• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PADA PASIEN LANSIA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014

MARIA SRI AYU MUSTIKAWATI, YUNITA LINAWATI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA INTISARI

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) adalah penyakit autoimun yang disebabkan autoantibodi memperantarai penghancuran sel darah merah pada tubuh. Penyakit ini dapat menyerang semua usia termasuk lansia. Perubahan profil farmakokinetik dan penggunaan multi drugs pada pasien lansia menyebabkan kelompok umur ini rentan mengalami Drug Related Problems (DRPs). Selain itu tingkat mortalitas penyakit AIHA meningkat pada pasien usia lebih dari 50 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi DRPs pada pengobatan pasien lansia dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan penelitian secara case series, dan pengambilan data secara retrospektif. Data diambil dari rekam medis pasien dengan diagnosis AIHA murni tanpa komplikasi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

9 kasus yang memenuhi kriteria inklusi diperoleh, dengan kelompok umur paling banyak yaitu 60-74 tahun, dan jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan adalah metilprednisolon. DRPs yang paling banyak ditemukan adalah interaksi dan efek samping obat, terdiri dari potensi interaksi obat pada 5 kasus dan efek samping obat terjadi pada 1 kasus. DRPs lain yang cukup banyak yaitu dosis kurang yang terjadi pada 4 kasus.

(2)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) PADA PASIEN LANSIA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014

MARIA SRI AYU MUSTIKAWATI, YUNITA LINAWATI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA ABSTRACT

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an autoimmune disease, which is caused by autoantibodies mediated red blood cells destruction in the body. This disease can affect all ages, including the elderly. Pharmacokinetic profile changes and multi drugs using in elderly patient cause this age group susceptible to have Drug Related Problems (DRPs). In addition, increased mortality of AIHA occurs in patients over 50 years old. The aim of this study is to evaluate DRPs in the treatment of elderly patients with AIHA diagnosis in the patient care instalation of Dr.Sardjito Hospital Yogyakarta 2009-2014 periode.

This is observational deskriptive research with case series design, and restrospective data collection. The data were collected from the medical record of elderly patient with diagnosis of AIHA primer without complication in patient care instalation of Dr.Sardjito Hospital Yogyakarta 2009-2014 periode.

9 cases that fulfill the inclusion criteria were obtained, most of patient are aged 60-74 years old, with the number of women are more than men. The most widely used drug are methylprednisolone. Interaction and adverse drug reaction are the most found DRPs, consists of potential drug interaction in 5 cases and adverse drug reaction in 1 case. Another DRP which also quite a lot was dosage too low, occurred in 4 cases.

(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN LANSIA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Maria Sri Ayu Mustikawati NIM : 128114052

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN LANSIA DENGAN DIAGNOSIS AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

(AIHA) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE 2009-2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Maria Sri Ayu Mustikawati NIM : 128114052

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“To every thing there is a season, and time for every purpose under the heaven..”

Ecclesiastes 3:1

“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”

Paulo Coelho

I dedicate this,

For Jesus, You’re my everything

For my family, without all of you I’m just nothing

For all my friends, without you I would’t keep standing until now For him, thanks for motivated me

(8)
(9)
(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Kedua orang tua tersayang Bapak Sri Sumarwan dan Ibu Sri Suwarni, kakak-kakak tersayang Mbak Ucik, Kak Roy, Mas Inus, dan Mbak Denis, keponakan tercinta Jason dan Devon yang telah mendukung, mendoakan, menguatkan dan menghibur selama hidup khususnya selama penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing dan penguji atas dukungan dan arahan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

3. Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberikan

kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

4. Dita Maria Virginia, S.Farm., Apt., M.Sc sebagai dosen penguji yang telah

memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

5. Ibu drg. Rini Sunaring Putri, M.Kes selaku Direktur SDM dan Pendidikan

(11)

viii

6. Bapak Sudirman, Mbak Tri, Mas Ade, dan Mas Randy atas kerjasamanya dalam membimbing dan mempersiapkan catatan medik yang dibutuhkan penulis selama pengambilan data di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

7. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dekan dan segenap staff Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mendukung kelancaran jalannya penelitian.

8. Teman-teman seperjuanganku, Oope, Sylpik, Dika, Kathrin, Aris, Angga,

Ella, Monik, Nova, Nonik dan temen-teman SMA tercinta Bonya, Etta, dan Ori atas dukungan, kerjasama, semangat, dan penghiburannya selama proses penyusunan skripsi ini.

9. Seluruh teman-teman Farmasi angkatan 2012, khususnya FKK A 2012, atas kebersamaan dan perjuangan yang telah dilalui bersama.

(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... I HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... Ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN…………... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...…... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA…………... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ...…... xvi

ABSTRACT... xvii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Rumusan Masalah………. 2

2. Keaslian Penelitian………...……… 3

3. Manfaat Penelitian……… 4

B. Tujuan Penelitian... 5

1. Tujuan Umum…………...…………... 5

2. Tujuan Khusus…………...……...… 5

(13)

x

A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)... 6

1. Definisi... 6

2. Klasifikasi... 6

3. Patofisiologi...………... 6

4. Diagnosis...……… 12

5. Terapi Farmakologi……… 13

6. Terapi Suportif……… 16

7. Monitoring……….... 18

B. Drug Related Problems (DRPs)... 19

C. Metode SOAP... 20

D. Lansia………. 21

E. Keterangan Empiris……… 21

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………... 23

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………. 23

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………... 23

1. Variabel Penelitian... 23

2. Definisi Operasional... 24

C. Subjek Penelitian………... 25

D. Bahan dan Instrumen Penelitian……… 26

1. Bahan Penelitian... 26

2. Instrumen Penelitian... 27

E. Waktu dan Lokasi Penelitian……….... 27

(14)

xi

1. Persiapan………... 27

2. Analisis Situasi………. 28

3. Pengumpulan Data….………... 28

4. Analisis Data……… 28

G. Tata Cara Analisis Hasil……… 28

1. Karakteristik Pasien………. 28

2. Profil Pengobatan……… 29

3. Evaluasi DRP……….. 29

4. Penyajian Hasil Penelitian………. 29

H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian……… 30

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 31

A. Karakteristik Pasien………. 31

1. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur…...……… 31

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin………. 32

B. Profil Pengobatan……….. 33

1. Terapi Farmakologi……… 33

2. Terapi Suportif……… 38

C. Evaluasi DRP……… 39

1. Kasus 1...………..……….. 40

2. Kasus 2...……… 42

3. Kasus 3...………. 43

4. Kasus 4...….……… 44

(15)

xii

6. Kasus 6...……….. 47

7. Kasus 7... 49

8. Kasus 8... 50

9. Kasus 9... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 53

A. Kesimpulan……… 53

B. Saran……….. 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN ...…... 59

(16)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel I. Penelitian Terkait AIHA………...……... 3 Tabel II. Fungsi Protein Komplemen………... 7 Tabel III. Terapi yang Disarankan untuk WAIHA dan CAIHA

Primer Maupun Sekunder………... 13 Tabel IV. Kategori dan Penyebab Utama Drug Related Problems

(DRPs)... 19 Tabel V. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Lansia dengan

Diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014…... 33 Tabel VI. Profil Penggunaan Transfusi Darah pada Pasien Lansia

dengan Diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014………... 38 Tabel VII. Gambaran DRPs Pada Pasien Lansia dengan Diagnosis

(17)

xiv DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Warm

AIHA………... 8

Gambar 2. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Cold

AIHA………... 10

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)... 11 Gambar 4. Algoritma Terapi WAIHA pada Pasien Dewasa………... 14 Gambar 5. Algoritma Terapi CAIHA pada Pasien Dewasa ………... 16 Gambar 6. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta periode 2009 – 2014………... 26 Gambar 7. Distribusi Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA

Berdasarkan Kelompok Umur di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014... 31 Gambar 8. Distribusi Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Ethic Committee Approval... 60

