• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

2.2. Teori Yang Digunakan

2.2.1. Teori Struktur

pendekatan struktur dalam menganalisis karya sastra, sudah sangat sering digunakan. Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini mudah dipahami dan dilaksanakan dalam pengkajian sastra. Pendekatan struktural lahir karena adanya beberapa alasan atau sebab. Salah satu dari sekian banyak alasan tersebut adalah adanya pendekatan tradisional yang masih mementingkan peniru alam sebagai alasan utama terciptanya sebuah karya sastra.

Dalam hal ini Nurgiyantoro (2005 : 22) berpendepat bahwa,

“Istilah “tradisional” dalam kesastraan (traditional literature atau

folk literature) menunjukan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan secara turun-turun secara lisan”

Dari pendapat di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa karya sastra yang lahir karena ide seorang pengarang tanpa dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Pandangan inilah yang mendorong para pengkaji, kritikus dan peneliti sastra sepakat untuk melahirkan pendekatan struktural.

Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik.

Aminuddin, (1987 : 59) berpendapat bahwa,

Pendekatan analitik disimpulkan memiliki dengan new criticism

serta strukturalisme pada umumnya karena pendekatan analitik itu bidang cakupanya sangat luas. Dalam pendekatan analitis selain bisa dilaksanakan telaah tentang adanya ambiguitas, paradoks maupun ironi dalam karya sastra lewat telaah karakter, setting, plot, dan tema serta gaya bahasa yang ada, dapat juga dilaksanakan analisis tentang adanya pesan imbauan maupun nilai-nilai yang ingin dipaparkan pengarangnya dengan bertolak dari unsur-unsur signifikan yang diolah pengarangnya.

Pendekatan struktur lahir karena bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki daya penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal lain yang berada diluar karya sastra. Bila hendak dikaji atau diteliti maka yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, serta hubungan harmonis antaraspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra.

Prinsip analisis struktural ini menurut Semi (1990 : 44-45), yaitu : Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat berpaduan visi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu. Penelaahan sastra melalui pendekatan ini menjadi anutan para kritikus aliran struturalis, di Indonesia tercermin pada kelompok Rawamangun.

Teeuw (Maini, 1984 : 135) berpendapat bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memperkaya secara cermat. Keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur-unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri dan mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berbeda

dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Serta untuk memaparkan dan menyampaikan suatu karya sastra dengan jelas dan secara menyeluruh harus lah melalui unsur yakni melalui tema, alur, tokoh dan latarnya dan juga dari aspek karya sastra itu sendiri.

Berikut yang menjadi konsep dasar, aspek-aspek yang dianalisis ialah :

a. Tema

Setiap karya sastra harus mempunyai tema, karena tema adalah hal yang paling dipentingkan dari sekian masalah yang ada, karena karya sastra apabila tidak memiliki tema maka tidak akan berarti. Tema merupakan pokok permasalahan atau dasar penulisan cipta sastra, tema tersebut dibangun melalui daya imajinasi pengarang.

Tema menurut Scharback (Aminuddin, 1987 : 91) mengungkapkan bahwa, “Tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.

Setiap unsur yang ada dalam cipta sastra harus mendukung tema dan dari hal ini tema adalah gagasan utama atau pikiran utama yang dipergunakan untuk memberi nama bagi suatu pernyataan atau pikiran mengenai sesuatu subjek, motif atau topik

Menurut Mursal (Oktober, 1993 : 10) mengemukakan,

“Tema adalah apa yang menjadi persoalan di dalam sebuah karya sastra. Apa yang menjadi persoalan utama di dalam sebuah karya

sastra. Sebagai persoalan ia merupakan sesuatu yang netral. Pada hakikatnya, di dalam tema belum ada sikap, belum ada kecendrungan untuk memihak. Karena masalah apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Yang menjadi persoalan adalah samapai seberapa jauh seorang pengarang mampu mengolahnya, mengembangkan di dalam sebuah karya sastra. Sampai seberapa jauh pengarang dapat mencarikan suatu pemecahan yang kreatif terhadap persoalan tersebut. Pemecahan persoalan tersebut, pemecahan jalan keluar yang diberikan oleh pengarang di dalam sebuah karya sastra terhadap tema yang dikemukakan adalah amanat”.

