BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
B. Terapi Congestive Heart Failure (CHF)
Tujuan pengobatan gagal jantung adalah untuk menghilangkan gejala, memperlambat progresivitas penyakit, serta mengurangi hospitalisasi dan mortalitas. Pada dasarnya, tatalaksana terapi bertujuan untuk mengembalikan fungsi jantung untuk menyalurkan darah ke seluruh tubuh. Selain itu, terapi juga ditujukan kepada faktor-faktor penyebab atau komplikasinya (Ritter, 2008). Terapi CHF juga bertujuan untuk pengurangan preload dan afterload, serta peningkatan keadaan inotropik (Bruntonet al, 2011).
1. Terapi Heart Failure menurut New York Heart Association (NYHA) dan Algotitma Terapi Menurut American College of Cardiology Foundation/American Heart Association(ACCF/AHA)
Terapi Heart Failure menurut NYHA dibagi berdasarkan kelas fungsional pasien yang terdiri dari kelas I, kelas II, kelas III dan kelas IV, yaitu :
Tabel III. Terapi Obat Gagal Jantung Menurut NYHA Status Fungsional
Pasien
Kelas Terapi Obat
Asimptomatik
I
ACE Inhibitor (Jika dikontraindikasikan atau toleransi rendah, digunakan ARB, digoksin atau hidralazin + isosorbit dinitrat).
II Ditambah dengan diuretik (umumnya loop diuretic), jika cocok diberikan karvedilol atau bisoprolol.
Simptomatik III/IV
Jika cocok, diberikan tambahan lain - Carvedilol atau bisoprolol - Spironolakton
- Digoksin - Metolazone
- Hidralazin + Isosorbit dinitrat
Gambar 1. Algoritma Terapi Menurut ACCF/AHA untuk Stage C (ACCF/AHA, 2013)
2. Terapi Farmakologi
Secara umum golongan obat yang digunakan untuk terapi Congestive Heart Failureadalah sebagai berikut:
a. Golongan Penghambat SRAA (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron) Golongan obat ini antara lainAngiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)danAngiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)(BNF, 2011).
1) PenghambatAngiotensin Converting Enzyme (ACEIs)
Penghambat ACE dapat mengurangi resiko kematian dan mengurangi hospitalisasi pada pasien Congestive Heart Failure dengan penurunan EF (Ejection Fraction). Penghambat ACE diberikan pada seluruh pasien dengan penurunan EF. Kecuali ada kontraindikasi, Pemberian terapi penghambat ACE dapat dikombinasikan dengan beta bloker. Penghambat ACE diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistemik yang sangat rendah (<80 mmHg), adanya peningkatan kadar serum kreatinin (>3 mg/dL), dengan stenosis arteri renal bilateral, atau peningkatan kadar serum potassium (>5,0 mEq/L) (ACCF/AHA, 2013).
Pengobatan dengan menggunakan penghambat ACE sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang rendah yang telah direkomendasikan, diikuti dengan peningkatan dosis bertahap apabila dosis awal tersebut sudah dapat ditoleransi dengan baik. Fungsi renal dan kadar kalium dalam serum harus dimonitoring selama 1 hingga 2 minggu setelah pemberian pertama terapi terutama pada pasien dengan hipotensi, hiponatremia, diabetes mellitus, azotemia, atau pasien yang menggunakan suplemen kalium (ACCF/AHA, 2013).
Penghambat ACE mempunyai mekanisme aksi penghambatan secara kompetitif aktivitas ACE/kinase II sehingga mencegah terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I. Mekanisme ini terjadi dalam darah dan jaringan termasuk ginjal, jantung, pembuluh darah, kelenjar adrenal, dan otak. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang poten, memicu pelepasan aldosteron, memfasilitasi aktivitas simpatik dan memiliki efek berbahaya lain pada sistem kardiovaskular. Penghambatan aktivitas ACE (kinase II) menyebabkan akumulasi kinin termasuk bradikinin yang mengakibatkan aktivitas vasodilatasi (BNF, 2011).