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta 61 Lampiran 3. Rangkuman Hasil Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014... 62

Lampiran 4. Kasus 1... 63

Lampiran 5. Kasus 2... 66

Lampiran 6. Kasus 3... 69

Lampiran 7. Kasus 4... 71

Lampiran 8. Kasus 5... 75

Lampiran 9. Kasus 6... 78

Lampiran 10. Kasus 7... 82

Lampiran 11. Kasus 8... 85

Lampiran 12. Kasus 9... 88

(19)

xvi INTISARI

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) adalah penyakit autoimun yang disebabkan autoantibodi memperantarai penghancuran sel darah merah pada tubuh. Penyakit ini dapat menyerang semua usia termasuk lansia. Perubahan profil farmakokinetik dan penggunaan multi drugs pada pasien lansia menyebabkan kelompok umur ini rentan mengalami Drug Related Problems (DRPs). Selain itu tingkat mortalitas penyakit AIHA meningkat pada pasien usia lebih dari 50 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi DRPs pada pengobatan pasien lansia dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan rancangan penelitian secara case series, dan pengambilan data secara retrospektif. Data diambil dari rekam medis pasien dengan diagnosis AIHA murni tanpa komplikasi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

9 kasus yang memenuhi kriteria inklusi diperoleh, dengan kelompok umur paling banyak yaitu 60-74 tahun, dan jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan adalah metilprednisolon. DRPs yang paling banyak ditemukan adalah interaksi dan efek samping obat, terdiri dari potensi interaksi obat pada 5 kasus dan efek samping obat terjadi pada 1 kasus. DRPs lain yang cukup banyak yaitu dosis kurang yang terjadi pada 4 kasus.

(20)

xvii ABSTRACT

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) is an autoimmune disease, which is caused by autoantibodies mediated red blood cells destruction in the body. This disease can affect all ages, including the elderly. Pharmacokinetic profile changes and multi drugs using in elderly patient cause this age group susceptible to have Drug Related Problems (DRPs). In addition, increased mortality of AIHA occurs in patients over 50 years old. The aim of this study is to evaluate DRPs in the treatment of elderly patients with AIHA diagnosis in the patient care instalation of Dr.Sardjito Hospital Yogyakarta 2009-2014 periode.

This is observational deskriptive research with case series design, and restrospective data collection. The data were collected from the medical record of elderly patient with diagnosis of AIHA primer without complication in patient care instalation of Dr.Sardjito Hospital Yogyakarta 2009-2014 periode.

9 cases that fulfill the inclusion criteria were obtained, most of patient are aged 60-74 years old, with the number of women are more than men. The most widely used drug are methylprednisolone. Interaction and adverse drug reaction are the most found DRPs, consists of potential drug interaction in 5 cases and adverse drug reaction in 1 case. Another DRP which also quite a lot was dosage too low, occurred in 4 cases.

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan penyakit yang disebabkan oleh autoantibodi secara langsung melawan sel darah merah yang ada pada tubuh (Zanella and Barcellini, 2014). Terjadinya autoantibodi dapat dipicu oleh faktor genetik, infeksi, penyakit inflamatori, obat-obatan, dan penyakit limfoproliferatif (Chaudhary and Das, 2014). Angka kejadian AIHA pada orang dewasa yaitu 0,8-3 x 105/ tahun, dengan prevalensi 17:100,000. AIHA ini dapat bersifat idiopatik (50%) atau bersifat sekunder yang berhubungan dengan beberapa penyakit lain seperti lymphoproliferative syndroms (20%), penyakit autoimun (20%), infeksi dan tumor (Zanella et al, 2014). Penyakit AIHA ini dapat terjadi pada seluruh usia, termasuk para lansia. Penyakit ini biasa terjadi pada lansia dengan median angka kejadian pada usia 70 tahun pada salah satu jenis AIHA, yaitu Primer Cold Agglutinin Syndrom (CAS) (Gehrs and Friedberg, 2002).

(22)

meningkat seiring bertambahnya usia khususnya untuk pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan potensi kematian pada 2 tahun pertama sejak terdiagnosis dan biasanya berhubungan dengan penyakit penyerta atau efek samping terapi (Hoffbrand, Higgs, Keeling, Mehta, 2016). Oleh sebab itu, pengobatan bagi lansia ini harus terus dipantau agar efektif dalam pengobatan dan outcome terapi yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.

Salah satu cara untuk mengetahui apakah terapi yang diperoleh pasien sudah efektif yaitu dengan cara evaluasi drug related problems (DRPs). Menurut Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE), DRPs merupakan permasalahan pada farmakoterapi dari individu pasien yang dapat atau berpotensi mengganggu pencapaian outcome terapi yang diinginkan (Van Mil, 2005).

Penelitian evaluasi drug related problems (DRPs) dilakukan di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta yang merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Yogyakarta. Jumlah pasien AIHA di RSUP Dr.Sardjito tahun 2009-2014 sebanyak 237 pasien, 34 diantaranya merupakan pasien lansia dengan AIHA sebagai diagnosis utama. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan evaluasi terkait terapi pasien AIHA lansia dan mampu memberikan gambaran lebih detail terkait DRPs, sehingga dapat meningkatkan rasionalitas pengobatan pada pasien AIHA lansia di RSUP Dr.Sardjito.

1. Rumusan Masalah

(23)

b. Seperti apakah profil pengobatan pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014?

c. Bagaimana Drug Related Problems (DRPs) yang terjadipada pengobatan pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014, yang meliputi terapi obat yang tidak diperlukan (Unnecessary drug related), perlu terapi obat tambahan (Need for additional drug related), obat tidak efektif (Ineffective drug), dosis terlalu rendah (Dosage too low), efek samping obat (Adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (Dosage too high)?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian evaluasi Drug Related Problems (DRPs)pada pengobatan pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014 ini belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian terkait dengan penyakit AIHA yang sudah dilakukan, yaitu:

Tabel I.Penelitian Terkait AIHA

No Pengarang Persamaan Perbedaan

1 Kikawada, Watanabe,

Kimura, Hanyu, 2005

Subjek pada penelitian ini yaitu pasien lansia dengan diagnosis AIHA

(24)

Tabel I. Lanjutan

No Pengarang Persamaan Perbedaan

2 Bussone et al, 2009

Penelitian ini menggunakan

pengambilan data secara retrospektif dengan subjek penelitian yaitu pasien wAIHA.

Subjek yang digunakan pada penelitian ini merupakan pasien dewasa dengan rata-rata umur 49.7 ± 21 tahun. Selain itu tujuan, tempat, dan waktu penelitian juga berbeda.

3 Peñalver et al, 2010

Penelitian ini menggunakan

pengambilan data secara retrospektif dengan subjek penelitian yaitu pasien AIHA.

Subjek yang digunakan pada penelitian ini merupakan pasien dewasa. Selain itu tujuan, tempat, dan waktu penelitian juga berbeda.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis: hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi terkait Drug Related Problems (DRPs) pada terapi pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) dan dapat menambah referensi pengetahuan mengenai Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA).

b. Manfaat Praktis: bagi rumah sakit, diharapkan hasil penelitian ini dapat

menjadi bahan evaluasi dan dapat meningkatkan pelayanan terapi pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

(25)

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus, yaitu:

a. Mengetahui karakteristik pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

b. Mengetahui profil pengobatan pada pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

(26)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) 1. Definisi.

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan kondisi klinik yang disebabkan antibodi IgG dan/atau IgM berikatan dengan antigen dan memulai penghancuran red blood cell (RBC) melalui sistem komplemen dan sistem retikuloendotelia. AIHA termasuk penyakit yang cukup jarang, dengan estimasi 1-3 kasus per 100.000 kasus pertahun (Gehrs and Friedberg, 2002).

