• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. URAIAN TEORITIS

II.2. Komunikasi Verbal

II.3.4. Teori-teori Komunikasi Nonverbal

Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal. 1. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)

Menurut Darwin, komunikasi nonverbal dari makhluk hidup yang berbeda sebenarnya adalah sama. Orang-orang yang mendukung pandangan Darwin, seperti Morris, Ekman dan Friesen percaya bahwa ekspresi nonverbal pada budaya manapun esensinya sama, karena komunikasi nonverbal tidak dipelajari, ia adalah bagian alami dari keberadaan manusia, misalnya senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan pada kultur manapun juga.

Teori Struktur Kumulatif

Dalam teorinya ini, Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang diasosiasikan dengan kinesic, teori mereka disebut

“cumulative structure” atau “meaning centered” karena lebih banyak

membahas mengenai makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur prilaku, Mereka beranggapan bahwa seluruh komunikasi nonverbal merefleksikan dua hal : apakah suatu tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan verbal. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang yang sedang menceritakan sesuatu dan gerak tangannya yang menunjukkan tinggi serta

ekspresi wajah yang gembira. Gerak tangan yang menunjukkan tinggi ini tidak akan memiliki arti tanpa disertai ungkapan verbal, jadi tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya dengan ekspresi wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat diartikan tanpa bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua tindakan tersebut telah menambahkan kepada makna yang berkaitan dengan interaksi antara kedua orang tersebut, dan ini oleh Ekman dan Friesen disebut sebagai

“expressive behaviour”.

Selanjutnya Ekman dan Friesen mengidentifikasi lima kategori dari

expressive behaviour yaitu emblem, illustrator, regulator, adaptor dan

emosi (penggambaran perasaan), dimana masing-masing memberikan kedalaman pada makna yang berkaitan dengan situasi komunikasi.

Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai

sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian, atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan lambaian tanagan, anggukan kepala, atau acungan jempol.

Ilustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang

mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan yang serius atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dibicarakan. Sementara itu,

regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam

regulator dalam percakapan misalnya senyuman, anggukan kepala, tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya berperan dalam mengatur arus informasi dalam suatu situasi percakapan.

Adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk

menyesuaikan tubuh dan menciptakan keamanan bagi tubuh dan emosi. Terdapat dua sub kategori dari adaptor yaitu: self (seperti menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung), dan object (menggigit pensil, memainkan kunci). Perilaku ini biasanya dipandang sebgai refleksi kecemasan atau prilaku negatif. Kategori kelima adalah penggambaran emosi atau affect display yang dapat disengaja ataupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect display yang pengungkapannya cukup universal, yaitu: marah, menghina, malu, takut, gembira, sedih dan terkejut. Mereka mengemukakan pula bahwa affect display yang berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan, dan bentuk seperti ini disebut affect blend. Teori Tindakan (Action Theory)

Morris juga mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic yang lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa prilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi kedalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya terdapat lima kategori yang berbeda dalam tindakannya itu: pembawaan (inborn), ditemukan (discovered), diserap (absorbed), dilatih (trained), dan campuran (mixed). Inborn merupakan instink yang dimiliki sejak lahir,

seperti prilaku menyusu. Discovered diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur genetik tubuh, seperti menyilangkan kaki. Absorbed diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman), seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang. Trained diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik dan sebagainya. Sedangkan

mixed actions diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup

keempat hal diatas.

2. Pendekatan Antropologi (Anthropological Approach)

Pendekatan antropologis menganggap komunikasi nonverbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall.