Penghambat ACE berinteraksi dengan obat yang mengdanung garam kalium, diuretik kalium, NSAIDs dan ARBs karena risiko hiperkalemia, terutama apabila ada faktor risiko gangguan ginjal (BNF, 2011). Penghambat ACE juga dapat berinteraksi dengan furosemid sehingga dapat mengakibatkan hipokalemia, allopurinol, dan digoxin (Tatro, 2007).
Efek samping yang mungkin terjadi adalah batuk kering sekitar 15% (10% laki-laki dan 20% wanita) dengan mekanisme akibat akumulasi bradikinin, efek samping ini tak tidak berkaitan dengan dosis, angioedema berkaitan dengan potensiasi kinin, hiperkalemia disebabkan karena retensi kalium akibat penurunan aldosteron yang sering terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, hipotensi sebagai akibat aktivasi sistem renin-angiotensin, jarang terjadi pada hipertensi esensial, leukopenia, serta gangguan pengecapan dan alergi kulit. Penghambat ACE juga dikontraindikasikan pada penderita stenosis arteri ginjal bilateral (BNF, 2011).
2) Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)
Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs) digunakan pada pasien
Congestive Heart Failure dengan penurunan EF yang intoleran terhadap penghambat ACE. Angiodema terjadi pada <1% pasien yang mendapat terapi penghambat ACE sehingga penghambat ACE tidak dapat diberikan pada pasien yang pernah mengalami angiodema. Pasien tersebut dapat diberikan terapi ARBs sebagai pengganti penghambat ACE (ACCF/AHA, 2013).
Terapi dengan ARBs sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang rendah yang telah direkomendasikan, diikuti dengan peningkatan dosis bertahap apabila dosis awal tersebut sudah dapat ditoleransi dengan baik. Fungsi renal dan kadar kalium dalam serum harus dimonitoring selama 1 hingga 2 minggu setelah pemberian pertama terapi (ACCF/AHA, 2013).
Mekanisme aksi ARB adalah dengan mengeblok reseptor angiotensin II sehingga angiotensin II tidak terbentuk dan terjadi vasodiltasi dan penurunan volume retensi. Perbedaannya dengan obat golongan penghambat ACE, ARBs tidak menghasilkan akumulasi bradikinin sehingga mengurangi efek samping batuk dan angioedema. Efek samping ARBs adalah hipotensi, hiperkalemia, dan lebih kecil risiko efek samping batuk. Penggunaan ARBs dikontraindikasikan pada ibu hamil dan stenosis arteri ginjal bilateral (BNF, 2011).
b. Golongan Penghambat Reseptor (Simpatolitik)
Obat yang digunakan adalah golongan beta blockers. Terapi Heart Failure jangka panjang dengan menggunakan beta bloker dapat mengurangi symptom Heart Failure, serta memperbaiki status klinik pasien. Seperti
penghambat ACE, beta bloker juga dapat mengurangi risiko kematian dan hospitalisasi pasien. Beta bloker direkomendasikan untuk digunakan pada pasien Heart Failure dengan penurunan EF yang stabil kecuali pasien yang intoleran terhadap beta bloker (ACCF/AHA, 2013).
Beta bloker merupakan antagonis stimulasi adrenergik yang dihasilkan oleh beta adrenoreseptor melalui jalur kompetitif karena memiliki struktur yang sama dengan katekolamin. Katekolamin berperan dalam sistem kardiovaskular dengan mempengaruhi sistem saraf pusat, ganglia simpatetik, jantung, arteri periperial dan ginjal. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan curah jantung dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem RAA. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta bloker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah ( Gorre dan Vdanekerckhove, 2010).
Beta bloker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja. Oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati-hati. Beta bloker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐ 2. Beta
bloker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta bloker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoreseptor alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator ( Gorre dan Vdanekerckhove, 2010).
Beta bloker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena
rebound (naiknya tekanan darah secara mendadak). Blokade reseptor beta‐2 pada bronkus dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta‐bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangan kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta bloker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk
“memberi peringatan” jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta bloker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta bloker non‐selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL. Obat ini
dikontraindikasikan bagi wanita hamil sebelum trimester ketiga, ibu menyusui, dan penderita hiperlipidemia (Gorre dan Vdanekerckhove, 2010).
c. Golongan Vasodilator Langsung
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi oedema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. Penghambat beta seringkali diberikan bersama-sama dengan vasodilator arteriola untuk menurunkan denyut jantung, hal ini melawan refleks takikardia (WHO, 2003).