2. Klasifikasi AIHA

AIHA diklasifikasikan menjadi warm autoimmune hemolytic anemia (wAIHA) dan cold autoimmune hemolytic anemia (cAIHA). Pengelompokan ini berdasarkan pada suhu optimal terjadinya hemolisis dan jenis imunoglobulin yang berperan. Imunoglobulin yang berperan pada wAIHA yaitu IgG, pada cAIHA imunoglobulin yang berperan adalah IgM (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, Abdulsalam, 2005). Cold AIHA dibagi menjadi: Cold Agglutinin Syndrom (CAS)dan Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH). Setiap jenis AIHA dibagi menjadi subbagian, yaitu idiopatik (primer) dan sekunder. Idiopatik yaitu AIHA tanpa adanya hubungan dengan penyakit lain, sedangkan sekunder yaitu AIHA yang memiliki hubungan dengan penyakit lain (Gehrs et al, 2002).

3. Patofisiologi

(27)

penghancuran sel darah merah. Penyebab adanya produksi autoantibodi adalah sistem imun individu tidak dapat mengenali host atau self-antigen dan berkaitan dengan kegagalan sel T meregulasi sel B. Faktor genetik, infeksi, penyakit inflamatori, obat-obatan, dan penyakit limfoproliferatif merupakan pemicu terjadinya autoantibodi (Chaudhary et al, 2014).

Proses penghancuran sel darah merah karena autoantibodi berkaitan dengan sistem komplemen. Komplemen merupakan sistem yang terdiri dari sejumlah protein yang berperan dalam sistem imun non spesifik maupun sistem imun spesifik. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi, dan kerusakan (lisis) membrane pathogen. Terdapat 9 komponen dasar komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian yang besar dan kecil (C3a, C4a, dan sebagainnya).Sistem komplemen yang semula diketahui diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan alternatif, dan sekarang diketahui juga dapat terjadi jalur lektin. Jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun sedang jalur alternatif dan jalur lektin tidak (Baratawidjaja dan Rengganis,2012).

Tabel II. Fungsi Protein Komplemen (Baratawidjajadkk,2012).

Protein Komplemen Fungsi

C1qrs Meningkatkan permeabilitas vascular

C2 Mengaktifkan kinin

C3a dan C5a Kemotaksis yang mengarahkan leukosit dan juga berupa anafilotoksin yang dapat merangsang sel mast melepas histamine dan mediator lainnya

C3b Opsonin dan adherens imun

C4a Anafilotoksin lemah

C4b Opsonin

C5,6,7 Kemotaksis

(28)

Kerusakan eritrosit yang dipicu oleh aktivasi komplemen dapat terjadi tergantung pada kelas imunoglobulin. Berikut penjelasan hemolisis yang disebabkan interaksi antigen dengan Ig-class antibody.

a. Warm-type Autoimmune Hemolytic Anemia (wAIHA).

Gambar 1. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada WarmAIHA (Berentsen and Sundic, 2015)

(29)

merah dari sirkulasi yaitu fagositosis dan lisis. Dua mekanisme tersebut terjadi karena adanya Fc receptor-mediated immune adherence dan complement mediated hemolysis.

1. Fc Receptor-Mediated Immune Adherence

Sel darah merah dianggap sebagai antigen oleh antibodi sehingga terbentuk kompleks autoantibodi dan mengaktifkan sistem komplemen. Fc reseptor merupakan reseptor yang terdapat pada makrofag, reseptor ini membuat makrofag menempel pada IgG yang telah membentuk kompleks dengan sel darah merah. Protein CR1 yang terdapat pada makrofag merupakan ligan untuk protein komplemen C3b yang menyebabkan C3b berikatan dengan kompleks dan menyebabkan terjadinya fagositosis. Fagositosis oleh makrofag limpa menyisakan sferosit, yaitu eritrosit yang memiliki ukuran lebih bulat dan dengan warna yang padat dibandingkan dengan eritrosit normal, serta tidak memiliki warna pucat dibagian tengah (Berentsen et al, 2015).

2. Complement Mediated Hemolysis

(30)

b. Cold-typeAutoimmune Hemolytic Anemia (cAIHA).

Gambar 2. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Cold AIHA (Berentsen et al, 2015)

[image:30.595.84.516.126.622.2]
(31)

menyebabkan CA berikatan dengan sel darah merah dan menyebabkan aglutinasi. Setelah kompleks IgM-CA berikatan dengan sel darah merah, kompleks ini mengikat C1 dan memulai aktivasi sistem komplemen jalur klasik. C1 esterase mengaktifkan C2 dan C4 kemudian mengaktifkan C3 konvertase, C3 terpecah menjadi C3a dan C3b, C3b inilah yang berikatan dengan kompleks. Ketika kompleks kembali ke bagian tubuh dengan suhu normal 370C, IgM-CA terlepas dari permukaan sel, sementara C3b tetap terikat dengan sel darah merah yang kemudian dibawa ke hati untuk difagosit (Berentsen et al, 2015).

c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)

Gambar3. Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) (Berentsen et al, 2015)

(32)

tetapi tidak mengaglutinasi sel darah merah (Berentsen et al, 2015). Antibodi mengikat protein P diduga dapat disebabkan oleh adanya mutasi gen pada sintesis protein P sehingga jumlah protein P meningkat pada permukaan sel darah merah (Olsson and Hellberg, 2015). Antigen dan antibodi antieritrosit membentuk kompleks pada suhu 4⁰C, kemudian mengikat C1 pada suhu 37⁰C yang menyebabkan aktivasi C2 dan C4. Selanjutnya C3 konvertase teraktivasi dan dipecah menjadi C3a dan C3b. C3b yang terikat pada kompleks antigen-antibodi anti-eritrosit akan mengaktifkan C5 yang kemudian menyebabkan teraktivasinya protein komplemen C5b,6,7,8,9 dan kemudian sel lisis (Berentsen et al, 2015).

4. Diagnosis

a. Gejala dan Gambaran Klinis

Gejala AIHA tergantung pada tipe antibodi dan keparahan anemia. Gejala untuk wAIHA biasanya kelelahan, penurunan aktivitas fisik dan kesulitan bernapas bagi lansia. Selain itu gejala akut lain seperti malaise, demam, jaundice, nyeri abdominal, gangguan pernapasan, dan hemoglobulinuria. Untuk pasien cAIHA biasanya sensitif terhadap dingin dan anemia akan bertambah parah jika ada paparan dingin (Hoffman, Benz, Silberstein, Heslop, Weitz, Anastasi, 2014).

b. Darah Tepi dan Laboratorium

(33)

yaitu peningkatan laktat dehidrogenase(LDH), peningkatan bilirubin indirect, dan tes positif antiglobulin langsung (DAT) (Lechner and Jager, 2010).

c. Tes Coombs

Tes Coombs merupakan tes yang paling banyak digunakan dalam diagnosis AIHA. Direct Coombs test atau direct antiglobulin test (DAT) digunakan untuk mendeteksi antibodi pada permukaan sel darah merah, sedangkan indirect coombs test mengidentifikasi antibodi anti-eritrosit pada serum (Sills, 2003). Jika hasil tes DAT menunjukan hasil positif dan adanya IgG saja atau IgG dan C3d, kemungkinan besar termasuk dalam wAIHA. Sedangkan jika hasil DAT positif dan hanya terdapat C3d saja, maka kemungkinan besar termasuk dalam cAIHA (Hoffmanet al, 2014).

[image:33.595.87.542.185.746.2]

5. Terapi Farmakologi

(34)

a. Terapi wAIHA.

Gambar 4. Algoritma Terapi WAIHA pada Pasien Dewasa (Zanella et al, 2014)

1. Kortikosteroid

[image:34.595.83.511.113.615.2]
(35)

mengalami hemolisis cepat atau severe anemia dapat diberikan metilprednisolon injeksi dengan dosis 250-1000 mg/hari 1-3 hari (Zanella et al, 2014).

