• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5.1 Teori Perwakilan Politik

Konsep perwakilan merujuk kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara, bertindak dan

memperjuangkan hak politik atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Banyak ahli yang mendefinikan perwakilan (representation) dengan variasi argumentasi dan analisis yang berbeda-beda, di antaranya adalah :

a. Alfred de Grazia mendefinisikan representasi sebagai hubungan antara dua orang, wakil dengan pihak yang mewakilinya (konstituen), dimana wakil memegang otoritas untuk melaksanakan beberapa aksi yang mendapat persetujuan dari konstituennya.

b. Hanna Penichel Pitkin (1957) mendefinisikannya sebagai proses mewakili, di mana wakil bertindak dalam rangka bereaksi kepada kepentingan pihak yang diwakili. Wakil bertindak sedemikian rupa sehingga diantara wakil dan pihak yang diwakili tidak terjadi konflik dan jika pun terjadi, maka harus mampu meredakan dengan penjelasan.

c. Miriam Budiardjo menganggap perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.

Negara-negara di dunia khususnya negara modern cenderung memiliki kadar persoalan yang sangat rumit terkait perubahan demografi, wilayah, maupun kebutuhan-kebutuhan dari negara tersebut. Ditinjau dari kompleksitas permasalahannya persoalan ini terjadi karena tidak setiap anggota masyarakat mampu memberikan jawaban terhadap persoalan tersebut. Maka diperlukan sekelompok orang yang memiliki keahlian dan benar-benar dapat menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Seiring dengan perjalanan transisi demokrasi yang dianggap banyak negara sebagai model pemerintahan dan ideologi yang lebih baik, maka muncul juga konsep perwakilan sebagai jawaban atas persoalan yang terjadi. Konsep ini merupakan solusi terhadap kondisi pertumbuhan dan perkembangan penduduk baik secara kualitas maupun kuantitas, serta kenyataan atas kebutuhan negara modern yang memiliki wilayah yang sangat besar, sehingga sangat mustahil untuk tetap menerapkan mekanisme dan sistem demokrasi langsung. Implikasinya adalah dibutuhkan lembaga-lembaga yang menjadi media penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Lembaga-lembaga inilah yang akan mewakili kepentingan-kepentingan politik masyarakat di tingkat pemerintahan (suprastruktur politik). Lembaga perwakilan ini sering dikenal dengan lembaga legislatif.

Fungsi lembaga legislatif terdiri atas fungsi perwakilan politik, fungsi perundang-undangan, dan fungsi pengawasan.10

1. Melalui fungsi perwakilan politik, lembaga legislatif/lembaga perwakilan membuat kebijakan atas nama anggota masyarakat yang secara keseluruhan terwakili di dalam lembaga tersebut. Dalam hal ini, lembaga legislatif/lembaga perwakilan rakyat bertindak sebagai pelindung kepentingan dan penyalur aspirasi masyarakat yang diwakilinya.

Berikut akan dijelaskan fungsi- fungsi tersebut:

10

2. Melalui fungsi perundang-undangan, lembaga legislatif/lembaga perwakilan rakyat memuaskan kepentingan dan aspirasi anggota masyarakat ke dalam kebijaksanaan formal dalam bentuk undang-undang. Dalam fungsi ini tergolong pula kewenangan untuk menghasilkan anggaran pendapatan dan belanja negara, mengusulkan suatu rencana undang-undang dan mengubah suatu undang-undang (amandemen).

3. Melaui fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan rakyat, sebab melalui penggunaan kekuasaan yang dilandasi oleh fungsi ini, lembaga legislatif/lembaga perwakilan rakyat dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan berbagai haknya. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki.

Adanya lembaga perwakilan rakyat adalah sebagai ciri dari pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat sebagaimana yang diajarkan dalam teori demokrasi. Proses pemerintahan yang berjalan secara demokratis dan diproses oleh wakil-wakil rakyat dalam suatu lembaga perwakilan rakyat merupakan esensi dari konsepsi demokrasi perwakilan lembaga legislatif.

Pola hubungan wakil dan terwakili akan menentukan fokus perwakilan. Siapa yang menjadi pusat perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya akan sangat menentukan wakil apakah berhadapan dengan individu, masyarakat umum, kelompok atau partai politik. Dengan demikian, corak perwakilan akan

menentukan pola perwakilan, apakah wakil mandiri (wali) atau gradasi diantara keduanya (politico). Corak perwakilan inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan transisi demokrasi. Hubungan wakil yang erat dengan konstituennya akan menempatkan konstituen di posisi penting, sehingga aspirasi konstituen menjadi hal yang harus diperjuangkan wakil. Demikian pula ketersediaan mekanisme bagi konstituen untuk berkomunikasi dengan wakilnya akan meminimalkan terjadinya oligarki perwakilan atau distorsi aspirasi sebagaimana lazimnya terjadi dalam demokrasi perwakilan.

Keterlibatan rakyat dalam pembuatan keputusan yang mengikat, terefleksi dengan adanya lembaga perwakilan rakyat. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif merupakan salah satu instrumen penting dalam suatu negara yang menganut paham dan ajaran demokrasi. Partisipasi rakyat yang efektif dalam proses pembuatan keputusan adalah ketika sepanjang proses pembuatan keputusan yang mengikat, warga negara harus memiliki kesempatan yang cukup dan kesempatan yang sama untuk mengemukakan pilihan mereka mengenai hasil akhir. Proses pembuatan keputusan tersebut, harus mempunyai kesempatan-kesempatan yang cukup dan sama untuk menempatkan masalah- masalah dalam agenda dan menyertakan alasan mengapa diambil keputusan yang itu dan bukan yang lain.11

11

Robert A. Dahl. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 164.

