• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Lisan Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Lisan Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Tradisi Lisan

Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat (Koentjaraningrat, 1997:9). Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin. Adat kebiasaan tersebut disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan selanjutnya dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi. Inilah yang menjadi tradisi lisan.

Pudentia (2007: 27) mendefenisikan tradisi lisan sebagai wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang kesemuanya disampaikan secara lisan. Akan tetapi modus penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Tradisi pun akan menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang meliputi etika, norma, dan adat istiadat.

(2)

Dundes (1969) dan Holbek (1987) dalam Finnegan (1992:29) mengatakan bahwa pengembangan dan kemunduran teori-teori: dongeng adalah mitos-mitos yang sudah dipecah-pecah, yang turun levelnya dari level yang lebih tinggi ke level anak-anak dan/atau level kaum kelas bawah; epik dikembangkan dari gabungan lagu-lagu rakyat; dan teori-teori yang serupa.Development and deterioration theories: fairy tales are broken down myths, sunk down from higher

levels to that of childrenand/or of lower classes; epics developed from composite

folksongs; similar theories. (Dundes, 1969; Holbek, 1987 dalam Finnegan, 1992: 29).

Menurut Finnegan (1992:29), pandangan tentang tradisi lisan secara antropologis yang dikembangkan oleh Andrew Lang bahwa bentuk-bentuk tradisi lisan seperti cerita-cerita sejenis legenda, kisah naratif yang membuat orang ingin tahu apa selanjutnya berawal dari suatu periode cerita yang nampaknya tidak rasional, jika dinilai berdasarkan sifat keprimitifannya. Namun, karena sudah dapat dimengerti, kemudian cerita itupun diwariskan/diturunkan dari generasi ke generasi.

Menurut Dick Van Det Meji (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan dari generasi ke generasi secara tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon dan sebagainya.

Sibarani (2012:43-46) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri tradisi lisan sebagai berikut:

(3)

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya. 3. Dapat diamati atau ditonton

4. Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi baru yang ada unsur etnisnya.

5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.

6. Proses penyampaian ‗dari mulut ke mulut‘. Tradisi yang disampaikan, diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi lisan.

7. Mengandung nilai-nilai dan norma budaya.

8. Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan, sebuah tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut dengan variasi atau versi.

9. Milik bersama komunitas tertentu.

10.Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya. Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non verbal). Oral traditions are the community’s traditionally

cultural activities inherited orally from one generation tro the other generation, either the tradition is verbal or non verbal (Sibarani, 2012: 47).

2.1.2 Folklor

(4)

pengenal itu seperti: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama (Sibarani, 2012:37). Sedangkan lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat, baik secara verbal maupun non verbal. Jadi, definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).

Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaja, 2002) seorang ahli folklor AS, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:

1. Folkor lisan (verbal folklore)

2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) 3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore).

(5)

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang ―modern‖ seringkali disebut takhyul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan

ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat.

Danandjaya (1994:3) mengemukakan sembilan ciri folklor yaitu: 1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.

(6)

3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa folklor mudah mengalami perubahan.

4. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. 5. Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat bisanya

selalu mempergunakan kata-kata klise seperti ―bulan empat belas hari‖. 6. Folklor mempunyaikegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu

kolektif. Cerita rakyat misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan ligika umum. Ciri folkor ini berlaku bagi folklor lisan dan sebagain lisan.

8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak ada sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

9. Folklor umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Selanjutnya menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1994:1-5) ada beberapa fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu:

(7)

menjadi cermin komunitas pemiliknya karena di dalam folklor itu tergambar cara pandang (way of life) komunitas pemiliknya. Sebagai contoh, kalau di Jawa Barat ada cerita Sangkuriang merupakan proyeksi keinginan manusia untuk bersenggama dengan ibu kandungnya. Jika ditinjau dari psikoanalisis Freud, keinginan manusia yang meledak-ledak itu sering terpendam. Keinginan yang dinamakan odipus complex tersebut diwujudkan ke dalam mimpi, karena masyarakat akan melarangnya.

2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture); folklor merepresentasikan dan melegitimasi eksistensi pranata dan lembaga kebudayaan. Pranata dan lembaga kebudayaan akan semakin eksis dan legal dengan adanya folklor sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat itu. Sebagai contoh, di Jawa Timur ada legenda cecak yang menghianati Nabi Muhammad SAW, yakni kisah nabi yang telah dikhianati cecak berwarna kelabu, sewaktu beliau bersembunyi di dalam goa untuk menghindari kejaran musuh-musuhnya. Legenda ini digunakan untuk menghindari masyarakat Jawa Timur tidak membunuh cecak berwarna kelabu pada hari Jumat Legi. Apabila hal ini dilanggar akan menyebabkan sial. 3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device); menggali nilai-nilai

(8)

4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (as a mean of applying social pressure and exercisingsocial control); folklor berisikan petuah-petuah, etika dan norma-norma yang perlu diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat.

Selanjutnya Dundes (dalam Endraswara, 2008:129-30) menambahkan fungsi lain, yaitu:

1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif (promoting a group’s feeling

of solidarity). Sebagai contoh, tentang legenda kepahlawanan Pangeran Sambernyawa, akan mempertebal solidaritas bangsa dan khususnya bagi warga Mangkunegaran, mitos Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati.

