• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Lisan Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tradisi Lisan Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

77

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG

HASUNDUTAN

Demak Magdalena Perawati Silaban demakmagdalenaslbn@gmail.com Hamzon Situmorang, Mhd. Takari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstract

Folksong is a form of folklore consisting of the wordsand songs, which circulated orally among members of a particular collective, traditionally shaped, and has many variants. This research aimed to determine the factors that influence the extinction of children folksong on Batak Toba society, analyze the function and meaning, context, and local wisdom. For that, the theory of functionalism and semiotics were used. The method used was descriptiv equalitative method. The data were the lullaby songs to make the child sleeping (lullaby) and the children playing song were recorded directly in Lintongnihuta Humbang Hasundutan District. The results showed that both lullaby and children play songs had the same functions suac as to entertain, educate the child, to be a mean of coercion of social norms and social control, and to reinforce the bond of brotherhood. However, the difference is that the play song has a function of critic for another people while the lullaby was not. In terms of contexts, both lullaby and children playing song took the venue as the background of singing the children folksong. They listened to the atmosphere and use natural resources to sing them. The lullaby had local wisdom values that were respecting the parents, honor the women, while the local wisdom values of children playing song were sharing, health, brothers harmony, and love the environment. From the discussion, it was concluded that the oral tradition of lullaby and children playing song on MBT contained local knowledge therefore need to be preserved as an oral tradition of MBT.

Keywords: Folksong, lullaby, children playing song, Batak Toba society, and local wisdom.

LATAR BELAKANG

Awal mula tradisi lisan berkembang di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat yang memiliki adat istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi kelisanan lebih mendominasi daripada tradisi keberaksaraan.Tradisi lisan, dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat, merupakan aset budaya yang penting dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan karena tradisi lisan merupakan kekuatan kultural dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa. Hal ini diperkuat oleh Sibarani (2012: 15) yang mengatakan bahwa tradisi lisan dapat menjadi kekuatan kultural dan salah satu sumber utama yang penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban.

(2)

78

Folklor merupakan bagian dari tradisi lisan, sebagai suatu memori kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (baca juga Danandjaja 2007: 2). Berdasarkan klasifikasi folklor menurut ahli folklor dari Amerika Serikat yaitu Brunvand (dalam Danandjaja, 2007: 22-153), folklor dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan.

Wujud tradisi lisan dapat berupa tradisi berkesusasteraan lisan seperti tradisi menggunakan bahasa rakyat, tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional atau berteka-teki, berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan menabalkan gelar kebangsawanan (Sibarani, 2012: 48). Sastra lisan merupakan tradisi yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan menggunakan bahasa sebagai media utama. Finnegan (1977: 17) berpendapat bahwa sastra untuk dapat disebut lisan harus memenuhi tiga kriteria yaitu 1) segi komposisi, 2) segi transmisi, 3) segi penyajian atau pementasan.Kriteria yang terakhir tidak selalu harus di hadapan orang banyak seperti teater.

Penelitian khazanah tradisi lisan di Indonesia pada awalnya digalakkan setelah muncul kesadaran akan semakin banyaknya penutur dan penikmat yang hilang. Perkembangan zaman yang modern juga sedikit banyaknya mendukung hilangnya dan pupusnya tradisi lisan. Nyanyian rakyat merupakan salah satu wujud tradisi lisan yang dikhawatirkan kehilangan penutur dan penikmatnya. Nyanyian rakyat merupakan bunyi (suara) yang berirama dan berlagu musik yang terangkai sehingga menghasilkan suatu harmonisasi yang indah. Hal ini diperkuat oleh Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 141) yang menyatakan bahwa nyanyian rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta memiliki banyak varian.

Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1994: 142) nyanyian rakyat terdiri dari tiga jenis yaitu: 1) nyanyian rakyat yang berfungsi yaitu nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting, contoh: nyanyian kelonan/menidurkan anak (lullaby), nyanyian kerja (working song), dan nyanyian permainan (playing song); 2) nyanyian rakyat yang bersifat liris yaitu nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya; dan 3) nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative song). Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, nyanyian rakyat tidak diketahui siapa penciptanya karena pada saat nyanyian tersebut diciptakan rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual.

Nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak (lullaby), maupun nyanyian permainan anak (playing song) dahulu sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk menyanyikan nyanyian pengantar tidur anaknya. Berbeda dengan masa sekarang, orang tua sudah jarang menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya, memperdengarkan lagu-lagu klasik dirasa lebih bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Begitu juga nyanyian permainan anak yang pada masa lalu begitu populer digunakan anak-anak dalam mengiringi permainan mereka, tetapi pada masa sekarang mereka umumnya sudah tidak menggunakan bahkan tidak mengenal lagi nyanyian-nyanyian permainan tersebut.

(3)

79

Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki nyanyian rakyat, demikian pula dengan masyarakat Batak Toba (selanjutnya disingkat MBT) yang berada di Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. MBT memiliki berbagai jenis nyanyian rakyat yang dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu jenis nyanyian rakyat MBT yang sudah mulai tertinggal adalah nyanyian anak, baik itu nyanyian menidurkan anak maupun nyanyian permainan anak.

Dalam MBT nyanyian menidurkan anak disebut dideng. Biasanya sebelum menidurkan anak, para orang tua pada MBT gemar sekali mendidengkan anaknya, dan ketika hendak mendidengkan anak maka si anak akan digendong (diompa) dengan memakai kain gendongan yang disebut parompa, atau memasukkannya ke dalam ayunan. Ketika si anak sudah dalam gendongan si orang tua, maka si orang tua tersebut mulai mendidengkan anaknya sambil menepuk-nepuk bokong si anak dengan pelan ataupun mengelus-elus badannya. Selain itu hentakan kaki si orangtua akan turut mengikuti irama lagu yang dinyanyikan. Nyanyian permainan anak adalah nyanyian yang biasanya dinyanyikan anak-anak pada saat bermain, baik dilakukan di dalam rumah, maupun di luar rumah waktu siang atau sore hari dalam keadaan cerah, atau di tempat lain di tempat mereka bermain yang menurut mereka nyaman, seperti di lapangan terbuka. Nyanyian permainan anak ini biasanya dinyanyikan secara kolektif baik oleh anak laki-laki maupun perempuan yang jumlahnya minimal empat atau enam orang.Biasanya tidak semua daérah sama dalam hal isi lagu permainan anak, tergantung tempat di mana mereka tinggal. Nyanyian permainan anak pada MBT yang dibahas dalam penelitian ini adalah nyanyian permainan anak yang masih eksis di lapangan penelitian yaitu Sampele sampele, Jambatan Tapanuli, Kacang koring, dan Sada dua tolu.