2. Rituximab

Rituximab merupakan pilihan secondline terapi lain bagi pasien yang tidak memenuhi syarat atau yang menolak splenectomy. Regimen standarnya 375mg/m2 pada hari1, 8, 15, 22 untuk 4 dosis. Pengobatan rituximab kontraindikasi pada pasien dengan infeksi virus hepatitis B yang tidak diobati (Lechner et al, 2010).

3. Imunosupresan

Imunosupresan sering direkomendasikan juga sebagai pengobatan secondline. Imunosupresan yang biasa digunakan yaitu azathioprine (100-150 mg/hari) dan siklofosfamid (100 mg/hari) menunjukan respon yang baik (40-60% kasus) (Zanella et al, 2014). Selain itu imunosupresan lain yang memberikan efek baik pada pasien AIHA yaitu siklosporin dan mikofenolat mofetil (Zeerleder, 2011).

4. Last-line

(36)

b. Terapi cAIHA.

Gambar 5. Algoritma Terapi CAIHA pada Pasien Dewasa (Goldman and Schafer, 2015)

Pasien cold agglutinin biasanya kurang efektif jika diberikan terapi obat. Terapi suportif seperti menjauhkan dari paparan dingin khususnya bagian kepala, wajah, ujung tangan dan kaki. Selain itu transfusi darah dapat diberikan, dengan transfusi prewarmed (suhu mendekati 37oC (Goldman et al, 2015). Beberapa pasien diberikan terapi kortikosteroid tetapi hanya 15% yang menunjukan hasil yang baik. Terapi yang sejauh ini memberikan efek paling baik adalah terapi menggunakan kombinasi fludarabine-rituximab dengan hasil sekitar 76% pasien menunjukan hasil yang baik (Berentsen, 2011).

6. Terapi Suportif

a. Transfusi Darah

[image:36.595.84.512.119.629.2]
(37)

perawatan khusus memberikan respon.Tujuan terapi sel darah merah terutama untuk memperbaiki oksigenisasi jaringan (Permono dkk, 2005).

Transfusi sel darah merah dapat dibagi menjadi 4, yaitu: 1. Sel darah merah pekat (Packed Red Cell)

Berfungsi mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia aplastic, thalassemia, anemia hemolitik, dan lainnya, mengatasi defisiensi yang berat dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat, serta perdarahan akut (Permonodkk, 2005).

2. Sel darah merah miskin leukosit

Untuk menghindari/mencegah reaksi transfusi non hemolitik (panas, gatal, menggigil, dan lainnya), dipergunakan pada kasus transfusi berulang, menghindari potensi sensitisasi pada kasus transplantasi jaringan, dan mempunyai masa simpan yang lebih pendek (Permono dkk, 2005).

3. Sel darah merah beku (Frozen Packed Red Cell)

Bertujuan agar sel darah merah dapat disimpan lebih lama, sebagian persediaan sel darah merah yang jarang dijumpai (Permono dkk, 2005).

4. Sel darah merah yang diradiasi (Irradiation Blood)

Untuk menghindari reaksi imun yang akan terjadi, radiasi bertujuan untuk menghancurkan sel limfosit yang sering menyebabkan terjadi reaksi graft versus host (GVH) (Permono dkk, 2005).

5. Washed Red Cell (WRC)

(38)

WRC dengan paket sel darah merah yang lain yaitu plasmanya telah dihilangkan (<0,5 g sisa plasma per unit) (Norfolk, 2013).

b. Splenectomy

Merupakan secondline terapi yang paling efektif, dan biasa digunakan untuk pasien yang mengalami intoleran pada kortikosteroid (Zanella et al, 2014). Splenectomy merupakan suatu prosedur operasi pengangkatan limpa (Cadili and de Gara, 2008).

c. Jauhkan paparan dingin

Bagi pasien cAIHA, menjauhkan pasien dari paparan dingin merupakan salah satu hal penting karena proses penghancuran sel darah pada pasien AIHA terjadi pada suhu dingin. Pasien dapat dilindungi dari paparan dingin dengan cara memakai sarung tangan, topi dan sepatu hangat. Jika perlu, tranfusi darah harus dilakukan dalam kondisi yang terkontrol pada 370C dengan menggunakan sistem pemanas (Zeerleder, 2011).

7. Monitoring

Karena kondisi ini dapat mengancam jiwa, maka perlu dilakukan monitoring berikut:

1. Kadar hemoglobin (tiap 4 jam) 2. Jumlah reticulocyte (tiap hari) 3. Ukuran splenic (tiap hari) 4. Hemoglobinuria (tiap hari) 5. Kadar haptoglobin (tiap minggu)

(39)

B. Drug Related Problems (DRPs)

[image:39.595.87.522.229.732.2]

Drug related problems (DRPs) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan, yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat, dan dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle, Strand, Morley, 2004). DRPs termasuk dalam domain praktisi pharmaceutical care. Tujuan mengidentifikasi DRPs adalah untuk membantu pasien mencapai tujuan terapi dan mewujudkan hasil terbaik dari terapi (Cipolle et al, 2004).

Tabel IV. Kategori dan Penyebab Utama Drug related problems (DRPs) (Cipolle et al, 2004)

Kategori Penyebab Umum

Terapi obat yang tidak

diperlukan (Unnecessary drug related)

 Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk terapi pada saat itu

 Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan satu obat  Kondisi medis yang lebih tepat

menggunakan terapi non-obat

 Terapi untuk pencegahan efek samping  Penyalahgunaan obat

Perlu terapi obat tambahan (Need for additional drug related)

 Kondisi yang membutuhkan terapi baru  Terapi obat pencegahan untuk mengurangi

risiko timbulnya risiko baru

 membutuhkan tambahan terapi untuk mencapai efek sinergis dan aditif.

Obat tidak efektif (Ineffective drug)

 Obat tidak efektif untuk kondisi pasien  Kondisi medis tidak dapat disembuhkan

dengan obat yang diberikan  Bentuk sediaan obat tidak sesuai  Obat tidak efektif untuk indikasi

Dosis terlalu rendah (Dosage too low)

 Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan

 Interval dosis terlalu besar untuk menghasilkan respon yang diinginkan  Interaksi obat mengurangi jumlah obat

aktif yang tersedia

(40)
[image:40.595.86.518.121.619.2]

Tabel IV. Lanjutan

Kategori Penyebab Umum

Efek samping obat (Adverse drug reaction)

 Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis  Diperlukan obat yang aman karena faktor

risiko

 Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan

 Regimen dosis diberikan atau berubah terlalu cepat

 Obat menyebabkan reaksi alergi  Obat merupakan kontraindikasi karena

adanya faktor risiko

Dosis terlalu tinggi (Dosage too high)

 Dosis terlalu tinggi

 Frekuensi obat terlalu sering  Durasi obat terlalu panjang

 Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik  Dosis obat diberikan terlalu cepat

Ketidakpatuhan (Noncompliance)

 Pasien tidak memahami instruksi

 Pasien lebih memilih tidak meminum obat  Pasien lupa meminum obat

 Obat terlalu mahal bagi pasien

 Pasien tidak dapat menelan atau mengelola obat tersebut sendiri dengan tepat

 Obat tidak tersedia untuk pasien

C. Metode SOAP

(41)

dipilih, tujuan yang akan dicapai dan parameter yang harus dipantau (Becerra, Martinez, Bohorquez, Guevara, dan Ramirez, 2012).

Metode SOAP ini digunakan karena merupakan metode yang tradisional, biasa digunakan ketika tenaga medis dan kefarmasian berkomunikasi dengan pasien dan membuat catatan dokumentasi berdasarkan informasi yang didapat dari pasien (Shoolin, Ozeran, Hamann, Cand Bria, 2013).

D. Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Menurut World Health Organization (2014) lansia merupakan manusia yang berusia 60 tahun lebih. Proses penuaan ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya kapasitas fungsional organ, penurunan dalam mekanisme homeostasis dan perubahan respon untuk reseptor rangsangan. Perubahan ini meningkatkan kerentanan lansia terhadap terhadap penyakit karena tekanan dari lingkungan dan fisik, serta efek dari obat-obatan (Miller, 2012).