2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang. Sebagai contoh, ketika anak-anak memberikan cangkriman kepada orang dewasa, jaran madhep ngetanbuntute neng ngendi? Jika orang dewasa menjawab: neng kulon, spontan anak tadi akan menyalahkan. Yang betul ekornya di atas silit

atau di tempat semula.

3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit hati dan pemberian hukuman. Sebagai contoh, kaya kuping ngluwhi sungu, untuk menyebut orang bawahan yang akan kurang ajar terhadap atasannya.

(9)

masyarakat Jawa sebagai pertunjukan segar yang sering diboncengi misi protes. Oleh karena bentuk protes lewat seni, justru lebih menarik.

5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (offering an enjoyable escape from reality), yang penuh kesukaran, sehingga dapat mengubah pekerjaan yang membosankan, menjadi permainan yang menyenangkan. Fungsi semacam ini disebut juga fungsi rekreasi.

6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan (converting dull work into play).

Dari fungsi tersebut berarti folklor dapat memuat aneka ragam fungsi, seperti fungsi kultural, hukum, politik, dan keindahan. Fungsi-fungsi tersebut tentu saja bisa berubah dan atau berkembang dalam kehidupan pemilik folklor.

2.1.2.1 Folklor Anak

(10)

samping mendengarkan, anak-anak sudah dapat membaca. Para ahli berpendapat bahwa anak-anak usia 8-12 tahun merupakan pengamat-pengamat yang teliti dan serius karena pandangan mereka yang realistis terhadap dunia, serta pandangan mereka yang serius terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Dalam kaitannya dengan folklor anak yang berupa kisah atau cerita, Davis (dalam Endraswara, 2008: 62) mengemukakan bahwa cerita anak itu bersifat:

1. Tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam bentuk mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang romantis.

2. Idealistis, yaitu yang pantas dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan yang terbaik yang diambilkan dari zaman dahulu dan karya penulis terbaik pada masa kini.

3. Populer, yaitu bersifat hiburan, yang menyenangkan anak-anak

4. Teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan dan arahan orang-orang dewasa serta penulisannya dikerjakan oleh orang-orang dewasa pula.

2.1.2.2 Nilai Luhur Folklor Anak

(11)

kemungkinan-kemungkinan perkembangan jiwa. Figur-figur andalan anak dalam folklor akan diteladani dalam sikap hidupnya.

Anak memiliki kebebasan jiwa. Anak juga kaya akan alternatif. Namun, perlu diketahui bahwa anak dibesarkan dan belajar tidak dalam kevakuman budaya (Edwards, 2004:89). Budaya yang dimaksud adalah berbagai adat kebiasaan, perilaku verbal dan non verbal, dan lain-lain, sebagaimana yang didemonstrasikan secara konkret oleh dan di lingkungan keluarganya. Budaya semacam ini hampir seluruhnya terangkum dalam kandungan folklor. Setiap folklor merupakan refleksi pengalaman yang berharga bagi perkembangan budaya anak. Oleh sebab itu folklor tersebut jika diberdayakan akan mempengaruhi perjalanan dan perkembangan kejiwaan anak selanjutnya. Meskipun seorang anak belum dapat membaca, tetapi sudah dapat menerima rangsangan suara dan gerak, maka lewat media suara dan gerak inilah nilai dan kenikmatan keindahan diberikan. Singkatnya, sastra yang diperkenalkan kepada anak adalah sastra yang bermediakan suara dan diperkuat dengan gerakan-gerakan anggota badan yang mendukung. Jika puisi yang diberikan kepada anak, maka puisi itu adalah puisi-puisi yang dilagukan, puisi-puisi lagu, dan jika cerita fiksi yang diberikan (setelah anak mampu memahami), maka cerita anak itu adalah cerita yang dikisahkan secara lisan atau dibacakan dari buku.

(12)

saat menimang, menina bobo (lullaby), dipandang lebih komunikatif dalam jiwa anak. Anak lebih mudah menerima pesan lewat lagu yang didendangkan, apalagi disertai mimik dan atraksi.

2.1.3 Masyarakat Batak Toba

Sebagai satu kesatuan etnik, MBT mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Luas daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km2. Umumnya tanah kawasan ini terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah berada pada 20- 30 Lintang Utara dan 980 – 99,50 Bujur Timur. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km2. Sumatera Utara dibagi menjadi 26 kabupaten, 8 kota (dahulu kotamadya), 325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan/desa. Populasi penduduk diperkirakan 12.985.075 (tahun 2010), dengan kepadatan 177, 9/km kuaderat terdiri dari berbagai kelompok etnis. Batak (41, 95%), Jawa (32, 62%), Nias (6, 36%), Melayu (4, 92%), Tionghoa (3, 07%), Minangkabau (2, 66%), Banjar (0, 97%), lain-lain (7, 45%) (Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, 2010)

Wilayah Batak Toba berada di sekeliling danau Toba, Sumatera Utara. Sekarang ini wilayah Batak Toba meliputi: Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun batas-batas wilayah Batak Toba adalah sebagai berikut:

- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun - Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten

(13)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Tapanuli Tengah.

- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan (Lumbantoruan, 2012:1). MBT mendiami wilayah Batak Toba, dan selain itu telah banyak berada di luar wilayah Batak Toba. Pada umumnya MBT hidup dari pertanian, dan mereka dikenal sebagai pekerja keras dan pantang menyerah.

MBT terkenal sebagai pemegang teguh adat yang merupakan warisan nenek moyang. Struktur kekerabatan serta kehidupan masyarakat diatur dalam falsafah hidupnya yang disebut dalihan natolu. Dalihan natolu terdiri dari: hula-hula yaitu kelompok pemberi mempelai wanita, dongan tubu yaitu kerabat atau teman semarga, dan boru yaitu kelompok penerima mempelai wanita.

Pada umumnya MBT adalah penganut agama Kristen (Protestan dan Katolik) diperkirakan sekitar 95%, sedangkan 5% lainnya adalah penganut agama Islam dan penganut kepercayaan tradisional. Penganut kepercayaan tradisional yang dimaksud adalah: parbaringin, parmalim, dan golongan si Raja Batak

(Lumbantoruan, 2012: 4).

2.1.4 Permainan Tradisional Anak Pada Masyarakat Batak Toba

(14)

anak. Permainan tradisional anak pada MBT terdiri dari permainan yang menggunakan alat, permainan yang tidak menggunakan alat, dan permainan yang menggunakan nyanyian atau lagu.

2.1.4.1 Permainan yang Menggunakan Alat

Permainan yang menggunakan alat adalah permainan yang menggunakan alat ketika bermain. Contoh permainan tradisional anak pada MBT yang menggunakan alat adalah sebagai berikut:

1. Marsitengka (marsitekka)

(15)

Gambar 2.1: Permainan marsitengka (marsitekka) Sumber: www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014

2. Pat ni Gajah - Lomba Tempurung Kelapa

Permainan ini memakai potongan tempurung kelapa yang sudah kering dengan bantuan tali yang diikatkan ke lubang tempurung kelapa serta saling berhubungan. Permainan ini memerlukan kekuatan tenaga yang kuat karena harus berlari di atas kedua tempurung yang diikatkan tadi. Biasanya permainan ini dilakukan beberapa orang dan sering peserta berjatuhan dan putus talinya.

Gambar 2.2: Permainan pat ni Gajah

(16)

3. Marjalengkat (marjalekkat)

Dulu, marjalengkat ini sering dilakukan sebagai ajang adu ketangkasan yang berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan berlari dengan memakai alat bantu dua tongkat. Biasanya tongkat tersebut terbuat dari batang pohon bambu. Dan jenis permainan ini dilakukan pada siang hari. Keseimbangan tubuh sangat diperlukan karena pada marjalengkat ini kedua kaki tidak boleh menginjak tanah. Bagian tubuh hanya dipikul oleh alat bantu dua buah tongkat dan harus bisa berlari melintasi badan jalan dan bahkan sering dilakukan melintasi sungai.

Gambar 2.3: Permainan marjalengkat (marjalekkat) Sumber: www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014

4. Marultop ( Bambu Tembak)

(17)

Gambar 2.4: Marultop (Bambu Tembak)

Sumber: www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014 2.1.4.2 Permainan yang Tidak Menggunakan Alat

Permainan yang tidak menggunakan alat adalah permainan yang tidak menggunakan alat ketika bermain. Contoh permainan yang tidak menggunakan alat pada MBT adalah margala. Permainan margala adalah permainan yang mengandalkan kecepatan kaki dan pikiran untuk mengatur strategi mengalahkan lawan.

Gambar 2.5: Permainan Margala

(18)

2.1.4.3 Permainan yang Menggunakan Nyanyian

Permainan yang menggunakan nyanyian adalah permainan yang menggunakan nyanyian ketika bermain. Contoh permainan yang menggunakan nyanyian dalam MBT adalah: sampele sampele, jambatan Tapanuli, kacang koring, sada dua tolu, dan lain-lain. Permainan yang menggunakan nyanyian ini akan dibahas lebih jauh pada bab empat.

2.1.5 Sastra Lisan Batak Toba

Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun (Endaswara, 2008: 151) dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.

2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa penciptanya.

3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik. 4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.

5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.

6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Oleh karena itu sebuah sastra lisan yang penyebarannya melalui mulut ke mulut dapat dikatakan tradisi lisan. Tradisi lisan mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.

(19)

bahwa ―sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita -cerita rakyat

dalam bentuk fable, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-torhanan

dan turi-turian, huling-hulingan semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan

secara lisan dari generasi ke generasi”. Walaupun orang Batak sudah berabad-abad memiliki tulisan tersendiri mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan yaitu: (1) ilmu kedukunan (hadatuon), (2) surat-menyurat (termasuk surat ancaman), dan (3) ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola Mandailing).

Sastra lisan Batak Toba yang merupakan warisan leluhur MBT masih dapat disaksikan hingga saat ini. Sastra lisan seperti tarombo, umpasa, umpama, hata adat, turi-turian, andung/andung-andung, huling-hulingan, ende-ende bahkan

tonggo-tonggo masih bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan suatu keunggulan MBT yang mampu meneruskan tradisi lisannya dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.