Menurut Tarigan (1982 : 162 ) mengemukakan bahwa,

“Setiap cerita atau fiksi haruslah mempunyai tema data dasar yang merupakan tujuan. Penulis melukiskan watak dari para pelaku dalam ceritanya dengan dasar atau tema tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebih-lebihan kalau kita katakan bahwa tema atau dasar ini suatu hal paling penting dalam suatu cerita yang mempunyai tema tertentu tidak ada guna dan artinya”.

Sedangkan Keraf ( Semi,1990 : 108 ) menyatakan :

“Bagaimanapun sebuah karya sastra, entah sebuah buku yang bersifat rekaan (fiktif), seperti roman, cerpen ataupun buku yang bersifat non fiktif tentang masalah politik, perkembangan teknologi modern, hasil penelitian dan sebagainya, harus mempunyai tema atau amanat utama yang akan disampaikan kepada pembaca atau dengan kata lain amanat utama yang akan disampaikan merupakan suatu maksud tertentu yang akan dijalin dalam sebuah topik pembicaraan”.

Lebih lanjut S. Tasrif (dalam Lubis, 1988 : 132) mengemukakan sebagai berikut,

“Untuk menentukan mana yang merupakan tema, pertama tentulah dilihat persoalan mana yang paling menonjol. Kedua, secara kuantitatif, persoalan mana yang paling menimbulkan konflik, konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa. Cara yang ketiga ialah menentukan (menghitung) waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh di dalam sebuah karya sastra.”

Dengan demikian, cara yang tepat untuk mencari tema dari sebuah cerita karya sastra dengan teknik di atas yakni :

1. Melihat persoalan yang paling menonjol. 2. Konflik yang paling banyak hadir. 3. Menghitung urutan penceritaan

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semua jenis karya sastra atau bagaimanapun sebuah karya sastra, entah sebuah buku yang bersifat rekaan (fiktip) seperti roman, cerpen ataupun buku yang bersifat nonfiktif masalah politik, perkembangan teknologi modern, hasil penelitian bahkan yang mempunyai unsur cerita haruslah mempunyai tema yang akan disampaikan kepada pembaca atau pendengar, dengan kata lain amanat utama yang akan disampaikan merupakan suatu maksud tertentu yang akan dijalin dalam sebuah topik pembicaraan. Dan tema merupakan hal yang paling penting dalam sebuah cerita dan karena paling penting itu pula, makanya suatu cerita takkan ada artinya bila dalam cerita itu sendiri tidak mempunyai tema. Dan untuk menentukan suatu tema dalam sebuah cerita harus lah melihat persoalan yang paling menonjol, konflik yang paling banyak hadir serta menghitung urutan penceritaan

b. Alur

Sebelum lebih jauh penulis menguraikan tentang alur ini, maka ada baiknya bila terlebih dahulu penulis sebutkan (uraikan) tentang alur ini bahwa istilah alur ini bermacam-macam alur (trap darmatifccomfict) ataupun plot. Rentang pikiran atau mungkin juga disebut dengan istilah jalan cerita dan sebagaianya. Barangkali alur berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebab seperti yang dikatakan oleh J.S. Badudu (1985 : 5 ) dalam bukunya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Yang Baik. Bahwa bahasa yang

tumbuh baik itu dalam karya sastra senantiasa berubah dan perubahan itu meliputi bidang bahasa secara menyeluruh termasuk soal istilah alur (plot).

Semi (1990 : 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah atruktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interaksi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian seluruh fiksi.

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa alur itu sangat penting untuk merangkaikan peristiwa yang akan ditampilkan oleh pengarang dalam suatu cerita yaitu dengan memperhatikan kepentingan dan berkembanganya suatu cerita itu dan menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain serta bagaimana seorang tokoh itu terkait dalam kesatuan cerita.

Dalam hal ini Aminuddin juga berpendapat (1987 : 83 ) bahwa,

“Alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita, dan dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita”.

Alur juga merupakan suatu rentetan peristiwa yang diurutkan peristiwa yang akan ditampilkan dengan memperlihatkan kepentingan dalam cerita ini. Alur suatu cerita menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain dan bagaimana seorang tokoh dalam suatu cerita terkait dalam kesatuan cerita.