Analogi linguistik

Dalam teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi nonverbal memiliki struktur yang sama dengan komunikasi verbal. Bahasa distrukturkan atas bunyi dan kombinasi bunyi yang membentuk apa yang kita sebut kata. Kombinasi kata dalam suatu konteks akan membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat akan membentuk paragraf. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi dalam konteks nonverbal, yaitu terdapat bunyi nonverbal yang disebut allokines (satuan gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat dideteksi). Kombinasi

allokines akan membentuk kines dalam suatu bentuk yang serupa dengan

bahasa verbal, yang dalam teori ini disebut sebagai analogi linguistik. Teori ini mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut:

1) Terdapat tingkat saling ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan membentuk “infracommunicational system”

2) Komunikasi kinesik berbeda antarkultur dan bahkan antar mikrokultur.

3) Tidak ada simbol bahasa tubuh yang universal.

4) Prinsip-prinsip pengulangan (redundancy) tidak terdapat pada prilaku kinesik.

5) Prilaku kinesik lebih primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal.

6) Kita harus membandingkan tanda-tanda nonverbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat. Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistik ini pada dasarnya menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja sama untuk menciptakan persepsi dan dalam setiap situasi, satu atau lebih indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, prilaku kinesik bersifat unik bagi setiap kultur atau subkultur di mana individu berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi tentang komunikasi nonverbal.

Prinsip ketiga menegaskan kembali bahwa prilaku nonverbal lebih banyak diperoleh sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang diturunkan antara generasi. Dia juga menganggap bahwa komunikasi nonverbal lebih bersifat melengkapi komunikasi verbal daripada mengulang atau menggantikannya, yaitu keduanya bekerja secara

bersama-sama dalam menghasilkan makna. Dan akhirnya, karena komunikasi nonverbal tidak selalu dilakukan secara sadar dan lebih bersifat primitif, kita cenderung untuk melupakan apa yang kita katakan secara nonverbal.

Selanjutnya Birdwhistell menjelaskan bahwa fenomena parakinesik (yaitu kombinasi gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal) dapat dipelajari melalui struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga faktor yaitu: intensitas dari tegangan yang tampak dari otot, durasi dari gerakan yang tampak dan luasnya gerakan. Dari faktor-faktor ini kita dapat menganalisis berbagai klasifikasi gerakan/prilaku yang meliputi allokine,

kine, kineme (pengelompokkan kine yang artinya menyerupai suatu “kata”

dalam bahasa), dan kinemorpheme (yang menyerupai kalimat dalam konteks bahasa). Jadi kita dapat menganalisis komunikasi nonverbal seperti jika kita melakukannya pada komunikasi verbal, namun kita mengganti unit analisisnya dari “bunyi dan kata” menjadi “gerak dan gerakan”.

Analogi Kultural

Analogi Kultural yang dikemukakan oleh Edward T.Hall membahas komunikasi nonverbal dari aspek proksemik dan kronemik. Teori Hall mengenai proksemik mengacu kepada penggunaan ruang sebagai ekspresi spesifik dari kultur. Teori Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya sebagai lingkungan (artifactual), teritorial, dan personal. Lebih lanjut, Hall mengemukakan adanya tiga jenis ruang masing-masing dengan norma dan ekspektasi yang berbeda yaitu: informal space, ruang

terdekat yang mengitari kita (personal space); fixed-feature space, yaitu benda dilingkungan kita yang relatif sulit bergerak atau dipindahkan seperti rumah, tembok dan sebagainya; dan semifixed-feature space, yaitu barang-barang yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature

space.

Salah satu aspek terpenting dari teori Hall adalah kajiannya mengenai preferensi dalam personal space. Menurutnya preferensi ruang seseorang ditentukan oleh delapan faktor yang saling terkait yang ditemukan dalam tiap kultur. Yang pertama adalah jenis kelamin dan posisi dari orang yang saling berinteraksi, yaitu laki-laki dan perempuan, dan apakah mereka duduk, berdiri, dan sebagainya. Kedua, sudut pandangan atau angle yang terbentuk oleh bahu, dada/ punggung dari orang yang berkomunikasi (faktor sociofugal-sociopetal axis). Ketiga, posisi badan ketika berkomunikasi yang berada dalam jarak sentuhan (faktor kinesthetic). Keempat, sentuhan dan jenis sentuhan (faktor

zero-proxemic). Kelima, frekuensi dan cara-cara kontak mata (faktor visual code). Keenam, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan ketika

berinteraksi (faktor thermal code). Ketujuh, odor atau bau yang tercium ketika berinteraksi (faktor olfactory code). Delapan, kerasnya atau volume suara dalam berinteraksi (faktor voice loudness).

