• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.2 Konsepsi Daya Dukung PPK

2.3.1 Teori Pembangunan tentang Kemiskinan

Seperti telah didikemukakan dalam pengantar, bahwa kategorisasi teori pembangunan yang akan diuraikan di bawah ini berangkat dari kategorisasi dari Damanhuri (1997). Damanhuri membagi kategorisasi teori pembangunan ke dalam tiga teori besar yaitu teori liberal, teori kritis (radikal) dan teori heterodox.

A. Teori Liberal

Dalam berbagai khasanah literatur ekonomi pembangunan, banyak disebutkan bahwa teori-teori pembangunan ekonomi bertujuan untuk melakukan modernisasi di negara-negara yang sedang berkembang. Semangat pembangunan dengan latar belakang teori modernisasi adalah keinginan untuk memodernisasi negara-negara berkembang dengan cara meniru negara maju dalam segala aspek, khususnya dalam mode of production kapitalisnya. Teori-teori pembangunan ekonomi pada generasi ini berfokus pada beberapa isu sentral seperti pertumbuhan ekonomi, akumulasi modal, transformasi struktural dan peran pemerintah. Sistem kapitalisme yang negara-negara maju terapkan selama ini dianggap sebagai jalan bagi negara yang sedang berkembang untuk bangkit dari keterbelakangan dan mengejar kemajuan (Sanderson, 1993).

Teori yang cukup meyakinkan bagi keberlangsungan modernisasi adalah

teori Rostow tentang tahapan pertumbuhan ekonomi. Rostow (1960) dalam

Jhingan (1975), memandang bahwa proses pembangunan bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang maju. Rostow memperkenalkan teori pertumbuhan yang dikenal dengan The Stages of

Economic Growth meliputi (i) masyarakat tradisional; (ii) prakondisi untuk lepas

landas; (iii) lepas landas; (iv) menuju kedewasaan; dan (v) tahap konsumsi massa tinggi. Bagi Rostow Investasi adalah suatu kemutlakan yang dapat diperoleh dari luar maupun dalam. Teori Rostow ini semakin meneguhkan pemikir modernis

industrialisasinya, Nurske (1952) dengan mobilisasi dan rangsangan investasi serta Lewis (1954) tentang perlunya mempertahankan akumulasi modal dalam bentuk tabungan dan keuntungan, sebagai jalan keluar bagi negara ketiga dari keterbelakangan. Artinya, teori-teori ini mengundang masuknya institusi permodalan kapitalisme dengan bunga yang tinggi sehingga akhirnya terjadi ketergantungan (Frank,1984).

Harrod-Domar dalam Arif (1998) menekankan bahwa pembangunan

masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi pembangunan. Dengan merekomendasikan adanya investasi/penanaman modal Harrod-Domar meyakini bahwa pendapatan masyarakat akan bertambah dengan meningkatnya produksi sebagai akibat adanya investasi yang pada gilirannya akan berujung pada lahirnya kesejahteraan. Pergerakan modal dari negara maju ke negara miskin bagi Paul Baran (1957) hanyalah bertujuan menyedot keuntungan dari negara miskin sebagai akibat dari pertambahan pendapatan yang diakibatkan oleh adanya investasi asing.

Kritik lain dari pemikir modernisasi terhadap ketertinggalan negara sedang berkembang disebabkan karena persoalan-persoalan kebudayaan atau kultur. Untuk itu fokus lain dari teori modernisasi adalah adanya transformasi struktural. Menurut Harison (1988), modernisasi akan berpengaruh terhadap perubahan susunan dan pola masyarakat, dengan terjadinya diferensiasi struktural. Demikian juga dengan kapitalisme yang telah dibuktikan sejarah, serta dikritik oleh Marx, akan menimbulkan struktur yang penuh konflik. Teori Modernisasi yang berlandaskan teori evolusi, mengharapkan suatu perubahan masyarakat secara bertahap, dari keadaan serba sama kepada semakin terdiferensiasi (Sanderson, 1993). Tokoh modernisasi klasik, misalnya Colleman dalam Suwarsono dan So (1991) meninginginkan bahwa individu yang modern diharapkan akan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi. Pernyataan Colleman ini senada dengan Mc

Clelland (1961) dalam Hettne (2001) dengan lebih menekankan pada aspek

psikologi individu. Bagi Mc Clelland mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan dorongan berprestasi yang tinggi. Dengan Human Capital Theory nya, Mc Clelland berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin tinggi keterampilan dan

pengetahuan. Semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka akan semakin tinggi produktivitas. Semakin tinggi produktivitas, semakin tinggi pendapatan dan ujungnya akan semakin meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan menurut Mc Clelland disebabkan karena kurangnya dorongan berprestasi pada kaum miskin.

