EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE
2009-2014
Sylviana Hesti Putri Nugroho (128114044)
INTISARI
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kelainan hematologi dengan prevalensi 17:100.000. Termasuk dalam penyakit autoimun karena terdapat autoantibodi yang memperantarai terjadinya penghancuran sel darah merah pada tubuh. Penatalaksanaan terapi untuk penyakit ini masih dalam tahap penelitian, sehingga terapi yang diberikan mengacu pada sejarah pengobatan AIHA yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada penatalaksanaan terapi pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA.
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan rancangan penelitian case series dan menggunakan data retrospektif. Data yang digunakan diambil dari rekam medis pasien dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Kriteria usia pasien yaitu berkisar antara 26-45 tahun. Evaluasi DRPs dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, Plan/recomendation).
Terdapat 15 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Kejadian AIHA lebih banyak pada jenis kelamin perempuan (93%) dibanding laki-laki (7%). Obat yang paling banyak digunakan yaitu kelas terapi kortikosteriod (100%). Ditemukan 19 kasus DRPs, dimana kasus yang paling banyak terjadi adalah dibutuhkan obat tambahan sebanyak 11 kasus.
Kata kunci: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Usia Dewasa, Drug Related
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE
2009-2014
Sylviana Hesti Putri Nugroho (128114044)
ABSTRACT
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an abnormally of hematological with a prevalence of 17: 100,000. Included in the autoimmune disease because there are autoantibodies which mediate the annihilation of red blood cells in the body. The organization of the therapy for this disease is still in the research progress, so that the treatment has been given mentioning to the history of medicine AIHA which has been done before. The aim of this study is to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in the therapeutic organization of adult patients with the primary diagnosis is AIHA.
This research is descriptive observational with case series study design and using retrospective data. The data used were taken from patients’ medical records with a primary diagnosis of AIHA in Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito period 2009-2014. Criteria from the patients’ ages are range between 26-45 years old. DRPs evaluation was conducted using SOAP method (Subjective, Objective, Assessment, Plan / Recommendation).
There are 15 cases that comply the inclusion criteria.In this case AIHA more common with female gender (93%) rather than men (7%). The most widely drug that used is corticosteroid therapy classes (100%). We found 18 episode of DRPs, which the most common is need additional drugs as much as 10 episode.
Keywords: Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA), Adults, Drug Related
i
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA
DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE 2009-2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh:
Sylviana Hesti Putri Nugroho NIM: 128114044
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEWASA
DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA)
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE 2009-2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Diajukan oleh:
Sylviana Hesti Putri Nugroho NIM: 128114044
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iii
Persetujuan Pembimbing
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA
(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014
Skripsi yang diajukan oleh Sylviana Hesti Putri Nugroho
NIM: 128114044
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
iv
Pengesahan Skripsi Berjudul
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
DEWASA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA
(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014
Oleh:
Sylviana Hesti Putri Nugroho NIM: 128114044
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada tanggal: ………
Mengetahui, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
(Aris Widayati, M.Si., Apt.,Ph.D.)
Panitia Penguji Skripsi Tanda Tangan
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
”Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku.”
Filipi 4:13
“Not all of us can do great things, but we can do small things with
great love.”
-Mother Teresa-
“Do your future self a favor and work hard now”
Karya kecilku ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sepanjang hidupku Bapak dan Ibu,
Kakakku tercinta, Sahabat-sahabatku tersayang,
Serta
viii PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Pasien Dewasa dengan Diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014” dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa moril, materiil maupun spiritual. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Muhammad Syafak Hanung, Sp., A., M. Ph. selaku Direktur Utama dan drg. Rini Sunaring Putri, M. Kes. selaku Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit tersebut.
2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
ix
4. Dr. Rita Suhadi, M. Si., Apt sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.
5. Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.
6. dr. Agnes Muryanti, Sp., A., M. Ph., Bapak Sudirman, Mbak Tri, Mas Ade, Mas Randy dan seluruh staff bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta atas kerjasamanya dalam membimbing dan mempersiapkan catatan rekam medis yang dibutuhkan penulis selama pengambilan data di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
7. Bapak dan ibu tersayang atas kasih sayang, doa, dukungan, semangat, dan pengertian serta bantuan finansial hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Kakakku tersayang, Hermawan Hestu Nugroho atas kasih sayang, bimbingan, serta menjadi inspirasi dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Teman-teman seperjuangan dalam tim Ope, Iwat, Dika untuk kerjasama, semangat, dan bantuan yang selalu dibagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
10. Sahabatku “Telektubbies” Momon, Sinta, Nonik, Nova, terimakasih untuk tawa, dukungan, dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.
x
12. Keluarga besar “Kost Griya Kanna” Cindya, Tasya, Mala, Bertha, Andrew, Celly, Novi, Yosef,, Malvin, David, Prima, Jose, Nanda, Nandus, Dika, Daniel, Edward, Sona, Rei, Gilang, Gerry, dan teman-teman lainnya yang telah memberikan keceriaan, kebersamaan, warna dalam hari-hari penulis serta menjadi keluarga kedua dalam hidup penulis.
13.Sahabat-sahabatku Flo, Alan, Noel, Miktam, Dana, Igreya, Arby, terimakasih untuk perhatian, kasih dan kesetiaan untuk menemukan harapan-harapan baru.
14.Teman-teman FSM B 2012 dan FKK A 2012, terimakasih atas kebersamaannya dan pengalaman yang tak akan terlupakan selama menjalani kuliah dan praktikum bersama peneliti.
15.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis akan menerima setiap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.
