• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.2. Teori Penawaran Ekspor

Ekspor merupakan barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara dan dijual di negara lain sebagai penukar atas barang dan jasa, emas, devisa asing atau untuk menyelesaikan utang. Negara menujukan sumber daya dalam negeri mereka bagi ekspor karena mereka dapat memperoleh lebih banyak barang dan jasa dengan devisa internasional yang mereka peroleh dari ekspor daripada yang akan mereka peroleh dengan menujukan sumberdaya itu bagi produksi barang dan jasa di dalam negeri (Smith dan Blakeslee 1995). Dalam pengertian atau batasan yang lebih luas, ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok (Lindert dan Kindleberger 1993). Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa teori ekspor tidak lepas dari teori penawaran.

Teori penawaran bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran. Penawaran adalah sejumlah barang atau jasa yang tersedia dan dapat dijual oleh penjual pada tingkat harga dan suatu waktu tertentu.

P

S

Q Sumber: Salvatore (2006)

Gambar 5. Kurva Penawaran

Menurut Salvatore (2006), semakin rendah harga suatu komoditas maka akan semakin sedikit jumlah komoditas yang ditawarkan oleh produsen, dan sebaliknya. Hubungan langsung antara harga dan jumlah ini dapat dilihat pada kemiringan positif dari kurva penawaran dalam Gambar 5. Besar kecilnya penawaran terhadap suatu komoditi pada umumnya dipengaruhi oleh harga barang yang bersangkutan, harga barang substitusi, nilai tukar mata uang, kemampuan produksi, kebijakan yang ada, dan faktor dari luar lainnya.

Apabila faktor-faktor tersebut digabungkan, maka diperoleh fungsi penawaran ekspor minyak sawit atau minyak inti sawit Indonesia dalam bentuk dinamis sebagai berikut :

Yt = f (Ht, Hst, Ert, Prt, Pxt, Zt, Yt-1)...(3.1) Keterangan:

Yt = Jumlah Ekspor Minyak Sawit atau Minyak Inti Sawit Pada Tahun ke-t Ht = Harga Ekspor Minyak Sawit atau Minyak Inti Sawit Pada Tahun ke-t Hst = Harga Barang Kompetitif Minyak Sawit atau Minyak Inti Sawit Pada

Tahun ke-t

Ert = Nilai Tukar Mata Uang Asing Tahun ke-t

Prt = Produksi Minyak Sawit atau Minyak Inti Sawit Indonesia Pada Tahun ke-t

Pxt = Pajak Ekspor Minyak Sawit atau Minyak Inti Sawit Pada Tahun ke-t Zt = Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Ekspor Minyak Sawit atau

Minyak Inti Sawit Pada Tahun ke-t

Yt-1 = Jumlah Ekspor Minyak Sawit atau Minyak Inti Sawit Indonesia Pada Tahun ke-t-1

3.1.3.Model Regresi Linier Berganda

Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa dan memodelkan hubungan antara variabel-variabel yang digunakan. Sasaran utama dalam analisis regresi linier adalah menjelaskan perilaku suatu variabel dependen sehubungan dengan perilaku satu atau lebih variabel independen, dengan memperhitungkan fakta bahwa hubungan antara semua variabel tersebut bersifat tidak pasti. Model regresi liner berganda adalah model regresi dengan lebih dari satu variabel independen yang mungkin mempengaruhi variabel dependen (Gujarati 2006).

Metode yang paling umum untuk memperoleh nilai parameter dalam suatu model regresi adalah metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square

(OLS). Selain mudah, metode estimasi OLS juga memiliki sifat teoritis yang kokoh, yang dijelaskan dalam teorema Gauss-Markov. Teorema tersebut menyatakan bahwa berdasarkan asumsi-asumsi dari model regresi linier klasik, penaksir OLS memiliki varians yang terendah diantara penaksir-penaksir liner

lainnya; dalam hal ini penaksir OLS disebut sebagai penaksir tak bias linier terbaik atau Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Dalam upaya mencapai kondisi statistik yang baik, metode OLS akan menghasilkan estimasi yang baik apabila asumsi-asumsi yang mendasarinya terpenuhi, antara lain:

1. Memiliki parameter-parameter yang bersifat linier dan model ini ditentukan secara tepat;

2. Faktor kesalahan mempunyai nilai rata-rata sebesar nol; 3. Tidak adanya autokorelasi dalam setiap variabel dalam model; 4. Asumsi homoskedastisitas atau penyebaran yang sama

5. Tidak terdapat multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang pasti antara variabel independen; serta

6. Untuk pengujian hipotesis, faktor kesalahan mengikuti distribusi normal dengan rata-rata sebesar nol dan homoskedastis.

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi diantara anggota observasi yang diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas sektoral) (Kendal et al dalam Gujarati 2006). Adanya gejala autokorelasi pada suatu model akan menyebabkan suatu model memiliki suatu selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat, sehingga menyebabkan hasil dari uji-t dan uji-F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan. Uji yang paling umum untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji statistik Durbin-Wattson. Masalah autokorelasi dapat diatasi dengan menggunakan prosedur generlized differencing, prosedur Cochrane-Orcutt, atau prosedur Hilderth-Lu (Juanda 2009). Namun dalam kasus khusus jika dalam persamaan terdapat lag endogen prosedur uji statistik Durbin-Wattson tidak sesuai dilakukan pada persamaan tersebut. Sebagai ganti prosedur uji Durbin-Wattson maka dilakukan uji statistik Durbin-h (Pindyck dan Rubinfeld 1998).