Di samping itu, rakyatpun berkesempatan untuk mengawasi jalannya kekuasaan pemerintahan melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan dan lembaga legislatif. Peranan perwakilan Badan Legislatif pada hakikatnya berkenaan dengan masalah antar hubungan badan tersebut, terdapat anggota badan legislatif, dengan anggota masyarakat yang diwakili mereka secara individu, berdasarkan kelompok maupun secara keseluruhan.12

Berdasarkan kajian teori perwakilan terhadap analisa dan pandangan- pandangan para pemikir ilmu politik, setidaknya ada lima konsep dasar perwakilan yang umum yang terjadi. Kelima konsep dasar perwakilan tersebut yaitu :

Pandangan yang melihat hubungan tersebut merupakan salah satu masalah pokok di dalam kehidupan sistem politik pada umumnya, dan di dalam proses Badan Legislatif pada khususnya.

1. Delegated Representation, yaitu seorang wakil diartikan sebagai juru bicara atas nama kelompok yang diwakilinya. Dengan demikian, seorang wakil tidak boleh bertindak di luar kuasa yang memberi mandat.

2. Microcosmic Representation, konsep ini menunjukkan bahwa adanya kesamaan sifat-sifat antara mereka yang diwakili dengan diri sang wakil. Karenanya kebutuhan ataupun tuntutan wakil adalah juga kebutuhan mereka-mereka yang diwakili. Dalam konsep ini masalah kuasa dan hal-hal

12

yang harus dilakukan tidak pernah menjadi persoalan krusial antara wakil dan yang diwakili oleh karena kesamaan sifat yang dimiliki.

3. Simbolyc Representation. Dalam simbolyc representation tidak dipersoalkan juga mengenai masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa wakil melambangkan identitas atau kualitas golongan/kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya, dan merupakan bentuk perwakilan yang hendak memperlihatkan bahwa mereka-mereka yang mewakili kelompok tertentu melambangkan identitas atau kualitas klas atau golongan yang tengah diwakilinya.

4. Elective Representation, konsep ini dianggap belum menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan wakil mereka, sehingga belum menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan yang memilihnya.

5. Party Repressentation, individu-individu dalam lembaga perwakilan merupakan wakil dari partai politik (atau konstituen) yang diwakilinya. Semakin meningkatnya organisasi dan disiplin partai mendorong lahirnya

party bosses dan party caucauses. Para wakil dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari organisasi /partai politik yang bersangkutan.

Gilbert Abcarian menyodorkan 4 (empat) macam tipe menyangkut hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya, yaitu :

a. Si wakil bertindak sebagai ‘wali’ (trustee), diartikan bahwa si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.

b. Si wakil bertindak sebagai ‘utusan’ (delegate). Dalam hal ini si wakil sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya. Si wakil dalam melakukan tugasnya selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya. c. Si wakil bertindak sebagai ‘politico’, menurut tipe ini si wakil kadang-

kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung pada issue (materi) yang dibahas.

d. Si wakil bertindak sebagai ‘partisan’. Dalam tipe ini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program partai (organisasi) si wakil setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya (yang diwakilinya), maka lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilu.

Konsep perwakilan pun dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara wakil dan yang diwakili. Berdasarkan sudut pandang ini, dikenal ada empat teori perwakilan, yaitu :

a. Teori Mandat

Teori mandat yang sering disebut dengan functional representation, pertama kali dikenalkan oleh J.J. Rousseau. Wakil dilihat sebagai penerima mandat dimana ia harus merealisasikan kekuasaan pihak yang diwakilinya dalam proses kehidupan politik. Atau dengan kata lain, teori ini pada dasarnya berasumsi bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandat yang disampaikan

oleh orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakat, bahkan termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa bersesuaian dengan kehendak dari orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya. Bila terjadi perbedaan pandangan, sikap dan tindakan antara wakil dengan fihak yang diwakili, dapat berakibat turunnya reputasi para wakil.

Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari :

1. Mandat imperatif, berarti bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang- orang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya.

2. Mandat bebas, yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang diberikan. Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut,

dengan demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada dirinya.

3. Mandat representatif, merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori mandat representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu.

b. Teori Organ

Ajaran ini lahir di Prancis sebagai rasa ketidakpuasan terhadap ajaran teori mandat. Para sarjana mencari dan membuat ajaran/teori baru dalam hal hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya. Teori Organ diungkapkan oleh Von Gierke (Jerman), bahwa negara merupakan satu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya seperti : eksekutif, parlemen dan rakyat, yang semuanya itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri namun antara satu dengan lainnya saling berkepentingan. Dengan demikian maka setelah rakyat memilih lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas menjalankan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

c. Teori sosiologi

Ajaran ini menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, akan tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Para pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dianggap benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan yang akan bersungguh-sungguh membela kepentingan para pemilih. Sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk itu terdiri dari golongan- golongan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Artinya bahwa lembaga perwakilan itu tercermin dari lapisan masyarakat yang ada. Yang membahas teori ini dipelopori oleh Rieker.

d. Teori hukum obyektif

Leon Duguit mengatakan bahwa hubungan antara rakyat dan parlemen dasarnya adalah solidaritas. Wakil-wakil rakyat dapat melaksanakan dan menjalankan tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas kenegaraannya tanpa memberikan dukungan kepada wakil-wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah. Dengan demikian ada pembagian kerja antara rakyat dan parlemen (Badan Perwakilan Rakyat). Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas adalah merupakan dasar dari hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan tersebut.

Dokumen terkait