Masyarakat Batak Toba (MBT) memiliki sebuah tradisi yang unik dalam kehidupannya, yang diturunkan secara turun temurun. Tradisi tersebut adalah nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat anak-anak merupakan salah satu tradisi lisan MBT yang hampir hilang dan pupus ditelan zaman. Untuk itu perlu dilakukan dokumentasi dan fungsionalisme yang berkelanjutan terhadap tradisi lisan ini. 2.1.6 Nyanyian Rakyat (folksong)

(20)

tembang tidak lain adalah puisi. Tembang atau nyanyian dapat pula disebut sebagai puisi yang dilagukan, atau puisi lagu. Sebagai sebuah karya seni, puisi, termasuk puisi anak, mengandung berbagai unsur keindahan, khususnya keindahan yang dicapai lewat bentuk-bentuk kebahasaan.

Nyanyian rakyat merupakan salah satu sumber dan media dalam mengaktualisasikan diri sebagai perwujudan dan pancaran dari sifat manusia yang senang berkesenian dan bermain. Selaras dengan pandangan Brunvand (dalam Danandjaya, 1994:141) bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.

Dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Akan tetapi, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat memiliki perbedaan dengan nyanyian lainnya, seperti lagu pop atau klasik. Hal ini karena sifat dari nyanyian rakyat yang mudah berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya. Sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian lainnya.

(21)

Menurut Brunvand, nyanyian rakyat dapat digolongkan dalam 3 jenis yaitu:

a. Nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting. Jenis nyanyian rakyat ini dibagi menjadi: (1). Nyanyian kelonan (lullaby); (2). Nyanyian kerja (working song). Nyanyian ini bersifat menggugah semangat kerja karena bekerja mempunyai tujuan untuk meminang kekasih pujaannya. (3). Nyanyian permainan (playing song)

b. Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yakni nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonim itu, tanpa menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Jenis dari nyanyian ini yaitu: (1). Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, yakni nyanyian-nyanyian yang liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang bersambung. (2). Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni nyanyian rakyat yang menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Uraian lebih terperinci mengenai hal ini yaitu sebagai berikut: a) Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan lainnya. b) Nyanyian rakyat yang memberi nasehat untuk berbuat baik. c) Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan pernikahan.

c. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative songs).

(22)

akananggota-anggotanya dan menganggap dirinya sebagai satu kesatuan yang berbeda dengan yang lainnya.

2.1.7 Nyanyian Rakyat Anak-Anak pada Masyarakat Batak Toba

Pada MBT terdapat dua jenis nyanyian anak yaitu nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak.

2.1.7.1 Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)

Nyanyian menidurkan anak adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan sebagai nyanyian pengantar tidur bagi anak. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu. Nyanyian menidurkan anak (dideng) bisa dilakukan kapan saja disaat anak hendak tidur baik di waktu siang maupun malam hari. Akan tetapi waktu yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah di siang hari. Dideng dalam menidurkan anak biasanya berlangsung di dalam rumah sianak itu sendiri, tetapi jika ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke ladang, maka dideng juga bisa berlangsung di tempat tersebut. Dalam mendidengkan anak biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan menimang-nimang sambil menggendong anaknya, kedua dengan memasukkan anak kedalamayunan. Contoh nyanyian menidurkan anak pada MBT adalah Dideng dideng.

2.1.7.2 Nyanyian Permainan Anak

(23)

Sebagaimana ciri-ciri folklor pada umumnya (Danandjaja, 1991:3-5), maka nyanyian anak MBT memiliki tujuh ciri yaitu:

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan dari mulut ke mulut. Dalam proses ini enkulturasi kebudayaan dilakukan dengan alamiah, dan tidak memiliki jadwal tertentu yang ketat, disesuaikan dengan pola kehidupan sehari-hari MBT.

2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Bentuk yang tetap atau standar ini menjadi norma atau aturan umum dalam menyanyikannya, tidak boleh diubah-ubah dengan sekehendak hati penyanyinya, melainkan mengikuti ketetapan yang telah disetujui secara kolektif. Nyanyian ini juga disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). Oleh karena proses yang demikian, biasanya nyanyian ini sangat fungsional dalam konteks sosio budaya masyarakat.

3. Nyanyian anak ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Meskipun pada umumnya memiliki bentuk yang tetap dan standar, namun ada pula nyanyian anak memiliki versi dan variasi yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh pengembangan nyanyian anak ini oleh masing-masing pencipta atau penyanyi, dan juga sebagai dampak dari enkulturasinya yang dilakukan secara lisan, sehingga akurasi nada ataupun melodi tidak diutamakan.

(24)

kebudayaan populer yang memerlukan pencipta dan royalti, melainkan sebagai bagian dari kehidupan kelompok yang lebih mengutamakan fungsi sosial. 5. Nyanyian anak mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif.