Yogyakarta, 23 Mei 2016
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) ... 5
B. Drug Related Problems (DRPs) ... 20
C. Metode SOAP ... 21
D. Keterangan Empiris ... 22
BAB III - METODE PENELITIAN ... 23
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 23
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 24
xii
D. Bahan dan Instrumen Penelitian... 26
E. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 27
F. Tata Cara Penelitian ... 27
G. Tata Cara Analisis Hasil... 28
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian ... 30
BAB IV – HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Karakteristik Pasien ... 31
1. Persentase Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur ... 32
3. Outcome Terapi ... 32
B. Profil Pengobatan ... 33
1. Terapi Farmakologi... 33
2. Terapi Suportif ... 40
3. Rute Pemberian ... 41
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 41
1. Kasus 1 ... 42
D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 64
xiii
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
LAMPIRAN...74
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I Penelitian Terkait AIHA ... 3 Tabel II Klasifikasi AIHA ... 6 Tabel III Kategori dan Penyebab Utama Drug Related Problems 20 Tabel IV Distribusi kasus AIHA Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014... 32 Tabel V Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Pada Kasus
AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014... 32 Tabel VI Pemberian Transfusi pada Pasien AIHA Usia Dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014... 41 Tabel VII Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian pada Pasien
AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014... 41 Tabel VIII Gambaran DRPs pada Pasien AIHA Usia Dewasa di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
periode 2009 – 2014... 42 Tabel IX Hasil Evaluasi DRPs Kasus AIHA Pasien Usia Dewasa di
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada wAIHA... 8 Gambar 2. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada cAIHA... 9 Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Paroxymal
Cold Hemoglobinuria (PCH)... 10
Gambar 4. Indirect Antiglobulin Test (IAT) dan Direct Antiglobulin Test
(DAT), Aglutinasi Sel Darah Merah dengan Serum IgG atau
Anti-C3... 12 Gambar 5. Terapi yang Disarankan Untuk AIHA primer maupun
sekunder... 13 Gambar 6. Alogaritma Terapi wAIHA pada Pasien Dewasa... 16 Gambar 7. Alogaritma Terapi cAIHA pada Pasien Dewasa... 19 Gambar 8. Skema Pemilihan Subjek Penelitian dii RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta... 26 Gambar 9. Persentase Kasus AIHA Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014... 31 Gambar 10. Alasan Meninggalkan Rumah Sakit Pada Kasus AIHA Usia
Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Ethic Committee Approval... 75
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta 76 Lampiran 3. Kasus 1... 77
Lampiran 4. Kasus 2... 80
Lampiran 5. Kasus 3... 83
Lampiran 6. Kasus 4... 86
Lampiran 7. Kasus 5... 89
Lampiran 8. Kasus 6... 94
Lampiran 9. Kasus 7... 97
Lampiran 10. Kasus 8... 100
Lampiran 11. Kasus 9... 103
Lampiran 12. Kasus 10... 106
Lampiran 13. Kasus 11... 109
Lampiran 14. Kasus 12... 113
Lampiran 15. Kasus 13... 115
Lampiran 16. Kasus 14... 119
Lampiran 17. Kasus 15... 122
xvii INTISARI
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kelainan hematologi
dengan prevalensi 17:100.000. Termasuk dalam penyakit autoimun karena terdapat autoantibodi yang memperantarai terjadinya penghancuran sel darah merah pada tubuh. Penatalaksanaan terapi untuk penyakit ini masih dalam tahap penelitian, sehingga terapi yang diberikan mengacu pada sejarah pengobatan AIHA yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada penatalaksanaan terapi pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA.
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan rancangan penelitian case series dan menggunakan data retrospektif. Data yang digunakan diambil dari rekam medis pasien dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Kriteria usia pasien yaitu berkisar antara 26-45 tahun. Evaluasi DRPs dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, Plan/recomendation).
Terdapat 15 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Kejadian AIHA lebih banyak pada jenis kelamin perempuan (93%) dibanding laki-laki (7%). Obat yang paling banyak digunakan yaitu kelas terapi kortikosteriod (100%). Ditemukan 18 episode DRPs, dimana kejadian yang paling banyak terjadi adalah dibutuhkan obat tambahan sebanyak 10 episode.
xviii ABSTRACT
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an abnormally of hematological with a prevalence of 17: 100,000. Included in the autoimmune disease because there are autoantibodies which mediate the annihilation of red blood cells in the body. The organization of the therapy for this disease is still in the research progress, so that the treatment has been given mentioning to the history of medicine AIHA which has been done before. The aim of this study is to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in the therapeutic organization of adult patients with the primary diagnosis is AIHA.
This research is descriptive observational with case series study design and using retrospective data. The data used were taken from patients’ medical records with a primary diagnosis of AIHA in Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito period 2009-2014. Criteria from the patients’ ages are range between 26-45 years old. DRPs evaluation was conducted using SOAP method (Subjective, Objective, Assessment, Plan / Recommendation).
There are 15 cases that comply the inclusion criteria.In this case AIHA more common with female gender (93%) rather than men (7%). The most widely drug that used is corticosteroid therapy classes (100%). We found 18 episode of DRPs, which the most common is need additional drugs as much as 10 episode.
1 BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kasus gangguan
hematologi dimana terjadi penghancuran sel darah merah oleh auto-antibodi (DeLoughery, 2013). Terjadinya autoantibodi dapat dipicu oleh faktor genetik, infeksi, penyakit inflamatori, obat-obatan, dan penyakit limfoproliferatif (Chaudhary and Das, 2014).
Angka kejadiannya pada orang dewasa yaitu 0,8-3 per 105/tahun, dengan prevalensi 17:100.000. AIHA dapat bersifat idiopatik (50%) atau sekunder dimana berhubungan dengan penyakit lain seperti penyakit autoimun (20%),
lymphoporoliferative syndroms (20%), infeksi, dan tumor (Zanella and Barcellini,
2014). Kasus AIHA yang paling sering terjadi adalah warm AIHA, mencapai 75% dari keseluruhan kasus (Gehrs and Friedberg, 2002).
Penyakit ini dapat terjadi pada seluruh usia termasuk orang dewasa. Mortalitas AIHA pada orang dewasa yaitu 10% pada 5 tahun pertama hingga 40% pada tahun ke-7 (Hoffbrand, Higgs, Keeling, Mehta, 2016).
Pengobatan AIHA meliputi obat-obat golongan kortikosteroid, splenektomi, dan obat-obatan imunosupresif (Zanella and Barcellini, 2014). Pengobatan AIHA sendiri masih dalam tahap penelitian, sehingga belum ada
guideline dengan rentang kepercayaan tinggi dan pengobatan yang dilakukan
mengetahui apakah terapi yang diterima pasien sudah efektif untuk mengobati penyakitnya.
Salah satu cara untuk menegetahui bahwa terapi yang diperoleh pasien sudah efektif yaitu dengan melakukan evaluasi drug related problems (DRPs). DRPs merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi suatu obat kepada pasien yang dapat berpotensi mengganggu pencapaian outcome terapi yang diinginkan. DRPs sering terjadi terutama pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari satu (polifarmasi) (Cipolle, Strand, and Morley, 2004).
Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta karena merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Yogyakarta. Terdapat 342 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito selama tahun 2009-2014, 20 diantaranya adalah pasien dewasa yang memiliki diagnosis utama AIHA. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan evaluasi terhadap terapi pasien AIHA khususnya usia dewasa dan memberikan gambaran DRPs yang lebih mendalam sehingga dapat meningkatkan rasionalitas pengobatan pada pasien AIHA usia dewasa di RSUP Dr. Sardjito.
1. Rumusan Masalah
a. Seperti apakah karakteristik pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014? b. Seperti apakah profil pengobatan pada pasien dewasa dengan diagnosis
c. Bagaimanakah DRPs yang terjadi pada pengobatan pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien dewasa dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014 ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian terkait AIHA yang pernah dilakukan, antara lain:
Tabel I. Penelitian Terkait AIHA
No Pengarang Persamaan Perbedaan
1. Anggoro,
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan keamanan dan efektivitas antara transfusi PRC dan WRC pada pasien AIHA
Merupakan penelitian case series Mengulas tentang penyakit AIHA dan
komplikasinya
Tempat dan waktu penelitian dilaksanakan berbeda
Merupakan penelitian case report Subjek adalah wanita hamil
Tujuan penelitian mengulas kejadian AIHA pada wanita hamil dan efeknya bagi janin
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi pada penatalaksanaan terapi AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta untuk meningkatkan mutu pelayanan pengobatan pada pasien AIHA usia dewasa.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi DRPs pada penatalaksanaan terapi pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
b. Mengetahui profil pengobatan pada pasien dewasa dengan diagnosis utama AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
5 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan gangguan hematologi
yang ditandai dengan adanya produksi autoantibodi yang menyerang sel darah merah melalui sistem komplemen dan sistem retikuloendotelial (Sarper, Kilic, Zengin, and Gelen, 2011). Autoantibodi yang terlibat yaitu immunoglobulin IgG dan IgM (DeLoughery, 2013).