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Hidralazin mempuyai banyak efek samping termasuk takikardia, palpitasi, oedema, kongesti hidung, sakit kepala, pusing, perdarahan saluran cerna, gejala-gejala seperti lupus, dan gejala-gejala neurologik (kesemutan, baal). Minoksidil memiliki efek samping yang serupa, takikardia, edema dan pertumbuhan rambut yang berlebihan, serta serangan angina. Nitropruzid dan diazoksid dapat menyebabkan refleks takikardia, palpitasi, kegelisahan, agitasi, mual dan bingung. Hiperglikemia dan timbul dengan diazoksid karena obat ini menghambat pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas (WHO, 2003).
Tabel IV. Obat yang Digunakan untuk TerapiCongestive Heart Failure
(ACCF/AHA, 2013)
Obat Dosis Inisial Harian Dosis Maksimal
Penghambat ACE
Captopril 6,25 mg 3 kali 50 mg 3 kali
Enalapril 2,5 mg 2 kali 10-20 mg 2 kali
Fisionopril 5-10 mg sekali 40 mg sekali
Lisionopril 2,5-5 mg sekali 20-40 mg sekali
Perindopril 2 mg sekali 8-16 mg sekali
Quinapril 5 mg 3 kali 20 mg 2 kali
Ramipril 1,25-2,5 mg sekali 10 mg sekali
Trdanolapril 1 mg sekali 4 mg sekali
ARBs
Cdanesartan 4-8 mg sekali 32 mg sekali
Losartan 25-50 mg sekali 50-150 mg sekali
Valsartan 20-40 mg 2 kali 160 mg 2 kali
Antagonis Aldosteron
Spironolakton 12,5-25,0 mg sekali 25 mg 1 atau 2 kali
Eplerenone 25 mg sekali 50 mg sekali
Beta Bloker
Bisoprolol 1,25 mg sekali 10 mg sekali
Carvedilol 3,125 mg 2 kali 50 mg 2 kali
Carvedilol CR 10 mg sekali 80 mg sekali
Metoprolol CR 12,5-25 mg sekali 200 mg sekali
Hidralazin dan Isorsobid Dinitrat
Kombinasi 37,5 mg hidralazin/20 mg isorsobid dinitrat 3 kali
75 mg hidralazin/40 mg isorsobid dinitrat 3 kali
sehari Hidralazin dan
Isorsobid Dinitrat
Hidralazin : 25-50 mg, 3 atau 4 kali sehari dan Isorsobid dinitrat : 20-30
mg 3 atau 4 kali sehari
Hidralazin : 300 mg sehari dalam dosis terbagi dan isosorbid dinitrat 120 mg sehari dalam dosis terbagi
d. Golongan Diuretika
Diuretika adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema yang berarti mengubah keseimbangan cairan
sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal. Diuretika kuat lebih direkomendasikan untuk pengobatan Heart Failure untuk mengurangi retensi cairan dalam tubuh. Pada pasien Heart Failure dengan hipertensi dan pasien dengan retensi cairan yang ringan, pemberian diuretika tiazid lebih karena diuretik tiazid memiliki efek antihipertensi yang lebih lama. Diuretika biasanya digunakan bersama dengan penghambat ACE, beta bloker, dan aldosteron antagonis. (ACCF/AHA, 2013).
Diuretika yang digunakan pada terapi Congestive Heart Hailure dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1) Diuretika Kuat (bumetanide, furosemide, dan torsemide)
Obat ini bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun (NICE, 2011).
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, seperti hipokalsemia dan hipokloremia. Hipotensi ortostatik dapat timbul. Trombositopenia, gangguan kulit, dan tuli sementara jarang terlihat. Diuretika kuat juga dikontraindikasi untuk dipakai pada penderita gagal ginjal. Gejala-Gejala gangguan fungsi ginjal yang berat meliputi oligouria (penurunan
jumlah urin yang sangat jelas), peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kreatinin darah (NICE, 2011).