Dalam strategi pembangunan ekonomi, perspektif modernisasi diwujudkan dalam bentuk strategi pertumbuhan ala model liberal. Damanhuri (1997) mencatat bahwa hasil pembangunan model liberal seperti itu menyebabkan pengangguran terbuka dan tertutup yang membengkak, kemiskinan absolut dan relatif (ketimpangan) serta ketergantungan permanen terhadap modal asing dan teknologi.

B. Teori Radikal

Pandangan-pandangan penganut teori liberal baik yang neo klasik maupun keynesian telah mendominasi arus besar pemikiran pembangunan di dunia selama beberapa dekade sampai saat ini. Pola ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan dari penganut teori liberal menimbulkan banyak kritik dari kaum Marxis. Setidaknya terdapat beberapa teori yang banyak mengkritisi teori-teori liberal ini yaitu teori strukturalis, teori ketergantungan dan keterbelakangan serta teori sistem dunia.

Teori ketergantungan mengkritik teori modernisasi didasari atas fakta keterlambatan pembangunan di dunia ketiga, khususnya dalam kasus Amerika latin. Teori ini sepenuhnya menggunakan paradigma neo-Marxis sehingga terlihat sangat radikal dengan menganalogkan pada perkiraan marxis tentang adanya pemberontakan kaum buruh terhadap majikan dalam industri kapitalis. Corak analisis Marxis tampak ketika teori ketergantungan mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Dalam perspektif ini -meminjam istilah Gunder Frank- negara pusat (metropolis) dianggap sebagai kelas majikan dan negara dunia ketiga (satellit) sebagai buruhnya.

Bagi teori modern atau liberal, untuk tumbuhnya perkembangan ekonomi di negara ketiga maka perlu adanya indutrialisasi (Rosenstein-Rodan, 1943),

rangsangan dan mobilisasi investasi (Nurske, 1952) serta pengembangan sektor kapitalis dengan mempertahankan akumulasi modal (Lewis, 1954). Bagi Robinson (1959) dalam Arif (1998) industrialisasi negara berkembang tidak sesuai dengan realitas sosial negara-negara tersebut. Robinson meyakini bahwa pertanian harus menjadi induk pembangunan dan industri sebagai motor pembangunan.

Pola interaksi ekonomi internasional yang menjadi pertanda berkembangnya teori modernisasi tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi negara berkembang. Baran (1957) mengemukakan bahwa meskipun terjadi pergerakan faktor modal antar negara (yaitu dari negara maju ke negara miskin), pergerakan ini hanyalah bertujuan untuk menyedot keuntungan negara miskin. Bahkan menurut Baran (1957) naiknya pendapatan nasional negara miskin akibat adanya aliran investasi asing, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat di negara tersebut namun justru dinikmati oleh segelintir elit masyarakat yang memperolehnya dengan cara ekploitatif. Adanya elit penguasa dan yang menopang elit penguasa sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab terhadap proses ekploitasi yang luas dan dalam di Negara miskin (Santos, 1970). Cardoso (1973) dalam Sasono dan Arif (1981) menyatakan bahwa golongan elit sosial di negara dunia ketiga merupakan kekuatan-kekuatan internal yang disebutnya sebagai kelas sosial dominan, oleh kalangan Marxisme disebut sebagai kelas “komprador’ (Compradore Class). Klas otoriter birokratis (O’Donnel,1978)

dalam Tindjabate (2001) inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis asing di

negara berkembang/dunia ketiga dengan kekuatan ekonominya, kekuatan modal dan birokrasi, elite-elite sosial ini membangun aliansi dengan para kapitalis asing dalam mengekploitasi rakyat miskin di negara-negara dunia ketiga. Formasi sosial dan kelas-kelas sosial inilah menurut Brener (1977) dalam Forbes (1983) luput dari pengamatan para teoritikus ketergantungan ketika melihat proses kapitalisme dan keterbelakangan negara berkembang.

