• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Perilaku Agresi

3. Teori-Teori Agresi

Berbagai macam pendapat yang menjelaskan tentang mengapa individu dapat berperilaku agresif. Ada yang mengatakan karena adanya dorongan dari dalam individu, yang lain lagi mengatakan karena adanya frustrasi atau karena lingkungan, sedang yang lain mengatakan karena adanya proses belajar. Berikut ini akan dibahas teori-teori psikologi yang menjelaskan tentang mengapa individu melakukan tindakkan agresi, teori-teori agresi tersebut adalah sebagai berikut: a. Teori instingtual Psikoanalis

Sigmund Freud (Berkowitz, Leonard, Agresi: Sebab dan Akibat 1995) adalah orang yang pertama melihat agresi manusia sebagai suatu insting. Teori yang dikemukakan oleh Freud ini lebih menekankan pada dorongan yang berasal dari dalam diri individu. Menurut Freud (Berkowitz, Leonard, Agresi: Sebab dan Akibat 1995) dorongan untuk berperilaku agresi muncul dengan sendirinya pada individu dan tidak tergantung pada faktor-faktor dari luar. Menurutnya ada 2 (dua) kekuatan dasar yang mendorong individu untuk berperilaku yaitu insting hidup (Eros) yang bertujuan memperbaiki dan memperpanjang hidup, dan insting mati (Thanatos) yang berusaha secara terus-menerus untuk merusak atau menghancurkan kehidupan organisme. Kedua kekuatan ini merupakan sumber konflik dalam diri individu yang terus-menerus terjadi. Untuk mengatasi konflik

ini diperlukan pengalihan dari dalam inividu kepada objek lain atau individu yang lain. Tujuannya adalah untuk melindungi stabilitas dalam diri individu itu sendiri. Baron dan Byrne (Baron, R.A., & Byrne, D, Social Psychology 8th Edition, 1997) mengatakan bahwa sumber utama tindakkan agresi adalah kekuatan insting mati (thanatos) yang dimiliki oleh semua individu. Tujuan insting ini adalah pada perusakan diri tapi kemudian diarahkan juga keluar atau kepada orang lain. Jika insting mati (thanatos) lebih dominan maka hasilnya adalah tindakkan menghukum diri sendiri dan juga tindakkan bunuh diri. Freud (Berkowitz, Leonard, Agresi: Sebab dan Akibat 1995) juga percaya bahwa insting hidup (Eros) biasanya akan merintangi atau menghalangi tujuan-tujuan merusak dari insting mati (thanatos) dan mengarahkannya ke luar diri individu. Pengarahan secara langsung keluar dari dalam diri individu menghasilkan agresi dan sikap bermusuhan. Jadi menurut Freud (Berkowitz, Leonard, Agresi: Sebab dan Akibat 1995) agresi adalah sikap bermusuhan yang telah dipindahkan dari diri ke target lain di luar diri individu. Menurutnya manusia akan selalu menjadi agresif, tanpa memperhatikan secara khusus situasi di mana mereka tinggal. Agresi merupakan bagian tak terhindarkan dari perilaku manusia dan berada di luar kontrol individu. b. Teori Dorongan atau Hipotesis Frustrasi agresi

Dollard dkk ((Berkowitz, Leonard, Agresi: Sebab dan Akibat 1995)) mengatakan bahwa manusia termotivasi untuk melakukan tindakkan agresi karena adanya dorongan yang dihasilkan oleh frustrasi dan bukan karena adanya dorongan agresif dari dalam diri individu. Pengalaman frustrasi akan

mengaktifkan keinginan untuk bertindak agresif terhadap sumber frustrasi yang, sebagai akibatnya, mencetuskan perilaku agresif.

Hipotesis dari frustrasi-agresi beranggapan bahwa penghalangan terhadap usaha individu dalam mencapai tujuan dapat menyebabkan munculnya dorongan agresif. Penghalangan ini akan memunculkan amarah (anger) yaitu suatu keadaan siap untuk melakukan tindakkan agresi. Dorongan agresif yang muncul akan memotivasi terbentuknya perilaku untuk menyakiti individu atau objek lain. Dengan menyakiti individu atau objek lain diasumsikan dapat mengurangi dorongan agresif. Hipotesis frustrasi agresi ini mengasumsikan bahwa frustrasi selalu mengakibatkan atau menghasilkan tindakkan agresi.

