• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.6. Kerangka Teori

1.6.4. Teori Politik Lokal

Teori politik lokal menjelaskan bahwa politik di tingkat lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal- formal pemerintahan semata. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal- formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal

72 Antonio Gramsci. 1971. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lihat juga Roger Simon. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Press.

secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi,

politik, dan sosial. Karakteristiknya relatif terbuka, beragam, dan kompetitif.73

Teori yang digunakan sebagai pendekatan analisis untuk studi ini adalah studi politik lokal yang memberikan perhatian pada perspektif mikro yaitu pemahaman prilaku (behaviour) elit lokal ketika melaksanakan wewenang otonomi daerah dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkat realitas, implementasi politik lokal lebih banyak diwarnai oleh tawar menawar (bargaining) dari koalisi antara elit lokal dan aktor-aktor tertentu di dalam masyarakat. Kekuasaan pemerintah lokal dilakukan lebih untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dalam pelaksanaan peningkatan kesejahteraan publik, individu, dan kelompok dengan kemampuan pemerintah lokal dalam mengakomodasi tuntutan tersebut. Studi ini memberikan pemahaman bahwa pemerintah lokal harus berada di antara semua kelompok yang memiliki kepentingan dan keinginan yang beragam dan terkadang agak sulit untuk diberi ruang kebijakan.

Studi politik lokal yang menguraikan tentang kerumitan hubungan antara kepentingan dan kebijakan adalah pendekatan regim kota (urban regime) yang

diistilahkan oleh Clarence Stone. Menurut Stone urban regim sebagai ”The informal

arrangements by which public bodies and private interest function together in order to be able to make and carry out governing decisions”. 74 (Pengaturan informal di mana kepentingan badan-badan publik dan swasta berfungsi bersama untuk membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan pemerintah).

Stone menjelaskan bahwa konsep regim kota bermula dari sebuah model produksi sosial dari tata kelola pemerintahan kota, yaitu pekerjaan yang bukan berasal dari kontrol dan perlawanan, tetapi hasil dari satu keuntungan dan peleburan yang didasari atas kapasitas untuk bertindak. Konsepsi yang penting dari Stone adalah bahwa regim kota merupakan hasil dari usaha-usaha yang terkoordinasi, kesepakatan yang dihasilkan adalah buah dari kesepahaman yang tidak terucapkan (secara diam-diam) antara kepentingan publik dan kepentingan swasta tentang bagaimana keputusan akan dilaksanakan. Dalam kenyataannya, formasi regim kota membutuhkan pengelolaan konflik dan penciptaan respon yang adaptif dalam perubahan sosial. Karena itu, faktor

73 Studi dengan pendekatan tersebut diantaranya lihat Gerry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. London: MacMillan Press Ltd. hal. 232.

74 Clarence Stone. 1989. Regime Politics: Governing Atlanta, 1946-1988. Lawrance: University Press of Kansas. hal. 6. Lihat juga Chusnul Mariyah. 1998. “Urban Political Conflict in Australia: The Redevelopment of Inner Sydney”. Thesis. Sydney: Department of Government The University of Sydney. hal. 31.

kuncinya adalah pengelolaan internal politik tentang bangunan koalisi antara sektor

publik dan swasta.75 Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Mollenkopf bahwa

pemahaman interaksi sistem politik lokal harus dilihat sebagai interaksi kreasi yang cerdas, bangunan koalisi yang sensitif terhadap kepentingan-kepentingan swasta dan

pemerintah lokal untuk menampung peluang-peluang dalam sektor publik.76

Terkait dengan penjelasan kepentingan, teori politik lokal jika dilihat dalam konteks Indonesia pada saat penerapan desentralisasi, sering terjadi semacam

kepentingan terselubung (hidden autonomy) dalam penyelenggaraan pemerintahan. 77

Sebagaimana yang dijelaskan Syarif Hidayat sebagai berikut,

”… secara umum kepentingan pemerintah daerah tersebut dibedakan dalam dua kategori, yaitu kepentingan publik (public interest) dan kepentingan invidual (individual interest). Kepentingan pertama berkaitan dengan peningkatan sektor swasta dan mendukung program pemerintah pusat. Sedangkan yang kedua lebih kepada kepentingan individu elit lokal, kompleks, saling mengait, sangat relatif dan sifatnya kontekstual. Sedikitnya ada tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang ikut mewarnai kebijakan pemerintah lokal yaitu, kepentingan ekonomi (seeking economics ends), kepentingan untuk pengembangan karir, kepentingan untuk sponsor politik (polical sponsorship). Semua kepentingan itu berlangsung dengan tujuan yang eksplisit (explicit goals) disertai tujuan implisit

