• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior)

Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen (1985). Menurut Ajzen niat untuk melakukan berbagai jenis perilaku dapat diprediksi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dari sikap seseorang terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. TPB digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, memprediksi dan memahami dampak niat berperilaku, serta mengidentifikasi strategi untuk merubah perilaku. Dalam TPB diasumsikan bahwa manusia yang bersifat rasional akan menggunakan informasi yang ada secara sistematik kemudian memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan untuk mewujudkan perilaku tersebut.

Ajzen memperkenalkan theory of planned behavior dengan menambahkan komponen baru yaitu kontrol perilaku (perceived behavioral control). Dengan ini, ia memperluas theory of reasoned action untuk menutupi perilaku non-kehendak. Dalam TPB, perilaku yang ditampilkan individu timbul karena adanya intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku,

evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh.

Theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk

melakukan suatu tindakan atau berperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1) Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward The Behavior)

Individu akan bertindak atau berprilaku sesuai dengan sikap yang melekat dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku yang dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk membimbingnya dalam berperilaku di kehidupannya.

2) Norma Subyektif (Subjective Norm)

Persepsi individu tentang perilaku tertentu, yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang signifikan.

3) Persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control)

Kontrol perilaku mengacu pada persepsi-persepsi individu akan kemampuannya untuk mewujudkan suatu perilaku tertentu.

Penelitian ini menggunakan variabel profesionalisme yang

merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan norma-norma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran yang mungkin

16

terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika. Shawver dan Clements (2008) menemukan bahwa akuntan profesional mampu mengenali prilaku tidak etis dan akuntan profesional lebih berkemungkinan untuk meniup peluit pada situasi tertentu. Meniup peluit dalam arti mengambil tindakan yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan.

Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma

subyektif. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh pada penilaian orang lain. Dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan juga rekan kerja. Seseorang yang memang berkomitmen tinggi terhadap organisasi kemungkinan akan mengidentifikasi terlebih dahulu dalam menanggulangi situasi yang dapat membahayakan organisasi demi menjaga reputasi dan kelangsungan organisasi. Identifikasi itu bisa saja mendapatkan pengaruh-pengaruh dari penilaian orang lain juga misalnya saja rekan kerja. Jadi hasil identifikasi tersebut bisa saja menjadi subjektif (lebih berpihak kepada organisasi atau rekan kerja) atau mungkin bisa objektif (lebih melihat kasus yang sedang terjadi).

Variabel intensitas moral merepresentasikan persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian

seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan dilakukan.

2.1.2 Whistleblowing

Whistleblowing adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang untuk mengungkapkan kecurangan, entah yang dilakukan oleh perusahaan atau individu kepada pihak lain. Pihak yang dilaporkan itu bisa saja atasan ataupun masyarakat luas, Keraf (1998). Menurut Taylor dan Curtis (2010) whistleblowing berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh anggota organisasi atau mantan anggota organisasi yang melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang berada di bawah kendali manajemen, kepada orang-orang yang bersedia dan mampu untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ray (2006) mengatakan bahwa whistleblowing adalah pengungkapan informasi diluar organisasi atau dalam arti membawa informasi dari dalam organisasi keluar organisasi.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) whistleblowing adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh

18

karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi lain atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential). Pengungkapan harus dilakukan dengan iktikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari kehendak buruk atau fitnah.

Dapat ditarik kesimpulan dari beberapa penafsiran whistleblowing menurut beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diatas, bahwa whistleblowing adalah tindakan melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang dilakukan oleh individual atau kelompok yang merupakan anggota organisasi maupun bukan anggota organisasi. Tindakan pelaporan itu bisa dilakukan kepada atasan dalam suatu organisasi atau bahkan keluar organisasi tersebut. Pelaporan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian dalam suatu organisasi maupun kerugian diluar organisasi (masyarakat). Pelaporan harus didasarkan bukti nyata dan itikad baik.

Pelanggaran tersebut harus dilaporkan karena bertentangan dengan konsep Good Corporate Governance (GCG). Terkait dengan usaha penerapan good corporate governance dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).

Oleh karena adanya prinsip tersebut perusahaan diharapkan untuk tidak melakukan kecurangan agar perusahaan memenuhi prinsip GCG. Dan apabila terdapat kecurangan dalam perusahaan, sangat diharapkan orang-orang yang mengetahui adanya kecurangan untuk melaporkan (melakukan whistleblowing) agar kecurangan dapat ditindak lanjutin dan sistem perusahaan tersebut dapat diperbaiki sebelum muncul nya dampak yang akan merugikan perusahaan itu sendiri.

2.1.3 Profesionalisme

Menurut Garman (2006) profesionalisme adalah kemampuan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dan organisasi dengan standar etika dan profesional yang mencakup tanggung jawab kepada klien maupun masyarakat. Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti moral.

Salah satu cara dimana individu menunjukkan identitas profesional nya adalah melalui kepatuhan terhadap standar pekerjaan profesi, lebih lanjut dapat memanifestasikan dirinya melalui keinginan untuk melindungi profesi dari kerusakan reputasi yang berkelanjutan ketika salah satu anggotanya gagal untuk mematuhi standar profesional atau kode etik yang berlaku.

20

Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan latar belakang dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Dalam hal ini adalah para akuntan, karena para akuntan bekerja sesuai dengan latar belakang akuntan yaitu pendidikan akuntansi dan dinaungi oleh suatu organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).

Xiling (2010) mengatakan bahwa penilaian seorang akuntan harus sepenuhnya mempertimbangkan berbagai aspek, dan sesuai dengan penerapan prinsip tertentu, yang tidak hanya moralitas profesional akuntan, tapi perwujudan kemampuan akuntansi profesionalnya. Keputusan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku.

Menurut Hall (1968) dalam Sari (2014) pada buku karangan Kabers dan Forgathy, terdapat 5 dimensi profesionalisme. Sagara (2013) dan Sari dan Laksito (2014) melakukan penelitian menggunakan 5 dimensi tersebut pada internal

auditor dengan menggunakan profesionalisme sebagai variabel yang

memengaruhi tindakan auditor untuk melakukan whistleblowing. Dalam penelitian sebelumnya melihat profesionalisme dari 5 dimensi profesionalisme diantaranya; Profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas), Profesionalisme (dimensi kewajiban sosial), Profesionalisme (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau komunitas), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi).

Pada penelitian ini peneliti hanya melihat profesionalisme dari dimensi dedikasi terhadap pekerjaan. Dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional berdedikasi terhadap pekerjaan atau profesinya diukur dari dedikasi profesional dalam menggunakan kecakapan dan pengetahuan yang dimiliki dengan selalu berpegang teguh pada standar pekerjaan, keberlangsungan masa depan profesinya, serta kebanggaan dengan profesinya.

Dokumen terkait