Dalam analisisnya mengenai waktu atau chronemics sebagai salah satu tanda nonverbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditemukan dalam berbagai kultur dalam bentuk yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang disebut dengan formal time, informal time, dan

technical time. Formal time mencakup susunan dan siklus, memiliki nilai,

memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefinisikan secara lebih longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis atau sosiologis, serta diungkapkan melalui individu atau kelompok. Penggunaanya dapat berupa ungkapan ‘sebentar lagi’, ‘nanti’, atau ‘sekarang’. Sedangkan technical time menggambarkan penggunaan waktu secara lebih spesifik, seperti ‘kilometer per jam’, ‘tahun matahari’, atau ‘meter per detik’.

3. Pendekatan Fungsional (Functional Approach)

Pendekatan fungsional memandang komunikasi nonverbal sebagai bertujuan dan dibatasi oleh suatu kerangka waktu tertentu. Ini berbeda dari pendekatan ethologis dimana komunikasi nonverbal dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkesinambungan dari spesies yang lebih rendah sampai kepada manusia. Ini juga berbeda dari pendekatan antropologis dimana fungsi tertentu dapat terjadi dalam setiap kultur.

Dalam teori fungsional, norma-norma kultural dianggap sebagai sesuatu yang telah ada (given) dan diperhitungkan dalam kerangka waktu sebagai ‘variasi kultural’. Persoalan yang muncul dengan pendekatan fungsional adalah bahwa teori-teorinya mengemukakan sejumlah fungsi berbeda, beberapa diantaranya menunjukkan kesamaan sementara sejumlah lainnya berbeda.

Teori Metaforis dari Mehrabian

Teori Mehrabian menempatkan prilaku nonverbal kedalam pengelompokkan fungsi. Dia memandang komunikasi nonverbal berada diantara tiga kontinum, yaitu: dominant-submisif, menyenangkan-tidak

menyenangkan, dan menggairahkan-tidak menggairahkan. Perilaku nonverbal dapat ditempatkan pada setiap kontinum dan dianalisis melalui tiga metafora yang berkaitan dengan kekuasaan-status, kesukaan, dan tingkat responsif. Metafora kekuasaan-status mencerminkan tingkatan dimana prilaku nonverbal mengkomunikasikan dominasi atau submisi. Metafora kesukaan didasarkan pada kontinum menyenangkan-tidak menyenangkan, sedangkan metafora responsif didasarkan pada kontinum menggairahkan-tidak menggairahkan. Hampir setiap pesan nonverbal dapat dianalisis oleh setiap fungsinya dan diinterpretasikan dari satu atau kombinasi fungsi-fungsi tersebut. Misalnya senyuman dapat mengindikasikan adanya kesenangan, kegairahan dan kesukaan. Teori Mehrabian dapat diterapkan pada semua komunikasi nonverbal, meskipun paling sesuai untuk diterapkan pada penandaan kinesik, paralanguage, sentuhan, dan jarak/ruang.

Teori Equilibrium

Michael Argyle dan Lanet Dean mengemukakan suatu teori komunikasi nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-equilibrium. Mereka mengemukakan bahwa seluruh interaksi dibatasi dalam konflik antara kekuatan-kekuatan penarik dan penolak. Kekuatan yang menarik dan mendorong satu orang dengan orang lainnya cenderung untuk menyeimbangkan suatu hubungan. Kekuatan tersebut dijumpai dalam prilaku nonverbal yang berkaitan dengan pendekatan (jarak yang lebih dekat, kontak mata yang lebih banyak, sentuhan dan gerakan tubuh yang lebih sering), dan penghindaran ( jarak yang lebih jauh, kurangnya kontak

mata, dan jarangnya sentuhan dan gerakan tubuh). Lebih lanjut Argyle dan Dean mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi kita mengalami atau menggunakan seluruh saluran komunikasi yang ada dan suatu perubahan dalam satu saluran nonverbal akan menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai kompensasi.