Pada lansia, terjadi penurunan pada sistem ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi). Dengan bertambahnya usia, toleransi terhadap obat-obatan mengalami penurunan sebagai akibat dari perubahan respon farmakodinamik pada organ target (Miller, 2012).

E. Keterangan Empiris

(42)
(43)

23 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014 termasuk jenis penelitian desktiptif observasional dengan rancangan penelitian secara case series.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional karena penggalian informasi dilakukan secara sederhana melalui sumber infomasi yang tersedia yaitu rekam medis pasien (World Health Organization, 2013). Penelitian secara deskriptif dilakukan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data serta tidak dimaksud untuk menguji hipotesis (Arikunto, 2006). Rancangan case series merupakan kumpulan dari kasus yang sama dengan suatu kondisi dalam periode waktu tertentu yang kemudian dievaluasi dan dideskripsikan hasilnya (Storm and Kimmel, 2006). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif, yaitu penelusuran data dan dokumen terdahulu dari rekam medis pasien.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

(44)

(Dosage too low), efek samping obat (Adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (Dosage too high).

2. Definisi Operasional

a. Pola pengobatan merupakan terapi farmakologi yang diterima subjek penelitian selama dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 meliputi jenis obat serta terapi non farmakologi. Obat-obat yang digunakan oleh subjek dalam penelitian ini disebut menggunakan nama generiknya.

b. Referensi yang digunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi DRPs yaitu Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemias ditulis oleh Zanella and Barcellini tahun 2012, A Practical Guide To The Monitoring And Management of The Complications of Sistemic Corticosteroid Therapy ditulis oleh Liu et al tahun 2013, dan Drug Interaction Checker oleh Medscape. c. Evaluasi DRPs pada penelitian ini hanya terkait pada kondisi klinis dan terapi

yang berhubungan dengan AIHA saja.

(45)

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian meliputi pasien lansia dengan diagnosis kerja Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

1. Kriteria inklusi subjek yaitu satu atau lebih kasus dalam satu nomor rekam medis, dengan umur pasien ≥ 60 tahun yang menjalani rawat inap di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 dan mendapat diagnosis AIHA primer.

2. Kriteria eksklusi subjek yaitu pasien yang terdiagnosis AIHA dengan diagnosis sekunder dan komplikasi, pasien yang didiagnosis AIHA sebelum tahun 2009, rekam medis tidak lengkap, rekam medis tidak ditemukan.

(46)

Gambar 6. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009 – 2014

D. Bahan dan Instrumen Penelitian 1. Bahan penelitian

Bahan penelitian yang digunakan untuk penelitian yaitu lembar rekam medis pasien lansia yang memiliki diagnosis utama diagnosis Autoimmune Hemolytic

AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

237 pasien dengan 342 kasus

Dewasa (26 - 45 tahun)

AIHA+SLE Lansia (≥ 60

tahun) Anak (≤ 18

tahun)

28 pasien dengan 38 kasus

20 pasien dengan 21 kasus

34 pasien dengan 66 kasus

27 pasien dengan 43 kasus

Eksklusi 57 kasus: 50 kasus: AIHA sekunder / dengan penyakit penyerta 1 kasus: tidak lengkap

1 kasus: diagnosis sebelum 2009 5 kasus: tidak ditemukan Inklusi 12 kasus

dari 9 pasien

Inklusi 15 kasus dari 15 pasien

Inklusi 9 kasus dari 8 pasien

[image:46.595.88.530.103.640.2]
(47)

Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

2. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan yaitu form yang digunakan saat proses pengambilan data dari lembar rekam medis pasien lansia dengan diagnosis AIHA yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014. Form ini memuat informasi subjektif dan objektif selama pasien menjalani rawat inap.

E. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 September sampai 21 Desember 2015 di bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.

F. Jalannya Penelitian 1. Persiapan

(48)

2. Analisis situasi

Dilakukan pemastian data yang diambil telah memadai untuk dilakukan evaluasi. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan data yang diambil dari beberapa kasus kemudian dilakukan evaluasi atas data tersebut.

3. Pengumpulan data

a. Penelusuran data; tahap ini dilakukan dengan melihat print out data dari bagian rekam medis sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.

b. Pengambilan data; menyalin data dari rekam medis yang meliputi, identitas pasien, diagnosis, keluhan utama, tanggal rawat, status keluar, riwayat penyakit dan riwayat penggunaan obat, hasil pemeriksaan, catatan keperawatan dan perkembangan pasien, terapi farmakologi pada pasien. 4. Analisis data;

Analisis data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram. G. Tata Cara Analisis Hasil

1. Karakteristik pasien

(49)

2. Profil pengobatan

Profil pengobatan dibagi menjadi 2, yaitu farmakologi dan non farmakologi. Persentase jenis terapi diperoleh dengan menghitung jumlah kasus yang mendapat jenis terapi tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

3. Evaluasi DRP

Analisis yang digunakan yaitu metode SOAP dan dikelompokkan sesuai jenis DRPs yang meliputi tidak perlu obat (Unnecessary drug related), perlu obat tambahan (Need for additional drug related), obat tidak efektif (Ineffective drug), dosis terlalu rendah (Dosage too low), efek samping obat (Adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (Dosage too high). Bagian plan pada penelitian ini diganti dengan recommendation karena penelitian ini menggunakan pendekatan retrospektif sehingga analisis yang dilakukan bertujuan untuk memberikan rekomendasi atas masalah yang terjadi. Kemudian dihitung persentase temuan DRPs dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kategori DRPs per jumlah keseluruhan kasus DRP dikali 100%.

4. Penyajian Hasil Penelitian

(50)

H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian

Belum terdapat guideline atau protokol resmi yang cukup untuk penyakit AIHA, sehingga peneliti kesulitan untuk mengevaluasi terapi, karena evaluasi yang dilakukan peneliti hanya berdasarkan review dan penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan. Penyakit AIHA adalah penyakit yang cukup jarang sehingga belum banyak penelitian terkait penyakit AIHA ini. Selain itu cukup banyak rekam medis yang tidak ada, tidak lengkap atau sulit terbaca sehingga peneliti sulit mengevaluasi terapi yang diterima pasien tersebut.

(51)

31 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien 1. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur

Pasien lansia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu lansia awal (60-74 tahun), lansia (75-84 tahun), dan sangat lansia (lebih dari 84 tahun) (Director Departemen of Health Information and Research, 2008). Distribusi pasien AIHA lansia dapat dilihat pada gambar.

Gambar 7. Distribusi Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA Berdasarkan Kelompok Umur di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

Hasil penelitian menunjukan bahwa urutan kelompok umur lansia dari yang paling banyak hingga paling sedikit yaitu kelompok umur lansia awal, dilanjutkan dengan kelompok umur lansia. Tidak terdapat pasien yang masuk kelompok umur sangat lansia dalam penelitian ini. AIHA dapat terjadi dari bayi hingga lansia tetapi mayoritas terjadi pada pasien usia lebih dari 40

78% 22%

0%

Lansia awal (60-74 tahun) Lansia (75-84 tahun) Sangat lansia (>84 tahun)

Pasien Kasus (n) Persentase

8 9 10)%

6 7 78%

2 2 22%

0 0 0%

Total

[image:51.595.88.508.234.619.2]
(52)

tahun dengan puncak insiden pada usia 70 tahun (Olsson, Hagnerud, Hedelius, and Oldenborg, 2006). Lebih dari 70% kasus baru umumnya merupakan pasien yang berusia lebih dari 40 tahun dengan puncak insidensi antara umur 60-70 tahun (Chaudhary et al, 2014). Usia 60-70 tahun masuk dalam kelompok umur young-old dengan rentang umur 60-74 tahun (Director Departemen of Health Information and Research, 2008). Di RSUP Dr.Sardjito pasien lansia dengan diagnosis AIHA yang menjalani rawat inap di periode 2009-2014 didominasi oleh pasien dengan kelompok umur lansia awal.