Sejalan dengan Paul Baran, dalam konteks proses hubungan ekonomi Frank (1984) membuat pembagian yaitu apa yang disebut dengan negara-negara metropolis maju (developed metropolitan countries) dan negara-negara satelit yang terbelakang (satellite underdeveloped countries). Frank (1984) menolak

bahwa perkembangan ekonomi negara miskin sebagai akibat adanya hubungan ekonomi negara metropolis-satellit yang akan menimbulkan difusi modal, teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor dinamis lainnya kepada negara miskin tidak dapat dibenarkan. Penolakan tersebut didasarkan atas temuan historis Frank di Amerika Latin di mana perkembagan yang sehat dan otonom justru terjadi waktu hubungan metropolis-satelit ini tidak ada (Arif, 1998). Bagi Frank (1984) teori Rostow dengan tahapan pertumbuhan ekonominya telah mengabaikan sejarah (ahistoris). Rostow dengan pijakan kapitalismenya telah mengabaikan kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank (1984) melihat adanya hubungan negara-negara industri maju dengan negara non industri dunia ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan ekploitasi antara metropolis dengan satelit-satelitnya, walaupun, menurut Roxborough (1986), Frank kurang memberikan perhatian pada peranan struktur kelas di negara dunia ketiga yang juga berperan dalam hubungan dominasi tersebut. Hal ini dikoreksi Santos (1970)

dalam Arif (1998) dengan saran bahwa ketergantungan tersebut tak dapat diatasi

tanpa perubahan kualitatif dalam hubungan struktur internal dan eksternal.

Selanjutnya Santos (1970) menyatakan, bahwa ada tiga bentuk ketergantungan yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Bagi Indonesia, ketergantungan kolonial telah dialami selama tiga abad lebih yaitu pada saat Belanda menjajah Indonesia dengan sistem tanam paksa maupun pajak tanah. Kolaborasi kolonial Belanda dengan para Bupati dan kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu, terbukti membawa kesengsaraan bagi petani.

Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19 menjadikan ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya

perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Indonesia sampai saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju. Dalam bidang perikanan misalnya, Indonesia masih lemah misalnya dalam teknologi pengolahan hasil perikanan dan pembenihan ikan.

Perdagangan internasional yang menjadi ciri utama dari teori modern ternyata menyisakan permasalahan bagi negara berkembang karena adanya pertukaran yang tidak adil. Amin (1978) menunjukkan ketergantungan negara berkembang kepada negara maju dengan konsep pertukaran yang tidak adil. Amin (1978) menunjukkan terjadinya pengalihan surplus dari negara miskin yang disebutnya peri-pheri ke negara-negara maju (yang disebutnya centre) sebagai akibat proses perdagangan internasional antara kedua kelompok negara ini. Rintangan-rintangan akibat proses pertukaran yang tidak adil ini menyebabkan proses transisi dari situasi ekonomi pra-kapitalis ke situasi ekonomi kapitalis di negara-negara terbelakang, mengambil bentuk yang sangat berlainan dari yang pernah dialami oleh negara-negara maju pada waktu negara-negara ini mengalami proses transisi. Sehingga negara-negara terbelakang tetap terus terbelakang.

Proses perdagangan internasional dengan mekanisme pola ekonomi kapitalis seperti ini, bagi pemikir ketergantungan seperti Roxborough, merupakan dampak lanjutan dari imprealisme yang pernah dialami dulu yang hidup bersama- sama dengan kapitalisme. Menurut Roxborough (1986), teori imprealisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imprealis. Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi pra kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Ekspansi kapitalis ini berupa cara- cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi.

Menurut Roxborough (1986), pengaruh kapitalisme terhadap perubahan struktur sosial masyarakat khususnya yang berada di wilayah pedesaan akan lebih baik menggunakan analisa kelas. Analisis Lenin dalam Roxborough (1986), tentang dua jalur penetrasi kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama, yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi.

