• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Landasan Teori

2.2.2 Teori Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.

Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tanda-tanda itu mempunyai arti dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan struktur

tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotika ketandaan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non verbal.

Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dari Swiss dan Charles Sander Pierce, seorang folosof dari Amerika Serikat (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Saussure melihat bahasa sebagai system yang membuat lambing bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (soundimage) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified).

Setiap bahasa mempunyai lambing bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai system lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(interpretant), dan (3) objek. Peirce membedakan lambang-lambang kedalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunujukkan hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda yang menunujukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunujukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunujukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka).

Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‗Ibu‘ adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya

mother. Perancis menyebutnya la mere. dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunujukkan ―kesemena-menaan‖ tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Panuti Sudjiman danvan Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu system lambing yang lebih besar. Mana kala bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambing, isi pesan, dan cara penyampaiannya. Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek dan makna. Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerimayang menghubungkan lambing dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai perantara antara lambing dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambing hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.

Berdasarkan gambar 2.6 berikut, yaitu segitiga Makna Ogden & Richards (1923) maka dapat dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara lambang atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan tak langsung ini digambarkan oleh garis terputus-putus antara lambing atau isyarat dengan objek. Garis penghubung antara pemikiran dengan lambang-lambang dan pemikiran dengan objek yang dirujuk adalah secara terus dan langsung.

Gambar 2.6: Segi Tiga Maknadari Ogdendan Richard (1923)

Sumber: Theories of Human Communications (oleh Stephen Littlejohn, 1992:64, juga Zaleha Abu Hasan 1996:57)

Hubungan ini menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi makna lambing dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambing atau isyarat tertentu. Karena itu terwujudlah hubungan secara tidak langsung antara lambing dengan objek walaupun pada kenyataannya hubungan itu tidak mutlak. Hubungan antara pemikiran, lambing dan objek yang dirujuk itu akan menghasilkan makna. Oleh karena itu, hubungan lambang dengan objek bersifat arbitrer. Pengertian terhadap sesuatu lambing juga berubah-ubah dari masak emasa menurut keadaan dan kehendak masyarakat. Makna digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan. Pemancaran makna dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya baik dalam bentuk bahasa ataupun perbuatan, atau kedua-duanya sekaligus. Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan disusun secara sistematik untuk mewujudkan makna tertentu. Oleh karena pengirim bebas memilih

lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif. Oleh karena itu, hubungan antara lambing dengan objek yang dilambangkan adalah berdasarkan imajinasi suatu objek. Pikiran penerima harus menafsi lambing yang digunakan oleh pengrimpesan. Penafsiran penerima terhadap makna lambing adalah bergantung kepada situasi dan juga konteks. Dalam hal ini cara pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk merangsang fikiran penerima bagi mengkonseptualisasikan objek. Rangsangan itu juga sangat penting karena lambang mempunyai makna yang versatil yaitu lambing bisa membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain dapat membawa makna denotatif bergantung kepada konteksnya.

Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006:103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut:

(1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

(2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symptom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes. (3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan

Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem

denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasiatau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.

Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E =

expression) dan maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem meta bahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif (Barthes, 2009: 158-162).

Piliang (dalam Christomy, 2004: 94-95) menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini

adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda ―bunga‖ mengkonotasikan ―kasih sayang‖. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif

(conotative meaning).

Lebih lanjut, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki semua anggota kebudayaan. Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam (Barker, 2009:74).

Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas. Mitos yang mantap

dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut. Menurut Barthes (2009:109), pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi (Christomy, 2004: 94).

Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif. Barker (2009: 74) mengungkapkan, ―Mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi‖ (Barker, 2009: 75).

Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes.

Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Dokumen terkait