Beberapa nyanyian anak pada MBT memiliki beberapa varian. Pewarisan nyanyian anak yang dilakukan secara lisan oleh nenek moyang Batak Toba mengakibatkan nyanyian anak tersebut memiliki banyak varian. Halini pun terjadi dalam pelantunan beberapa nyanyian anak misalnya Sampele sampele, Jambatan Tapamuli memiliki beberapa varian. Adanya varian dalam nyanyian anak pada MBT menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dianalisis. Sebagai sebuah seni, nyanyian anak juga memiliki fungsi. Salah satu fungsinya yang sangat menonjol adalah nyanyian anak berfungsi untuk mendidik, yakni di dalam nyanyian anak tersebut berisi nasihat-nasihat, petuah-petuah, cita-cita, dan harapan-harapan para orang tua yang diperuntukkan bagi anak-anaknya ketika beranjak dewasa. Lirik nyanyian anak terdiri dari barisan kata-kata yang memiliki makna mendalam atau tujuan tertentu yang dipesankan kepada masyarakat sebagai pendengarnya. Selain itu lirik nyanyian anak mengandung makna yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas dan karakter mereka. Kemudian, nyanyian anak berkaitan erat dengan konteks pertunjukan yang meliputi dua hal: konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi merupakan lingkungan atau tempat peristiwa berlangsung. Selain konteks situasi, konteks budaya pun turut mempengaruhi dalam hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa yang melatari pertunjukan. Di samping memiliki fungsi dan makna, nyanyian anak yang merupakan warisan budaya juga sarat akan kearifan-kearifan lokal yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang sangat penting untuk digali yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehingga dapat melangsungkan kehidupan bahkan berkembang secara berkelanjutan.

(4)

80

varian, maka penelitian dilakukan di dua desa di Kecamatan Lintongnihuta yaitu Desa Nagasaribu dan Desa Tapian Nauli.

LANDASAN TEORI

Teori Fungsionalisme Folklor

Dalam menganalisis nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, akan digunakan teori fungsionalisme folklor, teori semiotik, dan teori teks, konteks serta konteks. Teori fungsionalisme folklor terbagi dua yaitu:

Fungsionalisme Murni

Teori fungsi awalnya dikemukakan oleh Malinowski, seorang antropolog sosial. Berbicara fungsi folklor, menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Prop (1975: 21) menyatakan: “Function is understood as an act of character, defined from point of view of its significance for the course of the action: Dalam konteks ini, fungsi merupakan bentuk “ketergantungan” secara utuh pada sebuah sistem budaya. Dalam kaitan ini, fungsi dapat terkait dengan perjuangan kelas (strata sosial).

Fungsionalisme Struktural

Teori fungsionalisme struktural memiliki fungsi bagi pemenuhan keutuhan dan sistematik struktur sosial. Struktur sosial dapat dipahami sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan yang ditemukan oleh institusi, yakni norma dan pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Masyarakat pemilik folklor adalah sebuah institusi yang satu sama lain saling terkait. Mereka saling isi-mengisi demi keutuhan folklor itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Leach (1949: 542) bahwa struktur sosial merupakan bentuk “eksis” pada tataran objektivitas yang kira-kira sama dengan anatomi manusia. Anatomi manusia jelas saling ada ketergantungan dalam kerjanya, begitu pula folklor.Setiap folklor memiliki jaringan yang saling berhubungan. Jaringan itu membentuk struktur yang unik.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pengkajian folklor dari aspek struktural fungsional akan menghubungkan masing-masing unsur struktur sosial. Setiap unsur memiliki tujuan, peranan, keyakinan, ambisi, dan lain-lain demi kelangsungan sebuah struktur. Pada situasi demikian, peneliti akan meninjau lebih jauh seberapa fungsi masing-masing unsur ke dalam struktur yang lebih besar. Setiap unsur struktur ada kalanya memiliki pola hidup tersendiri, yang harus diteima atau ditolak oleh unsur lain. Setiap unsur struktur dihadapkan pula pada “pola pilihan” yang harus diambil. Pada saat itu masyarakat akan menentukan pilihan dan memutuskan.

Teori Semiotika

(5)

81

Pericean. Menurut Zoest (Ratna, 2006: 103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai beikut: 1) Aliran semiotika komunikasi, 2) Aliran semiotika konotatif, dan 3) Aliran semiotika ekspansif.

Dalam menganalisis makna teks nyanyian rakyat anak-anak ini akan digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning).

Teks, Koteks, dan Konteks

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal (Sibarani, 2012: 241-242). Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi. Struktur itu dapat dilihat dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion), yang masing-masing saling mendukung secara koheren (Sibarani, 2012: 242).

(6)

82

tersebut, dan juga benda-benda atau material yang digunakan dalam nyanyian permainan tersebut.

Secara harfiah, konteks berarti “something accompanying text”, yang berarti: sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday, pengertian harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu fakta sosial. Oleh Halliday “something” di atas diolah menjadi “sesuatu yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks sosial (Halliday, 1978) yang diidentifikasikan melalui medan, pelibat dan sarana (Sinar, 2010).

Dalam kajian tradisi lisan peranan konteks sangat penting. Dalam penelitian tradisi lisan nyanyian rakyat anak-anak pada MBT, konteks merupakan salah satu yang harus diamaati sehingga pemaknaan nyanyian anak-anak dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis tertarik dalam mendeskripsikan nyanyian anak-anak dalam konteks sosial dan konteks situasi yang dikemukakan oleh Sibarani. Dalam Sibarani (2012: 326) konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan konteks. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat dan bahkan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas pada nyanyian anak-anak, siapakah penutur, pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian anak-anak itu dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya

Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal memiliki suatu nilai tersendiri yang mana nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya diantaranya adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan jender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani, 2012: 133-134) yang dikelompokkan menjadi kearifan lokal inti (core local wisdom) yaitu kesejahteraan dan kedamaian.

METODOLOGI

(7)

83

1. Deskripsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak (dideng)

[image:7.595.255.368.380.502.2]

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, waktu di desa Nagasaribu menunjukkan pukul dua belas (12) siang, ibu L. Sinaga telah selesai memberi makan anak bayinya yang berumur enam (6) bulan yang bernama Mauliate Sinaga. Saatnya anaknya akan ditidurkan, sambil menunggu anak-anaknya yang lain pulang sekolah. Sudah menjadi kebiasaan dalam menidurkan anaknya, ibu Sinaga selalu menyanyikan nyanyian pengantar tidur bagi anaknya. Terlebih dahulu ibu Sinaga mengambil sebuah kain panjang (parompa) yang akan digunakan untuk menggendong anaknya. Posisi menggendong anaknya adalah gendong depan (ompa jolo) agar ibu dapat mengelus-elus bokong maupun badan anaknya (Gambar 4.1) agar anaknya cepat tidur. Dengan irama lagu yang pelan serta mendayu-dayu ibu Sinaga menyanyikan nyanyian dideng-dideng secara terus menerus sambil mengelus-elus badan anaknya hingga anaknya tertidur lelap. Setelah anaknya tertidur, barulah ibu Sinaga berhenti menyanyikan nyanyian dideng dideng dan kemudian meletakkannya di tempat tidur. Ibu Sinaga dan suaminya adalah seorang petani, hampir setiap hari ibu itu dan suaminya pergi ke kebunnya yang berada tidak jauh dari rumahnya yaitu di belakang rumahnya. Setelah anak-anaknya pulang sekolah, ibu itu pergi ke kebun dan menyuruh anak-anaknya menjaga dan mengawasi adiknya yang masih bayi. Jika anak bayinya tersebut terbangun dari tidurnya dan menangis, maka dengan segera anak-anaknya akan memanggil ibunya yang bekerja di kebun di belakang rumah untuk menyusui maupun mendidengkan anaknya kembali.