1. Klasifikasi
AIHA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe berdasarkan reaktivitas suhunya, yaitu warm AIHA (wAIHA) dan cold AIHA (cAIHA). AIHA tipe cold dibagi lagi menjadi Cold Aglutinin Diseases (CAD) dan Paroxysmal
Cold Hemoglobinuria (PCH). Masing-masing jenis AIHA tersebut dibagi lagi
menjadi sub-bagian, yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Idiopatik yaitu AIHA tanpa adanya hubungan dengan penyakit lain, sedangkan sekunder yaitu AIHA yang memiliki hubungan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain yang menyertainya seperti infeksi atau penyakit lain seperti leukemia atau Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) (King and Ness, 2005).
merupakan yang paling jarang terjadi, diperkirakan sekitar 1 dari 1.000.000 orang
Acute Transient (infeksi selain sipilis) Chronic (sipilis)
IgM
IgG
C3
C3
*DAT, direct antiglobulin test; Ig, immunoglobulin. 2. Patofisiologi
AIHA disebabkan oleh autoantibodi (IgG / IgM) yang berikatan dengan sel darah merah dam memulai penghancuran sel darah merah. Autoantibodi dapat diproduksi karenasistem imun tidak dapat mengenali host atau self-antigen dan berkaitan dengan kegagalan sel T meregulasi sel B. Infeksi, faktor genetik, penyakit inflamatori, obat-obatan, dan penyakit limfoproliferatif juga merupakan pemicu diproduksinya autoantibodi (Chaudhary et al, 2014).
a.Warm-type Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)
Warm autoimmune hemolytic anemia (wAIHA) merupakan kasus AIHA
terlibat adalah IgG, yang dapat bereaksi secara optimum pada suhu 370C (Gehrs and Friedberg, 2002).
Sel darah merah yang dianggap antigen oleh IgG akan menyebabkan IgG menempel pada sel darah merah dan membentuk kompleks. Protein Rh merupakan antigen pada sel darah merah yang menjadi target sasaran IgG untuk berikatan dan membentuk kompleks. Interaksi antara sel darah merah dengan makrofag limpa dapat mengakibatkan fagositosis seluruh sel. Umumnya sebagian sel darah merah menempel pada makrofag dengan cara berikatan dengan reseptor Fc, kemudian bagian membran sel darah merah diinternalisasi oleh makrofag. Rusaknya area permukaan membran menyebabkan perubahan bentuk sel (Marcus, Attias, and Tamary, 2014).
Hilangnya sel darah merah dari sirkulasi dapat melalui mekanisme fagositosis atau lisis. Mekanisme tersebut terjadi karena adanya Fc
receptor-mediated immune adherence dan complement receptor-mediated hemolysis.
1)Fc Receptor-Mediated Immune Adherence
yang padat dibandingkan eritrosit normal, serta bagian tengahnya berwarna pucat (Berentsen and Sundic, 2015).
Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Warm AIHA (Berentsen and Sundic, 2015)
2)Complement Mediated Hemolysis
b.Cold-type Autoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA)
Gambar 2. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Cold AIHA (Berentsen and Sundic, 2015).
kembali ke bagian tubuh dengan suhu normal 370C, kompleks IgM-CA melepaskan diri dari permukaan sel darah merah, sehingga memungkinkan bagi sel darah merah yang teraglutinasi untuk memisahkan diri satu sama lain, sementara C3b tetap terikat dengan sel darah merah yang kemudian dibawa ke hati untuk difagosit (Marcus, Attias, Tamary, 2014).
1)Paroxymal Cold Hemoglobinuria (PCH)
Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Paroxymal Cold Hemoglobinuria (PCH) (Berentsen and Sundic, 2015)
Paroxymal Hemoglobinuria (PCH) merupakan antibodi cold-reacting
aktivasi C2 dan C4. Kemudian C3 konvertase teraktivasi dan dipecah menjadi C3a dan C3b. Kompleks antigen-antibodi antieritrosit yang berikatan dengan C3b akan mengaktifkan C5 sehingga menyebabkan terjadinya aktivasi protein komplemen C5b, 6, 7, 8, 9 dan kemudian terjadi lisis sel (Berentsen and Sundic, 2015).
3. Diagnosis
Gambaran klinis AIHA tidak jauh berbeda dari kasus anemia hemolitik lainnya, yaitu pusing, pucat, kelelahan, sesak napas dan jantung berdebar. Paparan suhu dingin pada kasus cold agglutinin dapat menyebabkan aglutinasi sel darah merah yang ditunjukkan adanya warna kebiruan pada jari kaki, jari tangan, telinga dan hidung namun warna dapat kembali lagi bila sudah tidak terpapar dingin lagi (Zeerlender, 2011).
Gambar 4. Indirect Antiglobulin Test (IAT) dan Direct Antiglobulin Test (DAT), Aglutinasi Sel Darah Merah dengan Serum IgG atau anti-C3 (Zeerleder, 2011).
Tes imunohematologi yang dilakukan disebut dengan coomb’s test ditujukan untuk mendeteksi auto-antibodi terhadap sel darah merah. Direct
antiglobulin test (DAT) digunakan untuk mendeteksi antibodi pada permukaan sel
termasuk dalam wAIHA, sedangkan jika terdapat aglutinasi antara sel darah dengan C3d saja kemungkinan besar termasuk dalam cAIHA (Zeerleder, 2011). 4. Terapi Farmakologi
Pengobatan untuk AIHA masih dalam tahap penelitian sehingga belum ada pedoman pengobatan (treatment guidelines) yang dipublikasikan untuk terapi AIHA. Namun terdapat beberapa kajian terapi untuk kasus AIHA (Lechner and Jager, 2010).
a. Transfusi dan Tindakan Suportif 1) Splenectomy
Splenectomy merupakan suatu prosedur operasi pengangkatan limpa
(Cadili and Gara, 2008). Merupakan terapi secondline yang paling efektif, biasanya digunakan pada pasien yang mengalami intoleran terhadap kortikosteroid (Zanella et al, 2014). Splenektomi dapat mengurangi penghancuran sel darah merah dan produksi auto-antibodi.
2) Transfusi Darah
Transfusi sel darah merah diperlukan pada pasien AIHA untuk mempertahankan kadar hemoglobin, setidaknya hingga perawatan khusus memberikan respon (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, dan Abdulsalam, 2005). Transfusi sel darah merah bertujuan untuk mengatasi hemolisis dan memperbaiki asupan oksigen ke jaringan. Direkomendasikan untuk melakukan transfusi ketika kadar hemoglobin pasien <7 g/dL dengan target mempertahankan kadar hemoglobin antara 7-9 g/dL (Sharma, Sharma, and Tyler, 2011).