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 8. Distribusi Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA Berdasarkan Jenis Kelamin di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukan bahwa jenis kelamin laki-laki dan wanita memiliki persentase yang sama yaitu 50%. Ditemukan 9 kasus dari 8 rekam medis yang masuk dalam penelitian ini, 4 rekam medis merupakan pasien laki-laki dan 4 rekam medis sisanya wanita. Penelitian

56% 44%

Wanita Laki-laki Total

Pasien Kasus (n) Persentase

8 9 100%

4 4 56%

4 4 44%

[image:52.595.87.509.187.633.2]
(53)

lain yang sudah ada menunjukan pada usia lansia AIHA kebanyakan terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki dengan perbandingan wanita dan laki-laki yaitu 60:40 (Chaudhary et al, 2014). Wanita cenderung lebih banyak mengalami AIHA karena adanya hormon seks dan/atau sex-linked gene inheritance yang mungkin menyebabkan wanita lebih rentan terhadap penyakit autoimun (Voskuhl, 2011). Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

B. Profil Pengobatan 1. Terapi Farmakologi

Bagian profil pengobatan ini dilakukan pengkajian mengenai gambaran umum penggunaan obat pada pasien lansia dengan diagnosis AIHA berdasarkan sub kelas terapi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang formularium nasional.

Tabel V. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

No.

Sub Kelas

Terapi Jenis Obat

Jumlah Kasus (n=9) Persentase (%) No. Kasus

1 Kortikosteroid Metilprednisolon 9 100% 1-9

2 Imunosupresan Mikofenolat

mofetil 3 33% 1,2,9

3 Antianemi Asam Folat 1 11% 1

4 Antiulkus

Pantoprazole

8 89%

1-3,6

Lansoprazole 9

Omeprazole 8

Ranitidin 4,7

5 Diuretik Furosemid 2 22% 4,5

6 Antiemetik dan

antipsikotik Chlorpromazine 1 11% 3

7 Analgesik Non

[image:53.595.87.539.243.703.2]
(54)

a. Kortikosteroid.

Kortikosteroid adalah analog sistesis dari hormon steroid alami yang diproduksi oleh korteks adrenal ginjal. Seperti hormon alami yang lain, senyawa sintetis ini memiliki glukokortikoid (GC) dan/atau sifat mineralokortikoid. Glukokortikoid kebanyakan terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, serta memiliki efek antiinflamasi, imunosupresan, antiproliferative dan vasokonstriksi (Zoorob and Cender, 1998). Sedangkan mineralokortikoid terlibat dalam sistem renin-angiotensin, berpengaruh dalam keseimbangan atau penyangga garam dan cairan dalam tubuh (Zoorob and Cender, 1998). Steroid bekerja dengan menurunkan produksi autoantibodi oleh sel B. Terlebih lagi, steroid menurunkan densitas reseptor Fc-gamma pada saat fagositosis di limpa (Zeerleder, 2011).

Kortikosteroid merupakan firstline untuk terapi wAIHA. Pasien yang baru terdiagnosis mengalami wAIHA yang parah harus segera diterapi menggunakan steroid (Hoffman et al, 2014). Namun, pada pasien cAIHA, terapi menggunakan kortikosteroid hanya menghasilkan efek remisi parsial kurang dari 15% pasien, sehingga kortikosteroid kurang efektif untuk pasien cAIHA (Berentsen, 2013). Dalam penelitian ini semua kasus menggunakan metilprednisolon termasuk pasien cAIHA di RSUP Dr.Sardjito, tetapi penggunaan metilprednisolon ini memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan pasien bukan cAIHA untuk menghasilkan efek yang diinginkan.

(55)

pencernaan, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan otot dan saraf, serta gangguan kulit (Zoorob et al, 1998).

b. Imunosupresan

Terapi imunosupresif sering direkomendasikan sebagai pilihan secondline terapi AIHA karena tingkat responnya yaitu 40%-60% (Lechner et al, 2010). Contoh obat-obat imunosupresan yang digunakan dalam AIHA yaitu azathioprine, siklofosfamid, siklosporin A dan mikofenolat mofetil (Zanella et al, 2014).

Hasil penelitian menunjukan bahwa di RSUP Dr.Sardjito obat imunosupresan yang digunakan untuk pasien AIHA adalah mikofenolat mofetil (Cellcept®). Mikofenolat mofetil merupakan pro-drug dari asam mikofenolat, hasil fermentasi spesies Penicillium. Mikofenolat mofetil bekerja poten dengan cara menghambat inosin 5’-mono-phosphate dehydrogenase, enzim yang penting dalam sistesis purin. Mekanisme utama dalam imunosupresi yaitu dengan menghambat proliferasi limfosit, selain itu menyebabkan berkurangnya guanosin trifosfat (GTP), sehingga terjadi pengurangan ekspresi molekul adhesi pada leukosit, dan terjadi penurunan perekrutan leukosit pada lokasi inflamasi (Howard, Hoffbrand, Prentice, Mehta, 2002).

c. Antianemi

(56)

Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa antianemi yang digunakan di RSUP Dr.Sardjito untuk pasien AIHA yaitu asam folat. Asam folat diperlukan oleh pasien wAIHA aktif untuk meningkatkan eritropoesis sehingga mencegah defisiensi vitamin B9 (March, 2014). Asam folat merupakan senyawa yang infaktif, diubah oleh dihidrofolat reduktase menjadi asam tetrahidrofolat dan metiltetrahidrofolat. Senyawa-senyawa ini kemudian diangkut oleh receptor-mediated endocytosis ke sel dimana dibutuhkan untuk mempertahankan eritropoesis normal (berfungsi dalam maturasi eritrosit), interkonvert asam amino, metilasi tRNA, menghasilkan dan menggunakan format, dan sintesis purin dan asam nukleat timidilat (Mahmood, 2014).

d. Antiulkus

Salah satu risiko efek samping yang disebabkan oleh obat kortikosteroid adalah gangguan pencernaan. Penggunaan kotikosteroid berisiko menyebabkan gangguan pencernaan seperti pendarahan gastrointestinal bagian atas dan peptic ulcer dengan nilai OR 2,2 (95% CI: 0.9-5,4) (Gutthann, Rodriguez, and Raiford, 1996). Secara fisiologis, kortikosteroid memiliki efek terhadap mukosa lambung, yaitu menghambat sintesis mukosa lambung, peningkatan sel gastrin, hiperplasia sel parietal karena sekresi asam berlebih, gangguan fungsi fibroblast dan penekanan sintesis sintesis prostaglandin melalui penghambatan interleukin-1beta dan siklooksigenase-2 (Luo, Chang, Lin, Lu, Lu, Cheng et al, 2002).

(57)

lansoprazole, dan omeprazole, dengan obat yang paling banyak digunakan yaitu pantoprazole sebanyak 44%. Obat histamin H2 receptor antagonist yang digunakan yaitu ranitidin dengan persentase 22%.

e. Diuretik

Pasien AIHA yang mengalami severe anemia beberapa membutuhkan transfusi darah untuk mengatasi anemia yang dialami. Salah satu reaksi transfusi akut yaitu kelebihan beban sirkulasi atau yang biasa disebut transfusion-associated circulatory overload (TACO). Lansia merupakan salah satu faktor risiko dan kondisi medis predisposisi seperti gagal jantung, gangguan ginjal, gangguan pernapasan, albumin rendah dan kelebihan cairan (Norfolk, 2013). Salah satu cara mencegah overload cairan yaitu dengan penggunaan diuretik untuk menjaga keseimbangan cairan (Hillyer, Strauss, Luban, 2004).