Gambar 4.1. Ibu L. Sinaga mendidengkan anaknya dalam gendongannya Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 3 Mei 2014

Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1: Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng Versi informan Op.

Felix Sihombing

Versi informan ibu S. Sihombing

Versi Ibu L.Sinaga di desa Nagasaribu

Versi Ibu D. Simanullang di desa

Tapian Nauli

Molo huingot i sude

loja ni dainang i marmudu au sian na metmet tu na balga

Molo huingot i sude

loja ni dainang i marmudu au sian na metmet tu na balga

Molo huingot i sude

loja ni dainang i marmudu au sian na metmet tu na balga

[image:7.595.116.506.589.720.2]
(8)

84 Diabing au

diompa au asa sonang modom au dideng dideng didok tu au o hasian

Diabing au diompa au asa sonang

modom au dideng dideng didok muse o hasian

Diabing au diompa au asa sonang modom au

dideng dideng didok muse o hasian

Diompa au diabing au asa sonang

modom au dideng dideng didok muse o hasian

2. Deskripsi Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba

Deskripsi Nyanyian Permainan Kacang koring

Tradisi lisan nyanyian permainan Kacang koring direkam pada tanggal 5 Mei 2014 di desa Tapian Nauli dan tanggal 16 Juni 2014 di desa Nagasaribu. Nyanyian ini dinyanyikan ketika hendak bermain petak umpat (martabun tabuni). Nyanyian permainan kacang koring merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran dalam sebuah permainan yaitu siapa yang menang (yang akan dicari) dan yang kalah (yang akan mencari). Jumlah pemain biasanya minimal empat orang anak.

Di desa Tapian Nauli nyanyian permainan ini dilakukan oleh delapan (8) orang anak, mereka adalah Nova, Lamtiur, Novita, Rotua, Sanni, Anna, Marito dan Lusi. Dalam melakukan permainan ini mereka membentuk lingkaran kecil, mereka menurunkan tangan kanannya masing-masing dengan telapak tangan menghadap ke bawah (Gambar 4.3), kemudian secara bersama-sama mereka mengucapkan „kacang koring sibuat na

otik’. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing memperlihatkan

(9)
[image:9.595.246.377.119.243.2]

85

Gambar 4.3 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Tapian Nauli Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 5 Mei 2014

Di desa Nagasaribu nyanyian permainan ini dilakukan oleh enam (6) orang anak (Gambar 4.4), mereka adalah Paskah, Daniel, Heppy, Dewi, Masta dan Lambok. Pemenang pertama adalah Daniel dan Dewi, pemenang kedua adalah Masta, pemenang ketiga adalah Paskah. Heppy dan Lambok melakukan sut dan Heppy adalah pemenangnya, yang juga berarti bahwa Lambok adalah pemain yang kalah yang akan bertugas sebagai penjaga pos. Dia menghadapkan wajahnya ke dinding dan menghitung satu sampai lima puluh (50) sedangkan teman-temannya yang lain sibuk mencari tempat persembunyian. Temannya yang pertama ditemukan adalah Daniel yang bersembunyi di atas pohon, kemudian Masta ditemukan dibalik bunga pangkas. Ketika Lambok meninggalkan pos dan sibuk mencari temann-temannya, Paskah datang ke pos dan langsung memegang dinding tadi sambil mengatakan „tul’ lalu dia kembali mencari tempat persembunyian. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali menghadapkan wajahnya ke dinding dan menghitung satu sampai lima puluh. Ketika Lambok menemukan Paskah, segera lambok datang ke pos dan memegang dinding sambil mengatakan tul si Paskah, tetapi tanpa disadari dari belakangnya telah datang Daniel dan Masta meraka langsung memegang dinding sambil mengatakan tul. Hal itu berarti bahwa Lambok kembali menjaga pos dan menghitung satu sampai lima puluh. Begitu terus dilakukan hingga dia berhasil mengamankan pos dan menemukan teman-temannya di tempat persembunyian mereka.

Gambar 4.4 Nyanyian permainan anak Kacang koring di desa Nagasaribu Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 16 Juni 2014

[image:9.595.244.380.520.640.2]
(10)

86 Kacang koring (kacang kering)

sibuat na otik (ambil sedikit)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama yaitu deskripsi keberadaan nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak pada MBT saat ini, analisis fungsi dan makna, koteks, konteks, serta pembahasan refleksi kearifan lokal.

Keberadaan Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini

Keberadaan nyanyian menidurkan anak dideng pada MBT saat ini sudah mulai sulit ditemukan. Ini terlihat dengan adanya pergeseran dan perubahan budaya yang dipengaruhi oleh mobilitas zaman yang cepat dan begitu sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Kemajuan teknologi yang semakin merata baik di desa maupun di kota turut mempengaruhi keberlangsungan dideng pada MBT. Sekarang, di zaman yang canggih dan modern ini para orangtua lebih suka memperdengarkan nyanyian-nyanyian atau musik-musik melalui media elektronik seperti CD, DVD, VCD, radio, dan media elektronik lainnya. Mereka cenderung lebih suka memperdengarkan musik-musik klasik yang diputar melalui audiovisual, atau media-media elektronik daripada dideng dideng dalam menidurkan anak. Hal itu dirasa lebih praktis, tidak merepotkan dan lebih up to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Kebiasaan para orang tua Batak Toba yang sudah mulai terpengaruh oleh kemajuan teknologi perlahan-lahan membuat mereka menjadi orang tua yang pasif yang berakibat pada kedekatan mereka dengan anak-anak mereka secara psikologis akan berkurang. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam mendideng, selain menyanyi orang tua juga akan kreatif menciptakan gerakan yang bisa membuat anaknya cepat tidur seperti mengelus-elus badan si anak, menepuk-nepuk bokongnya, dan lain-lain. Tetapi dengan hadirnya CD maupun DVD telah dapat menggantikan tradisi dideng tersebut yang dulunya biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka. Kondisi seperti ini perlahan-lahan akan membuat tradisi dideng tersebut akan benar-benar hilang di tengah-tengah kehidupan MBT itu sendiri. Dan sebagai generasi penerus Batak Toba, nyanyian dideng dideng hendaknya dipelihara dan diwariskan kepada generasi selanjutnya karena nyanyian ini adalah salah satu kekayaan budaya daerah dari Batak Toba yang sangat sayang untuk dilupakan begitu saja.

Keberadaan Nyanyian Permainan Anak Pada Masyarakat Batak Toba Saat Ini

Keberadaan nyanyian permainan anak pada MBT akhir-akhir ini juga sudah mulai mengalami kepunahan. Berdasarkan penelitian di lapangan hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.

