PROFESIONALISME, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSITAS MORAL SEBAGAI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINDAKAN AKUNTAN UNTUK MELAKUKAN WHISTLEBLOWING
SKRIPSI
Oleh :
LUH PUTU SETIAWATI NIM : 1206305109
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA
PROFESIONALISME, KOMITMEN ORGANISASI, DAN INTENSITAS MORAL SEBAGAI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINDAKAN AKUNTAN UNTUK MELAKUKAN WHISTLEBLOWING
SKRIPSI
Oleh :
LUH PUTU SETIAWATI NIM : 1206305109
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana Denpasar
ii
Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetuji oleh pembimbing, serta diuji
pada tanggal: 14 Januari 2016
Tim Penguji : Tanda Tangan
1. Ketua : Dr. Dewa Gede Wirama, SE.,MSBA., Ak ………
2. Sekretaris : Dr. Maria M. Ratna Sari, SE.,M.Si., Ak ………
3. Anggota : Drs. I Wayan Putra, M.Si ………
Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing
Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE.,M.Si., Ak Dr. Maria M. Ratna Sari, SE.,M.Si.,Ak
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya,
di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila ternyata dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 14 Januari 2016 Mahasiswa
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Profesionalisme, Komitmen Organisasi, dan Intensitas Moral Sebagai Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tindakan Akuntan Untuk Melakukan Whistleblowing” dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih kepada:
1) Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
2) Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
3) Ibu Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
4) Bapak Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si.,Ak selaku Pembantu
Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
5) Bapak Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak selaku Ketua Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
6) Bapak Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
7) Bapak Dr. Made Gede Wirakusuma, SE., M.Si selaku Pembimbing
8) Ibu Dr. Maria M. Ratna Sari, SE., M.Si., Ak selaku Pembimbing Skripsi
atas waktu, bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat besar kepada
penulis selama penulisan skripsi.
9) Bapak Dr. Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., Ak selaku dosen pembahas
dan penguji yang telah memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.
10) Bapak Drs. I Wayan Putra.,M.Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.
11) Segenap dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
12) Seluruh pegawai dan staf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana, yang telah memberikan bantuan selama proses pengadministrasian
skripsi.
13) Orang tua penulis I Wayan Sedana, Ni Ketut Sukerti (almh), dan Ni Wayan
Seni yang telah memberikan amanat kepada penulis sedari dini untuk
menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya, dan juga memberikan dukungan
berupa materiil, semangat, dan doa yang tiada henti untuk penulis.
14) Sahabat-sahabat terbaik penulis Dewa Ayu, Mayta, Ferdi, Eliana, Ayu,
Maul, Chanza, Ina, Uni, Nanas, dan Memey atas dukungannya selama
perkuliahan dan penulisan skripsi.
15) Seluruh teman-teman penulis di kampus yang sering membantu penulis
vi
16) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan, saran dan dukungan kepada penulis dalam penulisan
skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun mengenai
skripsi ini sangat penulis butuhkan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan,
Judul : Profesionalisme, Komitmen Organisasi, dan Intensitas Moral Sebagai Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tindakan Akuntan Untuk Melakukan Whistleblowing
Nama : Luh Putu Setiawati NIM : 1206305109
ABSTRAK
Fenomena kecurangan dalam beberapa perusahaan terkemuka banyak terjadi belakangan dan menyebabkan reputasi akuntan menjadi sorotan banyak pihak. Menanggapi hal tersebut, pelaporan kecurangan (whistleblowing) dirasa perlu dilakukan untuk meminimalisir kecurangan dalam perusahaan.
Faktor-faktor yang yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing yaitu profesionalisme, komitmen organisasi dan intensitas moral. Tujuan penelitian ini yaitu untuk memperoleh bukti empiris mengenai profesionalisme, komitmen organisasi, dan intensitas moral sebagai faktor-faktor yang memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non probability sampling yaitu purposive sampling. Responden dalam penelitian ini sebanyak 59 orang. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profesionalisme, komitmen organisasi, dan intensitas moral berpengaruh positif terhadap niat akuntan untuk melakukan whistleblowing. Hal tersebut berarti semakin baik profesionalisme, komitmen organisasi dan intensitas moral semakin tinggi niat akuntan untuk melakukan whistleblowing.