Terdapat 4 jenis transfusi sel darah merah, antara lain: a) Sel darah merah pekat (Packed Red Cell)
Digunakan untuk mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia
aplastic, thalasemia, anemia hemolitik, mengatasi defisiensi yang berat
b) Sel darah merah miskin leukosit
Digunakan untuk mencegah reaksi transfusi non hemolitik (panas, gatal, menggigil, dll), digunakan pada kasus transfusi berulang, menghindari potensi sensitisasi pada kasus transplantasi jaringan, dan mempunyai masa simpan yang lebih pendek (Permono dkk, 2005).
c) Sel darah merah beku (Frozen Red Packed Cell)
Dibekukan agar sel darah merah dapat disimpan lebih lama, bagi persediaan sel darah merah yang jarang dijumpai (Permono dkk, 2005).
d) Sel darah merah yang diradiasi (Irradiation Blood)
Digunakan untuk menghindari reaksi imun yang akan terjadi, radiasi bertujuan untuk menghancurkan sel limfosit yang sering menyebabkan terjadinya graft
versus host (GVH) (Permono dkk, 2005).
e) Washed Red Cell (WRC)
Digunakan untuk pasien yang mengalami alergi parah atau reaksi demam berulang pada sel darah merah, atau pasien dengan defisiensi IgA. WRC memiliki kandungan plasma yang lebih rendah atau hampir tidak ada (<0,5 g sisa plasma per unit) bila dibandingkan dengan PRC (Norfolk, 2013).
3) Hindari Paparan Dingin
b. Terapi Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA)
Gambar 6. Alogaritma Terapi Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA) pada Pasien Dewasa (Zanella et al, 2014).
1) Kortikosteroid
Obat golongan kortikosteroid merupakan first-line untuk terapi AIHA. Obat golongan steroid bekerja dengan menurunkan produksi auto-antibodi oleh sel-B. Selain itu, steroid juga menurunkan densitas reseptor Fc-gamma pada proses fagositosis di limpa. Kortikosteroid yang sering digunakan yaitu prednison dengan dosis 1-1,5 mg/kg/hari selama 1-3 minggu, kemudian dilakukan tappering dosis sesuai keadaan pasien. Untuk pasien yang mengalami hemolisis cepat atau
severe anemia dapat diberikan metilprednisolon injeksi dengan dosis 250-1000
mg/hari 1-3 hari. Penting untuk diingat bahwa penggunaan steroid dalam jangka waktu panjang harus disertai dengan pemberian bisphosphonates, vitamin D, kalsium, dan suplemen asam folat (Zanella et al, 2014). Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar gula dalam darah selama penggunaan steroid untuk mengetahui adanya diabetes melitus yang disebabkan penggunaan steroid (Zeerleder, 2011).
2. Rituximab
3. Imunosupresan
Imunosupresan direkomendasikan sebagai pengobatan bagi pasien yang tidak dapat menerima terapi degan kortikosteroid, rituximab, maupun
splenectomy. Obat-obatan yang biasa digunakan seperti azathioprine (100-150
mg/hari) dan siklofosfamid (100 mg/hari) merupakan imunosupresif yang dapat menurunkan produksi auto-antibodi. Jumlah sel darah periferal perlu dimonitoring untuk mengetahui ada atau tidaknya efek samping berupa mielosupresif. Obat imunosupresif lain seperti siklosporin atau mikofenolat mofetil (MMF) sama efektifnya pada beberapa kasus (Zeerleder, 2011). MMF diberikan dengan dosis 500 mg/hari diberikan 2 kali, setelah 2 minggu ditingkatkan menjadi 1 gram/hari diberikan 2 kali (Howard, Hoffbr, Grant, and Mehta, 2001).
4. Last-line
Siklofosfamid dosis tinggi dapat digunakan sebagai pengobatan untuk pasien yang sangat mengalami kekambuhan. Terapi lain yang dapat digunakan yaitu Alemtuzumab, terbukti efektif pada beberapa pasien namun memiliki toksisitas yang tinggi (Zanella et al, 2014).
c. Terapi Cold Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
Gambar 7. Alogaritma Terapi Cold Autoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA) pada Pasien Dewasa (Michel, 2011).
Pasien Cold AIHA yang tidak dapat menerima terapi splenektomi dan steroid, terapi yang diberikan adalah rituximab atau kombinasi rituximab dan fludarabine (Zanella et al, 2014).
5. Monitoring
Perlu dilakukan monitoring terhadap pasien AIHA karena kondisi tersebut dapat mengancam jiwa. Monitoring yang dilakukan antara lain:
1. Kadar hemoglobin (setiap 4 jam) 2. Jumlah retikulosit (setiap hari) 3. Ukuran splenic (setiap hari) 4. Hemoglobinuria (setiap hari) 5. Kadar haptoglobin (setiap minggu)
6. Coomb’s test (setiap minggu)
B. Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems(DRPs) adalah hal yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien yang yang berkaitan dengan terapi pengobatan, dan yang menghalangi tercapainya tujuan terapi yang dinginkan. DRPs termasuk dalam domain praktisi pharmaceutical care, yang bertujuan untuk membantu pasien mencapai tujuan terapi dan mewujudkan hasil terbaik dari terapi (Cipolle et al, 2014).
Kondisi patofisiologis dan penatalaksanaan terapi dapat mempengaruhi permasalahan dalam terapi obat. Cipolle et al (2004) memaparkan penyebab untuk masing-masing kategori DRPs menjadi:
Tabel III. Kategori dan Penyebab Utama Drug Related Problems (DRPs)
Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk terapi pada saat itu
Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan satu obat
Kondisi medis yang lebih tepat menggunakan terapi non-obat
Terapi untuk pencegahan efek samping Penyalahgunaan obat
Dibutuhkan tambahan obat (Need for additional drug
related)
Kondisi yang membutuhkan terapi baru Terapi obat pencegahan untuk mengurangi
risiko timbulnya risiko baru
membutuhkan tambahan terapi untuk mencapai efek sinergis dan aditif.
Obat tidak efektif (Ineffective
drug)
Obat tidak efektif untuk kondisi pasien Kondisi medis tidak dapat disembuhkan
Tabel III. Lanjutan
Kategori Penyebab Umum
Dosis terlalu rendah (Dosage
too low)
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan
Interval dosis terlalu besar untuk menghasilkan respon yang diinginkan Interaksi obat mengurangi jumlah obat aktif
yang tersedia
Durasi terapi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan
Efek samping obat (Adverse
drug reaction)
Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis Diperlukan obat yang aman karena faktor
risiko
Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan
Regimen dosis diberikan atau berubah terlalu cepat
Obat menyebabkan reaksi alergi Obat merupakan kontraindikasi karena
adanya faktor risiko Dosis terlalu tinggi (Dosage
too high)
Dosis terlalu tinggi
Frekuensi obat terlalu sering Durasi obat terlalu panjang
Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik Dosis obat diberikan terlalu cepat
Ketidakpatuhan (Noncompliance)
Pasien tidak memahami instruksi
Pasien lebih memilih tidak meminum obat Pasien lupa meminum obat
Obat terlalu mahal bagi pasien
Pasien tidak dapat menelan atau mengelola obat tersebut sendiri dengan tepat
Obat tidak tersedia untuk pasien
C. Metode SOAP
Penelitian ini menggunakan metode SOAP (subjektive, objective,
assesment, plan) yang merupakan suatu strategi pada analisis catatan medis
subjektif dalam rekam medis yang meliputi data diri pasien. Objective (O) berisikan catatan hasil tes laboratorium dan pemeriksaan lainnya seperti tanda vital, hasil X-ray, ECG, pemeriksaan fisik, obat dan lainnya. Assesment (A) berisikan informasi dari subjective dan objective yang digunakan untuk mengembangkan rancangan terapi bersama dengan protokol terapi. Plan (P) berisikan rekomendasi terapi yang didapatkan dari analisis kasus, berupa perubahan strategi dan obat yang dipilih, tujuan yang ingin dicapai dan parameter yang harus dipantau (Becerra, Martinez, Guvara, dan Ramirez, 2012).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran Drug Related
Problems (DRPs) terkait terapi pengobatan pada pasien usia 26-45 tahun dengan
diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014, yang meliputi: terapi obat yang tidak diperlukan (unnecessary drug related), dibutuhkan tambahan obat (need for
additional drug related), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah
23 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) terapi pengobatan pada pasien dewasa dengan diagnosis AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan rancangan penelitian secara case series dan menggunakan data retrospektif.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional karena penggalian informasi dilakukan secara sederhana melalui sumber informasi yang tersedia yaitu rekam medis pasien (World Health Organization, 2013).