Kondisi dimana semua observasi dalam suatu model memiliki varians yang sama disebut homoskedastisitas. Homoskedastisitas terjadi karena fungsi regresi populasi (PRF) memberikan nilai mean atau rata-rata variabel dependen untuk tingkat variabel-variabel independen tertentu. Penyimpangan terhadap asumsi homoskedastisitas disebut dengan heteroskedastisitas (Gujarati 2006).

Konsekuensi dari heteroskedastisitas adalah estimator OLS masih linier dan tidak bias, namun tidak lagi efisien karena tidak lagi memiliki varians minimum. Jika heteroskedastisitas terjadi, rutinitas pengujian hipotesis yang seperti biasa tidak bisa diandalkan karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Pendeteksian ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan grafik scatterplot antara nilai residual regresi dengan nilai prediksi. Model persamaan regresi yang baik adalah tidak memiliki masalah heteroskedastisitas, yaitu jika titik-titik pada grafik scatterplot tersebar acak tidak membentuk suatu pola tertentu seperti segitiga, segiempat, lengkung yang beraturan, dan sebagainya (Mulyanto dan Wulandari 2010).

Pengujian untuk mendeteksi heteroskedastisitas antara lain dengan metode grafik, uji Park, uji Glejser, uji Breusch-Pagan, Uji Godfeld-Quandt, atau white test (Juanda 2009). Jika heteroskedastisitas terjadi dalam model, maka dapat diatasi dengan melakukan teknik pendugaan yang tepat, sesuai dengan diketahui atau tidaknya ragam sisaan. Apabila ragam sisaan diketahui, pendugaan parameter dapat dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil terboboti atau

Weighted Least Square (WLS), sedangkan jika ragam sisaan tidak diketahui maka perlu dipertimbangkan kasus-kasus khusus dimana cukup informasi tersedia untuk mengetahui ragam sisaan yang sebenarnya. Selain itu, masalah heteroskedastisitas kadang kala dapat diatasi dengan mentransformasi data dengan logaritma.

Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier diantara variabel-variabel independen dalam suatu regresi berganda. Hubungan linier yang sempurna antara variabel independen disebut sebagai multikolinearitas sempurna, apabila terjadi akan menyebabkan estimasi dan pengujian hipotesis koefisien regresi individual dalam regresi berganda menjadi tidak dapat dilakukan. Adapun hubungan kolinearitas yang tinggi namun tidak sempurna disebut sebagai multikolinearitas tidak sempurna.

Multikolinearitas bersifat spesifik-sampel, merupakan fitur dari sampel, sehingga multikolinearitas tidak dapat diuji keberadaannya, melainkan diukur derajatnya dalam sampel tertentu (Gujarati 2006). Konsekuensi dari adanya multikolinearitas tidak sempurna antara lain varians besar dan kesalahan standar estimator OLS, interval keyakinan yang lebih lebar, rasio t tidak signifikan, nilai

R2 yang tinggi tapi sedikit rasio t signifikan, serta estimator OLS dan kesalahan standarnya cenderung tidak stabil. Indikator yang dapat menunjukkan adanya multikolinearitas antara lain pengujian korelasi parsial, regresi subsider atau tambahan, dan faktor inflasi varian atau Variance Inflation Factor (VIF). Beberapa cara yang digunakan untuk mengatasi multikolinearitas (Juanda 2009), antara lain:

1. Memanfaatkan informasi sebelumnya (a prior information);

2. Mengeluarkan peubah dengan kolinearitas tinggi, namun dapat menimbulkan kesalahan spesifikasi;

3. Melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model dengan first difference form untuk data deret waktu;

4. Menggunakan regresi komponen utama (principal component); 5. Menggabungkan data cross section dengan data time series; 6. Cek kembali asumsi waktu pembuatan model; serta

7. Penambahan data baru.

Selain itu, diperlukan uji normalitas yang bertujuan untuk memastikan bahwa data yang digunakan untuk analisis berasal dari data variabel yang terdistribusi normal. Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji histogram (secara grafis), normal probability test, uji Skewness-Kurtosis, dan uji Kolmogorov Smirnov (Mulyanto dan Wulandari 2010). Prosedur pengujian yang termasuk sederhana antara lain dengan menggunakan histogram residu, gambar probabilitas normal, dan uji Jarque-Bera (Gujarati 2006).

Dalam pembuatan model regresi linier berganda diperlukan pengujian secara statistik untuk mengetahui seberapa bagus model yang telah dibuat. Pengujian tersebut antara lain uji-F, uji-t, dan uji koefisien determinasi. Uji-F bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen, sedangkan uji-t bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen. Adapun koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen di dalam model (Gujarati 2006). Besaran nilai koefisien determinasi berkisar antara 0 sampai 1. R2 sering secara informal digunakan sebagai statistika untuk kebaikan dari kesesuian

model (goodness of fit), dan membandingkan validitas hasil analisis model regresi (Juanda 2009), namun terdapat beberapa masalah dengan penggunaan R2, yaitu: 1. Semua hasil analisis statistika berdasarkan asumsi awal bahwa model tersebut

benar, kita tidak memiliki prosedur untuk membandingkan spesifikasi alternatif;

2. R2 sensitif terhadap jumlah variabel independen dalam model;

3. Interpretasi dan penggunaan R2 menjadi sulit jika suatu model diformulasikan mempunyai intersep = 0. Dalam kasus ini, nilai R2 dapat diluar selang 0 sampai dengan 1.

Nilai R2 terkoreksi ( 2) mempunyai karakteristik yang diinginkan sebagai ukuran goodness of fit daripada R2. Jika peubah baru ditambahkan, R2 selalu naik, namun 2dapat naik atau turun. Penggunaan 2 menghindari dorongan peneliti untuk memasukkan sebanyak mungkin variabel independen tanpa pertimbangan yang logis (Juanda 2009).

Dokumen terkait