viii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 11
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Kegunaan Penelitian... 12
1.5 Sistematika Penulisan ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ... 14
2.1.1 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior) ... 14
2.1.2 Whistleblowing ... 17
2.1.3 Profesionalisme ... 19
2.1.4 Komitmen Organisasi... 21
2.1.5 Intensitas Moral ... 23
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian ... 25
2.2.1Pengaruh Profesionalisme terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing ... 25
2.2.3 Pengaruh Intensitas Moral terhadap Tindakan Akuntan
Melakukan Whistleblowing ... 28
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 30
3.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... 30
3.3 Obyek Penelitian ... 31
3.4 Identifikasi Variabel ... 31
3.5 Definisi Operasional Variabel ... 32
3.6 Jenis dan Sumber Data ... 34
3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... 34
3.7.1 Populasi ... 34
3.7.2 Sampel dan Metode Penentuan Sampel ... 35
3.8 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.9 Teknik Analisis Data ... 36
3.9.1 Analisis statistik deskriptif ... 36
3.9.2 Intervalisasi Data ... 36
3.9.3 Pengujian Instrumen Penelitian... 36
3.9.4 Uji Asumsi Klasik ... 38
3.9.5 Pengujian Hipotesis ... 39
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Data Penelitian ... 41
4.1.1 Karakter Responden Penelitian ... 42
4.2 Hasil Penelitian ... 43
4.2.1 Hasil Statistik Deskriptif ... 44
4.2.2 Hasil Intervalisasi Data ... 46
4.2.3 Hasil Pengujian Instrumen Penelitian ... 46
4.2.4 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 49
4.2.5 Hasil Uji Hipotesis ... 51
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 56
x
4.3.2 Pengaruh komitmen organisasi terhadap niat untuk
melakukan whistleblowing ... 57
4.3.3 Pengaruh intensitas moral terhadap niat untuk melakukan whistleblowing ... 58
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 60
5.2 Saran ... 62
DAFTAR RUJUKAN ... 63
DAFTAR TABEL
No Tabel Halaman
4.1 Rincian Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner... 41
4.2 Profil Responden ... 42
4.3 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 44
4.4 Hasil Uji Validitas... 48
4.5 Hasil Uji Reliabilitas ... 49
4.6 Hasil Uji Normalitas ... 50
4.7 Hasil Uji Multikoleniaritas ... 50
4.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 51
4.9 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 52
4.10 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 53
4.11 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 54
[image:12.595.119.483.120.467.2]xii
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 67
2 Tabulasi Data Ordinal ... 73
3 Tabulasi Data Interval ... 77
4 Statistik Deskriptif ... 82
5 Uji Validitas ... 88
6 Uji Reliabilitas ... 93
7 Uji Asumsi Klasik ... 97
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejumlah masalah keuangan beberapa perusahaan terkemuka menyebabkan
reputasi akuntan menjadi sorotan banyak pihak. Cukup banyak nya jumlah kasus
pelanggaran akuntansi yang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri
mencerminkan bahwa terdapat pergeseran sikap para akuntan. Munculnya
pandangan tersebut bukan tanpa alasan, hal tersebut dikarenakan banyak nya
kasus-kasus keuangan perusahaan-perusahaan besar yang bahkan melibatkan
kantor akuntan publik. Pada kasus-kasus tertentu kantor akuntan publik selaku
auditor eksternal memberikan opini wajar tanpa pengecualian pada laporan
keuangan perusahaan-perusahaan besar yang pada akhirnya terungkap memiliki
skandal keuangan dan mengalami kebangkrutan. Hal-hal seperti itu yang
menimbulkan asumsi bahwa terdapat skandal antara manajemen perusahaan,
akuntan perusahaan, dan KAP selaku auditor eksternal.
Sebagai contoh, kasus Enron yang menjadi sorotan masyarakat luas pada
tahun 2001, ketika terungkap bahwa kondisi keuangan yang dilaporkan didukung
oleh adanya penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan
secara kreatif. Kasus ini juga melibatkan kantor akuntan internasional (termasuk
Big Five) yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen. Arthur Andersen
bertindak sebagai eksternal auditor dan konsultan manajemen Enron. Enron
melakukan manipulasi angka-angka dalam laporan keuangan (window dressing)
2
juta dan menyembunyikan hutangnya dengan teknik off balance sheet senilai $1,2
miliar. Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen terbukti membantu
rekayasa laporan keuangan Enron selama bertahun-tahun.
Hal tersebut membuat salah satu eksekutif Enron yaitu Sherron Watskin
tidak tahan melihat kecurangan yang terjadi, sehingga Watskin memutuskan untuk
melaporkan kecurangan tersebut. Sherron Watskin merupakan wakil presiden
Enron yang menjadi whistleblower dengan menulis surat kepada Direktur
Kenneth Lay. Tindakan Watskin tersebut membuat kasus tersebut terungkap.
Dalam suratnya dituliskan praktik akuntansi agresif yang dilakukan oleh Enron
akan meledak dan memang benar terjadi, sehingga akhirnya Enron kolaps,
Kreshastuti (2014).
Di Indonesia kasus penyimpangan terjadi juga pada kelompok usaha Grup
Bakrie di PT Bank Capital Indonesia Tbk. Menurut berita online yang dikutip dari
(Republika.co.id: 2010) terjadi lonjakan Dana Pihak Ketiga (DPK) Grup Bakrie di
Bank Capital secara signifikan. Tahun 2008, jumlah dana pihak ketiga bank
tersebut hanya sebesar Rp 1 triliun. Sementara hingga Maret 2010 jumlah dana
pihak ketiga melonjak menjadi Rp 2,69 triliun. Jumlah DPK ini sangat tidak
sebanding dengan modal perseroan yang hanya sebesar Rp 600 miliar. Setelah
dilakukan investigasi oleh Bapepam-LK dan semua pihak yang terkait, seperti
Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bank Indonesia (BI) dan memang terjadi
penyimpangan. Menurut berita online yang dikutip dari
(Bisniskeuangan.kompas.com:2010) Bursa Efek Indonesia (BEI) menghukum
juta itu sebagai ganjaran atas pelanggaran akuntansi pada pendapatan dana
simpanan Grup Bakrie di Bank Capital Indonesia. Empat emiten itu adalah PT
Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP), PT
Energi Mega Persada Tbk (ENRG), dan PT Benakat Petroleum Energy Tbk
(BIPI).
Kasus juga terjadi pada perusahaan konstruksi pelat merah (termasuk
BUMN) PT Waskita Karya terkait dengan kelebihan pencatatan (overstate) laba
bersih sebesar 500 milyar. Direksi PT Waskita Karya merekayasa keuangan sejak
tahun buku 2004-2007 dengan memasukkan proyeksi pendapatan proyek multi
tahun ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu. Bahkan, pada saat itu Waskita
Karya juga berhasil lolos dari DPR untuk penerbitan saham public. Rekayasa
tersebut terbuka saat perusahaan mengkaji rencana penawaran saham perdana
kepada publik. Direksi-direksi yang terlibat dalam rekayasa tersebut
dinonaktifkan. Sama halnya dengan kasus Enron, KAP yang mengaudit Waskita
Karya juga akan dicabut ijinnya dan auditor yang mengaudit dikenai sanksi
hukum, (kontan.co.id: 2009)
Kasus tersebut terungkap ke publik karena adanya whistleblower dari
analisis atau pelaku pasar modal yang melihat adanya kejanggalan. Whistleblower
adalah orang yang melakukan tindakan whistleblowing. Whistleblower harus
memberikan bukti, informasi ataupun indikasi secara jelas dan memadai atas
terjadinya kejanggalan. Hal ini dilakukan demi kelancaran investigasi selanjutnya
yang akan dilakukan setelah penerimaan informasi dari whistleblower. Tanpa
4
prinsipnya seorang whistleblower merupakan prosocial behavior yang
menekankan untuk membantu pihak lain dalam menyehatkan sebuah organisasi
atau perusahaan (Sagara, 2013). Whistleblower bisa saja dari internal maupun
eksternal perusahaan. Biasanya yang menjadi whistleblower adalah orang-orang
yang tau persis bahwa di dalam perusahaan tersebut telah dilakukan praktik
kecurangan dan whistleblower tidak setuju dengan perlakuan curang tersebut.