Penelitian secara deskriptif dilakukan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data serta tidak dimaksud untuk menguji hipotesis (Arikunto, 2006).
Rancangan case series merupakan suatu kumpulan dari kasus yang sama dalam periode waktu tertentu yang kemudian dievaluasi dan dideskripsikan hasilnya (Storm and Kimmel, 2006).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian meliputi profil pengobatan Autoimmune Hemolytic
Anemia (AIHA) dan Drug Related Problems (DRPs) yang meliputi terapi obat
yang tidak diperlukan (unnecessary drug related), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug related), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek samping obat merugikan (adverse drug
reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).
2. Definisi Operasional
a. Evaluasi DRPs pada penelitian ini dilakukan terhadap kondisi klinis dan pola pengobatan yang berhubungan dengan AIHA saja.
b. Pola pengobatan, merupakan terapi farmakologis dan non farmakologis yang diterima subjek penelitian selama dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode 2009-2014. Obat-obatan yang digunakan oleh subjek dalam penelitian ini disebut menggunakan nama generiknya.
c. DRPs ketidak patuhan tidak dikaji karena data yang digunakan adalah data retrospektif sehingga tidak dapat melihat kelanjutan pengobatan pasien untuk menentukankategori ketidakpatuhan pasien.
yang berkaitan dengan terapi yang diterima pasien yang mungkin terjadi dan dapat diketahui melalui berbagai literatur penunjang.
e. Pustaka acuan yang digunakan untuk melakukan evaluasi DRPs yaitu
Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemia oleh Zanella and Barcellini
pada tahun 2012, Autoimmune Hemolytic Anemia oleh DeLoughery pada tahun 2013, dan Drug Interaction Checker oleh Medscape.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua pasien dewasa dengan diagnosis utama
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.
1. Kriteria inklusi subjek penelitian yaitu satu atau lebih kasus dalam satu nomor rekam medis pasien dengan usia 26-45 tahun yang memiliki riwayat diagnosis utama AIHA dan menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode 2009-2014.
2. Kriteria eksklusi subjek penelitian yaitu pasien yang memiliki AIHA sebagai diagnosis sekunder, serta rekam medis tidak lengkap dan rekam medis tidak ditemukan.
dan tidak dapat dikonfirmasi. Jumlah total kasus AIHA pada usia dewasa yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 15 kasus.
Gambar 8. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
D. Bahan dan Instrumen Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan rekam medis pasien dengan usia 26-45 tahun yang memiliki diagnosis utama
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dan menjalani rawat inap di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta selama periode 2009-2014.
AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014 3 kasus terapi tidak lengkap
2. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa form yang digunakan saat proses pengambilan data dari lembar rekam medis pasien. Form yang digunakan memuat informasi subjektif dan objektif pasien selama menjalani rawat inap.
E. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 September sampai 21 Desember 2015 pada bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.
F. Tata Cara Penelitian
1. Persiapan
Penelitian ini dimulai dengan melakukan observasi untuk mencari informasi terkait jumlah pasien AIHA, perizinan, dan tata cara pengambilan data. mengurus izin penelitian untuk dapat mengambil data di lokasi penelitian, yaitu pada bagian Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Analisis Situasi
Analisis situasi merupakan pemastian data yang diambil telah memadahi untuk dilakukan evaluasi. Dilakukan dengan mengevaluasi data yang diambil dari beberapa kasus.
3. Pengambilan data
b. Pengambilan data dilakukan dengan menyalin data pada rekam medis pasien yang meliputi identitas pasien, tanggal rawat inap, diagnosis, keluhan utama, status keluar rumah sakit, riwayat penyakit dan riwayat penggunaan obat sebelumnya, hasil pemeriksaan, catatan keperawatan dan perkembangan pasien, terapi farmakologi pada pasien.
4. Pengolahan Data dan Analisis Hasil
Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran karakteristik subjek penelitian, profil penggunaan obat pasien. Pengolahan data secara evaluatif dilakukan dengan cara mengevaluasi DRPs pada penggunaan obat pasien AIHA
G. Tata Cara Analisis Hasil
1. Karakteristik Pasien
Analisis karakteristik pasien dilakukan dengan mengelompokkan usia pasien, jenis kelamin dan jenis AIHA. Penggolongan usia dewasa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu masa dewasa awal (26-35 tahun) dan masa dewasa akhir (36-45 tahun). Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Persentase masing-masing kelompok dapat dihitung menggunakan cara dibawah:
Persentase =
2. Profil Pengobatan
3. Evaluasi DRPs
Analisis dilakukan menggunakan metode SOAP kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenis DRPs yang meliputi terapi obat yang tidak diperlukan (unnecessary drug related), perlu obat tambahan (need for additional drug
related), obat tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (Dosage too low), efek samping obat (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). Penelitian ini menggunakan pendekatan retrospektif, sehingga bagian
plan digantikan dengan recommendation. Analisis yang dilakukan bertujuan
untuk memberikan rekomendasi atas masalah yang terjadi. Persentase temuan DRPs dihitung dengan cara:
Persentase=
4. Penyajian Hasil Penelitian
Hasil penelitian ditunjukkan dengan karakteristik pasien AIHA usia dewasa, profil pengobatan, dan evaluasi Drug Related Problems (DRPs) diuraikan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan persentase. Persentase kejadian DRPs dapat dihitung dengan:
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian
Kesulitan yang dialami selama penelitian yaitu belum adanya guideline atau protokol resmi terkait terapi AIHA dengan tingkat kercayaan tinggi. Evaluasi yang dilakukan peneliti berdasarkan review dan penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan. AIHA merupakan penyakit yang cukup jarang diderita sehingga belum banyak penelitian terkait penyakit ini. Selain itu terdapat beberapa rekam medis yang tidak ada, tidak lengkap atau sulit terbaca sehigga peneliti mengalami kesulitan untuk mengevaluasi terapi yang diterima oleh pasien.