1. Teknologi

(11)

87

itu menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Padahal di balik semua itu anak-anak tersebut tidak menyadari bahwa bermain games di komputer lama kelamaan akan berpengaruh buruk bagi mereka. Pengaruh buruk tersebut antara lain: a) Membunuh kreatifitas anak-anak sebagai generasi muda. Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang, benda-benda, atau tumbuh- tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Hal tersebut mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. b) Hilangnya kecerdasan spiritual anak. Dalam permainan tradisional terdapat konsep menang dan kalah. Namun, menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya bertengkar atau minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa melakukan permainan mengajarkan secara langsung kepada teman-temannya yang belum bisa. c) Hilangnya kecerdasan natural anak, banyak alat-alat permainan yang dibuat atau digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas tersebut mendekatkan anak terhadap alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu terhadap alam. d) Matinya kecerdasan kinestetik anak, pada umumnya, permainan tradisional mendorong para pemainnya untuk bergerak, seperti melompat, berlari, menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya. Menguasai teknologi bukanlah hal yang salah, tetapi menguasai teknologi lalu melupakan dan meninggalkan tradisi budaya yang sudah diwariskan nenek moyang adalah hal yang salah.

2. Pendidikan

Dewasa ini, sekolah sebagai lingkungan pendidikan dan sebagai rumah kedua bagi anak sudah tidak lagi berkontribusi dalam memperkenalkan atau mensosialisasikan nyanyian permainan anak. Hal itu disebabkan karena guru sekolah sendiri tidak paham permainan tradisi yang seharusnya diajarkan kepada anak dalam kaitan implementasi kurikulum muatanlokal. Karen awalaupun ada buku permainan tradisi khususnya yang menggunakan nyanyian, tetapi tidak disertai notasi sehingga syair nyanyian tersebut hanya sebatas sekelompok kata-kata saja. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hanya beberapa sekolah di Kecamatan Lintongnihuta yang dalam pembelajarannya mengajarkan permainan tradisi yang menggunakan nyanyian salah satunya adalah SD Negeri Nababan Dolok desa Nagasaribu. Kalaupun ada sedikit sekolah yang mengajarkan permainan tradisi, hanya sebatas permainan yang tidak menggunakan nyanyian yang diajarkan dalam pelajaran olahraga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sepantasnya juga mengajarkan kepada anak didik nyanyian permainan yang merupakan warisan nenek moyang ini yang didalamnya terkandung pendidikan karakter.

1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

a. Analisis Fungsi Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

(12)

88 1. Sebagai bentuk hiburan

Fungsi dideng dikatakan sebagai bentuk hiburan karena dideng sendiri merupakan nyanyian yang dinyanyikan ketika hendak menidurkan anak. Nyanyian bagi anak bayi Mauliate Sinaga (6 bulan) dan Lina Simanullang (2 bulan) akan membuat mereka semakin terlelap dalam tidur, sedangkan bagi ibu mereka yang menyanyikannya yaitu ibu L. Sinaga dan ibu D. Simanullang juga dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan mereka dalam bekerja sehari-hari yang berprofesi sebagai petani. Hal ini disebabkan dengan bernyanyi ibu Sinaga dan ibu Simanullang akan lebih bersantai sejenak dan melupakan hal-hal ataupun kejadian yang tidak mengenakkan. Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Danandjaja bahwa nyanyian rakyat memiliki fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu atau menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Fungsi pendidikan mengarah kepada fungsi pembentukan karakter, etika, dan moral. Hal ini dapat dihubungkan dengan berbagai nilai yang benar dan salah, nilai baik dan buruk. Dideng merupakan nyanyian yang diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak usia dini. Proses belajar bayi maupun anak usia dini seperti Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang tidak sama dengan proses belajar anak-anak pada umumnya. Pada umumnya proses belajar anak-anak dapat dilakukan disekolah. Selain itu faktor lingkungan juga turut memberikan pengalaman belajar bagi anak. Sangat berbeda dengan proses belajar bayi maupun anak usia dini karena pada masa ini anak hanya belajar dari orang tuanya. Maka dari itulah dideng juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak karena di dalam dideng tersebut terdapat pesan-pesan moral, petuah-petuah dan pengajaran yang diberikan oleh orang tua sehingga secara tidak langsung anak akan mulai belajar. Pesan atau pengajaran yang terdapat dalam nyanyian Dideng dideng ini adalah agar setiap anak selalu menghormati orangtuanya khususnya ibunya, karena pengorbanan seorang ibu bukan hanya ketika melahirkan anaknya saja tetapi juga ketika merawat anaknya dari kecil hingga dewasa. Oleh karena itu, ketika seorang anak sudah dewasa janganlah menjadi anak yang durhaka kepada ibunya, tetapi menjadi anak yang berbakti.

3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial

Begitu pula halnya dengan fungsi dideng sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan orang tua kepada anaknya lewat dideng biasanya berisi tentang hal-hal yang mengandung nilai-nilaimoral. Hal ini bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa ia menjadi pribadi yang baik, yang menghormati orang tua, mertua, maupun orang-orang yang lebih tua darinya, serta bertindak serta berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa, maupun masyarakat.

4. Sebagai penguat ikatan persaudaraan

(13)

89

2. Analisis Makna Tradisi Lisan Nyanyian Menidurkan Anak

Nyanyian dideng dideng merupakan nyanyian yang menggambarkan perwujudan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dari kecil hingga dewasa. Dalam konteks mandideng si anak yang ditidurkan adalah masih bayi, atau usia dini. Anak yang masih bayi atau usia dini tentu belum bisa mengungkapkan atau mengekspresikan kasih sayang ibunya kepadanya melalui kata-kata maupun nyanyian. Dalam hal ini sang ibulah yang bernyanyi dengan harapan kelak nanti anaknya dewasa, anaknya tersebut akan tetap mengingat dan menghargai semua perjuangan ibunya yang telah membesarkannya dari kecil hingga dewasa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa lirik nyanyian dideng dideng versi informan, dan versi kedua ibu yang mendideng anaknya di Desa Nagasaribu dan Desa Tapian Nauli adalah sama atau tidak memiliki varian. Lirik pada bait pertama adalah sebagai berikut:

molo huingot i sude jika kuingat semua itu

loja ni dainang i lelahnya ibuku

marmudu au sian na metmet merawat aku dari kecil

tu na balga hingga besar

Lirik tersebut di atas memiliki makna denotatif yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Lirik tersebut menggambarkan anak yang tidak pernah melupakan segala susah payah maupun perjuangan yang dilalui ibunya ketika merawatnya dari kecil hingga dewasa. Sejak ibu mengandung anaknya, banyak hal yang harus dialami ibu, mulai dari sakitnya mengidam hingga pertaruhan nyawa ketika melahirkan. Setelah anaknya lahir, tugas utama ibu adalah menyusui anaknya karena air susu merupakan makanan utama bagi bayi. Setelah masa-masa menyusui, seorang anak harus tetap berada di bawah pengawasan ibu untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Memberi anaknya makan, memandikan, menidurkan, merupakan tanggung jawab harian ibu, di samping harus melakukan aktivitas lain mengurus rumah tangga, dan juga membantu suami mencari nafkah. Semua itu dilakukan ibu hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan bahkan tahun berganti tahun, hal itu terus dilakukan demi anak dan keluarganya. Setelah anaknya remaja dan beranjak dewasa bukan berarti ibu tidak lagi mengurusi anaknya, memang tanggung jawab untuk menyuapi, memandikan, menidurkan anaknya tidak lagi dilakukan, tetapi justru di masa-masa inilah ibu juga harus tetap mengawasi pertumbuhan anaknya, khususnya pertumbuhan karakternya, agar kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang baik, anak yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa. Semua hal yang dilalui ibunya tersebut membuat anak sadar bahwa hanya karena ibulah dia bisa tumbuh dan berkembang hingga dewasa. Dengan tetap mengingat susah payah seorang ibu dalam membesarkannya dari kecil hingga dewasa, seorang anak telah menunjukkan bahwa dia adalah anak yang menghargai orang tuanya, tetapi anak yang melupakannya adalah anak durhaka.

