sekarang‟, dan „kemudian‟).

Purwo (1990:17) menjelaskan bahwa kata seperti saya, sini,

sekarang adalah kata-kata yang deiksis. Kata-kata tersebut tidak

memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan kata rumah,

kertas, kursi, di tempat manapun, pada waktu kapan pun, referen

yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini,

sekarang barulah dapat diketahui pula siapa, di tempat mana, dan

pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.

Kushartanti (2005:111) menjelaskan bahwa deiksis adalah cara

merujuk pada suatu hal yang berkaitan dengan erat dengan konteks

penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang berasal dari penutur,

dekat dengan penutur, dan jauh dari penutur. Ada tiga jenis deiksis,

yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu.

2.2.4.2Praanggapan

Rahardi (2005:42) mengatakan bahwa sebuah tuturan dapat

dikatakan praanggapan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran

tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau

ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat

dikatakan. Tuturan yang berbunyi Mahasiswa tercantik di kelas itu

pandai sekali. Mempraanggapkan adanya seseorang mahasiswa yang

berparas sangat cantik. Apabila pada kenyataannya memang ada

seorang mahasiswa yang berparas sangat cantik di kelas itu, tuturan

dalam kelas itu tidak ada seorang mahasiswa yang berparas cantik,

tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya.

Presuposisi merupakan kajian dalam lingkup semantik,

namun dalam perkembangannya para linguis cenderung berpendapat

bahwa kajian presuposisi dalam lingkup semantik saja tidak dapat

memuaskan mereka, sehingga kajian presuposisi bergeser ke wilayah

pragmatik (Nadar, 2009:63). Levinson dalam Nadar (2006:64-65)

menyatakan bahwa preposisi pragmatik merupakan inferensi

pragmatik yang sangat sensitif terhadap faktor-faktor konteks, dan

membedakan terminologi preposisi menjadi dua macam. Pertama,

kata “presuposisi” sebagai terminologi umum dalam penggunaan bahasa Inggris sehari-hari, serta kata “presuposisi” sebagai terminologi teknis dalam kajian pragmatik. Di bandingkan dengan

luasnya makna preposisi secara umum dalam penggunaan sehari-

hari, makna preposisi dalam pragmatik relatif lebih sempit. Preposisi

dapat dijelaskan sebagai berbagai inferensi atau asumsi pragmatik

yang nampaknya dibangun menjadi ungkapan linguistik.

2.2.4.3Implikatur

Rahardi (2003:85) mengatakan bahwa di dalam pertuturan yang

sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar

berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan

latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu.

percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu

saling dimengerti.

Rahardi (2005: 42-43) menyebutkan tuturan Bapak datang,

jangan menangis! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk

memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu.

Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah

yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesutau

terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Dengan perkataan lain,

tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang

keras dan sangat kejam dan sering marah-marah pada anaknya yang

sedang menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan

yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat

tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada

konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.

Menurut Levinson (183) dalam Hamid Hasan (2011:73), ada

empat faedah konsep implikatur, yaitu:

a) Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan

yang tak terjangkau oleh teori linguistik;

b) Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan

lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa;

c) Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang

hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang

d) Dapat memerikan bebagai fakta yang secara lahiriah kelihatan

tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).

2.2.4.4Tindak Ujaran

Tindak tutur diklasifikasikan menjadi 5 jenis fungsi umum,

yaitu deklarasi, presentatif, ekspresi, direktif, dan komisif (Yule,

2006: 92-94). Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah

dunia melalui tuturan. Contoh 1: Wasit: Anda ke luar! Seperti

contoh 1 menggambarkan, penutur harus memiliki peran

institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan

suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu menggunakan deklarasi

penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Representatif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa

yang diyakini penutur kasus atau bukan. Contoh 2: Bumi itu datar.

Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian,

seperti yang digambarkan dalam contoh 2, merupakan contoh dunia

sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang

menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah representatif,

penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

Tindak tutur selanjutnya yaitu ekspresif. Ekspresif adalah

jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh

penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan

psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan,

Sungguh, saya minta maaf. Seperti yang digambarkan dalam contoh

3, tindak tutur mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh

penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman

penutur. Pada waktu menggunakan ekspresif penutur menyesuaikan

kata-kata dengan dunia (perasaannya).

Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur

untuk menyuruh orang lain mengatakan sesuatu. Jenis tindak tutur

ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini

meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, dan pemberian saran.

Contoh 4: Jangan menyentuh itu! Seperti yang digambarkan dalam

contoh 4, bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Pada

waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia

dengan kata (lewat pendengar).

Tindak tutur berikutnya ialah komisif. Komisif adalah jenis

tindak tutur yang dapat dipahami oleh penutur untuk mengikatkan

dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.

Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh

penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan,

dan ikrar. Contoh 5: Kami tidak akan melakukan itu. Seperti

ditunjukkan dalam contoh 5, dapat ditampilkan sendiri oleh penutur

atau penutur sebagai anggota kelompok. Pada waktu menggunakan

komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-

Dengan mendasarkan gagasan pendahulunya, yakni Austin

(1962), John R. Searle (1969) dalam buku Speech Acts: An Essay in

The Philisophy of Language melalui Kunjana (2003: 70) menyatakan

bahwa pada praktik penggunaan bahasa yang sesungguhnya itu

terdapat tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur atau

speech acts itu secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut

ini: (1) tindak lokusioner (locutionary acts), (2) tindak ilokusioner

(illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary

acts).

2.2.4.4.1 Tindak Lokusi

Tindak tutur lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa,

dan kalimat, sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa,

dan kalimat itu sendiri. Adapun tindak tutur lokusioner itu dapat

dinyatakan dengan ungkapan the act of saying something. Di dalam

tindak lokusioner itu sama sekali tidak dipermasalahkan dalam ihwal

maksud tuturan yang disampaikan oleh penutur. Jadi sekali lagi,

perlu dikatakan bahwa tindak tutur lokusioner itu adalah tindak

menyampaikan informasi yang disampaikan oleh penutur.

2.2.4.4.2 Tindak Ilokusi

Tindak ilokusioner ini merupakan tindak melakukan sesuatu

dengan maksud dan fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang

ungkapan dalam bahasa Inggris, the act of doing something. Jadi, ada

semacam daya atau force di dalamnya yang dicuatkan oleh makna

dari sebuah tuturan.

2.2.4.4.3 Tindak Perlokusi

Tindak perlokusioner ini merupakan tindak menumbuhkan

pengaruh kepada sang mitra tutur oleh penutur. Tindak

perlokusioner dapat dinyatakan dengan ungkapan dalam bahasa

Inggris, the act of affecting someone. ((cf. Wijana, 1996); Rahardi;

2004, dan Rahardi; 2006), Rahardi, 2009: 17).

Dokumen terkait