Inilah yang menjadi ciri utama bahwa nyanyian anak sangat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Di antara fungsi sosio budayanya adalah untuk menghibur anak. Selain itu untuk sarana pembelajaran nilai-nilai kehidupan kelompoknya. Nyanyian ini juga berfungsi untuk mengintegrasikan peran keluarga, baik keluarga inti, atau yang lebih luas struktur MBT. Nyanyian anak juga berfungsi sebagai sarana kontinuitas kebudayaan Batak Toba. Nyanyian ini juga memiliki fungsi untuk kesehatan fisik dan rohani, serta berbagai fungsi lainnya.

6. Nyanyian anak adalah milik bersama dari suatu kolektif. Nyanyian anak ini dimiliki bersama, bukan dimiliki secara individu. Dalam hal ini nyanyian anak Batak Toba seperti diuraikan di atas adalah milik MBT. Oleh karena itu nyanyian ini termasuk kepada milik dan hak intelektual MBT, secara keseluruhan, bukan saja yang tinggal di desa tetapi juga di kota, bukan saja yang tinggal di kawasan budaya Batak Toba, tetapi juga mereka yang merantau ke daerah lainnya.

7. Nyanyian anak umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering terlihat kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa nyanyian anak merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

(25)

anaknya sambil menyanyikan dideng dideng, membuai dan menepuk secara perlahan-lahan, nyanyian dikumandangkan terus menerus hingga si anak tidur. Tentu anak gadis si ibu tersebut mendengarkan nyanyian yang didendangkan si ibu. Dengan terbiasa melihat dan mendengarkan nyanyian tadi, kemudian ia menghapal dan mencoba, lama kelamaan dapat menirunya. Sang gadis tadi dapat menidurkan adiknya melalui nyanyian yang baru dipelajarinya. Begitu juga nyanyian permainan anak, anak-anak kecil melihat dan mendengarkan saudara maupun teman-teman mereka yang lebih besar bernyanyi sambil bermain. Dengan terbiasa melihat dan mendengarkan nyanyian permainan tersebut, mereka menghapal dan mencoba, lama kelamaan dapat memainkannya. Begitulah proses belajar mendidengkan anak dan menyanyikan nyanyian permainan anak pada MBT Sumatera Utara.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Fungsionalisme Folklor

Dalam menganalisis nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, akan digunakan teori fungsionalisme folklor, teori semiotik, dan teori teks, konteks serta konteks. Teori fungsionalisme folklor terbagi dua yaitu:

2.2.1.1 Fungsionalisme Murni

(26)

masyarakat. Fungsi semacam ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan kebutuhan naluri manusia.

Pada dasarnya folklor akan berfungi memantapkan identitas serta meningkatkan integrasi sosial, dan secara simbolis mampu mempengaruhi masyarakat. Bahkan, kadang-kadang folklor justru lebih kuat pengaruhnya dibanding sastra modern. Folklor akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan tata nilai yang berupa sikap dan perilaku.

Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor di suatu tempat kurang berfungsi, di tempat lain justru memegang peranan penting. Prop (1975:21) menyatakan: ―Function is understood as an act of character, defined from point of

view of its significance for the course of the action: Dalam konteks ini, fungsi merupakan bentuk ―ketergantungan‖ secara utuh pada sebuah sistem budaya.

Dalam kaitan ini, fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial). Dalam menganalisis fungsi nyanyian rakyat anak-anak pada MBT yaitu nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak akan digunakan teori fungsionalisme folklor murni yaitu bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan kebutuhan naluri manusia.

(27)

1. Sebagai sistem proyeksi (projective system)

2. Sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan (validating culture) 3. Sebagai alat pendidik anak (pedagogical device)

4. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat pengendalian sosial dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya

Selanjutnya Alan Dundes (dalam Endraswara, 2008: 129-30) menambahkan fungsi lain, yaitu:

1. Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif

2. Sebagai alat untuk meningkatkan rasa superior seseorang.

3. Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit hati dan pemberian hukuman.

4. Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat

5. Sebagai pelarian yang menyenangkan dari dunia nyata (fungsi rekreasi). 6. Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan

2.2.1.2 Fungsionalisme Struktural

Teori fungsionalisme struktural meyakini bahwa memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan yang ditemukan oleh institusi, yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Di lain pihak, Evan Pritchard berpendapat bahwa struktur sosial adalah konfigurasi kelompok yang mantap.

(28)

sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949:542) bahwa struktur sosial merupakan bentuk ―eksis‖ pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu pula folklor. Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu membentuk struktur yang unik.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek struktural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau ditolak oleh unsur lain. Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada ―pola pilihan‖ yang harus diambil. Pada saat itu masyarakat akan menentukan

pilihan dan memutuskan. 2.2.2 Teori Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.

(29)

tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotika ketandaan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non verbal.

Tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli linguistik dari Swiss dan Charles Sander Pierce, seorang folosof dari Amerika Serikat (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Saussure melihat bahasa sebagai system yang membuat lambing bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (soundimage) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified).

Setiap bahasa mempunyai lambing bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai system lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(30)

Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‗Ibu‘ adalah simbol, artinya ditentukan

oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya

mother. Perancis menyebutnya la mere. dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunujukkan ―kesemena-menaan‖ tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Panuti Sudjiman danvan Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu system lambing yang lebih besar. Mana kala bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambing, isi pesan, dan cara penyampaiannya. Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek dan makna. Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerimayang menghubungkan lambing dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai perantara antara lambing dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambing hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.