Selanjutnya pada bait ke dua nyanyian dideng dideng terdapat lirik sebagai berikut:

diabing au diompa au dipangku aku digendong aku

asa sonang modom au agar aku tenang tidur

dideng dideng dideng dideng

(14)

90

Lirik pada bait ke dua nyanyian dideng dideng di atas juga memiliki makna denotatif. Lirik tersebut menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan ibu di kala hendak menidurkan anaknya. Menidurkan anak bukanlah hal yang mudah, karena anak hanya bisa tidur kalau dia sudah merasa nyaman. Banyak cara yang dilakukan seorang ibu agar anaknya cepat tidur dan terlelap. Pada umumnya ibu-ibu terlebih dahulu menyusui anaknya sebelum menidurkannya, karena anak yang sudah kenyang pada umumnya akan cepat tidur. Tetapi terkadang dengan perut yang sudah kenyang pun, si anak masih tetap rewel, di sinilah ibu harus berusaha mengupayakan agar anaknya cepat tidur. Kadang-kadang anaknya dipangku (diabing), tetapi kalau belum juga bisa tidur dalam pangkuannya, anaknya digendong (diompa) lagi. Dan kalau anaknya belum juga bisa tidur dengan cara dipangku maupun digendong, maka ibu akan mendidengkan anaknya dengan menyanyikan nyanyian pengantar tidur dideng dideng.

3. Analisis Konteks Nyanyian Menidurkan Anak

Ko-teks adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Dalam hal budaya, nyanyian menidurkan anak dideng dideng termasuk kepada pertunjukan budaya. Kata-kata yang digunakan sepenuhnya adalah kosakata bahasa Batak Toba. Kata-kata ini merupakan kata-kata yang memiliki makna, sementara nyanyian tersebut disajikan dalam bentuk melodis. Mimik muka ibu yang mendidengkan anaknya yaitu ibu Sinaga dan ibu Simanullang mengekspresikan kasih sayang yang tulus dari mereka kepada anak-anak mereka yaitu Mauliate Sinaga dan Lina Simanullang. Gerak yang dilakukan ibu Sinaga dan ibu Simanullang adalah gestur kegiatan menyayangi anak. Ketika Mauliate Sinaga berada dalam gendongan ibu Sinaga yaitu posisi gendong depan, secara spontan ibu Sinaga mengelus-elus bokong maupun badan anaknya pelan-pelan, hal itu dimaksudkan agar anaknya cepat tidur senada dengan irama lagu Dideng dideng yang pelan dan mendayu-dayu. Begitu juga ketika Lina Simanullang berada dalam ayunan, gerakan tangan ibu Simanullang yang mengayun anaknya dengan pelan-pelan juga mengikuti irama lagu.

Karena nyanyian ini merupakan pertunjukan budaya sehari-hari yang tidak begitu menonjolkan segi artistik, tetapi lebih menonjolkan guna dan fungsi sosial, maka kostum, tata cahaya, gaya rambut, properti, setting tak begitu diutamakan. Artinya ibu melakukannya dengan alamiah saja, apaadanya, mengalir dalam budaya Batak Toba. Pakaian yang digunakan oleh ibu Sinaga dan ibu Simanullang juga adalah pakaian sehari-hari wanitaBatak Toba yang padaumumnya selalu memakai sarung (mandar) dan laman laman apabila sedang bekerja di luar rumah atau di kebun untuk menghindari terik matahari dan hujan. Unsur material yang digunakan dalam nyanyian Dideng dideng ini adalahkain panjang (parompa) yang digunakan untuk menggendong anak baik dalam posisi gendong depan maupun posisi gendong belakang, tetapi dalam hal ini posisi menggendong anak adalah posisi gendong depan. Jika anak yang didideng adalah dalam ayunan, maka yang digunakan adalah ayunan (anggunan) yang terbuat dari segitiga besi dan per/pegas.

4. Analisis Konteks Nyanyian Menidurkan Anak 1. Tempat berlangsungnya dideng

(15)

91

suasana dapur yang penuh asap maupun aroma-aroma menyengat dari masakan tidak baik untuk kesehatan anak. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, ayunan lebih sering ditempatkan atau digantungkan di dalam kamar orang tua si anak dengan tujuan agar tidur si anak lebih tenang, dan tidak sering dilalui oleh orang yang berjalan di rumah. Tetapi jika sang ibu turut membawa anaknya ke sawah ataupun ke ladang, maka dideng juga bisa berlangsung di tempat tersebut. Biasanya ibu menidurkan anaknya di sebuah gubuk agar terhindar dari binatang liar, tetapi apabila anaknya menangis ibu akan segera meninggalkan pekerjaannya dan menggendong anaknya dengan kain parompa dengan cara ompa jolo karena di gubuk tersebut tidak ada ayunan, dan tidak mungkin ayunan bisa digantungkan di dalam sebuah gubuk yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak kuat karena gubuk hanyalah sebagai tempat berteduh dan beristirahat sebentar.

2. Waktu berlangsungnya dideng

Dideng hanya dilakukan dalam konteks menidurkan anak. Dideng bisa dilakukan kapan saja disaat anak hendak tidur baik di waktu malam maupun di siang hari. Akan tetapi waktu yang lebih dominan berlangsungnya dideng adalah di waktu sianghari, karena pada waktu malam hari si anak biasanya tidur di samping ibunya, jika anaknya menangis ibu segera menyusui anaknya dan biasanya dengan hanya disusui saja tanpa didideng si anak sudah langsung tidur.

3. Pelibatatau pelantun dideng

Orang yang mendidengkankan anak biasanya adalah ibu. Ibu adalah orang yang bertanggung jawab mengurus anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan seorang ayah bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja mencari nafkah diluar rumah. Selain itu, sosok ibu adalah figur yang paling dekat dengan anak, yang paling mengerti kebutuhan anak, sebagai tempat untuk mengadu, bermanja, maupun bermain. Keterikatan batin antara ibu dan anak juga kuat dan sangat dibutuhkan oleh anak terutamaanak bayi dan usia dini.