31 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pasien
1. Persentase Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari data yang diperoleh (Gambar 9), terlihat bahwa kejadian AIHA lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan (93%) dibandingkan laki-laki (7%). Penelitian yang ada sebelumnya menyatakan bahwa AIHA pada orang dewasa memiliki perbandingan antara perempuan dengan laki-laki yaitu 2:1 (Michel, 2011). AIHA cenderung lebih banyak dialami oleh wanita karena adanya hormon seks dan/atau sex linked gene inheritance yang mungkin menyebabkan wanita lebih rentan terhadap penyakit autoimun (Voskuhl, 2011). Hormon esterogen pada perempuan dapat merangsang produksi antibodi oleh sel B yang dimungkinkan juga bertanggung jawab untuk terjadinya penyakit autoimun. Hormon androgen pada laki-laki umumnya bersifat imunosupresif sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya proses autoreaktif (Bratawidjaja dkk, 2012).
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur
Penggolongan usia dewasa dibagi menjadi dua yaitu masa dewasa awal (25-35 tahun) dan masa dewasa akhir (36-45 tahun).
Tabel IV. Distribusi Kasus AIHA Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014 Berdasarkan Usia
Kriteria Kelompok Umur
Gambaran kelompok pasien AIHA yang rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa pasien dengan kelompok umur 26-35 tahun sebesar 60% dan kelompok umur 36-45 tahun sebesar 40%.
3. Outcome Terapi
Dari 15 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014 yang masuk kriteria inklusi, sebagian besar kasus meninggalkan rumah sakit dalam kondisi yang membaik dan diizinkan pulang. Jumlah kasus yang pulang dengan membaik dan diizinkan terdapat 13 kasus (87%) dan jumlah kasus meninggal dunia sebanyak 2 kasus (13%). Penyebab kematian pada kasus 8 yaitu
shock septic dd hipovolemik, yaitu keadaan dimana tubuh tidak mampu
berkembang selama rawat inap di rumah sakit. Hal tersebut terjadi karena pasien AIHA rentan terkena infeksi dan tidak diberikannya antibiotik untuk mengatasi infeksi bakteri tersebut.
Gambar 10. Alasan Meninggalkan Rumah Sakit Pada Kasus AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014.
B. Profil Pengobatan
1. Terapi Farmakologi
Pengkajian terkait gambaran umum penggunaan obat pada pasien dewasa dengan diagnosis AIHA dilakukan berdasarkan sub kelas terapi menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang formularium nasional.
87% 13%
Membaik dan diizinkan
Tabel V. Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Pada Kasus AIHA diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014
Kelas Terapi Jenis Obat Kasus Jumlah
Kasus
Persentase (%) n=15
Kortikosteroid Metilprednisolon 1-15 15 100
Imunosupresan Mikofenolat
Antibakteri Sefalosporin 3, 5, 11, 13
5 33,3
Meropenem 8
Aminoglikosida 11
Penggunaan obat yang paling banyak adalah dari kelas kortikosteroid, dimana obat-obatan pada kelas ini merupakan first-line untuk terapi AIHA.
a. Kortikosteroid
Obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk pengobatan AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ini adalah metilprednisolon. Semua kasus mendapatkan terapi metilprednisolon baik secara enteral maupun parenteral. Pasien yang baru terdiagnosis dan mengalami wAIHA parah harus segera diberikan terapi steroid (Hoffman et al, 2014).
dan juga terlibat pada regulasi keseimbangan atau penyangga garam dan cairan dalam tubuh. GC terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, selain itu juga memiliki efek anti-inflamasi, imunosupresif, anti-proliferative, dan vasokonstriksi. GC dapat menurunkan penghancuran eritrosit pada pasien AIHA (Liu, Ward, Krishnamoorthy, Mandelcorn, Leigh, et al,2013). Steroid bekerja dengan menurunkan produksi autoantibodi oleh sel B, selain itu juga menurunkan densitas reseptor Fc-gamma pada saat fagositosis di limpa (Zeerleder, 2011).
Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya oseteoporosis pada orang dewasa dan menghambat perkembangan tulang rangka pada anak-anak. Hormon glukokortikoid dapat mengganggu transport kalsium oleh bantuan vitamin D di usus dan menghambat pembentukan tulang. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus disertai dengan pemberian vitamin D, kalsium, dan asam folat (Zanella et al, 2014). Beberapa efek samping potensial lainnya yaitu, gangguan cairan dan elektrolit, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, gangguan otot dan saraf, serta gangguan kulit (Zoorob et al, 1998).
b. Imunosupresan
imunosupresan perlu dilakukan monitoring terhadap jumlah sel darah peripheral karena obat ini memiliki efek samping berupa mielosupresif.
MMF merupakan pro-drug dari asam mikofenolat, hasil fermantasi spesies Penicillium. MMF bekerja poten dengan menghambat inosin 5’ -mono-phosphate dehydrogenase, enzim yang memiliki peranan penting pada sintesis
purin. Mekanisme utama MMF yaitu dengan menghambat limfosit proliferatif namun dapat juga dengan menyebabkan penipisan guanosis trifosfat (GTP) sehingga terjadi pengurangan molekul adhesi pada leukosit dan terjadi penurunan perekrutan leukosit pada lokasi inflamasi (Howard, Hoffbrand, Prentice, Mehta, 2001). MMF direkomendasikan untuk masuk dalam terapi kekambuhan pada imun sitopenias sebagai pilihan steroid-sparing (Zanella et al, 2014). Ditemukan 2 kasus, yaitu kasus 5 dan 8 yang diterapi dengan MMF bersamaan dengan metilprednisolon (kortikosteroid).
c. Analgesik Non Narkotik
Parasetamol bekerja di hipotalamus yang meregulasi suhu tubuh dan dapat bekerja di perifer untuk memblokir impuls nyeri, serta dapat juga menghambat sintesis prostaglandin di CNS (Botting, 2000). Parasetamol bekerja menurunkan demam dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase dan menurunkan jumlah PGE2 di hipotalamus sehingga impuls nyeri terhambat. Parasetamol dapat menembus blood-brain barrier dan dapat bertindak secara istimewa dalam sistem saraf pusat dengan mengurangi produksi prostaglandin (Aronoff, 2001).
Terdapat 4 kasus pada penelitian evaluasi DRPs pasien dewasa dengan AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi analgesik non-narkotik, yaitu kasus 3, 6, 11, dan 13.
d. Antidiabetes
Insulin aspart merupakan obat antidiabetes golongan rapid-acting yang bekerja secara cepat memiliki onset 15-30 menit (Dipiro, 2008). Insulin memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan antidiabetes oral untuk menurunkan kadar gula dalam darah (Meneghini, 2009).
e. Antiulkus
Penggunaan kortikosteroid berisiko menyebabkan gangguan pencernaan seperti pendarahan gastrointestinal bagian atas dan peptik ulser (Gutthann, Rodriguez, and Raiford, 1996). Kortikosteroid dapat menghambat sintesis mukosa lambung, peningkatan sel gastrin, hiperplasia sel parietal karena sekresi asam berlebih, gangguan fibroblast dan penekanan sintesis-sintesis prostaglandin melalui penghambatan interleukin-1beta dan COX-2 (Luo, Chang, Lin, Lu, Lu, Cheng et al, 2002).
