• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Gangguan Lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Gangguan Lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2015."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tukak peptik merupakan penyakit akibat ketidakseimbangan fisiologis

antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dengan faktor pelindung

(pertahanan dan perbaikan mukosa). Tukak peptik dapat disebabkan oleh

Helicobacter pylori, penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan

tukak stress. Tujuan terapi tukak peptik yaitu menghilangkan rasa nyeri,

mengobati tukak, mencegah kekambuhan dan mengurangi terjadinya komplikasi

yang berkaitan dengan tukak (Berardi and Welage, 2008).

Tukak peptik termasuk dalam daftar 10 besar penyakit rawat inap di

rumah sakit tahun 2009 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Angka kejadian tukak lambung yang tersebar di seluruh dunia bergantung pada

status sosial ekonomi dan demografi. Kejadian tukak lambung lebih banyak

dijumpai pada pria usia lanjut dengan status sosial ekonomi yang rendah.

Kejadian tukak lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita (1,3:1) (Sanusi,

2011). Angka kejadian tukak peptik menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit

terbanyak di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (Alfiawati, 2014). Hasil

diagnosis pasien di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menunjukkan bahwa

kejadian penyakit tukak peptik lebih banyak terjadi dibandingkan dengan tukak

stress, tukak duodenum, gastritis, dan dispepsia (Alfiawati, 2014).

Drug Related Problems adalah kejadian yang tidak diinginkan yang

dialami oleh pasien terkait dengan terapi obat sehingga dapat mengganggu

keberhasilan terapi yang diinginkan (Cipolle et al., 2004). Farmasis memiliki

tanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang

aman, tepat, dan cost effective, serta memastikan bahwa terapi yang diberikan

adalah yang diinginkan oleh pasien. Hal tersebut terkait dengan adanya paradigma

(2)

pemberian terapi obat yang dibutuhkan oleh pasien dan menjamin bahwa terapi

obat yang diterima pasien aman serta menjamin penggunaan obat yang rasional

(Cipolle et al., 1998). Dengan adanya paradigma tersebut praktek farmasi klinik

perlu diterapkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan

dengan obat (Drug Related Problem) serta menjamin penggunaan obat yang aman

dan tepat bagi setiap pasien (Nita, 2004). Permasalahan obat jika tidak diatasi atau

diperhatikan akan sangat mempengaruhi hasil terapi. Permasalahan obat dapat

berkaitan dengan indikasi, efektivitas, keamanan, dan kepatuhan pasien (Priyanto,

2009).

Terapi pada pasien tukak peptik biasanya sering menggunakan obat

kombinasi. Penggunaan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi

obat. Kejadian efek samping pada pasien yang menerima 0 - 5 macam obat adalah

3,5%, sedangkan yang menerima 16 - 20 macam obat adalah 54%. Peningkatan

kejadian efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang

digunakan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga

semakin meningkat (Setiawati, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati

(2015), tentang evaluasi penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi

rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian

ketidaktepatan pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis

tersebut menunjukkan dosis obat yang kurang atau berlebih. Hasil penelitian

Abidullah et al (2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi

tukak peptik sebanyak 27,64%.

Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan

kegagalan terapi atau timbul efek berbahaya (Priyanto, 2009). Interaksi obat

menjadi penting secara klinik apabila berakibat meningkatkan toksisitas atau

menurunkan efektivitas obat yang berinteraksi (Setiawati, 2008). Adanya interaksi

obat menyebabkan berkurangnya efek terapi bahkan lebih bahaya karena dapat

menyebabkan kegagalan terapi yang diharapkan (Abidullah et al., 2013).

Berdasarkan hal tersebut dan tingginya angka kejadian tukak peptik di instalasi

rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta tingginya kejadian

(3)

penelitian mengenai Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis

meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu “Berapa besar angka kejadian Drug Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori

interaksi obat pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian Drug

Related Problems kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih

dan kategori interaksi obat pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di

Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2015.

D. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit gangguan lambung

a. Pengertian

Dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala seperti nyeri ulu hati, mual,

muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa (Sanusi, 2011).

Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan sub – mukosa lambung

(Djojoningrat, 2001). Tukak peptik adalah kondisi putusnya kontinuitas mukosa

yang melebar di bawah epitel dan terjadinya kerusakan jaringan mukosa, sub

mukosa sampai lapisan otot di suatu daerah saluran gastrointestinal yang

berhubungan secara langsung dengan cairan asam lambung atau pepsin (Sanusi,

2011), sedangkan tukak stress merupakan luka atau beberapa perlukaan pada

lambung yang berkembang selama stress fisiologi dari penyakit yang parah

(4)

b. Etiologi dan faktor resiko

Dispepsia sebagai suatu gejala atau kumpulan gejala dapat disebabkan

oleh berbagai penyakit, seperti gastritis, tukak peptik dan lainnya. Pada sebagian

besar kasus, keadaan klinis yang sering menjadi penyebab timbulnya gastritis

erosif misalnya operasi besar, gagal ginjal, gagal nafas, luka bakar, dan penyakit

hati yang berat. Penyebab lain dispepsia dan gastritis yaitu akibat penggunaan

obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Gastritis kronis juga disebabkan oleh

aspek imunologis dan aspek bakteriologis yang sebagian besar disebabkan karena

bakteri H. pylori (Djojoningrat, 2001).

Tiga penyebab utama terjadinya tukak peptik yaitu akibat penggunaan

OAINS, infeksi kronis yang disebabkan oleh Helicobacter pylori, dan keadaan

hipersekresi asam pada Zollinger-Ellison syndrome (Sanusi, 2011). Terdapat

beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tukak peptik

diantaranya yaitu mengkonsumsi alkohol, merokok, stress, penggunaan

kortikosteroid dan penyakit kronis seperti gagal ginjal, pankreatitis, sirosis, atau

transplantasi organ (Alldredge et al., 2013). Etiologi pada tukak stress meskipun

tidak terbukti, namun kurangnya oksigenasi pada mukosa, perbedaan dalam

keseimbangan asam basa, dan peningkatan penggunaan kortikosteroid dapat

berkontribusi dalam pembentukan tukak (Avunduk, 2008).

c. Patofisiologi

Peningkatan asam lambung atau sensitivitas mukosa lambung terhadap

asam lambung bertanggung jawab untuk terjadinya gangguan lambung (Sanusi,

2011). Asam yang dihasilkan karena infeksi H. pylori dan penggunaan OAINS

merupakan faktor independen yang berkontribusi terhadap gangguan integritas

mukosa (Berardi and Welage, 2008).

Penggunaan OAINS dapat mengakibatkan pembentukan HCO - menurun

yang berarti proteksi terhadap mukosa juga menurun serta menghambat efek

inhibisi sekresi asam. Selain itu, OAINS dapat menyebabkan kerusakan mukosa

secara lokal dengan aksi difusi non ionik pada sel mukosa. H. pylori mampu

bertahan dalam suasana asam. Hal tersebut dimungkinkan karena H. pylori

(5)

dalam pembentukan CO , NH dan HCO serta NH ⁺ sehingga mampu menjadi dapar terhadap ion H⁺ (Sanusi, 2011).

d. Gambaran klinis

Gambaran klinis gastritis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik,

mual, muntah, nyeri ulu hati, hingga hematemesis dan melena (Djojoningrat,

2001). Gambaran klinis tukak stress yaitu berupa tukak yang dangkal dan terbatas

pada mukosa dan disebut sebagai erosi. Tukak juga dapat menembus ke

submukosa, dan mungkin mengikis ke dalam pembuluh darah submukosa

sehingga menyebabkan perdarahan (Avunduk, 2008). Sedangkan pasien tukak

peptik secara umum biasanya merasakan keluhan dispepsia, seperti mual, muntah,

kembung, sendawa, rasa cepat kenyang, nyeri ulu hati dan rasa terbakar (Sanusi,

2011). Menurut Berardi and Welage (2008) tanda dan gejala tukak peptik yaitu

nyeri perut pada bagian epigastrum seperti terbakar, perut terasa tidak nyaman,

penuh, dan kram, serta sering disertai rasa kembung.

