• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV – HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Profil Pengobatan

1. Terapi Farmakologi

Pengkajian terkait gambaran umum penggunaan obat pada pasien dewasa dengan diagnosis AIHA dilakukan berdasarkan sub kelas terapi menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang formularium nasional.

87% 13%

Membaik dan diizinkan Meninggal

Tabel V. Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Pada Kasus AIHA diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014

Kelas Terapi Jenis Obat Kasus Jumlah

Kasus Persentase (%) n=15 Kortikosteroid Metilprednisolon 1-15 15 100 Imunosupresan Mikofenolat mofetil 5 dan 8 2 13,3 Analgesik Non

Narkotik Parasetamol 3, 6, 11, dan 13 4 26,6

Antidiabetes Insulin aspart 14 1 6,6

Antiulkus Ranitidin 2, 13, 14, 15 9 60,0 Lansoprazol 11 Pantoprazol Antasida 7, 8, 12 14 Antianemi Asam Folat 5, 6, 7, 9

4 26,6 Vitamin B12 9 Antibakteri Sefalosporin 3, 5, 11, 13 5 33,3 Meropenem 8 Aminoglikosida 11

Penggunaan obat yang paling banyak adalah dari kelas kortikosteroid, dimana obat-obatan pada kelas ini merupakan first-line untuk terapi AIHA.

a. Kortikosteroid

Obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk pengobatan AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ini adalah metilprednisolon. Semua kasus mendapatkan terapi metilprednisolon baik secara enteral maupun parenteral. Pasien yang baru terdiagnosis dan mengalami wAIHA parah harus segera diberikan terapi steroid (Hoffman et al, 2014).

Kortikosteroid merupakan sintesis analog dari hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal ginjal. Seperti hormon aslinya, komponen sintesis ini juga memiliki glukokortikoid (GC) dan/atau meneralokortikoid. Mineralokortikoid berperan pada transportasi ion di sel epitel pada tubulus renal

dan juga terlibat pada regulasi keseimbangan atau penyangga garam dan cairan dalam tubuh. GC terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, selain itu juga memiliki efek anti-inflamasi, imunosupresif, anti-proliferative, dan vasokonstriksi. GC dapat menurunkan penghancuran eritrosit pada pasien AIHA (Liu, Ward, Krishnamoorthy, Mandelcorn, Leigh, et al,2013). Steroid bekerja dengan menurunkan produksi autoantibodi oleh sel B, selain itu juga menurunkan densitas reseptor Fc-gamma pada saat fagositosis di limpa (Zeerleder, 2011).

Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya oseteoporosis pada orang dewasa dan menghambat perkembangan tulang rangka pada anak-anak. Hormon glukokortikoid dapat mengganggu transport kalsium oleh bantuan vitamin D di usus dan menghambat pembentukan tulang. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus disertai dengan pemberian vitamin D, kalsium, dan asam folat (Zanella et al, 2014). Beberapa efek samping potensial lainnya yaitu, gangguan cairan dan elektrolit, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, gangguan otot dan saraf, serta gangguan kulit (Zoorob et al, 1998).

b. Imunosupresan

Imunosupresan merupakan pilihan obat secondline pada terapi AIHA yang bekerja dengan menurunkan produksi antibodi (Lechner et al, 2010). Obat imunosupresan yang efektif digunakan antara lain azathioprin, siklofosfamid, siklosporin dan mikofenolat mofetil (MMF) (Zeerleder, 2001). Penggunaan

imunosupresan perlu dilakukan monitoring terhadap jumlah sel darah peripheral karena obat ini memiliki efek samping berupa mielosupresif.

MMF merupakan pro-drug dari asam mikofenolat, hasil fermantasi spesies Penicillium. MMF bekerja poten dengan menghambat inosin 5’ -mono-phosphate dehydrogenase, enzim yang memiliki peranan penting pada sintesis

purin. Mekanisme utama MMF yaitu dengan menghambat limfosit proliferatif namun dapat juga dengan menyebabkan penipisan guanosis trifosfat (GTP) sehingga terjadi pengurangan molekul adhesi pada leukosit dan terjadi penurunan perekrutan leukosit pada lokasi inflamasi (Howard, Hoffbrand, Prentice, Mehta, 2001). MMF direkomendasikan untuk masuk dalam terapi kekambuhan pada imun sitopenias sebagai pilihan steroid-sparing (Zanella et al, 2014). Ditemukan 2 kasus, yaitu kasus 5 dan 8 yang diterapi dengan MMF bersamaan dengan metilprednisolon (kortikosteroid).

c. Analgesik Non Narkotik

Parasetamol merupakan terapi untuk mengurangi nyeri dan demam (Sharma and Mehta, 2013). Demam didefinisikan dimana keadaan suhu tubuh >370C. Suhu normal untuk orang dewasa dengan pengukuran secara oral (33.2-38.20C), rectal (34.4-37.80C), tympanic (35.4-37.80C), axillary (35.5-37.00C) (Sun, Forsberg, and Karin, 2011). Dosis parasetamol yang digunakan untuk meringankan demam dan nyeri ringan pada orang dewasa yaitu 325-650 setiap 4-6 jam, atau 1000 mg 3-4 kali per hari bila mengalami nyeri dengan dosis maksimum 4 gram/hari (American Pharmacist Association, 2007).