Terdapat 8 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antiulkus, dimana pemberiannya ditujukan untuk mencegah terjadinya peptik ulser yang merupakan salah satu efek samping penggunaan obat golongan kortikosteroid. Obat yang digunakan yaitu golongan proton pump inhibitor (PPI) dan histamin H2 receptor agonist. Pantoprazol dan lansoprazol termasuk dalam golongan PPI,
sedangkan ranitidin dan antasida kombinasi termasuk dalam histamin H2 receptor agonist. Obat golongan antiulkus yang paling sering digunakan yaitu ranitidin
sebanyak 4 kasus.
f. Antianemi
Berdasarkan formularium nasional, asam folat dan vitamin B12 (sianokobalamin), ferro sulfat, low molecule feri sucrose, dan low molecular
weiht iron dextran termasuk dalam kelas terapi antianemi (Menteri Kesehatan
metiltetrahidrofolat. Kemudian dibawa ke sel sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan eritropoesis normal, interkonvert asam amino, sintesis purin dan asam nukleat (Mahmood, 2014). Asam folat diperlukan oleh pasien dengan wAIHA aktif untuk meningkatkan eritropoesis sehingga mencegah defisiensi vitamin B9 (March, 2014).
Penelitian ini menunjukkan bahwa antianemi yang digunakan untuk pasien AIHA dewasa di RSUP Dr. Sardjito yaitu asam folat dan vitamin B12. Terdapat 4 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antianemi, dimana kasus tersebut menunjukkan pemeriksaan RDW diatas normal dan MCV >100 fL.
g. Antibakteri
Antibakteri umumnya digunakan untuk mencegah maupun mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Pasien AIHA rentan terhadap infeksi bakteri karena pertahanan tubuhnya terhadap agen asing menjadi lemah. Pada penelitian ini terdapat 5 kasus yang diberikan terapi antibibakteri. Golongan antibakteri yang digunakan yaitu golongan beta laktam (sefalosporin dan carbapenem) dan aminoglikosida.
2. Terapi Suportif
Salah satu terapi suportif untuk pasien AIHA adalah transfusi darah. Transfusi dilakukan untuk memperbaiki kadar hemoglobin pasien sehingga dapat melakukan penghantaran oksigen ke seluruh jaringan dengan baik (Zanella et al, 2014). Pada penelitian ini terdapat 11 kasus yang diberikan terapi transfusi. Terdapat dua jenis transfusi yang diterima pasien AIHA di RSUP Dr. Sardjito, yaitu transfusi PRC dan transfusi WRC.
Transfusi PRC sebagian besar merupakan sel darah merah namun masih mengandung sedikit sisa leukosit dan trombosit. Diberikan untuk mengatasi gejala anemia, profilaksis pada anemia yang mengancam nyawa dan memperbaiki transport oksigen (Weinstein, 2012). Transfusi PRC bertujuan untuk mengatasi hemolisis dan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan. Transfusi dilakukan pada pasien dengan Hb <7 g/dL dan target terapi mempertahankan Hb antara 7-9 g/dL (Sharma et al, 2011).
Tabel VI. Pemberian Transfusi pada Pasien AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014 Jenis Transfusi Kasus Jumlah Kasus (n=15) Persentase
Transfusi PRC
Seluruh kasus dalam penelitian ini menggunakan obat dengan rute enteral maupun parenteral. Obat parenteral digunakan karena dapat memberikan efek yang cepat. Gambaran umum penggunaan obat berdasarkan rute pemberian dapat dilihat pada tabel VII.
Tabel VII. Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian pada Pasien AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2009-2014
Rute Pemberian Jumlah Kasus
(n=15) Persentase
Enteral 11 73,3
Parenteral 15 100
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
dibutuhkan, butuh tambahan obat, interaksi dan efek samping obat perlu ditekan seminimal mungkin agar tidak terjadi kepada pasien.
1. Kasus 1
Pasien merupakan seorang wanita berusia 43 tahun dengan berat badan 54 kg, datang dengan keluhan lemas dan sesak nafas sejak tujuh hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien merupakan kasus AIHA lama yang terdiagnosis sejak 7 tahun yang lalu. Pemeriksaan darah pasien menunjukkan kadar Hb 4,7 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011), selain itu hasil coomb’s test pasien menunjukkan direct coomb’s test (DCT) 3+ dan
indirect coomb’s test (ICT) 2+. Pasien menjalani rawat inap di rumah sakit selama
11 hari dan keluar dengan status membaik dan Hb 10 g/dL.
Transfusi yang dilakukan sudah tepat karena kadar Hb awal pasien yaitu 4.7 g/dL dan terjadi peningkatan pada hari ke-3 pasien rawat inap menjadi 8.1 g/dL, kemudian transfusi dihentikan. Metilprednisolon dan transfusi PRC yang dberikan sudah tepat, dapat dilihat dari kadar Hb dan Hct pasien yang menunjukkan peningkatan.
Pada kasus ini ditemukan DRPs berupa dibutuhkan tambahan obat asam folat untuk mencegah anemia megaloblastik. Pasien AIHA mengalami hemolisis aktif sehingga terjadi peningkatan kebutuhan akan asam folat. Asam folat berperan dalam pembentukan sel darah merah, kekurangan asam folat dapat menyebabkan terbentuknya sel darah dengan kromatin berukuran besar yang dikenal sebagai sel megaloblast. Anemia megaloblastik dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan RDW diatas normal dan MCV >100 fL (Lu and Wu, 2004).
Rekomendasi yang diberikan untuk pasien yaitu memberikan asam folat dengan dosis 1 mg/hari (DeLoughery, 2013). Monitoring yang dilakukan yaitu pemantauan terhadap kadar Hb dan Hct pasien serta pemantauan terhadap efek samping metilprednisolon seperti peningkatan kadar gula darah pasien dan risiko osteopirosis yang mungkin terjadi pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
2. Kasus 2
sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan darah pasien menunjukkan kadar Hb 5,4 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011) dan DCT 4+. Pasien menjalani rawat inap di rumah sakit selama 6 hari dan keluar dengan status membaik.
Selama rawat inap pasien mendapatkan terapi metilprednisolon secara IV dengan dosis 500 mg/hari pada hari 2-4, kemudian dilanjutkan pemberian secara oral dengan dosis 8-4-0 mg/hari. Selain itu pasien diberikan ranitidine pada hari 3-5 dengan dosis 50 mg 2 kali sehari yang diberikan secara IV. Ranitidin digunakan untuk mengatasi efek samping penggunaan kortikosteroid yaitu tukak lambung (Lockrey and Lim, 2011). Dosis yang dianjurkan literatur untuk mengatasi tukak lambung yaitu 50 mg tiap 6-8 jam atau sama dengan 150-200 mg/hari (Oliva, Partemi, Arena, De Giorgio, Colecchi, Fucci, et al, 2008). Dosis ranitidine yang diterima pasien belum dapat mengatasi keluhan pasien terkait tukak lambung, yaitu nyeri perut dan mual. Kejadian tersebut dapat digolongkan dalam DRPs dosis kurang. Transfusi PRC pada hari 1-3 pasien rawat inap. Transfusi yang dilakukan sudah tepat karena kadar Hb awal pasien yaitu 4.5 g/dL setelah transfusi menjadi 8.1 g/dL. Pada kasus ini ditemukan DRPs berupa dibutuhkan tambahan obat asam folat untuk mencegah anemia megaloblastik.