(31)

Gambar 2.6: Segi Tiga Maknadari Ogdendan Richard (1923)

Sumber: Theories of Human Communications (oleh Stephen Littlejohn, 1992:64, juga Zaleha Abu Hasan 1996:57)

(32)

lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif. Oleh karena itu, hubungan antara lambing dengan objek yang dilambangkan adalah berdasarkan imajinasi suatu objek. Pikiran penerima harus menafsi lambing yang digunakan oleh pengrimpesan. Penafsiran penerima terhadap makna lambing adalah bergantung kepada situasi dan juga konteks. Dalam hal ini cara pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk merangsang fikiran penerima bagi mengkonseptualisasikan objek. Rangsangan itu juga sangat penting karena lambang mempunyai makna yang versatil yaitu lambing bisa membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain dapat membawa makna denotatif bergantung kepada konteksnya.

Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006:103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut:

(1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

(2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symptom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes. (3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan

(33)

Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem

denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasiatau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.

Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E =

expression) dan maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem meta bahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif (Barthes, 2009: 158-162).

(34)

adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda ―bunga‖

mengkonotasikan ―kasih sayang‖. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif

(conotative meaning).

Lebih lanjut, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki semua anggota kebudayaan. Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam (Barker, 2009:74).

(35)

dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut. Menurut Barthes (2009:109), pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi (Christomy, 2004: 94).

Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif. Barker (2009: 74) mengungkapkan, ―Mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi‖ (Barker, 2009: 75).

Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes.

(36)

2.2.3 Teks, Ko-teks dan Konteks

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal (Sibarani, 2012: 241-242). Teks, koteks, dan konteks merupakan tiga bagian yang saling berhubungan sehingga pemahaman sebuah teks juga tergantung pada ko-teks dan konteksnya, dan juga sebaliknya. Di samping menganalisis hubungan proposisi dalam teks tradisi lisan, juga perlu menganalisis elemen koteks dan konteksnya untuk mendapatkan makna yang sebenarnya, makna paduan kalimat dalam wacana tradisi lisan baru dapat dipahami secara lengkap setelah dikaitkan dengan ko-teks dan konteksnya. Teks memiliki struktur, ko-teks memiliki elemen, dan konteks memiliki kondisi, yang formulanya dapat diungkapkan dari kajian tradisi lisan.

2.2.3.1 Teks

Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat ―tightly

(37)

teks itu. Sedangkan struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Linguistik teoretis mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologis), kata (morfologis), kalimat (sintaksis), wacana (diskursus), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik), dan bahasa kiasan figuratif. Kajian struktur mikro akan merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa sehari-hari dan bahasa susastera mulai dari tataran bahasa yang paling rendah seperti bunyi sampai tataran yang paling tinggi seperti wacana. Dalam penelitian nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, analisis teks dilakukan dengan cara menemukan tema maupun topik yang merupakan makna secara keseluruhan dari teks nyanyian tersebut, mengungkapkan pesan-pesan apa yang ada dalam setiap elemen teks nyanyian anak tersebut, serta merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa sehari-hari dan bahasa susastera nyayian anak tersebut mulai dari tataran bahasa yang paling rendah seperti bunyi sampai tataran yang paling tinggi seperti wacana.

2.2.3.2 Ko-teks

(38)

mengelilinginya. Ko-teks dari tuturan semacam ini tidak memadai untuk memahami kata-kata, kecuali jika mencakup sebuah pemhaman dari tindak-tindak yang terjadi sebagai bagian dan hasil dari kata-kata tersebut. untuk memahami tingkah laku linguistik orang, kita perlu mengetahui segala hal tentang penggunaan bahasa mereka; yaitu, kita harus melihat lebih jauh dari sekedar ko-teks tuturan dan memperhatikan keseluruhan lingkungan linguistik ke dalam pandangan kita. Hal ini berarti bahwa kita harus memperluas visi kita dari ko-teks menjadi konteks: Yaitu, keseluruhan dari lingkungan (bukan hanya linguistik) yang mengelilingi produksi bahasa.

(39)

menggambarkan peran sebagai raja-rakyat, majikan-pembantu, direktur-karyawan, pimpinan-bawahan, orang kaya-orang miskin, dan sebagainya. Bentuk ko-teks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah unsur material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan lokasi dengan dekorasinya, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsi masing-masing. Dengan demikian, kajian semiotik terhadap unsur-unsur material yang simbolik sebagai bagian dari ko-teks perlu dilakukan dalam memahami tradisi lisan. Dalam penelitian nyanyian anak-anak pada MBT yang menjadi ko-teks adalah intonasi, aksen, jeda, dan tekanan dari nyanyian anak tersebut, dan juga benda-benda atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan tersebut.

2.2.3.3 Konteks

Secara harfiah, konteks berarti ―something accompanying text‖, yang berarti :

sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday, pengertian harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu fakta sosial. Oleh Halliday ―something‖

di atas diolah menjadi ―sesuatu yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks sosial (Halliday, 1978; Wirth, 1984) yang diidentifikasikan atas ranah, tenor, dan modi.