Parasetamol bekerja di hipotalamus yang meregulasi suhu tubuh dan dapat bekerja di perifer untuk memblokir impuls nyeri, serta dapat juga menghambat sintesis prostaglandin di CNS (Botting, 2000). Parasetamol bekerja menurunkan demam dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase dan menurunkan jumlah PGE2 di hipotalamus sehingga impuls nyeri terhambat. Parasetamol dapat menembus blood-brain barrier dan dapat bertindak secara istimewa dalam sistem saraf pusat dengan mengurangi produksi prostaglandin (Aronoff, 2001).

Terdapat 4 kasus pada penelitian evaluasi DRPs pasien dewasa dengan AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi analgesik non-narkotik, yaitu kasus 3, 6, 11, dan 13.

d. Antidiabetes

Insulin aspart merupakan obat antidiabetes golongan rapid-acting yang bekerja secara cepat memiliki onset 15-30 menit (Dipiro, 2008). Insulin memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan antidiabetes oral untuk menurunkan kadar gula dalam darah (Meneghini, 2009).

Pemberian insulin bertujuan untuk menurunkan kadar gula dalam darah, dimana salah satu efek samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid yaitu peningkatan kadar gula dalam darah (Zeerleder, 2011). Terdapat 1 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi insulin, yaitu kasus 14.

e. Antiulkus

Penggunaan kortikosteroid berisiko menyebabkan gangguan pencernaan seperti pendarahan gastrointestinal bagian atas dan peptik ulser (Gutthann, Rodriguez, and Raiford, 1996). Kortikosteroid dapat menghambat sintesis mukosa lambung, peningkatan sel gastrin, hiperplasia sel parietal karena sekresi asam berlebih, gangguan fibroblast dan penekanan sintesis-sintesis prostaglandin melalui penghambatan interleukin-1beta dan COX-2 (Luo, Chang, Lin, Lu, Lu, Cheng et al, 2002).

Terdapat 8 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antiulkus, dimana pemberiannya ditujukan untuk mencegah terjadinya peptik ulser yang merupakan salah satu efek samping penggunaan obat golongan kortikosteroid. Obat yang digunakan yaitu golongan proton pump inhibitor (PPI) dan histamin H2 receptor agonist. Pantoprazol dan lansoprazol termasuk dalam golongan PPI,

sedangkan ranitidin dan antasida kombinasi termasuk dalam histamin H2 receptor agonist. Obat golongan antiulkus yang paling sering digunakan yaitu ranitidin

sebanyak 4 kasus.

f. Antianemi

Berdasarkan formularium nasional, asam folat dan vitamin B12 (sianokobalamin), ferro sulfat, low molecule feri sucrose, dan low molecular

weiht iron dextran termasuk dalam kelas terapi antianemi (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2013). Asam folat merupakan senyawa inaktif yang akan diubah oleh dihidrofolat reduktase menjadi asam tetrahidrofolat dan

metiltetrahidrofolat. Kemudian dibawa ke sel sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan eritropoesis normal, interkonvert asam amino, sintesis purin dan asam nukleat (Mahmood, 2014). Asam folat diperlukan oleh pasien dengan wAIHA aktif untuk meningkatkan eritropoesis sehingga mencegah defisiensi vitamin B9 (March, 2014).

Penelitian ini menunjukkan bahwa antianemi yang digunakan untuk pasien AIHA dewasa di RSUP Dr. Sardjito yaitu asam folat dan vitamin B12. Terdapat 4 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antianemi, dimana kasus tersebut menunjukkan pemeriksaan RDW diatas normal dan MCV >100 fL.

g. Antibakteri

Antibakteri umumnya digunakan untuk mencegah maupun mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Pasien AIHA rentan terhadap infeksi bakteri karena pertahanan tubuhnya terhadap agen asing menjadi lemah. Pada penelitian ini terdapat 5 kasus yang diberikan terapi antibibakteri. Golongan antibakteri yang digunakan yaitu golongan beta laktam (sefalosporin dan carbapenem) dan aminoglikosida.

Aminoglikosida bekerja dengan mengikatkan diri pada ribosom sel bakteri sehingga sintesis proteinnya menjadi kacau (Fourmy, Recht, Blanchard, and Puglisi, 1996). Beta laktam bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan dan mengaktifkan enzim autolisis pada bakteri (Gustaferro and Steckelberg, 1991).

Dokumen terkait