4. Pelibat yang mendengar dideng

Orang yang mendengar atau berada dilokasi berlangsungnya dideng adalah anak itu sendiri (anak yang menjadi tujuan utama dilantunkannya dideng). Hal ini disebabkan oleh jika terlalu banyak orang lain berada disana maka anak tersebut akan sulit untuk tidur karena sudah barang tentu terjadi kebisingan, sementara itu agar cepat tidur sang anak butuh ketenangan.

5. Suasana ketika berlangsungnya dideng

(16)

92

6. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Permainan Anak

1. Analisis Tradisi Lisan Nyanyian Permainan Anak Kacang Koring

a. Analisis fungsi nyanyian permainan anak kacang koring

Pada hakikatnya „bermain‟ bukanlah suatu kegiatan yang tidak ada artinya.Bermain memberi banyak manfaat positif terutama bagi upaya m e m b e k a l i a n a k - a n a k d e n g a n k e m a m p u a n t e r t e n t u a ga r dapat bertahan hidup dalam lingkungannya. Dengan bermain, anak-anak a k a n m e m p e r o l e h b e r b a ga i k e m a m p u a n , keterampilan, dan pengetahuan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka, tanpa harus merasa jemu ketika berada dalam proses mempelajari ketrampilan dan pengetahuan tersebut.

Pada dasarnya fungsi nyanyian permainan anak kacang koring juga sama dengan fungsi folklor seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

1. Sebagai bentuk hiburan

Pada dasarnya setiap nyanyian permainan anak memiliki fungsi sebagai bentuk hiburan atau rekreatif, demikian juga nyanyian permainan kacang koring juga memiliki fungsi sebagai bentuk hiburan atau rekreatif. Hal itu disebabkan nyanyian permainan kacang koring merupakan nyanyian yang dinyanyikan anak-anak ketika hendak memulai permainan. Dengan bermain anak-anak di desa Nagasaribu dan desa Tapian Nauli dapat menghilangkan sedikit kepenatan dan keletihan mereka dalam beraktivitas sehari-hari seperti belajar di sekolah maupun di rumah dan membantu orang tua bekerja.

2. Sebagai alat pendidikan anak

Selain sebagai bentuk hiburan nyanyian permainan kacang koring juga berfungsi sebagai alat pendidikan anak. Kacang koring merupakan nyanyian permainan yang dilakukan oleh anak usia sekolah. Selain mendapatkan pendidikan formal di sekolah, anak-anak di desa Nagasaribu dan di desa Tapian Nauli juga mendapatkan pendidikan non formal di luar sekolah yaitu melalui bermain. Nyanyian permainan kacang koring ini memiliki nilai pendidikan, pesan maupun petuah bagi anak yaitu saling berbagi, hal tersebut dapat dilihat pada lirik “sibuat na otik” (ambil sedikit). Jika anak-anak diberi makanan, biasanya masing-masing anak akan berlomba mengambil sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan apakah temannya yang lain sudah mendapat bagian atau tidak. Jika sifat seperti ini terus dibiarkan tentu akan terbawa-bawa sampai mereka dewasa. Maka melalui nyanyian ini anak-anak diajari untuk saling berbagi, tidak rakus, adalah lebih baik mengambil sedikit saja atau secukupnya saja agar teman-teman yang lain juga mendapat bagian.

3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial

Nyanyian permainan Kacang koring juga berfungsi sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial. Pesan-pesan yang disampaikan melalui nyanyian ini mengandung nilaimoral. Halini bertujuan agar kelak ketika sang anak dewasa dan dalam kehidupan sehari-harinya ia menjadi pribadi yang menyenangkan, hidup sederhana, tidak berlebihan, taat pada ajaran-ajaran, serta bertindak dan berlaku sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku sehingga akan menjadi manusia yang berguna baik bagi bangsa maupun masyarakat.

b. Analisis makna tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring

(17)

93

denotatif yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Nyanyian permainan ini mengandung nasihat. Hal tersebut dapat dilihat pada lirik: “sibuat na otik” (ambil sedikit). Kacang koring (kacang kering) adalah sejenis makanan ringan yang disukai oleh semua orang termasuk anak-anak. Dalam lirik nyanyian permainan ini anak-anak dianjurkan untuk mengambil kacang kering tersebut sedikit saja. Lirik tersebut bermakna agar anak-anak jangan rakus, jangan egois, tetapi harus mau berbagi dengan teman-teman yang lain. Mampu berbagi akan menjadikan anak-anak menjadi pribadi-pribadi yang memiliki etika dan tata krama sehingga kelak mereka dewasa dan terjun ke masyarakat mereka bisa hidup teratur.

c. Analisis koteks tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring

Dalam hal budaya, nyanyian permainan anak Kacang koring termasuk kepada pertunjukan budaya. Kata-kata yang digunakan sepenuhnya adalah kosakata bahasa Batak Toba. Kata-kata ini merupakan kata-kata yang memiliki makna, sementara nyanyian tersebut disajikan dalam bentuk melodis. Mimik muka anak-anak yang menyanyikan nyanyian permainan ini adalah ceria, senang bercampur penasaran akan telapak tangan siapa yang berbeda dari yang lain, karena telapak tangan yang berbeda dari yang lain akan menjadi salah satu pemain yang menang atau pemain yang akan dicari dalam tempat persembunyian nanti. Gerak yang dilakukan anak-anak adalah dengan serentak menunjukkan telapak tangan masing-masing di akhir lagu, karena jika lambat dapat dipastikan bahwa setelah melihat telapak tangan teman-temannya si anak tersebut akan menunjukkan telapak tangan yang berbeda dari temannya tersebut karena takut kalah dan menjadi pemain yang akan mencari temannya di tempat persembunyiannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa si anak tersebut adalah anak yang tidak mempunyai kepribadian tegas, yang takut mengambil resiko. Karena nyanyian permainan ini j u g a merupakan pertunjukan budaya sehari-hari yang tidak begitu menonjolkan segi artistik, tetapi lebih menonjolkan guna dan fungsi sosial, maka kostum, tata cahaya, gaya rambut, properti, setting tak begitu diutamakan. Artinya anak-anak melakukannya dengan alamiah saja, apa adanya, mengalir dalam budaya Batak Toba. Pakaian yang digunakan oleh anak-anak adalah pakaian sehari-hari.

d. Analisis konteks tradisi lisan nyanyian permainan anak Kacang koring

1. Pelaku permainan

Nyanyian permainan ini biasanya dinyanyikan sewaktu bermain petak umpat (martabun tabuni), nyanyian ini merupakan nyanyian permainan untuk menentukan giliran dalam sebuah permainan atau siapa yang menang dan kalah. Jumlah pemain minimal empat orang anak. Dalam pengamatan langsung, tidak hanya dalam nyanyian permainan kacang koring ini, tetapi juga dalam nyanyian permainan yang lain, pelaku nyanyian permainan ini lebih banyak didominasi oleh perempuan, hal itu dikarenakan anak-anak laki-laki pada umumnya sudah disuruh orang tua mereka untuk mengurusi ternak mereka, seperti mencari rumput untuk makanan kerbau atau menjemput kerbau dari tempat penggembalaannya di sore hari yaitu di ladang, sedangkan anak perempuan tinggal di rumah untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Dan jika anak-anak perempuan tersebut sudah selesai melakukan tugasnya mereka bermain bersama anak-anak yang lain.