Teori Fungsional dari Patterson

Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memilik lima fungsi yaitu: memberikan informasi, mengekspresikan keintiman, mengatur interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan membantu pencapaian tujuan. Memberikan informasi antara lain membiarkan seseorang mengerti tentang perasaan kita. Mengekspresikan keintiman dapat dilakukan melalui sentuhan. Pengaturan interaksi antara lain mengatur giliran berbicara dalam percakapan. Melaksanakan kontrol sosial digunakan ketika kita mengekspresikan pandangan. Membantu pencapaian tujuan biasanya bersifat impersonal, misalnya sentuhan yang terjadi ketika seorang penata rambut sedang menata rambut kita.

Teori Fungsional Komunikatif

Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada ‘kegunaan, motif, atau hasil dari komunikasi’. Teori ini menjelaskan peran yang dimiliki komunikasi nonverbal terhadap hasil komunikasi seperti persuasi dan desepsi (pengelabuan). Dengan demikian teori ini telah mengalihkan perhatian dari suatu pemahaman mengenai bagaimana cara kerja komunikasi nonverbal, kepada apa yang dilakukan komunikasi nonverbal. Burgoon mengemukakan sedikitnya terdapat sembilan fungsi

dari komunikasi emosional sampai pemrosesan informasi dan pemahaman. Teori ini memandang suatu inisiatif untuk berinteraksi sebagai sifat multifungsional dan sebagai suatu bagian penting dari proses komunikasi. Jadi, fokusnya bukan sekedar pada apa yang ditampilkan oleh prilaku nonverbal tetapi juga pada hubungan antara prilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada dibaliknya.

II.4. Komunikasi Fatis

Menurut Vladimir Zegarac, apa itu komunikasi fatis atau What is Phatic

communication adalah pertanyaan untuk jawaban faktual yang dapat diberikan

dalam suatu konteks penjelasan mengenai tingkah laku yang bersifat komunikatif.50

Ada sedikit bantahan bahwa teori pragmatis harusnya memiliki suatu istilah untuk menyebutkan jenis bahasa yang digunakan tersebut.

Pertama, pertukaran bersifat fatis sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, pendekatan logis (plausible) dari interaksi verbal dapat menjelaskannya.

Kedua, hubungan yang bersifat fatis memunculkan kesulitan-kesulitan yang spesifik untuk analisis pragmatis. Jadi, ada suatu istilah untuk mengatakan tentangnya dimana seseorang tidak akan benar-benar membutuhkan istilah tersebut untuk disebutkan dengan tipe-tipe hubungan lainnya.

Ketiga, komunikasi fatis sering disinggung dan kadang-kadang dijelaskan namun memang belum pernah dijelaskan secara terperinci.

Komunikasi fatis dalam bahasa Inggris disebut juga small talk atau chit

chat. Orang-orang menyadari bahwa beberapa ungkapan seperti, “hari yang cerah,

bukan?” dan “bagaimana dengan liburanmu?” adalah percakapan yang bersifat social. Mereka juga memahami cara melakukan komunikasi fatis tertentu yang mempersyaratkan terlibatnya mental dan memakan waktu.