(implicit goals)”.78

Praktik hidden autonomy yang dimaksudkan Hidayat terkait dengan perilaku elit pemerintah daerah dalam mempraktikkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri pada masa Orde Baru. Meskipun secara legal-formal wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah sangat dibatasi, tetapi realitasnya ternyata kapasitas elit pemerintah daerah dapat memaksimalkan atau bahkan memanipulasi kelemahan-

75 Ibid. hal. 31.

76 John Mollenkopf. 1992. “How to Study Urban Political Power from A Phoenix in the Ashes: The Rise and Fall The Koch Coalition in New York City Politics”. in The City Reader. 2000. Edited by Richard T. LeGates & Frederic Stout. 2nd ed. New York: Algimantas Kezys and Loyola University Press. hal. 228. 77 Syarif Hidayat menjelaskan hal tersebut dalam penelitian Disertasi Doktoral tahun 1999 dengan lokasi penelitian di Jawa Barat (Bandung Utara mengenai Tata Ruang dan Proyek Properti) dan Sumatera Barat (Pembangunan Jalan Padang By Pass). Lihat Syarif Hidayat. 1999. “Decentralised Politics in A Centralised Political System: A Study of Local State Power in West Java and West Sumatera in New Order Indonesia.” Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: LIPI. hal. 151-161.

78 Syarif Hidayat. “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orde Baru (1966-1998)”. dalam Soetandyo Wignosubroto dkk. 2000. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa. hal. 137.

kelemahan dari aturan formal yang ada. Untuk memahami hidden autonomy itu, Hidayat, membagi dua kategori yaitu kepentingan publik (public interest) dan

kepentingan individu (individual interest).79

Hidayat kemudian menjelaskan bahwa bentuk kepentingan individual terasa

lebih rumit dibanding dengan kepentingan publik.80 Kepentingan individu elit lokal

selalu ikut serta berperan di arena publik baik secara terbuka maupun tersembunyi. Individu elit lokal bukanlah suatu kekuatan utuh dengan kepentingan yang homogen. Berbagai kepentingan individu elit lokal acapkali memiliki konsekuensi yang tidak mudah dipahami ketika satu kebijakan ditetapkan yang bertentangan dengan kepentingan publik. Bentuk kepentingan individu selalu bersifat sangat kompleks, kait mengait satu dengan lainnya, dan sangat relatif serta konstkestual sifatnya. Dengan kata lain, meminjam rumusan Judith Goldstein, antara kepentingan dan kebijakan terdapat

ruang ”ketidakpastian”.81 Jadi meskipun seorang pelaku mengetahui kepentingannya

dengan baik belum tentu dia mengetahui kebijakan yang paling tepat untuk itu.

Untuk memfokuskan studi ini, berdasarkan teori yang dikemukakan Syarif

Hidayat tentang hidden autonomy, maka yang akan digunakan adalah pendekatan

kepentingan individu untuk menganalisa kepentingan individu tokoh Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Prilaku individu yang diamati bukan berasal dari elit pemerintah daerah, tetapi individu elit lokal yang mengusai organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Dalam hal ini, kepentingan individu dan kelompok berfungsi untuk memetakan pelaku yang mempertautkan antara kepentingan mereka dengan alat-alat pencapaian tujuan yang mungkin mereka dapatkan. Para tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara merupakan salah satu kelompok individu elit lokal yang berperan dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan secara langsung tahun 2008.

Untuk menghindari simplifikasi permasalahan, penelitian ini memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk kepentingan individu yang relatif dapat diamati dan ditelesuri kebenarannya. Dari tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang ikut mewarnai konstelasi pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, penelitian ini ingin membahas dua di antara tiga kepentingan elit lokal tersebut, yaitu kepentingan ekonomi

79 Ibid. hal. 133.

80 Ibid. hal. 137.

81

Judith Goldstein. 1993. Ideas, Interests and American Trade Policy. Ithaca and London: Cornell University Press. hal. 10.

dan kepentingan sponsor politik. Kedua pendekatan tersebut dipilih untuk menguraikan adanya kepentingan individu kader dan tokoh Pemuda Pancasila dalam memperoleh sumber-sumber daya lokal dengan cara ikut berperan dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.