Diuretik yang digunakan pada pasien AIHA di RSUP Dr. Sardjito yaitu furosemid yang merupakan diuretic loop dengan persentase penggunaan 22%.

f. Antiemetik dan antipsikotik

(58)

satu-satunya obat yang diakui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan cegukan (Becker, 2010).

g. Analgesik

Parasetamol merupakan terapi untuk mengurangi nyeri dan demam (Sharma and Mehta, 2013). Parasetamol bekerja di hipotalamus yang meregulasi suhu tubuh dan dapat bekerja di perifer untuk memblokir impuls nyeri, serta dapat juga menghambat sintesis prostaglandin di CNS (Botting, 2000). Parasetamol digunakan sebanyak 11% pada penelitian, yaitu pada kasus 2. Pasien mengeluh agak pusing sehingga diberikan parasetamol untuk mengurangi pusing yang dialami pasien, tetapi pada rekam medis tidak dituliskan dengan jelas berapa dosis yang diberikan kepada pasien. Dosis parasetamol untuk meringankan nyeri pada orang dewasa yaitu 325-650 setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 kali perhari bila mengalami nyeri dengan dosis maksimum 4 g per hari (American Pharmacists Association, 2007).

[image:58.595.88.513.245.629.2]

2. Terapi Suportif

Tabel VI. Profil Penggunaan Transfusi Darah pada Pasien Lansia dengan Diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

Kelas Terapi Jenis terapi

Jumlah Kasus

(n=9) Persentase No. Kasus

Transfusi PRC 7 78% 1,2,3,4,5,7,9

(59)

yang spesifik memberikan efek (Zanella et al, 2014). Pasien dengan keadaan komorbid direkomendasikan untuk mempertahan level Hb pada 8 g/dL atau lebih (March, 2014).

Indikasi untuk melakukan transfusi pada pasien AIHA tidak berbeda signifikan dengan pasien anemia pada umumnya. Keputusan untuk melakukan transfusi tidak hanya tergantung pada hasil tes kompatibilitas, tetapi juga tergantung pada evaluasi dan keadaan pasien membutuhkan transfusi atau tidak (Petz, 2004).

Terdapat berbagai macam komponen sediaan darah untuk transfusi, yaitu darah lengkap (whole blood), sel darah merah, trombosit, leukosit konsentrat, dan plasma darah (Permono dkk, 2005). Pasien AIHA lansia Di RSUP Dr.sardjito menggunakan sediaan sel darah merah pekat (packed red cell/PRC), dengan persentasi penggunaan 78%.

C. Evaluasi DRPs

(60)

Dari 9 kasus yang masuk dalam kriteria inklusi dan dievaluasi, terdapat DRP pada 7 kasus. Dari masing-masing kasus, terdapat beberapa kasus yang memiliki DRP lebih dari satu. DRPs yang ditemukan dari 7 kasus diurutkan dari yang paling banyak hingga paling sedikit yaitu interaksi dan efek samping obat, dosis kurang, perlu tambahan obat, tidak perlu obat, dan obat tidak efektif. Dosis berlebih tidak ditemukan. Berikut dijabarkan DRPs yang terjadi pada setiap kasus:

1. Kasus 1

(61)

Kasus 1 ditemukan DRP tidak perlu obat yang disebabkan oleh pemberian mikofenolat mofetil yang bukan firstline terapi. Penggunan mikofenolat mofetil sebaiknya dilakukan jika terapi AIHA menggunakan firstline (steroid) mengalami intoleran atau setelah pasien menerima steroid pasien mengalami kekambuhan, atau kemungkinan yang lain pasien mengalami efek samping steroid (Salama, 2015), sedangkan pasien baru pertama kali terdiagnosis AIHA dan pertama kali menggunakan metilprednisolon untuk terapi AIHA.

Belum banyak data yang menunjukan kegunaan mikofenolat mofetil pada kekambuhan wAIHA. Mikofenolat mofetil menghasilkan remisi komplit dan remisi parsial yang baik untuk terapi pada pasien dewasa, sehingga mikofenolat mofetil direkomendasikan untuk masuk dalam terapi kekambuhan pada imun sitopenias sebagai pilihan steroid-sparing (Zanella et al, 2014). Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa mikofenolat mofetil lebih efektif diberikan untuk kasus kekambuhan AIHA, sehingga belum diberikan untuk kasus baru AIHA.

(62)

penurunan disolusi dan absorpsi mikofenolat dan penurunan efek (Wedemeyer and Blume, 2014).

Rekomendasi yang diberikan untuk pasien kasus 1 ini yaitu sebaiknya tidak perlu dahulu menggunakan mikofenolat mofetil, dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waku panjang.

2. Kasus 2

Pasien merupakan seorang wanita berusia 60 tahun dengan berat badan 53 kg, pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas dan terdiagnosis mengalami AIHA. Sebelumnya pasien telah terdiagnosis mengalami AIHA dan memiliki riwayat pengobatan yaitu metilprednisolon 16 mg 2-1-0, mikofenolat mofetil 3 x 500 mg. Hasil pemeriksaan darah ketika pasien datang menunjukan kadar hemoglobin 7,5 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia tingkat moderate (World Health Organization, 2011) dan HCT 24,2%. Pasien menerima terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon (dosis 500 mg/ hari selama 6 hari) dan mikofenolat mofetil (dosis 1,5 g/ hari) dan pantoprazole dengan dosis 40mg/hari. Pasien juga menerima terapi suportif yaitu transfusi PRC. Pasien dirawat di rumah sakit selama 7 hari.

(63)

mg/hari pada hari kedua dan 500 mg/hari pada hari ketiga dan keempat. Tetapi pada hari keempat kadar hemoglobin pasien turun menjadi 6,2 g/dL. Pasien yang tidak memberikan respon atau menunjukan resistensi pada terapi firstline harus menjalani evaluasi ulang diagnosia untuk kemungkinan adanya penyakit penyerta, karena AIHA terkait dengan beberapa penyakit seperti tumor ganas, ulcerative colitis, benign ovarian teratomas, atau warm autoantibodi IgM sering menjadi penyebab resistensi steroid (Zanella et al, 2014).

Selain DRP tidak perlu obat, pada kasus ini juga ditemukan terdapat risiko interaksi antara pantoprazole dan mikofenolat mofetil. Penjabaran telah dibahas di kasus 1.

Rekomendasi untuk pasien kasus 2 ini yaitu sebaiknya terapi dengan metilprednisolon ditambah dengan obat secondline atau diganti dengan terapi secondline seperti rituximab (100 mg dosis pas/minggu selama 4 minggu), azathioprine (100-150 mg/hari), siklofosfamid (100 mg/hari), atau mikofenolat mofetil (Zanella et al, 2014). Selain itu penggunaan mikofenolat mofetil dan pantoprazole diberi jeda kurang lebih 1-2 jam untuk menghindari risiko interaksi obat. Kemudian dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waktu panjang.

3. Kasus 3

(64)

pemeriksaan darah pasien menunjukan kadar hemoglobin 6,7 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011) dan HCT 22%. Pasien menerima terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon (dosis 500 mg/ hari selama 3 hari, kemudian dosis diturunkan menjadi 250 mg/ hari hingga hari pasien pulang) sebagai terapi AIHA, pantoprazole dengan dosis 40 mg/hari untuk pencegahan peptic ulcer, dan chlorpromazine dengan dosis 12,5 mg/hari untuk meredakan cegukan. Selain itu pasien juga menerima terapi suportif yaitu tranfusi PRC. Pasien dirawat di rumah sakit selama 5 hari.

Tidak ditemukan DRP terkait terapi AIHA pada kasus ini. Terapi AIHA yang diterima pasien sudah sesuai dengan acuan. Tetapi sebaiknya tetap direkomendasikan untuk dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waku panjang.

4. Kasus 4

(65)

furosemid (dosis 20 mg/hari sebanyak satu kali), dan ranitidin injeksi (100 mg/hari). Pasien juga menerima terapi suportif yaitu transfusi PRC. Pasien dirawat di rumah sakit selama 9 hari.