Jejak pemikiran teori ketergantungan di Indonesia dapat dilihat dalam sosok pemikiran Sritua Arif dan Adi Sasono. Arif dan Sasono (1981) menilai bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang

bertanggungjawab terhadap berkembang suburnya keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia. Mereka menilai bahwa terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah amat besar. Sistem tanam paksa, menurut Arif dan Sasono (1981) telah memperkecil jumlah petani yang berkecukupan atau melahirkan proletariat desa.

Selanjutnya, dalam menguji pembangunan ekonomi Indonesia, Sritua Arif dan Adi Sasono melompat langsung kepada pengamatan di zaman orde baru. Sebetulnya, langkah ini agak gegabah, karena sepertinya Sritua Arif dan Adi Sasono melewati begitu saja masa penjajahan Jepang dan zaman orde lama. Dalam mengamati orde baru, Arif dan Sasono menggunakan lima tolak ukur, yakni sifat pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi,

pembiayaan pembangunan dan persediaan bahan makanan. Pertama,

pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai Indonesia dibarengi dengan melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hal itu didasari atas pengamatan pada periode 1970-1976 dimana menurut Arif dan Sasono (1981), golongan miskin bertambah miskin dan mereka tidak menikmati pertumbuhan ekonomi

yang dinyatakan cukup memadai. Kedua, Indonesia memiliki tingkat

pengangguran yang tinggi. Hal ini terjadi karena industri yang padat modal ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja. Ketiga, Proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan proses industrialisasi yang oleh Samir Amin disebut sebagai industri ekstraversi. Industri substitusi impor yang dikembangkan memiliki ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi. Keempat, karena sifat pertumbuhan ekonomi dan model industrialisasi yang dipilih, maka Indonesia hanya memiliki satu pilihan yakni kebutuhan untuk selalu memperoleh modal asing. Kelima, Sampai akhir tahun 1970-an Indonesia belum mampu mencapai swasembada pangan atau tepatnya baru pada tahun 1985, untuk pertama kali sejak kemerdekaannya, Indonesia mencapai swasembada beras.

Pisau analisis teori ketergantungan, termasuk yang digunakan oleh Arif dan Sasono (1981) ini, jelas sekali berpijak kepada metodologi dan paradigma berpikir ala paul Baran, Gunder Frank maupun pemikir ketergantungan lainnya. Namun, perspektif teori dipendensia menurut Damanhuri (1996) gagal menjelaskan fenomena sosial yang ada di Indonesia maupun di negara-negara

Asia lainnya. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Hongkong, Malaysia dan Indonesia sendiri termasuk mencengangkan bagi kaum dependensia. Bahkan, Samir Amin pun tidak mampu menjelaskan fenomena Korea dan Taiwan yang disebutnya ”perkecualian”. Bagi Damanhuri, teori-teori besar yang ada, tidak berlatar belakang sejarah Asia, bahkan sangat berjarak dari kultur Asia. Menurut Damanhuri (1996) yang lebih mengena untuk memahami fenomena Asia adalah teori-teori menengah dan tidak terlalu radikal serta tidak terlalu optimistik seperti yang dilontarkan Gunar Myrdal. Teori tersebut menyebutkan bahwa negara Asia Tenggara dan Timur berlaku tipikal perencanaan ketiga yang sangat berbeda dengan tipikal negara liberalis yang diwakili Amerika dan Sosialis yang diwakili Uni Soviet. Menurut Damanhuri, berangkat dari teori tersebut, tipikal tersebut berupa adanya kontrol negara – yang pada saat tertentu juga memberi keleluasaan yang besar- terhadap swasta. Sebetulnya Joan Robinson ketika mengkritik Rosenstein-Rodan mengatakan bahwa pandangan teori modernis tidak sesuai realitas sosial masyarakat negara ketiga. Demikian halnya Damanhuri (1996) menyarankan agar pijakan teori dalam membedah pembangunan ekonomi haruslah lebih menggambarkan realitas sosial politik setempat.