2. Tempat berlangsungnya permainan

(18)

94

baik bagi anak-anak untuk bermain di luar rumah, sehingga permainan ini juga bisa dilakukan di dalam rumah, apalagi jika rumahnya cukup besar dan memiliki banyak kamar sebagai tempat persembunyian.

3. Waktu berlangsungnya permainan

Nyanyian permainan ini biasanya dilakukan di sore hari, setelah anak-anak pulang dari sekolah atau setelah anak membantu orang tua mereka, karena pada umumnya anak-anak yang tinggal di pedesaan sudah dilibatkan orang tuanya untuk bekerja walaupun sekedar membantu-bantu. Selain itu cuaca di sore hari tidak sepanas dan seterik di siang hari, sehingga baik untuk kesehatan anak-anak.

4. Cara melakukan permainan

Permainan ini dilakukan dengan membentuk lingkaran kecil, secara bersama-sama anak-anak mengucapkan kalimat „kacang koring sibuat na otik’. Ketika mengucapkan suku kata terakhir yaitu „tik‟, masing-masing anak memperlihatkan salah satu telapak tangan dengan bagian dalam telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Pemenang adalah anak yang memperlihatkan telapak tangan yang berbeda dari anak lainnya. Ketika anak-anak yang lain sudah menang, maka pemain yang kalah ditentukan oleh dua anak-anak yang tersisa dengan melakukan sut. Anak yang kalah sut mendapat giliran sebagai penjaga pos. Si anak tersebut menghadapkan wajahnya ke dinding atau ke tiang untuk menunggu anak yang lain mencari tempat persembunyian. Sambil menunggu si anak tersebut mengucapkan kata „nunga”? (sudah?), jika masih ada anak yang menjawab „daung’ (belum), berarti mereka belum menemukan tempat persembunyian, tetapi jika tidak ada lagi yang menjawab, menandakan bahwa mereka sudah di tempat persembunyian dan sudah bisa untuk dicari. Jika si anak tersebut sudah memukan salah satu temannya, dia harus mengucapkan kata „tul‟ sambil menyebutkan nama temannya tersebut. Begitu seterusnya hingga semua anak ditemukan.

5. Pelibat yang mendengar nyanyian permainan Kacang koring

Orang yang berada di lokasi atau orang yang mendengarkan nyanyian permainan Kacang koring ini adalah anak-anak itu sendiri sebagai pelaku nyanyian permainan ini. Tetapi, sehubungan dengan nyanyian permainan ini dilakukan di luar rumah atau di lapangan, maka petutur atau penikmat nyanyian permainan ini bisa juga masyarakat atau orang yang berada di sekitar lokasi, seperti: orang yang kebetulan lewat, ataupun orang-orang yang dengan sengaja ingin menonton anak-anak yang sedang bermain nyanyian permainan ini.

PEMBAHASAN

1. Kearifan Lokal Nyanyian Menidurkan Anak

Di dalam penelitian kearifan lokal nyanyian menidurkan anak terdapat beberapa kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang dianalisis berdasarkan pengamatan langsung.

a. Menghormati orang tua

(19)

95

Oleh karena itu, sebagai balasannya setiap anak hendaknya menghormati orangtuanya. Hal ini juga sesuai dengan ungkapan dalam MBT yaitu tentang kedudukan orangtua yang sangat tinggi sehingga diibaratkan sebagai Debata na ni ida (Allah yang dapat dilihat). Allah adalah Tuhan pencipta langit, bumi dan segala isinya, Dia adalah Maha segala-galanya, dari padaNya kita meminta berkat dan hanya kepadaNya pulalah kita menyembah dan mengucap syukur. Hal ini berarti bahwa setiap anak wajib menghargai dan menghormati orangtuanya agar mendapat berkat. Di sisi lain, ada beberapa ungkapan dalam MBT tentang menghormati orangtua (Sahril, 2011:51) yaitu:

-“Natoras na tutu mangkaholongi ianakkonna, ianakkon na tutu pasangap natorasna”,

artinya orang tua yang benar ialah yang mencintai anak-anaknya dan anak-anak yang benar ialah yang menghormati orang tua.

-“Tinaba hau toras bahen sopo di balian, na burju marnatoras ingkon dapotan parsaulian, alai na tois marnatoras, olo ma i gomahan ni babiat”, artinya orang yang mengasihi orang tuanya dan selalu melayani mereka sebaik-baiknya akan mendapat kebahagiaan, tetapi yang durhaka terhadap orangtuanya akan mendapat marabahaya.

Dalam ajaran agama Kristen terdapat juga perintah untuk menghormati orang tua yaitu dalam Patik Palimahon (Titah ke lima) yang berbunyi: “Ingkon pasangap on mu natorasmu asa martua ho jala leleng mangolu di tano na ni lehon ni Jahowa Debatam di

ho”, artinya hormatilah orang tuamu agar kamu beroleh umur panjang di tanah yang

diberikan Tuhan Allahmu kepadamu. Dari sini jelas terlihat bahwa pandangan MBT dan ajaran agama tentang menghargai dan menghormati orang tua adalah suatu keharusan dan kewajiban bagi setiap anak agar beroleh berkat, kebahagiaan, dan umur panjang.

b. Menghormati kaum perempuan

Satu hal yang tidak bisa dilakukan kaum laki-laki dan hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan, dan yang menjadi perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan adalah bahwa kaum perempuan bisa mengandung dan melahirkan anak.Sebagai kaum perempuan, ibu telah merawat anaknya sejak dalam kandungan, kemudian melahirkannya dan membesarkannya. Dalam MBT kedudukan kaum perempuan/ibu sangat tinggi, bahkan kita harus memberi penghormatan lebih kepadanya dibanding kepada kaum bapak (Sahril, 2011: 52) seperti pada ungkapan berikut: “sada sangap tu ama, dua sangap tu ina”, artinya di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak, maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu diciptakan oleh Tuhan, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam rumah tangga orang Batak.

c. Pantang menyerah

MBT merupakan masyarakat yang pantang menyerah, mereka selalu giat berusaha demi mencapai apa yang dicita-citakan. Sikap pantang menyerah ini juga tercermin dalam nyanyian menidurkan anak dideng dideng yaitu pada lirik: diabing au diompa au/asa sonang modom au/ dideng dideng didok muse/o hasian

(20)

96

menidurkan anaknya, semua itu terus dilakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Bagi MBT anak adalah segalanya, apapun akan dilakukan orangtua untuk memperjuangkan anaknya, hal ini sesuai dengan ungkapan orang Batak yang menyatakan “anak hon hi do hamoraon di au” (anakku adalah kekayaan bagiku).