Kasus 4 menunjukan pemberian furosemid kurang dari dosis yang seharusnya. Furosemid digunakan untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan setelah melakukan transfusi. Pasien kasus 4 menerima furosemid dengan dosis 1 ampul perhari atau 20 mg/hari. Sedangkan dosis menurut literatur yaitu adalah 40-80 mg/dosis (Hillyer et al, 2004).

Selain dosis kurang, pada kasus 4 ditemukan bahwa frekuensi pemberian ranitidin kurang dari frekuensi yang seharusnya. Ranitidin digunakan untuk mencegah peptic ulcer yang merupakan risiko efek samping dari metilprednisolon. Pasien kasus 4 menerima ranitidin dengan dosis 1 ampul setiap 12 jam atau 50 mg x 2. Sedangkan menurut literatur dosis ranitidin yaitu 50 mg setiap 6-8 jam perhari atau 150-200 mg perhari (Oliva, Partemi, Arena, De Giorgio, Colecchi, Fucci et al, 2008).

Kasus 4 ditemukan terdapat risiko interaksi antara metilprednisolon dan furosemid. Metilprednisolon dan furosemid berinteraksi secara sinergisme farmakodinamik dan interaksi bersifat minor dan tidak signifikan (Medscape, 2015). Metilprednisolon dapat menyebabkan peningkatan efek kaliuretik dari diuretik dan terjadi hipokalemia (Liu et al, 2013).

(66)

pencegahan yang diterima pasien lebih efektif, dan dilakukan monitoring kadar kalium untuk mencegah kemungkinan efek interaksi metilprednisolon dan furosemid. Selain itu dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waku panjang.

5. Kasus 5

Pasien merupakan seorang laki-laki berusia 67 tahun dengan berat badan 50 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas dan pasien terdiagnosis mengalami AIHA cold. Pasien sudah memiliki riwayat AIHA cold sebelumnya dan memiliki riwayat tuberkulosis paru tahun 1986 dan 2003. Hasil pemeriksaan darah ketika pasien datang menunjukan kadar hemoglobin 3,8 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia berat (World Health Organization, 2011), HCT 11,9% dan DCT +2. Pasien menerima terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon (dosis 500 mg/ hari selama 4 hari dan dilanjutkan dengan dosis 250 mg/hari selama 3 hari), dan furosemid (dosis 20 mg/hari sebanyak satu kali). Pasien juga menerima terapi suportif yaitu transfusi PRC. Pasien dirawat di rumah sakit selama 8 hari.

(67)

Rekomendasi untuk pasien kasus 5 yaitu perlu dipertimbangkan untuk penyesuaian dosis furosemid agar terapi pencegahan yang diterima pasien lebih efektif dan dilakukan monitoring kadar kalium untuk mencegah kemungkinan efek interaksi metilprednisolon dan furosemid. Selain itu dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dalam jangka waku panjang.

6. Kasus 6

Pasien merupakan seorang wanita berusia 71 tahun dengan berat badan 37,8 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan lemas, pucat, batuk dan terdiagnosis AIHA. Pasien memiliki riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu. Hasil pemeriksaan darah pasien menunjukan kadar hemoglobin 8 g/dL yang termasuk dalam kategori anemia tingkat moderate (World Health Organization, 2011) HCT 8,5%, DCT +1, dan ICT +. Pasien menerima terapi farmakologi yaitu injeksi metilprednisolon (dosis 375 mg/ hari selama 5 hari kemudian dosis diturunkan menjadi 187,5 mg/hari selama 3 hari), metilprednisolon oral 40 mg/hari, dan pantoprazole dengan dosis 40 mg/hari. Pasien dirawat di rumah sakit selama 11 hari.

(68)

gastrointestinal, dislipidemia, dan penyakit kardiovaskular. Risiko cardiovascular disease yang terjadi pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid yaitu hipertensi, hiperglikemi dan obesitas (Liu et al, 2013). Beberapa penelitian pada tikus menunjukan penggunaan glukokortikoid menyebabkan kenaikan tekanan darah karena terkadi penurunan oksida nitrit endotel (endothelial nitric oxide) yang berakibat pada penurunan vasodilatasi pada pembuluh aorta, liver maupun ginjal. Selain itu terdapat bukti bahwa glukokortokoid meningkatkan efek vasokonstriksi melalui peningkatan aktivasi promotor IA reseptor angiotensin II pada sel otot halus aorta tikus sehingga memediasi peningkatan tekanan darah (Baum and Moe, 2008).

Pasien pada kasus 6 memiliki riwayat hipertensi 20 tahun lalu yang lalu tetapi dari riwayat pengobatan pasien saat ini sedang tidak mengkonsumsi obat antihipertensi. Hal ini yang menyebabkan risiko terjadi hipertensi akut pada pasien tinggi. Kejadian hipertensi akut ditunjukan dengan peningkatan tekanan darah dari awalnya berada dikisaran 120/70 mmHg meningkat hingga tekanan paling tinggi selama rawat inap yaitu 170/100 mmHg, ditambah pasien mengeluh sulit tidur dan pusing. Oleh sebab itu direkomendasikan untuk memberikan obat antihipertensi kepada pasien untuk menurunkan tekanan darah dan meringankan kondisi klinis akibat hipertensi yaitu pusing. Selain itu dilakukan monitoring khususnya monitoring tekanan darah pasien.

(69)

pasien. Obat golongan diuretik dan angiotensin-converting-enzyme inhibitor (ACEi) menunjukan hasil yang secara signifikan menguntungkan dan aman digunakan untuk pasien lansia, tetapi dengan dosis yang lebih kecil dan dosis awal yang biasa digunakan (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, Posey, 2008). Diuretik yang dapat digunakan yaitu diuretik thiazid contohnya klortalidon dengan dosis 12,5–25 mg per hari, tetapi selama penggunaannya harus dimonitoring kadar kalium pasien untuk mencegah terjadinya hipokalemia (Dipiro et al, 2008). ACEi yang dapat digunakan contohnya yaitu captopril dengan dosis 25-150 mg 2-3 kali sehari (Dipiro et al, 2008).

Rekomendasi untuk pasien kasus 6 yaitu sebaiknya pasien diberikan obat untuk menurunkan tekanan darah seperti yang telah dijelaskan diatas, dilakukan monitoring Hb dan HCT secara berkala untuk memonitoring penyakit AIHA pasien dan memonitoring kemungkinan efek samping khususnya efek samping metilprednisolon karena metilprednisolon harus digunakan dala

Gambar

Tabel II.
Gambar 2.  Mekanisme Penghancuran Sel Darah Merah pada Cold
Tabel I.Penelitian Terkait AIHA
Tabel I. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase yang terjadi dari DRPs kategori interaksi obat pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji

Hasil identifikasi DRPs pada penatalaksanaan pasien CHF di instalasi rawat inap RS PKU Muhammadiyah Gamping menunjukkan bahwa terdapat 20 pasien (57,14%) yang terdiri

Metilprednisolone sebagai agen antiinflamasi pada kondisi autoimun yang menekan reaksi hipersensitivitas dengan bekerja langsung pada sel limfosit-T (Liu, 2013) diberikan secara

Steroid (Kortikosteroid) merupakan first-line pada warm-type AIHA yang diberikan selama 1-3 minggu sampai kadar hemoglobin lebih dari 10 g/dL, jika tidak terjadi respon

112 Tidak Perlu Obat: Tidak terjadi pada kasus ini, pasien telah menerima terapi sesuai protokol AIHA yang berlaku. Obat Salah: Tidak terjadi pada kasus ini, pasien tidak

pengobatan dan analisis biaya terapi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani.. hemodialisa di instalasi rawat inap

Mengevaluasi adanya DRPs dan persentase DRPs kategori obat salah, dosis rendah, dosis tinggi dan interaksi obat yang terjadi pada pengobatan penyakit kanker payudara di

Kategori Drug Related Problems (DRPs) yang paling banyak terjadi pada pasien anak Demam Berdarah Dengue di Instalasi Rawat Inap rindu B RSUP Haji Adam Malik Medan