Maraknya kasus pelanggaran akuntansi di dalam dan di luar negeri
mencerminkan pergeseran profesionalisme dan pelanggaran etis akuntan. Akuntan
adalah sebuah profesi atau gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah
menempuh dan menyelesaikan pendidikan di fakultas ekonomi jurusan akuntansi
pada suatu universitas atau yang sederajat dan telah lulus Pendidikan Profesi
Akuntansi (PPAk).
Profesi akuntan sebagai profesi penyedia informasi sudah seharusnya
menyediakan informasi yang terpercaya. Kegagalan dalam menyediakan
informasi yang terpercaya dapat mengakibatkan kerugian bagi para pengguna
laporan keuangan bahkan masyarakat luas. Hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap profesi akuntan bisa saja meningkatkan campur tangan pemerintahan
pada waktunya, yang tentu akan berdampak pada runtuhnya profesi akuntan.
Fenomena tersebut menunjukan terdapat masalah etika yang melekat pada
lingkungan pekerjaan para akuntan.
Salah satu cara mengungkapkan pelanggaran akuntansi sehingga dapat
mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan melakukan
pelanggaran-pelanggaran akuntansi seperti yang dilakukan Enron, Grup Bakrie
dan PT Waskita Karya. Whistleblowing adalah sikap meningkatkan kekhawatiran
tentang malapraktik dalam suatu organisasi atau melalui suatu struktur yang
independen terkait dengan hal tersebut, UK Committee on Standards in Public
Life dalam Huy Dehn (2001). Sejatinya whistleblowing tidak harus diungkapkan
kepada publik tapi bisa juga dilaporkan kepada pihak manajemen yang lebih
tinggi ataupun kepada pengawas.
Whistleblowing diharapkan menjadi cara awal untuk memperbaiki
kecurangan yang terjadi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Kecurangan
dalam bidang akuntansi dapat diambil contoh kecil misalnya penggelapan kas,
melebihkan atau mengurangi jumlah pencatatan saldo, penyimpangan asset tetap,
dll. Dalam contoh besar misalnya Laporan Keuangan berganda. Hal tersebut tentu
saja dapat merugikan perusahaan. Bisa saja dalam waktu dekat tidak ada efek
apapun namun dalam waktu panjang bisa saja hal seperti itu menyebabkan
kebangkrutan perusahaan. Ini terkait juga dengan going concern perusahaan.
Dalam akuntansi going concern dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan,
dimana laporan keuangan harus merefleksikan nilai-nilai perusahaan untuk
menentukan operasionalnya dalam waktu kedepan. Profesi akuntan dalam
perusahaan seharusnya ikut bertanggung jawab mengenai prinsip going concern
perusahaan, karena akuntan memiliki tanggung jawab atas Laporan Keuangan
suatu perusahaan.
Kecurangan dalam perusahaan sebenarnya tidak hanya dari sisi laporan
6
Namun dapat juga berupa; membuang persediaan dalam jumlah besar demi
mempertahankan stabilitas harga jual. Kasus pembuangan persediaan dalam
jumlah besar dapat terjadi dalam perusahaan susu, minuman kemasan, makanan
kemasan, dll. Selain itu pembuangan limbah industri ke sungai tanpa izin dan
memanipulasi komposisi produk dalam proses produksi, misalnya menambahkan
zat berbahaya ke dalam komposisi juga merupakan kecurangan perusahaan.
Kecurangan-kecurangan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan
harga jual, meminimalkan biaya produksi dan diharapkan dapat meningkatkan
atau menstabilkan laba dari periode sebelumnya. Hal ini tentu termasuk ke dalam
tindakan yang tidak etis karena demi membuat laporan keuangan agar terlihat
baik, perusahaan melakukan hal-hal seperti diatas yang tentu saja hal tersebut
merugikan masyarakat selaku konsumen.
Kasus-kasus kecurangan seperti hal-hal yang telah disebutkan diatas tidak
seharusnya terjadi dalam perusahaan. Kasus tersebut bertentangan dengan prinsip
Good Corporate Governance (GCG). Prinsip GCG mengharuskan perusahaan
memiliki kinerja yang baik tanpa adanya korupsi, suap, ataupun kecurangan
lainnya dalam bentuk apapun. Oleh karena adanya prinsip tersebut perusahaan
diharuskan untuk tidak melakukan kecurangan agar perusahaan memenuhi prinsip
GCG dan perusahaan dapat beroperasi dalam jangka waktu kedepan. Dan apabila
terdapat kecurangan dalam perusahaan, sangat diharapkan orang-orang yang
mengetahui adanya kecurangan untuk melaporkan (melakukan whistleblowing)
diperbaiki sebelum muncul nya dampak yang akan merugikan perusahaan itu
sendiri.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 10 November 2008
menerbitkan Pedoman Sistem pelaporan dan Pelanggran (SPP) atau
Whistleblowing System (WBS). Peraturan tersebut mewajibkan para karyawan
untuk melaporkan kecurangan manajemen kepada pihak pembuat kebijakan yang
sesuai. Miceli dan Near (2002) menyatakan bahwa mekanisme yang ada dapat
mendukung pelaporan dalam pencegahan dan deteksi perilaku yang tidak etis.