Juga dalam hal ini Nurgiyantoro (2005 : 68) berpendapat bahwa , Alur merupakan aspek terpenting yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang juga pertama-tama menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total untuk mengikuti cerita

Adanya alur cerita akan terbentuk suatu tahapan-tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita melalui para pelaku dalam suatu pengisahan, dan biasanya juga alur element penting yang menyelaraskan gagasan tentang siapa, apa, bagaimana, dimana, mengapa dan kapan. Dengan kata lain alur itu merupakan jalinan asal muasal kejadian dalam perkembangannya sebuah cerita. Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 :83) mendefinisikan plot sebagai berikut :

“Plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita, Kenudian Plot merupakan rangkaian kisah tentang peristiwa yang bersebab, dijalin dengan melibatkan konflik atau masalah yang pada akhirnya diberi peleraian”.

Selanjutnya Lukens (Nurgiyantoro, 2005 : 68) mengemukakan bahwa alur merupakan urutan kejadian yang mempelihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya.

Sejalan dengan itu Muchtar Lubis (dalam Eri, 2005 : 29 ) membagi alur menjadi lima tahapan secara berurutan yaitu :

1. Exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu), 2. Generating circumstances (peristiwa mulai bergerak), 3. Ricing action (keadaan mulai memuncak),

4. Climax (puncak),

5. Denoument (penyelesaian).

Berdasarkan pendapat di atas maka penulis berkesimpulan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian suatu peristiwa dengan peristiwa lain, dengan melibatkan konflik atau masalah serta diberi penyelesaiannya dan peristiwa itu terjadi berdasarkan sebab-akibat dan alur akan melibatkan masalah peristiwa dan aksi yang dilakukan dan ditampakkan kepada tokoh cerita. Dan alur memiliki

exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu), generating circumstances (peristiwa mulai bergerak), ricing action (keadaan mulai memuncak), climax (puncak), denoument (penyelesaian).

c. Latar

Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti yang lebih luas, latar mencakup tempat dalam waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dalam kegiatan itu. ( Tarigan, 1982 : 157)

Menurut Semi (Oktober, 1993 : 51)

“Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati seperti kampus, disebuah kapal yang berlayar ke Hongkong, di kafetaria, di sebuah puskesmas, di dalam penjara di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan di saat upacara sekaten dan sebagainya. Orang atau kerumunan orang yang berada di sekitar tokoh juga dapat dapat dimasukkan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk”.

Selanjutnya Aminuddin (1987 : 67) berpendapat bahwa,

Setting (latar) juga berlaku dalam cerita fiksi karena peristiwa-peristiwa dalam cerita fiksi juga selalu dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi dalam, dalam karya fiksi, setting atau latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Setting juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pemabacanya. Dalam hal ini telah diketahui adanya setting yang metaforis.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa latar adalah ruang atau tempat bahkan periode sejarah yang dapat diamati suasana terjadinya

peristiwa di dalam karya sastra. Atau dengan kata lain setting adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Dalam kaitan ini Aminuddin (1987 : 68) membedakan antara setting (latar) yang bersifat fisikal dengan setting (latar) yang bersifat psikologis yakni :

1. Setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain,serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mangajuk emosi pembaca.

2. Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa nuansa maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

3. Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. 4. Terdapat saling pengaruh dan ketumpangtindihan antara setting fisikal

dengan setting psikologis.

Sejalan dengan itu Sudjiman (Maini, 1997 : 4) berpendapat bahwa pertama-tama latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya, selain itu adanya latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para pelaku. Dan menurut Jakob Sumardjo (1988) Latar sebagai berikut :

Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).

Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.

b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.

d. Latar sosial

Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial, sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa. Serta meyakini adanya magis berupa pawang dan lain-lain.

Dalam kaitan ini Syaifuddin (2002 : 29 ) berpendapat bahwa,

Pawang adalah seseorang yang mampu menggunakan kekuatan magis untuk memindahkan hujan, memindahkan makhluk halus, atau jin dari kawasan hutan sewaktu penebasan hutan dan mampu mengusir jin jahat dari laut yang dijadikan sebagai kawasan penagkapan ikan. Kemudian dalam masyarakat Melayu Sumatera Timur pawang, tukang cerita, orang pintar atau tuan guru mempunyai arti yang sama dengan dukun.