3. Kasus 3
Pasien merupakan seorang wanita berusia 28 tahun dengan berat badan 45 kg, merupakan penderita AIHA yang terdiagnosis sejak 5 tahun yang lalu. Pasien datang dengan keluhan lemas dan pusing sejak tujuh hari sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan darah pasien menunjukkan kadar Hb 2,4 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011), ICT +, dan DCT +. Pasien menjalani rawat inap di rumah sakit selama 6 hari dan keluar dengan status membaik dan Hb 9,7 g/dL.
bakteri yang diberikan dengan dosis 2 gram/hari secara IV (Yellin, Hassett, Fernandes, Geib, Adeyi, Woods, et al, 2016). Pemeriksaan WBC pasien pada hari pertama rawat nap (14/10/13) menunjukkan peningkatan, hasil pemeriksaan netrofil pasien juga menunjukkan nilai diatas normal, diduga pasien mengalami infeksi bakteri.. Hasil lab pasien menunjukkan adanya perbaikan kondisi pasien setelah diberikan terapi antibiotik sehingga terapi yang diberikan sesuai. Dilakukan transfusi PRC pada hari 1-2 pasien rawat inap. Transfusi yang dilakukan sudah tepat karena kadar Hb awal pasien yaitu 2,4 g/dL menjadi 8.3 g/dL.
Pada kasus ini ditemukan DRPs berupa dibutuhkan tambahan obat asam folat untuk mencegah anemia megaloblastik. Rekomendasi yang diberikan untuk pasien yaitu pemberianasam folat dengan dosis 1 mg/hari. Monitoring terhadap kadar Hb dan Hct pasien serta efek samping obat-obatan yang digunakan, terkhusus pada penggunaan metilprednisolon jangka panjang dan ceftriaxon yang termasuk dalam golongan obat yang dapat menginduksi terjadinya drug-induced
hemolytic anemia (Reardon, 2006).
4. Kasus 4
inap di rumah sakit selama 7 hari dan keluar dengan status membaik dan Hb 13,3 g/dL.
Selama rawat inap pasien mendapatkan terapi metilprednisolon secara IV dengan dosis 500 mg/hari pada hari 2-6 dan transfusi PRC pada hari 1-2. Terapi yang diberikan sudah tepat karena kadar Hb awal pasien yaitu 4,2 g/dL menjadi 13,3 g/dL.
Pada kasus ini ditemukan DRPs berupa dibutuhkan tambahan obat asam folat untuk mencegah anemia megaloblastik. Rekomendasi untuk terapi pasien yaitu diberikan tambahan asam folat dengan dosis 1 mg/hari. Monitoring terhadap kadar Hb dan Hct pasien serta pemantauan terhadap efek samping metilprednisolon seperti peningkatan kadar gula darah pasien dan risiko osteopirosis yang mungkin terjadi pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
5. Kasus 5
anti IgA yang tidak sesuai dengan pendonor (Norfolk, 2013). Transfusi WRC dilakukan apabila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis terhadap transfusi PRC, reaksi alergi atau anafilaksis parah terhadap produk transfusi darah. Dilakukan transfusi WRC pada hari 1, 2, 4, 6, dan 9 pasien rawat inap dengan Hb awal pasien 2,3 g/dL 10,1 g/dL. Terapi yang diberikan sudah sesuai, dapat dilihat dari kadar Hb dan Hct pasien yang menunjukkan peningkatan. Selain terapi untuk AIHA tersebut, pasien mendapat terapi furosemide yang bertujuan untuk mengatasi edema yang disebabkan oleh congestive heart failure, yaitu kondisi dimana darah yang masuk ke jantung tiap menitnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen.
Pada kasus ini ditemukan DRPs berupa dosis kurang yang terjadi karena adanya interaksi antara asam folat dengan furosemid yang dapat menurunkan kadar asam folat dengan meningkatkan clearance di ginjal (Medscape, 2016). Serta DRPs interaksi dan efek samping obat yang terjadi karena adanya interaksi antara metilprednisolon dan furosemid yang menyebabkan hipokalemia, ditunjukkan pemeriksaan kalium pasien setelah pemberian terapi tersebut menjadi 2,12 mmol/L (rujukan 3,4-5,4 mmol/L).
cefotaxim yang tergolong dalam antibiotik sefalosporin yang diduga dapat menginduksi drug-induced hemolytic anemia.
6. Kasus 6
Pasien merupakan seorang wanita berusia 26 tahun dengan berat badan 40 kg, datang dengan keluhan lemas, pusing, dan berdebar-debar. Pasien sempat menjalani rawat inap di rumah sakit lain dan hendak dilakukan transfusi namun tidak ada yang cocok. Pemeriksaan darah pasien menunjukkan kadar Hb 3,4 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011), DCT +. Pasien menjalani rawat inap di rumah sakit selama 5 hari dan keluar dengan status membaik dengan Hb 11,4 g/dL.
metilprednisolon dan transfusi PRC yang dberikan sudah tepat, dapat dilihat dari kadar Hb dan Hct pasien yang menunjukkan peningkatan.
Rekomendasi untuk terapi pasien yaitu pemberian dosis parasetamol sesuai dengan dosis literatur untuk dapat mengatasi demam pasien. Monitoring terhadap kadar Hb dan Hct pasien serta pemantauan terhadap efek samping obat-obatan yang digunakan terutama pada penggunaan metilprednisolon jangka panjang.
7. Kasus 7
Pasien merupakan seorang pria berusia 35 tahun, datang dengan keluhan lemas dan demam. Pemeriksaan darah pasien menunjukkan kadar Hb 6,5 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011), DCT 4, dan ICT 4+. Pasien menjalani rawat inap di rumah sakit selama 16 hari dan keluar dengan status membaik dan Hb 10,5 g/dL.
proton pump inhibitors (PPI) yang dapat digunakan untuk mengatasi peptik ulser
dengan dosis 40 mg/hari (Lockrey and Lim, 2011). Terapi yang dberikan sudah tepat, dapat dilihat dari kadar Hb dan Hct pasien yang menunjukkan peningkatan.
Pada kasus ini tidak ditemukan ditemukan DRPs. Monitoring yang dilakukan yaitu pemantauan terhadap kadar Hb dan Hct pasien serta pemantauan terhadap efek samping metilprednisolon seperti peningkatan kadar gula darah pasien dan risiko osteopirosis yang mungkin terjadi pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
8. Kasus 8
Pasien merupakan seorang wanita berusia 31 tahun, datang dengan keluhan lemas satu bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien merupakan rujukan daru RSUD Cilacap dengan diagnosis anemia susp. Lupus, tidak dilakukan transfusi karena darah tidak cocok. Pemeriksaan darah pasien menunjukkan kadar Hb 2,7 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011), DCT 4+, dan ICT 4+. Pasien menjalani rawat inap di rumah sakit selama 3 hari dan keluar dengan status meninggal, sebab kematian yaitu
shock septic.