Menurut Miceli dan Near, 1988 dalam Kreshastuti (2014) tipikal yang
berkecenderungan melakukan whistleblowing adalah yang menduduki jabatan
profesional, mempunyai reaksi positif tehadap pekerjaanya, lebih lama melayani,
mempunyai kinerja baik, mempunyai kelompok kerja yang lebih besar dan
mendapatkan tanggung jawab dari yang lain untuk menyatakan whistleblowing.
Mastracchio (2005) mengatakan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali
dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia
profesi akuntan. Elias (2007) mengatakan bahwa masih sangat dibutuhkan
penelitian mengenai sosialisasi pada mahasiswa akuntansi.
The Accounting Education Change Commission (AECC) dalam Elias (2007)
menjelaskan pentingnya studi tentang komitmen profesional pada mahasiswa
akuntansi untuk mempersiapkan mahasiswa tersebut menjadi seorang akuntan
yang profesional. Diharapkan dengan komitmen profesional dan sosialisasi
8
sehingga akuntan akan melaporkan setiap pelanggaran atau kecurangan yang
terjadi.
Sejumlah penelitian mengenai whistleblowing telah dilakukan baik diluar
maupun di dalam negeri. Diluar negeri penelitian tentang whistleblowing
dilakukan oleh Curtis dan Taylor (2009) mengenai whistleblowing pada akuntan
publik menggunakan faktor-faktor pengungkapan identitas, konteks situasional,
dan karakteristik pribadi sebagai faktor-faktor yang memengaruhi para akuntan
publik melakukan whistleblowing.
Shawver (2011) juga melakukan penelitian mengenai intensi melakukan
whistleblowing pada orang-orang yang berprofesi sebagai akuntan, manajemen,
analis, konsultan dan internal auditor melalui faktor-faktor penentu pengambilan
keputusan moral. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah identifikasi masalah
etika, alasan untuk membuat pertimbangan moral dan motivasi seseorang untuk
memilih melakukan tindakan whistleblowing.
Penelitian mengenai niat untuk melakukan whistleblowing terhadap
lingkungan kerja akuntan publik juga telah dilakukan di Amerika oleh Taylor dan
Curtis (2010) menjelaskan hubungan identitas profesional, Komitmen Organisasi,
dan intensitas moral terhadap intensi melakukan whistleblowing berdasarkan
konsep layers of workplace influence theory. Penelitian ini mengaplikasikan
theory of planned behavior (TPB) karena pelaporan atau whistleblowing
berkorelasi dengan niat dan tindakan.
Di Indonesia Sagara (2013) melakukan penelitian mengenai whistleblowing
tindakan tersebut pada internal auditor dengan hasil penelitian 4 dimensi
berpengaruh negative dan 1 dimensi berpengaruh positif. Sari dan Laksito (2014)
juga melakukan penelitian menggunakan profesionalisme dari 5 dimensi sebagai
fakor yang memengaruhi tindakan melakukan whistleblowing pada internal
auditor dengan hasil penelitian seluruh dimensi berpengaruh positif dan
signifikan. Avrila (2015) meneliti mengenai pengaruh profesionalisme terhadap
intensi akuntan publik melakukan whistleblowing dengan hasil profesionalisme
berpengaruh terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing.
Beberapa penelitian juga dilakukan dengan menggunakan variabel
komitmen organisasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi tindakan
akuntan melakukan whistleblowing. Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa
komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi
melakukan whistleblowing. Selain itu Septiyanti (2013) menggunakan komitmen
organisasi sebagai faktor yang memengaruhi niat melakukan whistleblowing
internal dengan hasil penelitian komitmen organisasi tidak berpengaruh signifikan
terhadap niat melakukan whistleblowing internal. Sofia, dkk (2013) juga
melakukan penelitian demikian namun pegawai pajak yang menjadi objek
penelitian dengan hasil penelitian komitmen organisasi berpengaruh terhadap niat
whistleblowing.
Penelitian lainnya yang juga dilakukan dengan menggunakan intensitas
moral sebagai perilaku yaitu Sulistomo (2012) penelitian mengenai persepsi
mahasiswa akuntansi di Semarang dan Yogyakarta yang menunjukkan
10
berdasarkan konsep theory of planned behavior. Faktor-faktor tersebut adalah
persepsi norma subyektif, sikap terhadap perilaku dan kontrol perilaku. Penelitian
lain yang juga dilakukan oleh Dewi dan Gudono (2007) yang menyatakan bahwa
adanya pengaruh tidak langsung Intensitas Moral terhadap intensi keperilakuan
dalam pengambilan keputusan.
Selain penelitian-penelitian yang telah disebutkan diatas mengenai
faktor-faktor yang memengaruhi internal maupun eksternal auditor untuk melakukan
tindakan whistleblowing, berikut juga terdapat penelitian yang dilakukan dengan
objek penelitian adalah mahasiswa. Beberapa penelitian mengenai intensi
melakukan whistleblowing dilakukan di kalangan mahasiswa akuntansi juga telah
dilakukan. Beberapa diantaranya dilakukan oleh Ghani (2010) yang melakukan
penelitian mengenai whistleblowing antara mahasiswa akuntansi S1, S2 dan PPA
Universitas Diponegoro sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto, dkk
(2011) menggunakan mahasiswa akuntansi di kota Makasar sebagai responden.
Merdikawati (2012) juga melakukan penelitian mengenai niat whistleblowing
antara mahasiswa akuntansi S1 di tiga universitas negeri di Jawa Tengah dan
Yogyakarta.