Komunikasi Fatis adalah komunikasi yang bertujuan untuk menimbulkan kesenangan diantara pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Menurut Fawcett, komunikasi fatis bukanlah mengenai pembagian informasi saat kita mengatakan “hari sangat cerah” sementara kelihatannya hujan akan turun segera, yang berarti tujuan informasinya lemah. (... it is not that we are

not sharing information when we say nice day but it looks as if it may rain soon, but that the informational purpose is rather weak).51

Sedangkan Schneider mengatakan komunikasi fatis adalah perbincangan kecil yang tidak mengandung banyak informasi penegtahuan namun selalu mengandung informasi sosial (... small talk does not convey much cognitive

information [...] but it is always loaded with social information).52

Coupland, Coupland and Robinson menyebutkan bahwa komunikasi fatis seringkali hanya untuk menciptakan sebuah hubungan atau percakapan konvensional dan tidak bersifat semantik (... 'phatic communion' has often been

appealed to as a concept ... typically taken to designate a conventionalized and desemanticized discourse mode or type).53

Para ahli tersebut juga menekankan bahwa komunikasi fatis sering dilibatkan dengan derajat kepura-puran mengenai apa sebenarnya niat si 51

Ibid 52 Ibid 53 Ibid

pembicara kepada pendengarnya seperti yang disebutkan oleh Coupland, Coupland and Robinson :

“Satu ciri kunci dari percakapan fatis adalah bahwa yang kita duga sebenarnya tidak tepat, melainkan hanya sebagai cara untuk menyembunyikan isi pesan kemana komitmen tersebut dibuat”. (A key characteristic of talking

phatically may therefore be not so much that it is inherently suspect, but that it manages to disguise the extent to which commitment is being made or withheld).54

Menurut Vladimir Zegarac dan Billy Clark Komunikasi fatis adalah komunikasi yang memberikan sanjungan atau diperuntukkan untuk memunculkan interpretasi yang menyenangkan.

(Phatic communication is communication which gives rise to, or is intended to give rise to, phatic interpretations).55

Jumanto dalam disertasinya yang berjudul Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris. menyebutkan bahwa komunikasi fatis digunakan untuk menyatakan dua belas fungsi, yaitu untuk memecahkan kesenyapan, untuk memulai percakapan, untuk melakukan basa-basi, untuk melakukan gosip, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, untuk mengungkapkan solidaritas, untuk menciptakan harmoni, untuk menciptakan perasaan nyaman, untuk mengungkapkan empati, untuk mengungkapkan persahabatan,untuk mengungkapkan penghormatan, dan untuk mengungkapkan kesantunan.56

Menurut Jumanto, Komunikasi fatis digunakan untuk mengungkapkan kesantunan (mempertahankan jarak sosial), untuk mengungkapkan kesantunan dan persahabatan (memperpendek jarak sosial), dan untuk mengungkapkan 54

Ibid. 55 Ibid

persahabatan (menghilangkan jarak sosial) kepada petutur yang berbeda-beda dalam hal kuasa dan solidaritas.57

Zegarac menyatakan bahwa komunikasi fatis sebagai institusi sosial

(Phatic communication as a social institution). Sebagai institusi sosial dalam

proses penginstitusiannya memiliki dua tipe, yaitu standarisasi (standardization) dan konvensionalisasi (conventionalization).58

Standarisasi berarti bahwa dalam komunikasi fatis interpretasi yang

terjadi dalam makna yang terungkap dan dipahami tanpa ada unsur konvensional. Sedangkan Konvensionalisasi yaitu komunikasi fatis yang dilakukan dengan ekspresi yang bersifat konvensional, seperti penggunaan kata hai dan halo.

Jadi komunikasi yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa yang cenderung bersifat fatis atau menyenangkan antara lain dapat berupa sapaan “apa kabar”, “hai”, dan “halo”. Atau hal-hal lain yang bersifat obrolan ringan seperti candaan maupun sentuhan fisik seperti tepukan halus dipundak yang menyenangkan baik di dalam ruang kuliah maupun di luar kegiatan kuliah.

Dari paparan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya komunikasi fatis itu dilakukan secara verbal dan nonverbal, yakni mencakup lisan, tulisan dan isyarat tubuh.

Dokumen terkait