Selain itu, konsep ketergantungan yang dikemukakan oleh pemikir- pemikir Marxis strukturalis juga mendapatkan kritik dari pemikir-pemikir ekonomi politik Marxis lainnya seperti Anthony Giddens, Thompson, Soja dan Forbes. Forbes (1986) menyoroti pembangunan dan keterbelakangan dalam

perspektif geografi dan ekonomi politik. Pertama, karya mengenai

keterbelakangan lebih didominasi oleh pendekatan ekonomistik dan tidak banyak menelaah tentang hubungan sosial, konflik kelas, dan reproduksi atau dengan kata lain penelaahan harusnya juga dilihat dari sisi sosial dari ekploitasi. Kedua, karya keterbelakangan yang dilontarkan selama ini berada pada tataran abstrak. Pemikiran akhir-akhir ini menyerukan agar tidak mengadakan pembedaan yang apriori atau statis antara negara maju dan terbelakang, tetapi sebaliknya menyoroti suatu perekonomian dunia yang komplek, tunggal dan hubungan antara berbagai kesatuan soaial dan ekonomi yang kecil dan besar yang mengisinya. Ketiga, perkembangan pemikiran yang ekonomistik dan abstrak disertai dengan

meningkatnya dominasi pengetahuan komposisional terhadap pengetahuan kontekstual. Menurut Forbes (1983) lapangan tengah dari ”ekonomi politik” menjadi terlalu sesak, sementara pertanyaan mengenai wawasan seperti lingkungan dan organisasi tempat yang memperoleh perlakuan, relatif jarang diamati. Ekonomi politik keterbelakangan lebih memusatkan pada isyu yang relatif kecil dan menjauhkan peneliti kritis dari aneka ragam penelitian yang berkaitan.

C. Teori Heterodox

Peralihan kapitalisme dari negara pusat kepada negara pinggiran dintodusir melalui investasi asing, mengandaikan terciptanya industrialisasi di negara pinggiran. Ketergantunganpun muncul bagi negara pinggiran kepada negara pusat. Setidaknya demikian kritik yang banyak dilontarkan oleh penganut teori dependensia dalam menyikapi proses modernisasi dan liberalisasi ekonomi. Namun, muncul keraguan dalil bahwa peralihan ke arah kapitalisme di pinggiran, tertahan. Begitu halnya, dengan kemunculan keajaiban-keajaiban ekonomi di Asia seperti yang terjadi di Korea Selatan dan munculnya negara-negara industri maju di Asia dan Amerika Latin (Higgot, 1984) dalam Forbes (1983). Menurut Forbes (1983) industrialisasi di pinggiran merupakan proses yang paling mutakhir dan tidak berarti membuktikan argumen bahwa peralihan ke arah kapitalisme masih terus berlangsung dalam cara seperti yang terjadi di Barat. Bentuk industrialisasi yang terjadi di pinggiran menunjukkan sejumlah perubahan yang bergerak jauh dalam sifat kapitalisme itu sendiri dan hanya dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas. Fenomena keajaiban ekonomi Asia menjadikan Damanhuri (1996) berpendapat, apakah model manajemen Asia yang menjadikan negara-negara –yang dicap sebagai negara pinggiran- ini dapat berkembang begitu pesat . Nilai-nilai tradisional dan kebudayaan lokal yang selama ini dianut dengan kuat oleh bangsa-bangsa seperti Jepang, Korea dan Indonesia sendiri, diyakini berpengaruh terhadap pola ekonomi yang berkembang di negara-negara Asia tersebut. Untuk menjelaskan fenomena ini, pisau analisis lain perlu digunakan dengan berpijak kepada realitas sosial ekonomi dan budaya politik masyarakat bangsa tersebut.

Selain pandangan dari kelompok modernis dan strukturalis atau yang oleh Damanhuri (1997) dikategorikan sebagai teori liberal dan radikal tersebut, terdapat pandangan lain yang menyempal dari keduanya, yaitu apa yang disebut dengan teori heterodox. Pendukung teori ini seperti Gunnar Myrdal (Swedia), F. Perroux (Perancis) dan A. Hirchman (USA). Menurut Damanhuri (1997) kelompok ini mengajukan negasi bahwa pembangunan (development) lebih luas

dari pertumbuhan (growth), yang tidak cukup hanya disimpulkan melalui

indikator-indikator pertumbuhan. Tetapi, pembangunan mencakup sejumlah transformasi dalam struktur ekonomi, sosial, dan kultural yang menyertai dan mendasari terjadinya pertumbuhan. Pembangunan harus melingkupi perubahan mental dan sosial yang membawa kemampuan mereka untuk tumbuh (F. Perroux

dalam Damanhuri, 1997) dan perbaikan gizi (Myrdal, 1957) dalam Arif (1998).