Interaksi obat yang paling utama adalah dengan preparat digitalis, Jika pasien menggunakan digoksin dengan diuretik kuat, bisa terjadi keracunan digitalis, pasien ini memerlukan kalium tambahan melalui makanan atau obat. Hipokalemia memperkuat kerja digoksin dan meningkatkan risiko keracunan digitalis (NICE, 2011). Diuretika kuat juga dapat menimbulkan interaksi obat apabila digunakan bersama dengan captopril atau ramipril (Tatro, 2007).
2) Diuretika Thiazid (chlortiazid, hidrochlortiazid, indapamid, dan metolazone)
Diuretika tiazid bekerja pada bagian awal tubulus distal (nefron). Obat ini menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida dengan menghambat kotransporter Na+/Cl- pada membran lumen, yang meningkatkan ekskresi air, natrium, dan klorida. Selain itu, kalium hilang dan kalsium ditahan. Obat ini digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung, edema, dan pada diabetes insipidus nefrogenik. Efek samping dan reaksi yang merugikan dari tiazid mencakup ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, dan kehilangan bikarbonat), hiperglikemia (gula darah meningkat), hiperurisemia (kadar asam urat serum meningkat), dan hiperlipidemia (kadar lemak darah meningkat). Efek samping lain mencakup pusing, sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, urtikaria, dan diskrasia darah (jarang) (NICE, 2011).
Tiazid dikontraindikasi pada penderita gagal ginjal. Gejala-Gejala gangguan fungsi ginjal yang berat meliputi oligouria (penurunan jumlah urin yang
sangat jelas), peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kreatinin darah. Dari berbagai interaksi obat, yang paling serius adalah interaksi diuretika tiazid jika digunakan bersama digoksin. Tiazid dapat menyebabkan hipokalemia, yang menguatkan kerja digoksin, sehingga bisa menyebabkan keracunan digitalis. Tdana dan gejala keracunan digitalis (bradikardia, mual, muntah, perubahan penglihatan) harus dilaporkan. Tiazid memperkuat kerja obat obat antihipertensi lainnya, yang mungkin dipakai secara kombinasi (NICE, 2011).
3) Diuretika Hemat Kalium (amilorid, spironolakton, dan triamterene) Amilorid dan triamteren pada pengobatan tunggal merupakan diuretika dengan kerja lemah. Kedua obat tersebut menyebabkan retensi kalium sehingga sering digunakan sebagai alternatife suplementasi kalium pada penggunaan diuretika kuat maupun diuretika tiazid. Pemberian diuretika hemat kalium ini dapat menyebabkan hiperkalemia berat pada pasien yang menerima terapi penghambat ACE atau ARBs (IONI, 2008).
Sedangkan spironolakton merupakan antagonis aldosteron dengan mekanisme meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal. Biasanya penggunaan spironolakton dikombinasikan dengan diuretika lain untuk mencegah kemungkinan hilangnya kalium secara berlebihan (IONI, 2008).
Tabel V. Obat Golongan Diuretika yang Digunakan untuk TerapiCongestive Heart Failure(ACCF/AHA, 2013)
Obat Dosis Inisial Harian Dosis Maksimal
Diuretik Kuat
Bumetanid 0,5-1,0 mg 1 atau 2 kali 10 mg
Furosemid 20-40 1 atau 2 kali 600 mg
Toresemid 10-20 mg sekali 200 mg
Diuretik Tiazid
Chlorthiazid 250-500 mg 1 atau 2 kali 1.000 mg
chlorthalidon 12,5-25,0 sekali 100 mg
Hidrochlorthiazid 25 mg 1 atau 2 kali 200 mg
Indapamid 2,5 mg sekali 5 mg Metolazone 2,5 mg sekali 20 mg Diuretik Hemat Kalium Amilorid 5 mg sekali 20 mg Spironolakton 12,5-25,0 mg sekali 50 mg Triamterene 50-75 mg 2 kali 200 mg