Modifikasi lebih lanjut terhadap hipotesis ini menyebutkan bahwa tidak semua frustrasi menimbulkan respon agresif, respon nonagresif juga dapat terjadi. c. Teori Pengalihan Rangsangan

Teori ini merupakan gabungan dari teori emosi dua faktor Schachter dan Zillmann (Krahé, Barbara; Perilaku Agresif, 2005). Teori ini mengemukakan bahwa respon agresif individu sangat bergantung pada interpretasi penerima stimulasi terhadap stimulasi yang diterimannya. Teori ini juga mengatakan bahwa intensitas pengalaman marah merupakan fungsi dua komponen yaitu kekuatan rangsangan yang dibangkitkan oleh kejadian aversif, dan cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label. Teori ini khususnya berhubungan dengan kombinasi antar rangsangan fisiologis dan penilaian kognitif yang terlibat dalam pengalaman emosional mengenai kemarahan. Pendekatan ini mendukung pandangan agresi

sebagai manifestasi perilaku manusiawi yang bersifat potensial, tetapi bukan tidak mungkin dihindari.

d. Teori Sosial-Kognitif

Baron & Byrne (Baron, R.A., & Byrne, D, Social Psychology 8th Edition, 1997) mengatakan bahwa teori sosial-kognitif menjelaskan cara individu memikirkan kejadian aversive dan reaksi emosional yang dialami merupakan aspek yang penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon agresif individu.

Ada 3 (tiga) hal yang berperan dalam terbentuknya suatu perilaku menutut teori ini. Ketiga hal tersebut yaitu skrip (scripts), penilaian (appraisal) dan pengaruh (affect). Skrip adalah program-program kognitif untuk situasi yang seharusnya terjadi dalam suatu situasi. Disini kita telah memiliki suatu bentuk gambaran perilaku yang mungkin dilakukan dalam suatu situasi tertentu. Misalnya saja ketika anda pergi ke pasar, situasi yang digambarkan anda adalah situasi pasar, dimana ada tindakkan jual-beli dan tawar-menawar. Ketika kaki anda terinjak oleh orang lain dan anda merasa kesakitan, maka situasi ini tidak ada dalam gambaran yang telah anda buat tadi tentang pasar. Anda ingin membalasnya. Sebelum melakukan tindakkan membalas itu anda akan menginterpretasikan situasi terlebih dahulu. Kita menilai mengapa individu lain melakukan tindakkan itu atau mengapa tindakkan itu terjadi. Dalam melakukan penilaian kita memerlukan waktu beberapa saat untuk mempertimbangkan situasi dan memasukan faktor-faktor lain sebanyak mungkin tentang apa yang mungkin terjadi jika kita berpilaku demikian. Apa pengaruh yang mungkin dihasilkan dari

tindakkan kita. Anda bisa mendorong orang tersebut dan bertengkar, hal ini akan memuaskan anda tapi resikonya anda akan diusir keluar pasar. Pemikiran-pemikiran seperti ini akan mempengaruhi perilaku agresi individu.

Rasa sakit karena kaki anda terinjak akan menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan itu akan memerikan pengaruh negatif. Menurut Berkowitz (Baron, R.A., & Byrne, D, Social Psychology 8th Edition, 1997) rasa sakit yang kita dialami akan mengarahkan kita untuk melakukan tidak hanya kecenderung segera untuk membalas atau menarik diri tetapi juga mempengaruhi pemikiran dan ingatan yang berhubungan dengan rasa sakit dan pengalaman lain yang mengganggu. Hal-hal seperti ini dapat menjadi pemicu suatu reaksi agresif. Jadi bisa dikatakan bahwa pengaruh dari pengalaman-pengalaman yang didalami individu, bagaimana individu menginterpretasi situasi, pertimbangan tentang situasi dan akibat yang mungkin terjadi mempengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku agresi pada individu.

e. Pendekatan Belajar menjadi Agresif

Bandura (Bandura, Albert; Aggression A Social Learning Analysis, 1973) mengatakan pendekatan ini menitikberatkan pada peran penguatan dan meniru. Individu yang diberi hadiah untuk perilaku agresifnya, cenderung akan mengulang lagi perilaku agresif tersebut. Selain hadiah yang diterima, cara lain untuk mempelajari perilaku agresif adalah dengan meniru orang lain yang bertindak agresif. Mengamati model yang berpengaruh bisa menyebabkan diperolehnya perilaku yang diobeservasi, bahkan bila perilaku itu belum mendapatkan penguatan. Semakin positif akibat perilaku agresif itu bagi model, maka semakin

besar kemungkinannya untuk ditiru oleh pengamat. Baik perilaku modal dan akibatnya merupakan pengaruh eksternal yang memunculkan kecenderungan respon agresif bagi pengamatnya.

Dokumen terkait