Menurut Myrdal (1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi antara

negara-negara maju dengan negara-negara yang belum maju telah menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan di negara- negara belum maju. Myrdal menambahkan bahwa penyebab utama terjadinya keterbelakangan di negara berkembang adalah kemajuan ilmu dan teknologi, kehadiran pasaran yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara-negara maju. Sebaliknya di negara-negara yang belum maju selain rakyat mempunyai pendapatan per kapita yang rendah terdapat juga tingkat hubungan yang rendah, pertumbuhan penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan penduduk yang buruk dan tidak berkembangnya industri-industri rakyat akibat rendahnya harga barang-barang manufaktor impor. Solusi memberantas kemiskinan tersebut menurut Myrdal harus dilakukan dengan campur tangan pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Namun, bagi Ul Haq (1983) mekanisme pasar seringkali senjang akibat pembagian pendapatan dan kekayaan yang berlaku sehingga pasar bukan petunjuk yang dapat diandalkan untuk menentukan tujuan-tujuan nasional. Menurut Mahbub Ul Haq, kemiskinan – seperti kaum liberal menganjurkan- tidak dapat diperangi secara tidak langsung melalui laju pertumbuhan yang merembes ke rakyat banyak. Namun, kemiskinan harus diserang langsung.

Proses ketimpangan dalam pembangunan antara negara maju dan negara dunia ketiga juga disebabkan karena tidak adanya kebebasan. Sen (1999) mengatakan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai sebuah proses “perluasan” kebebasan manusia (the process of expanding the real freedom), bukan sekedar mengatasi persoalan ekonomi semata. Masih menurut Sen (1999) bahwa kebebasan yang dimaksud meliputi kebebasan politik, fasilitas ekonomi, sosial

opportunities, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan. Sen (1999)

kemudian memperkenalkan suatu formula pengukuran kemiskinan yang dikenal sebagai Sen Indeks yakni suatu konsep yang saat ini diaposi PBB sebagai standar untuk mementukan tingkat Human Development Indeks (HDI).

2.3.2 Kesenjangan Pembangunan

Pendekatan pembangunan ala neo-klasik dan keynesian yang selama ini diterapkan dengan ideologi modernisme dan berpijakan pada pola ekonomi kapitalis, terbukti telah melahirkan jurang yang menganga demikian lebar antara negara maju dan negara berkembang. Negara dunia ketiga yang dicap sebagai negara yang tertinggal/sedang berkembang, digiring pada proses hubungan ekonomi yang terbukti bukan melahirkan kesejahteraan sebagaimana kaum liberal mengumandangkan. Namun, justru ketergantungan terhadap negara maju menjadikan negara maju semakin modern dan negara berkembang tetap tertinggal. Permasalahan struktural tersebut setidaknya melahirkan perdebatan panjang dan kritik tajam dari kaum dependensia. Mobilisasi investasi, penanaman modal asing, kemajuan ilmu dan teknologi serta perangkat-perangkat ekonomi liberal lainnya yang menjadi strategi bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, melahirkan krisis pembangunan yang demikian parah di negara berkembang dan kritik tajam kaum dependensia.

Masuknya investasi ke negara berkembang bagi Baran (1957) hanyalah bertujuan menyedot keuntungan dari negara berkembang. Menurut Myrdal (1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi yang terbangun antara negara maju dan negara berkembang hanya akan menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan yang terus mengakar di negara yang belum maju. Kondisi asimetris antara negara maju dan negara yang belum maju

menjadikan terciptanya kesenjangan pembangunan terjadi. Potret kemajuan ilmu dan teknologi, akumulasi modal keuangan di negara maju, pada satu sisi. Serta kekurangan gizi, pertumbuhan penduduk tinggi, tingkat keterampilan yang rendah