Di Indonesia penelitian mengenai whistleblowing memang sudah pernah
dilakukan, namun masih terdapat ketidak konsistenan hasil penelitian. Oleh
karena itu saya berminat untuk meneliti kembali topik whistleblowing ini. Selain
karena terdapat ketidak konsistenan hasil, Fenomena mengenai kecurangan dalam
perusahaan memang masih terjadi di dalam perusahaan berdasarkan kasus yang
diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai profesionalisme, komitmen
organisasi, dan intensitas moral sebagai faktor-faktor yang memengaruhi tindakan
akuntan untuk melakukan whistleblowing.
Penelitian ini menggunakan responden alumni mahasiswa PPAk karena
alumni PPAk cocok digunakan sebagai responden karena telah lulus dari S1
Jurusan akuntansi dan juga telah lulus Pendidikan Profesi Akuntan, jadi
responden sudah memiliki profesi akuntan. Penelitian ini akan mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) dan Curtis dan Taylor
(2009).
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah jabarkan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1) Apakah profesionalisme berpengaruh terhadap tindakan akuntan untuk
melakukan whistleblowing?
2) Apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap tindakan akuntan untuk
melakukan whistleblowing?
3) Apakah intensitas moral berpengaruh terhadap tindakan akuntan untuk
melakukan whistleblowing?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan diatas, maka tujuan
12
1) Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh profesionalisme
terhadap keinginan akuntan untuk melakukan tindakan whistleblowing.
2) Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh komitmen organisasi
terhadap keinginan akuntan untuk melakukan tindakan whistleblowing.
3) Untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh intensitas moral
terhadap keinginan akuntan untuk melakukan tindakan whistleblowing.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan untuk beberapa hal seperti
yang akan dijabarkan di bawah ini :
1) Kegunaan Teoritis
Untuk pengembangan teori dan pengetahuan di bidang akuntansi terutama
bidang akuntansi prilaku yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan whistleblowing serta
untuk memperoleh bukti empiris mengenai profesionalisme, komitmen
organisasi, dan intensitas moral sebagai faktor-faktor yang memengaruhi
tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing.
2) Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dan
pemikiran serta bahan pertimbangan mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi tindakan akuntan untuk melakukan whistleblowing. Supaya di
masa yang akan datang kecurangan yang terjadi pada perusahaan dapat
berkurang. Serta para akuntan memiliki profesionalisme, komitmen
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini diuraikan ke dalam lima bab yaitu bab I, pendahuluan;
bab II, kajian pustaka dan hipotesis; bab III, metode penelitian; bab IV, data dan
pembahasan; bab V, simpulan dan saran.
Bab I yang merupakan pendahuluan menjabarkan latar belakang, rumusan
masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II adalah kajian pustaka dan hipotesis yang menjelaskan teori-teori
yang melandasi penelitian ini, dan kerangka pemikiran. Dan juga dipaparkan
mengenai hipotesis penelitian serta penjelasan hubungan antara variabel terikat
dan variabel tidak terikat yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab III merupakan metode penelitian menjabarkan mengenai desain
penelitian, lokasi dan ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian,
indentifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data,
populasi dan sampel beserta metode penentuan sampel, metode pengumpulan data
dan teknik analisis data.
Bab IV data dan pembahasan hasil penelitian menguraikan mengenai
gambaran umum daerah atau wilayah penelitian, deskripsi data hasil penelitian,
dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V merupakan simpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan
keterbatasan penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya berdasarkan hasil
14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Perilaku Terencana (Theory Of Planned Behavior)
Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan
perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Icek
Ajzen (1985). Menurut Ajzen niat untuk melakukan berbagai jenis perilaku dapat
diprediksi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dari sikap seseorang terhadap
perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. TPB digunakan
untuk memprediksi apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku, memprediksi dan memahami dampak niat berperilaku, serta
mengidentifikasi strategi untuk merubah perilaku. Dalam TPB diasumsikan
bahwa manusia yang bersifat rasional akan menggunakan informasi yang ada
secara sistematik kemudian memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan
untuk mewujudkan perilaku tersebut.
Ajzen memperkenalkan theory of planned behavior dengan menambahkan
komponen baru yaitu kontrol perilaku (perceived behavioral control). Dengan ini,
ia memperluas theory of reasoned action untuk menutupi perilaku non-kehendak.
Dalam TPB, perilaku yang ditampilkan individu timbul karena adanya intensi
untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah
kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif.
evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan
normatif dan motivasi untuk patuh.
Theory of planned behavior dijelaskan bahwa niat individu untuk
melakukan suatu tindakan atau berperilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu:
1) Sikap Terhadap Perilaku (Attitude Toward The Behavior)
Individu akan bertindak atau berprilaku sesuai dengan sikap yang melekat
dalam dirinya terhadap suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku yang
dianggap positif, nantinya akan dijadikan pilihan individu untuk
membimbingnya dalam berperilaku di kehidupannya.
2) Norma Subyektif (Subjective Norm)
Persepsi individu tentang perilaku tertentu, yang dipengaruhi oleh penilaian
orang lain yang signifikan.
3) Persepsi kontrol perilaku (Perceived Behavioral Control)
Kontrol perilaku mengacu pada persepsi-persepsi individu akan
kemampuannya untuk mewujudkan suatu perilaku tertentu.
Penelitian ini menggunakan variabel profesionalisme yang
merepresentasikan sikap terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki
profesionalisme (dalam dimensi dedikasi terhadap profesi) yang baik akan
membentuk keyakinan pada diri sendiri bahwa profesi yang sedang dikerjakan
memberikan hal yang baik bagi individu. Seseorang yang memiliki
profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi kode etik dan
16
terjadi di masa depan yang dapat membahayakan profesinya. Dengan demikian
profesional dapat termotivasi untuk melindungi profesinya dengan melaporkan
pelanggaran etika. Shawver dan Clements (2008) menemukan bahwa akuntan
profesional mampu mengenali prilaku tidak etis dan akuntan profesional lebih
berkemungkinan untuk meniup peluit pada situasi tertentu. Meniup peluit dalam
arti mengambil tindakan yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan.