(40)

benak. Aspek itu menggambarkan peristiwa apa yang terjadi yang melibatkan para penutur atau partisipan sebagaimana dinyatakan atau direalisasikan berupa unsur-unsur status, proses, pelaku, tujuan, lokasi, dan waktu. Tenor merupakan unsur-unsur partisipan yang menyatakan interpersonal dan status yang direalisasikan dalam pilihan-pilihan piranti wacana. Dalam tenor itu, hubungan interaksi yang signifikanlah yang diamati. Sedang modi adalah realisasi yang diungkapkan oleh teks secara keseluruhan sebagai tindak sosial, baik bersifat lisan dan tulisan, monolog atau dialog.

Leech (1983) menyatakan konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadai sebuah tuturan. Selanjutnya Schiffrin (1994) membedakan antara kontek dengan teks dengan menjelaskan bahwa teks merupakan isi linguistik dari tuturan-tuturan, arti semantik dari kata-kata, ekspresi, dan kalimat. Teks juga merupakan sistem kebahasaan yang terdiri atas beberapa komponen yang saling berhubungan dan masing-masing komponen tersebut juga mempunyai otonomi. Adapun konteks adalah ―pengetahuan‖, ―situasi‖, dan ―teks‖. Konteks sebagai pengetahuan

berkaitan dengan kompetensi komunikasi; konteks sebagai situasi berkaitan dengan kompetensi sosial, budaya, dan strategi; dan konteks sebagai teks berkaitan dengan keberadaan unsur-unsur teks yang bisa dipisahkan, diartikan, daan dimaknai.

(41)

konvensi yang digunakan dalam bahasanya, sedangkan pandangan kedua berkaitan dengan kemampuan penutur untuk selalu berkreasi dalam menyusun tuturannya sesuai dengan situasi dan budayanya. Cook (1994) meembedakan pengertian konteks menjadi dua yaitu, konteks dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam pengertian sempit, konteks mengacu pada faktor di luar teks. Sedang dalam pengertian luas, konteks dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yaang relevan dengan ciri dunia dan ko-teks. Pengetahuan yang relevan dengan ciri dunia berkaitan dengan situasi fisik, situasi sosial dan budaya, penanggap, dan skemata mereka, dan teks lain (interteks). Konteks situasi paling baik dipakai sebagai bentuk skematis yaang sesuai untuk diterapkan pada peristiwa-peristiwa bahasa. Konteks situasi bagi kajian linguistik menurut Brown & Yule (1986) menghubungkan kategori-kategori yaang berikut. (1) ciri-ciri yang relevan dari para peserta: orang-orang, kepribadian pada perbuatan verbal dan nonverbal paara peserta; (2) tujuan-tujuan yang relevan; dan (3) akibat perbuatan verbal.

Dalam kajian tradisi lisan peranan konteks sangat penting. Menurut Sibarani (2012:234) dalam memahami kajian tradisi lisan ada beberapa jenis konteks yaitu konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi yang perlu dikaji dalam memahami makna, maksud pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada gilirannya diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan.

(42)

Berdasarkan ketiga defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dalam memahami konteks yaitu pada pemahaman tradisi lisan. Setiap jenis konteks berbeda-beda sedangkan dalam Halliday dan Sinar dalam memahami konteks harus dilihat 3 variabel yaitu Medan (apa dan untuk apa), tenor (kepada siapa) dan mode (bagaimana). Dimana ketiga istilah tersebut terangkum pada konteks sosial dan konteks situasi dalam pemahaman tradisi lisan.

Dalam penelitian tradisi lisan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks merupakan salah satu yang harus diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis tertarik dalam mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks sosial dan konteks situasi yang dikemukakan oleh Sibarani.

Dalam Sibarani (2012: 326) konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur, pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya.

2.2.4 Kearifan Lokal

2.2.4.1 Hakikat Pengetahuan dan Kearifan Lokal

(43)

sesuatu yang terkait dengan bentuk – bentuk tradisional, baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (Avonina, 2006). Di sisi lain, Saryono (2007: 28 – 29) menyatakan pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu, yang bersifat turun-temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan.

Sedyawati (1986: 186 – 187) membedakan dua pengertian local genius, yaitu: (1) segala nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapat ―pengaruh asing‖; (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap,

menafsirkan, mengubah, dan mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing. Sedangkan kearifan lokal atau ring disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, dimana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‗kearifan/kebijaksanaan‘.

(44)

atau lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan buadaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani, 2012:133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom) yaitu kesejahteraan dan kedamaian.

2.2.4.2 Dimensi Kearifan Lokal

(45)
(46)

Kedua, Dimensi Nilai Lokal. Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai – nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai – nilai itu biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan TuhanNya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Nilai – nilai itu memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai – nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.

Ketiga, Dimensi Keterampilan Lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan untuk bertahan hidup (survival). Keterampilan lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam maupun membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya masing – masing atau disebut dengan ekonomi subsistensi.