2. Kearifan Lokal Nyanyian Permainan Anak Kacang Koring

Dalam nyanyian permainan kacang koring terdapat nilai kearifan lokal yaitu saling berbagi. Hal ini tercermin pada lirik „si buat na otik‟ (ambil sedikit). Kacang koring (kacang kering) merupakan snack khas MBT, dan jenis kacang kering yang terkenal dari Batak Toba adalah kacang garing sihobuk. Kacang ini aslinya berasal dari desa Sihobuk, Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Kacang Sihobuk memiliki karakter rasa yang kuat, gurih dan renyah berkat proses pembuatannya yang cukup unik. Terlebih dahulu dipilih kacang yang tebal kulitnya agar tidak mudah hancur ketika sedang diproses, kemudian direndam selama satu sampai dua hari, lalu dijemur sampai kering selanjutnya digongseng di atas bara di dalam tungku yang bercampur pasir (http://blogspot.com/makanan-tradisional-sumatera-utara.html). Kacang ini sangat baik untuk kesehatan karena tidak digoreng melainkan digongseng. Dahulu, kacang ini hanya bisa dijumpai di daerah Tarutung sekitarnya, oleh karena itu para perantau selalu memburu kacang ini sebagai oleh-oleh khas Tarutung. Berkat pembuatannya yang unik, dan kegunaannya yang baik untuk kesehatan, serta hanya bisa dijumpai di kota asalnya, maka tidak heran kalau kacang ini dulunya sangat mahal, sehingga orang-orang pun hanya membelinya secukupnya saja, yang penting ada sedikit-sedikit untuk dibagi-bagi kepada famili maupun anggota keluarga.

Sekarang ini, kacang garing sihobuk disuguhkan di pesta-pesta Batak Toba seperti pesta pernikahan, memasuki rumah baru, kematian, dan lain-lain. Kacang ini sengaja dipesan atau dibeli dari daerah asalnya yaitu Tarutung. Kacang ini dibagi-bagikan oleh pihak boru yang mengadakan pesta kepada para tamu yang terdiri dari hula-hula, dongan tubu, ale-ale, dongan sahuta, bersama dengan snack yang lain seperti lampet (lepat), teh manis, kopi, dan lain-lain. Cara pembagian kacang ini adalah diberi sejumput-sejumput kepada para tamu, hal ini bermaksud agar semua tamu mendapat bagian karena yang dibagi adalah sedikit. Tetapi, jika kacang sihobuk tidak ada maka kacang kering yang biasa dijual di onan (pasar) lah sebagai penggantinya. Meskipun lebih murah dan lebih mudah didapat, tetap kacang ini dibagi sejumput-sejumput kepada para tamu.

Membagi-bagikan snack kacang kering walaupun hanya sejumput-sejumput merupakan simbol penghormatan dari pihak yang mengadakan pesta kepada para tamu. Meskipun demikian para tamu termasuk hula-hula, dongan tubu sudah merasa senang dan terhormat. Hal ini menunujukkan bahwa di manapun MBT selalu menunujukkan sikap berbagi yang tinggi, walaupun posisinya sebagai hula hula mereka tidak bersikap serakah dengan meminta bagian yang lebih banyak dari tamu yang lain. Jadi, kacang koring sibuat na otik mengandung nilai kearifan lokal bahwa MBT memiliki sikap saling berbagi. Hal ini juga sesuai dengan ungkapan MBT yang mengatakan “holan babiat do

siallang na godang”(hanya harimau yang makan banyak).

SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan

(21)

97

sosial, dan penguat ikatan persaudaraan, sedangkan fungsi nyanyian permainan anak masing-masing adalah sebagai bentuk hiburan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan pengendali sosial, dan sebagai penguat ikatan persaudaraan. Makna nyanyian menidurkan anak adalah menghargai perjuangan ibu, sedangkan makna nyanyian permainan anak masing-masing tidak boleh rakus, menjaga kebersihan badan, kebersamaan, dan cinta lingkungan. Konteks nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak ini adalah mengenailatar atau tempat berlangsungnya nyanyian anak tersebut, siapa yang melantunkan, siapa yang mendengarkan, bagaimana suasananya, serta bagaimana melakukannya. Nilai kearifan lokal yang terdapat pada nyanyian menidurkan anak adalah menghormati orang tua, menghormati kaum perempuan, sedangkan kearifan lokal nyanyian permainan anak masing-masing adalah saling berbagi, kesehatan, saling berbagi, kerukunan bersaudara, serta cinta lingkungan. Nyanyian menidurkan anak dan nyanyian permainan anak MBT merupakan tradisi lisan yang memiliki kearifan lokal yang sangat baik oleh karena itu perlu dilestarikan sebagai tradisi lisan MBT.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barthes, Roland. (2009). Mitologi. Yogjakarta: Kreasi Wacana.

Bascom, William R. (1965b). Four Functions of Folklore dalam Alan Dundes The Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.

Cook, Guy. (1994). Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Danandjaja, James. (1991). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Danandjaja, James. (1994). Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.

Danandjaja, James. (2002). Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti.

Danandjaja, James. (2007). Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Finnegan, Ruth. (1977). Oral Poetry. Its Nature, Significance and Social Context. London: Cambridge University Press.

Halliday, M.A.K. (1978). Language as Social Semiotics. London: University Park Press.

Halliday, M.A.K. Hasan R. (1985). Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press.

Leach, Maria. (1949). (Ed.). Dictionary of Folklore Mythology and Legend. New York: Funk & Wagnalls Company.

Prop, Vladimir. (1975). Morfology of the Folktale. Austin, London: University of Texas Press.

(22)

98

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal Hakikat. Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Medan: Asosiasi Tradisi Lisan

Sinar, T.S. (2010). Teori dan Analisis Wacana. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Media internet

Gambar

Tabel 4.1: Variasi lirik nyanyian menidurkan anak Dideng dideng
Gambar 4.3 Nyanyian permainan anak  Kacang koring di desa Tapian Nauli Sumber: Dokumentasi penulis tanggal 5 Mei 2014

Referensi

Dokumen terkait

Alasan penulis memilih lokasi ini karena masyarakat Batak Toba di Lintongnihuta masih bersifat homogen dan dalam upacara adat selalu berhubungan dengan penuturan

Tujuan dari transkripsi dalam tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan cara penyajian ende marhaminjon yang dilakukan saat prosse manige dalam kebudayaan masyarakat Batak

Teks dalam acara “mamongoti bagas” dalam masyarakat Batak Toba memiliki makna secara keseluruhan pembentukan hubungan sosial yang baru, bahwa ada warga baru di

Adapun tradisi marsirumpa pada masyarakat Batak Toba pada bidang sistem pencaharian, siklus kehidupan dan pekerjaan umum harus didasari dengan kesepakan untuk

Adapun tradisi marsirumpa pada masyarakat Batak Toba pada bidang sistem pencaharian, siklus kehidupan dan pekerjaan umum harus didasari dengan kesepakan untuk melaksanakan

adat, dan siklus pekerjaan umum yang terdapat masyarakat Batak Toba di.

Sama halnya dengan masyarakat pada umumnya, perkawinan dalam masyarakat Batak Toba dimulai dengan perkenalan antara kedua pasangan. Sesuai dengan umpasa Batak mengatakan, Jolo

Menurut Tunas Pasaribu, sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba dimana anak laki-laki merupakan ahli waris, orangtua dalam keadaan jumlah tanah yang dimilikinya lebih sedikit