Variabel komitmen organisasi merepresentasikan komponen norma
subyektif. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan
sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh
pada penilaian orang lain. Dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah
perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) dan juga rekan kerja. Seseorang yang memang
berkomitmen tinggi terhadap organisasi kemungkinan akan mengidentifikasi
terlebih dahulu dalam menanggulangi situasi yang dapat membahayakan
organisasi demi menjaga reputasi dan kelangsungan organisasi. Identifikasi itu
bisa saja mendapatkan pengaruh-pengaruh dari penilaian orang lain juga misalnya
saja rekan kerja. Jadi hasil identifikasi tersebut bisa saja menjadi subjektif (lebih
berpihak kepada organisasi atau rekan kerja) atau mungkin bisa objektif (lebih
melihat kasus yang sedang terjadi).
Variabel intensitas moral merepresentasikan persepsi kontrol perilaku.
Seorang individu tidak dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali
individu tersebut atau dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu
seorang individu terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan
faktor eksternal berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut.
Menurut Jones (1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari
proses pengambilan keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan,
individu memikirkan terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu
perilaku yang akan dilakukan.
2.1.2 Whistleblowing
Whistleblowing adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang untuk mengungkapkan kecurangan, entah yang dilakukan oleh
perusahaan atau individu kepada pihak lain. Pihak yang dilaporkan itu bisa saja
atasan ataupun masyarakat luas, Keraf (1998). Menurut Taylor dan Curtis (2010)
whistleblowing berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh anggota organisasi
atau mantan anggota organisasi yang melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau
tidak sah yang berada di bawah kendali manajemen, kepada orang-orang yang
bersedia dan mampu untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ray (2006)
mengatakan bahwa whistleblowing adalah pengungkapan informasi diluar
organisasi atau dalam arti membawa informasi dari dalam organisasi keluar
organisasi.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) whistleblowing
adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang
melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang
18
karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi lain atau lembaga
lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini
umumnya dilakukan secara rahasia (confidential). Pengungkapan harus dilakukan
dengan iktikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu
kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari kehendak buruk atau fitnah.
Dapat ditarik kesimpulan dari beberapa penafsiran whistleblowing menurut
beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diatas, bahwa whistleblowing adalah
tindakan melaporkan kegiatan ilegal, tidak etis, atau tidak sah yang dilakukan oleh
individual atau kelompok yang merupakan anggota organisasi maupun bukan
anggota organisasi. Tindakan pelaporan itu bisa dilakukan kepada atasan dalam
suatu organisasi atau bahkan keluar organisasi tersebut. Pelaporan tersebut
bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian dalam suatu organisasi maupun
kerugian diluar organisasi (masyarakat). Pelaporan harus didasarkan bukti nyata
dan itikad baik.
Pelanggaran tersebut harus dilaporkan karena bertentangan dengan konsep
Good Corporate Governance (GCG). Terkait dengan usaha penerapan good
corporate governance dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap,
dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association
of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey
(GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah
dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance
Oleh karena adanya prinsip tersebut perusahaan diharapkan untuk tidak
melakukan kecurangan agar perusahaan memenuhi prinsip GCG. Dan apabila
terdapat kecurangan dalam perusahaan, sangat diharapkan orang-orang yang
mengetahui adanya kecurangan untuk melaporkan (melakukan whistleblowing)
agar kecurangan dapat ditindak lanjutin dan sistem perusahaan tersebut dapat
diperbaiki sebelum muncul nya dampak yang akan merugikan perusahaan itu
sendiri.
2.1.3 Profesionalisme
Menurut Garman (2006) profesionalisme adalah kemampuan untuk
menyelaraskan perilaku pribadi dan organisasi dengan standar etika dan
profesional yang mencakup tanggung jawab kepada klien maupun masyarakat.
Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika dilihat
dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu
keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang
keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu
prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga, profesionalisme berarti
moral.
Salah satu cara dimana individu menunjukkan identitas profesional nya
adalah melalui kepatuhan terhadap standar pekerjaan profesi, lebih lanjut dapat
memanifestasikan dirinya melalui keinginan untuk melindungi profesi dari
kerusakan reputasi yang berkelanjutan ketika salah satu anggotanya gagal untuk
20
Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan
sesuai dengan latar belakang dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan
menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota
suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara
atau wilayah. Dalam hal ini adalah para akuntan, karena para akuntan bekerja
sesuai dengan latar belakang akuntan yaitu pendidikan akuntansi dan dinaungi
oleh suatu organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Xiling (2010) mengatakan bahwa penilaian seorang akuntan harus
sepenuhnya mempertimbangkan berbagai aspek, dan sesuai dengan penerapan
prinsip tertentu, yang tidak hanya moralitas profesional akuntan, tapi perwujudan
kemampuan akuntansi profesionalnya. Keputusan harus dilaksanakan sesuai
dengan prinsip-prinsip yang berlaku.
Menurut Hall (1968) dalam Sari (2014) pada buku karangan Kabers dan
Forgathy, terdapat 5 dimensi profesionalisme. Sagara (2013) dan Sari dan Laksito
(2014) melakukan penelitian menggunakan 5 dimensi tersebut pada internal
auditor dengan menggunakan profesionalisme sebagai variabel yang
memengaruhi tindakan auditor untuk melakukan whistleblowing. Dalam
penelitian sebelumnya melihat profesionalisme dari 5 dimensi profesionalisme
diantaranya; Profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas), Profesionalisme
(dimensi kewajiban sosial), Profesionalisme (dimensi dedikasi terhadap
pekerjaan), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau
komunitas), Profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau
Pada penelitian ini peneliti hanya melihat profesionalisme dari dimensi
dedikasi terhadap pekerjaan. Dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang
digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional
berdedikasi terhadap pekerjaan atau profesinya diukur dari dedikasi profesional
dalam menggunakan kecakapan dan pengetahuan yang dimiliki dengan selalu
berpegang teguh pada standar pekerjaan, keberlangsungan masa depan profesinya,
serta kebanggaan dengan profesinya.