Skeat (dalam Syaifuddin, 2002 : 29 ) juga menyatakan bahwa, Pawang diketahui mampu mengobati orang sakit melalui kekuatan magis atau batinnya. Selain itu, pawang juga mampu membujuk dan menghalau mahkluk halus baik jin atau roh jahat yang dianggap mempunyai kekuatan mengganggu kehidupan manusia.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pawang atau orang pintar lebih dikenal dengan panggilan dukun yaitu yang memiliki kekuatan magis, dengan kekuatannya itu ia dapat menolong orang dari suatu masalah, misalnya menghalau jin atau roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia. Selain itu juga, pawang dapat menyelamatkan masyarakat apabila adanya kejadian yang merisaukan masyarakat.

e. Tokoh

Menurut Mido (Eri , 2005 : 36 ) tokoh dalam cerita mungkin saja hanya satu orang atau lebih dari satu orang. Kalau dari satu maka ditinjau dari segi perannya. Tokoh adalah pemeran dalam suatu cerita, karena tanpa tokoh sebuah cerita tidak akan ada. Dan tokoh sering juga disebut penggambaran watak dan kepribadian secara tidak langsung.

Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 79 ) menegaskan,

“Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”

Tokoh masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri ada yang sering muncul atau sering diceritakan (sentral) dan bahkan hanya sebagai peran tambahan. Dan dalam hal ini Sumardjo (1988) mengungkapkan bahwa tokoh berdasarkan fungsinya memiliki peran sebgai berikut :

“Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu

b. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.

c. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu

a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis). b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit

c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku atau pemeran dari dalam cerita yang menitikberatkan kepada kegiatannya sehari-hari dalam kehidupan suatu karya sastra. Peran dan fungsi tokoh masing-masing memiliki keragaman, karena peran seorang tokoh dalam sebuah cerita mewakili karekter dari karya itu masing-masing berbeda, maka dari itulah seorang tokoh memilki keragaman ada sebagai tokoh sentral protagonis yang selalu membawakan cerita dengan pembawaan tokoh yang baik dan mulia (positif). Ada tokoh sentral protagonis yaitu yang selalu membawakan tokoh yang buruk (negatif). Dan dalam sebuah cerita terdapat adanya tokoh yang sebagai pemeran tokoh bawahan yaitu tokoh yang berfungsi sebagai pemeran pembantu utama dalam sebuah cerita.

f. Penokohan

Penokohan merupakan keseluruhan gerak laku yang terdorong oleh motivasi-motivasi kejiwaan yang disuguhkan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra.

Menurut KBBI (2000 : 1149 ) bahwa “penokohan adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran, perbuatan, tabiat dan budi pekerti”. Dalam hal ini Tarigan juga berpendapat, (1982 : 141) bahwa, perwatakan atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya.

Selanjutnya Semi (1990 : 29) menegaskan tentang tokoh cerita sebagai berikut :

“Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang di beri bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidakny antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, perilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan sebagainya”.

Lalu bagaimanakah cara pengarang membangun watak para tokoh ini? Ada berbagai upaya yang akan ditempuh oleh seorang pengarang seperti yang dikemukakan olah Aminuddin (1987 : 80-81) yakni,

“Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya dengan cara :

1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.

2. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian.

3. Menunjukan bagaimana perilakunya.

4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri. 5. Memahami bagaimana jalan pikirannya.

6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya. 7. Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya.

8. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lian itu memberikan reaksi terhadapnya

9. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perwatakan adalah keseluruhan sifat tokoh atau pelaku yang digambarkan oleh pengarang di dalam karyanya. Sifat ini merupakan segala tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan keadaan fisisk tokoh tersebut. Penokohan ini selalu dihubungkan dengan tokoh atau pelaku yang ada di dalam sebuah cerita. Setiap peristiwa atau kejadian yang ada di dalam sastra berlangsung sedemikian rupa dengan adanya tokoh cerita.

Dokumen terkait