• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI ORGANISASI POSTMODERN/JEPANG DAN TEORI Z (PADA TAHUN 1975- SEKARANG)

Dalam dokumen TEORI ORGANISASI KLASIK (Halaman 29-35)

Tipe ini merupakan yipe yang paling terbaru dan mutakhir tentang organisasiyang pada dasarnya yang memusatkan perhatian pada sifat politis organisasi.pada tipe

ini seperti tipe sebelumnya sudah menganut sisem terbuka. March dan Simon menentang gagasan klasik mengenai yang rasional ataupun optimum. Mereka mengusulkan model organisasi itu di ubah-model yang sangat berbeda dari pandangan system kerja sama yang rasional. Artinya model ini sudah sangat

mengacu pada aspek social.

Adapun para pakar yang mempunyai sumbangan yang besar dalam teori ini adalah :

• Organisasi Pfeffer sebagai Arena politik

(Richard T.Pascall dan William Cuchi)

Kombinasi antara gaya manajemen Jepang (nilai-nilai kerjasama kelompok, kepercayaan dan perasaan tanggung jawab bersama) dengan gaya manajemen Amerika (pendekatan secara struktural/formal organisasi).

Manajemen Amerika

1. Sistem kerja jangka pendek; 2. Evaluasi dan promosi cepat;

3. Sistem bonus dan upah berdasarkan produktivitas; 4. Karier berdasarkan spesialisasi;

5. Mekanisme pengawasan: hierarki; 6. Pengambilan kepusan oleh pimpinan; 7. Tanggung jawab individual

Ciri-Ciri Manajemen Jepang: 1. Sistem kerja seumur hidup; 2. Evaluasi dan promosi lama;

3. Sistem bonus dan kemudahan kerja; 4. Karier tidak berdasarkan spesialisasi;

5. Mekanisme pengawasan oleh anggota kelompok;

6. Proses pengambilan keputusan: ringi (dari tingkat bawah); 7. Tanggung jawab kelompok dalam manajemen;

8. Keterlibatan seluruh orang (konsumen, suplayer, orang tua pegawai). Keunggulan Tipe Z:

1. Jangka waktu kerja lama;

2. Sistem evaluasi dan promosi lambat;

3. Pengambilan keputusan: consensus dan partisipasi; 4. Tanggaung jawab: masing-masing orang;

5. Sifat keseluruhan (orang dihargai sebagai manusia); 6. Egalitarianisme (persamaan hak);

Langkah-Langkah Perubahan dari Tipe A ke Tipe Z: 1. Memahami teori z;

2. Mengevaluasi filosofi organisasi;

3. Melibatkan diri dalam kepemimpinan organisasi;

4. Melaksanakan filsafat organisasi dengan menciptakan struktur yang lebih fleksibel dan intensif;

5. Mengembangkan keterampilan antara individu-individu; 6. Mengevaluasi diri dan sistem;

7. Melibatkan serikat pekerja; 8. Menciptakan stabilitas kerja;

9. Sistem kerja dengan evaluasi dan promosi lambat; 10. Mengembangkan jalan karier;

11. Perubahan dimulai dari tingkat atas;

12. Menciptakan bidang-bidang untuk berprestasi; 13. Mengembangkan hubungan menyeluruh.

POSTMODERNISME

(Sebuah Gerakan Kritik Terhadap Modernisme) Oleh : M. Ja’far Nashir, M.A

A. APA ITU POSTMODERNISME ?

Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu.[1] Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Loyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru. Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Maxisme,

eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para

pemakai label itu – biasanya mereka tidak berbicara tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”, seperti misalnya Rorty atau Derrida – amat beraneka cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”, sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.[2]

Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, adasesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur “posmo”-nya itu.

Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Sehingga pendekatan “postmodernisme” dapat ditentukan, misalnya, dalam Pascal (+1662), Vico (+1744), Kant (+1804), Hegel (+1831), Stirner (+1856), Nietzche (+1900), Heidegger (+1976), Popper (+1994), dan Adorno (+1969). Adalah jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.[3]

B. CIRI-CIRI POSTMODERNISME

Akbar S. Ahmed[4] terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :

Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas;

diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.

Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk

membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.

Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi

menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era

postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks[5].

Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain[6] : Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis

sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya.

Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian.

Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.

Keempat, ada semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar – bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan

Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.

Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.

Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)

Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.

Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel.

Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.

Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu :

(1) kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme; (2) modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika

menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan

(3) erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.

Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi

bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

C. KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME

Menurut Magnis Suseno,[7] setidaknya ada tiga kelemahan “postmodernisme”, yaitu :

1) “Postmodernisme” buta terhadap kenyataan bahwa banyak cerita kecil menggandung banyak kebusukan.

2) “Postmodernisme” tidak membedakan antara ideologi, disatu pihak; dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, dilain pihak.

3) Kebutaan ketiga “Postmodernisme” adalah bahwa tuntutan untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil sendiri merupakan cerita besar dengan klaim universal.

Sedang menurut Ariel Heryanto[8] (dikutip dari seminar “Pascamodernisme :Relevansinya Bagi Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia Mutakhir” di Salatiga, 8-9 Oktober 1993. mengatakan bahwa : cukup banyak pendapat bahwa postmodernisme tidak perlu diperhatikan karena dianggap tidak ada yang baru darinya. Ada dua alasan yang sering dikemukakan. Postmodernisme dianggap sama dengan relativisme atau sekedar “metode kritik” yang sudah dikerjakan hampir semua isme lainnya. Bagi pihak lain postmodernisme dianggap sudah lama hadir dalam kehidupan sehari-hari, dianggap terlalu biasa dan tak pantas mendapatkan perhatian khusus.

Postmodernisme juga diserang karena dua alasan lain yang saling bertolak-belakang. Disatu pihak ia dianggap berbahaya, karena dituduh bersikap terlalu luwes, penganjur “re;ativisme” yang ekstrem, terlalu permisif, membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa batas. Postmodernisme dianggap mengobarkan semangat anything goes (“apa pun saja boleh”). Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang sama, justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.

Baca selengkapnya

Dalam dokumen TEORI ORGANISASI KLASIK (Halaman 29-35)

Dokumen terkait