2.1.4 Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan
keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan
organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas
nama organisasi, Porter et al. (1974). Munir dan Sajid (2010) mengatakan
komitmen organisasi merupakan variabel penting yang dapat digunakan untuk
menentukan kinerja organisasi. Komitmen organisasi diyakini menjadi pemicu
perilaku seseorang yang merupakan hasil dari psikologis, dalam Hung dan Hsu
(2011)
Penelitian yang dilakukan oleh Shawver dan Clements (2008) dikatakan
bahwa komitmen organisasi berhubungan dengan peningkatan kepuasan dan
kinerja. Hal tersebut karena rekan kerja dalam organisasi menunjukkan
kepedulian etika dan perilaku etis. Komitmen organisasi menyiratkan hubungan
pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif, karena karyawan yang
22
memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyangga
kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Hewstone dan Willis (2002) dalam Taylor dan Curtis (2010)
mengemukakan kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi patut untuk
dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap perusahaan atau
pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus, misalnya seorang rekan
kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi kepentingan pribadi dan melanggar
peraturan.
Hal tersebut akan menciptakan tekanan bagi individu untuk berpikir dan
berperilaku dengan cara yang berbeda. Jika pelanggaran standar tidak dilaporkan,
kemungkinan besar organisasi akan menerima dampak negatif dari pelanggaran
tersebut. Di sisi lain, jika pelanggaran dilaporkan maka rekan kerja akan
menerima dampak negatif dari organisasi secara langsung. Situasi tersebut dapat
mendorong seseorang untuk untuk bertindak atas nama rekan kerja, tanpa
memikirkan kesejahteraan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu rekan
kerja sangat memengaruhi komitmen organisasi seseorang.
Selain itu Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa seseorang harus
berkomitmen untuk sesuatu, jika seseorang menjadi kurang berkomitmen untuk
organisasi, maka mungkin saja karyawan akan menyalurkan komitmennya dalam
arah lain, seperti rekan kerja. Oleh karena itu rekan kerja juga sangat berpengaruh
dengan kualitas komitmen seseorang dengan organisasi.
Aranya (1981) menyatakan bahwa akuntan sering dihadapkan dengan
profesional melibatkan kepercayaan, tujuan dan nilai-nilai profesi. Perlu ada
kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama profesi dan keinginan
untuk mempertahankan keanggotaan dalam profesi.
2.1.5 Intensitas Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Intensitas adalah keadaan
tingkatan atau ukuran intens. Sedangkan Moral adalah baik atau buruk yg diterima
secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Dapat disimpulkan
intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah
perbuatan, sikap, kewajiban dll.
Intensitas Moral adalah sebuah konstruk yang mencakup
karakteristik-karakteristik yang merupakan perluasan dari isu-isu yang terkait dengan isu moral
utama dalam sebuah situasi yang akan memengaruhi persepsi individu mengenai
masalah etika dan intensi keperilakuan yang dimilikinya, Novius dan Arifin
(2008). Jones (1991) mengungkapkan bahwa isu-isu intensitas moral secara
signifikan memengaruhi proses pembuatan keputusan moral.
Jones mengidentifikasi bahwa ada enam elemen intensitas moral yang
memengaruhi proses pengambilan keputusan meliputi:
1) Besaran konsekuensi (Magnitude of Consequences) didefinisikan sebagai
jumlah kerugian (atau manfaat) yang dihasilkan oleh pengorbanan (atau
pemanfaatan) dari sebuah tindakan moral.
2) Konsensus Sosial (Social Consensus) didefinisikan sebagai tingkat
24
3) Probabilitas Efek (Probability of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama
dari kemungkinan bahwa tindakan tertentu akan secara aktual mengambil
tempat dan tindakan tersebut akan secara aktual menyebabkan kerugian
(manfaat) yang terprediksi.
4) Kesegeraan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara
saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu
(waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar).
5) Konsentrasi Efek (Concentration of Effect) adalah sebuah fungsi infers dari
jumlah orang yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan
yang dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang
tertinggi akan bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi
efek tinggi.
6) Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologi
atau fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku
dari kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk
kedekatan ini secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih
peduli pada orang-orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya,
psikologi ataupun fisik) daripada kepada orang-orang yang jauh darinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Gudono (2007) menyatakan
bahwa adanya pengaruh tidak langsung Intensitas Moral terhadap Intensi
Keperilakuan melalui masalah etika persepsian lebih tinggi dibandingkan
pengaruh langsungnya. Penelitian yang dilakukan oleh Mapuasari (2014)
perasaan ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat.
Auditor tersebut akan berhati-hati dalam memutuskan karena tidak ingin
melanggar kode etik.
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Profesionalisme terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing
Menurut Tjiptohadi (1996) dalam Khikmah (2005) profesionalisme jika
dilihat dari bahasanya memiliki beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti
suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan
bidang keahliannya. Kedua, profesionalisme merujuk pada suatu standar
pekerjaan yaitu prinsip-prinsip moral dan etika profesi. Dan yang ketiga,
profesionalisme berarti moral.
Dalam theory of planned behavior profesionalisme merepresentasikan sikap
terhadap perilaku. Seseorang yang memiliki profesionalisme (dalam dimensi
dedikasi terhadap profesi) yang baik akan membentuk keyakinan pada diri sendiri
bahwa profesi yang sedang dikerjakan memberikan hal yang baik bagi individu.
Seseorang yang memiliki profesionalisme yang kuat cenderung selalu mematuhi
kode etik dan norma-norma yang berlaku dengan tujuan untuk menghindari
pelanggaran yang mungkin terjadi di masa depan yang dapat membahayakan
profesinya. Dengan demikian profesional dapat termotivasi untuk melindungi
profesinya dengan melaporkan pelanggaran etika.