Keempat, Dimensi Sumber Daya Lokal. Sumber daya lokal pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar – besar atau dikomersilkan. Sumber daya lokal ini seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan pemukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif.

(47)

melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau berjenjang.

Keenam, Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal. Suatu masyarakat umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan fungsinya masing-masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja bakti gotong royong.

2.3 Kajian Pustaka

Berdasarkan studi kepustakaan, ada beberapa penelitian yang relevan atau yang mendiskusikan tentang nyanyian rakyat anak-anak pada MBT baik itu berupa tulisan-tulisan karya ilmiah seperti artikel, jurnal, buku, skripsi, dan tesis.

Ali Khais (2012), ―Nyanyian Rakyat Kaili: Struktur, Fungsi, dan Nilai‖.

Penelitian ini membahas tentang struktur, fungsi, dan nilai nyanyian rakyat Kaili. Dari analisis data yang dilakukan terhadap nyanyian rakyat Kaili, didapatkan temuan struktur nyanyian rakyat Kaili meliputi struktur makro, super struktur, dan struktur mikro yang merepresentasikan ideologi kultural masyarakat Kaili. Fungsi Nyanyian Rakyat Kaili meliputi fungsi ritual, fungsi sosial, fungsi mendidik, fungsi komunikasi dan informasi, dan fungsi hiburan. Sedangkan nilainya adalah adalah nilai religius, nilai filsafat, nilai etika, dan nilai estetika.

Arista (2012), ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Lirik Lagu Dolanan

(48)

yang terdapat dalam lirik lagu dolanan Jawa seperti: Gundul-Gundul Pancul, Jamuran, Ilir-ilir, Sluku-Sluku Bathok, Padhang Bulan, dan Jaranan.

Grace Somelok (2011), Kajian Etnografi terhadap Makna dalam Syair Lagu pada Ritual Daur Hidup Masyarakat Masyarakat Suku Naulu di Pulau Seram

Kabupaten Maluku Tengah dan Model Pelestariannya. Penelitian ini memfokuskan pada makna yang terkandung dalam syair lagu sebagai upaya melestarikan warisan budaya daerah.

Khasanah Ismatul (2011), Permainan Tradisional Sebagai Media Stimulasi Aspek Perkembangan Anak Usia Dini. Tesis ini membahas tentang jenis permainan tradisional yang ditemukan di TKT unas Rimba I Semarang yang dapat menjadi media atau sarana stumulasi aspek perkembanga nanak usia dini (4-6 tahun). Permainan tradisional tersebut memiliki nilai kearifan lokal, seperti keberanian, ketangkasan, keterampilan, kelincahan gerak, berpikir strategis,

feeling (naluri) yang terasah, persahabatan, kerjasama, gotong royong, kasihsayang, menghargai orang lain, sportif, kepatuhan, kesabaran, kehati-hatian, mengukur, membandingkan, menafsirkan, berfantasi, dan lain sebagainya.

Setia Dermawan Purba (2008), Nyanyian Anak dalam Kebudayaan Etnik Simalungun. Jurnal ini membahas tentang nyanyian rakyat anak-anak Simalungun yang erat kaitannya dengan pola pengasuhan dan pendidikan anak. Secara struktural nyanyian anak Simalungun terdiri dari unsur musik (yang di dalamnya memiliki nada, tangga nada, pola-pola kadensa, ritmik, durasi, meter, dan meter bebas dan sejenisnya).

Ulfa Riza Umami, Supriyadi (2007). ―Pemanfaatan Nilai-Nilai Didaktik

(49)

Gambar

Gambar 2.1: Permainan marsitengka Sumber: (marsitekka) www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014
Gambar 2.3: Permainan  Sumber: marjalengkat (marjalekkat) www.gobatak.com, diunggah tanggal 29 Mei 2014
Gambar 2.4: Marultop Sumber: (Bambu Tembak) www.gobatak.com , diunggah tanggal 29 Mei 2014
Gambar 2.6: Segi Tiga Maknadari Ogdendan Richard (1923)

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan perlakuan terhadap anak perempuan adalah masuknya agama Kristen yang mengajarkan bahwa kedudukan laki-laki dengan perempuan adalah sama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: proses pengobatan atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan dampol tongosan sebagai pengobatan alternative, untuk

Teks dalam acara “mamongoti bagas” dalam masyarakat Batak Toba memiliki makna secara keseluruhan pembentukan hubungan sosial yang baru, bahwa ada warga baru di

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyajian ende marhaminjon, untuk menganalisis makna-makna tekstual yang terkandung dalam ende marhaminjon, serta

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses penyajian ende marhaminjon, untuk menganalisis makna-makna tekstual yang terkandung dalam ende marhaminjon, serta

Selain makna teks, penulis juga akan menjabarkan berbagai hal tentang melodi yang terdapat dalam ende marhaminjon tersebut. Sebelum pekerjaan analisis musik dilaksanakan,

Hal ini menunjukkan bahwa data teks nyanyian rakyat lullaby Manjujai Anak ini tergolong sebagai puisi konvensional seperti teori yang dikemukakan oleh Siswanto

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai estetika bunyi dan makna dalam teks nyanyian anak-anak Suku Akit Kabupaten Karimun, dapat