Uraian tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
26
akuntan publik melakukan whistleblowing dengan hasil profesionalisme
berpengaruh terhadap intensi akuntan publik melakukan whistleblowing. Hasil
penelitian Taylor dan Curtis (2010) dengan semakin meningkatnya identitas
profesional, niat melaporkan pelanggaran atau ketidak etisan pun akan meningkat.
Hasil penelitian Sari dan Laksito (2014) pada aspek dedikasi terhadap pekerjaan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensitas melakukan whistleblowing.
Akuntan dengan dedikasi terhadap pekerjaan yang baik cenderung memiliki
intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi. Berdasarkan uraian tersebut,
maka dapat disimpulkan hipotesis pertama sebagai berikut.
H1 : Profesionalisme memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan
melakukan whistleblowing
2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing
Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi karyawan dengan
keterlibatan dalam organisasi tertentu, keyakinan yang kuat dalam tujuan
organisasi dan nilai-nilai, dan kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas
nama organisasi, Porter et al. (1974).
Namun pada situasi tertentu dikemukanan oleh Hewstone dan Willis (2002)
dalam Taylor dan Curtis (2010) kesetiaan seorang karyawan terhadap organisasi
patut untuk dipertanyakan, apakah karyawan lebih berkomitmen terhadap
perusahaan atau pada rekan kerjanya di perusahaan. Dalam situasi khusus,
misalnya seorang rekan kerja melakukan tindakan yang tidak etis demi
kepentingan pribadi dan melanggar peraturan. Disaat seperti itulah komitmen
kerjanya karena merasa perusahaan dirugikan dengan tindakan tersebut, atau
malah memilih diam.
Dalam theory of planned behavior Variabel komitmen organisasi
merepresentasikan komponen norma subyektif. Norma Subyektif adalah persepsi
individu tentang perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang
signifikan. Dalam hal ini individu akan memikirkan suatu perilaku tertentu dengan
sangat benar karena tindakan dan perilaku yang akan dilakukan akan berpengaruh
pada penilaian orang lain. Yang dalam konteks akuntan, orang lain tersebut adalah
perusahaan, masyarakat, dan organisasi naungan akuntan itu sendiri yaitu Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) dan termasuk rekan kerja. Seseorang yang memang
berkomitmen tinggi terhadap organisasi akan lebih memikirkan penilaian dari
organisasi (atasan), apabila lebih berkomitmen terhadap rekan kerja maka akan
lebih memikirkan penilaian dari rekan kerja. Oleh karena itu apabila seseorang
berkomitmen tinggi terhadap organisasi, maka dia bisa saja menjadi whistleblower
dengan tujuan yang baik terhadap organisasinya.
Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taylor
dan Curtis (2010) bahwa komitmen organisasi terhadap organisasi, dapat
meningkatkan dedikasi seseorang untuk melakukan pelaporan sampai masalah
teratasi. Hasil penelitian Kreshastuti (2014) menyatakan bahwa komitmen
organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan
whistleblowing. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis
kedua sebagai berikut.
H2 : Komitmen organisasi memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan
28
2.2.3 Pengaruh Intensitas Moral terhadap Tindakan Akuntan Melakukan Whistleblowing
Intensitas moral adalah ukuran atau tingkatan baik atau buruk dari sebuah
perbuatan, sikap, kewajiban dll. Dalam theory of planned behavior dijelaskan
bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu tindakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu salah satunya adalah persepsi kontrol perilaku. Seorang individu tidak
dapat mengontrol perilaku sepenuhnya dibawah kendali individu tersebut atau
dalam suatu kondisi dapat sebaliknya seorang individu dapat mengontrol
perilakunya dibawah kendali individu tersebut. Pengendalian seorang individu
terhadap perilakunya dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal berasal dari dalam diri individu tersebut, sedangkan faktor eksternal
berasal dari lingkungan yang ada di sekeliling individu tersebut. Menurut Jones
(1991) intensitas moral merupakan salah satu komponen dari proses pengambilan
keputusan yang etis. Karena sebelum diambilnya keputusan, individu memikirkan
terlebih dahulu seberapa baik dan seberapa buruk dari suatu perilaku yang akan
dilakukan.
Selain hal tersebut Jones (1991) juga mengemukakan beberapan elemen
yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, meliputi; Besaran
Konsekuensi, Konsensus Sosial, Probabilitas Efek, Kesegeraan Temporan,
Konsentrasi Efek, Kedekatan. Elemen-elemen tersebut juga digunakan sebagai
pertimbangan sebelum seseorang bertindak. Apabila seorang akuntan memiliki
moral yang baik, maka akuntan akan melakukan pertimbangan yang matang
sebelum menilai baik atau buruk suatu kasus. Apabila whistleblowing memang
perusahaan dan juga karena tanggung jawab profesi atas organisasi atau
perusahaan tempat ia bekerja maka akuntan akan memutuskan untuk melakukan
whistleblowing.
Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Taylor dan
Curtis (2010) menunjukan bahwa komitmen seseorang terhadap penilaian moral
pribadinya, merupakan penentu yang signifikan dari kedua keputusan awal yaitu
identitas profesional dan komitmen organisasi untuk melaporkan perilaku tidak
etis dari orang lain di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Kreshastuti
(2014) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari intensitas moral terhadap
intensi untuk melakukan whistleblowing. Auditor yang memiliki intensitas moral
yang tinggi cenderung memiliki intensitas melakukan whistleblowing yang tinggi
pula.Mapuasari (2014) juga melakukan penelitian tentang moral dan memperoleh
hasil bahwa seseorang dengan penalaran moral tinggi akan mengurangi perasaan
ketidaknyamanan dengan mengambil keputusan audit yang paling tepat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis ketiga sebagai
berikut.
H3 : Intensitas moral memiliki pengaruh positif terhadap tindakan Akuntan