e. Diagnosis

Diagnosis gangguan lambung dapat ditegakkan berdasarkan:

1) Pengamatan klinis dan Anamnesis

2) Hasil pemeriksaan endoskopi dan radiologi

3) Hasil biopsi untuk tes pemeriksaan CLO (Campilobacter Like Organism),

histopatologi kuman H. pylori.

(Sanusi, 2011)

f. Terapi

Tujuan terapi tukak peptik yaitu menghilangkan keluhan,

menyembuhkan tukak, mencegah kekambuhan serta mencegah komplikasi

(Sanusi, 2011). Berikut terapi untuk tukak peptik berdasarkan klasifikasinya:

1) Terapi non farmakologi

a) Istirahat yang cukup dan meminimalisir stres

(6)

c) Menghindari makanan dan minuman yang memperparah gejala tukak dan

merangsang sekresi asam seperti makanan pedas, asam, mengandung alkohol,

kafein.

(Priyanto, 2009)

2) Terapi farmakologi

Obat-obat anti sekretori dan pelindung mukosa dapat mempercepat

penyembuhan gangguan lambung. Beberapa jenis obat yang dapat digunakan

untuk menyembuhkan gangguan lambung (Tabel. 1) :

a) Proton pump inhibitors (PPIs)

PPIs bekerja hampir sepenuhnya menghambat sekresi asam lambung

dengan berikatan kovalen dengan H⁺-K⁺-ATPa se atau proton pump dalam aspek lumen dari membran sel parietal. Penyembuhan tukak biasanya membutuhkan

waktu 2 minggu dan paling lama 4 minggu. PPIs merupakan obat pilihan untuk

terapi tukak peptik karena aman, memiliki sedikit efek samping, dan memberikan

kesembuhan yang lebih cepat pada tukak peptik dibanding H antagonis

(Avunduk, 2008). Semua jenis PPIs dimetabolisme di hati. PPIs meningkatkan pH

lambung dan mungkin dapat menurunkan bioavailabilitas obat yang memerlukan

asam lambung untuk absorbsinya (Wecker et al., 2010).

b) H reseptor antagonis

H reseptor antagonis adalah agen yang memblok reseptor histamin pada

sel parietal. Histamin merupakan stimulan yang poten dari sekresi asam lambung

sehingga H reseptor antagonis dapat secara efektif menghambat sekresi asam

lambung. H antagonis tidak hanya menghambat stimulasi histamin dalam sekresi

asam, namun juga menghambat stimulasi asam oleh saraf vagus (asetilkolin) dan

lambung (Avunduk, 2008). Obat jenis H antagonis terutama diekskresikan lewat

urin sehingga perlu pengurangan dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi

ginjal. Semua obat jenis H antagonis dapat meringankan gejala tukak peptik

seperti nyeri epigastrum dan memberikan kesembuhan pada tukak (Wecker et al.,

(7)

c) Sukralfat

Penguat mukosa seperti sukralfat melindungi tukak dari asam lambung.

Sukralfat juga menghambat pepsin, mengikat garam empedu, dan menstimulasi

produksi prostaglandin untuk pelindung mukosa. Efektivitas sukralfat dalam

menyembuhkan tukak peptik sama dengan H reseptor antagonis dengan sedikit

efek samping (Wecker et al., 2010).

d) Analog prostaglandin

Misoprostol meningkatkan mukus, sekresi bikarbonat, dan aliran darah

mukosa serta menghambat pergantian sel mukosa yang dapat meningkatkan

pertahanan mukosa. Misoprostol memiliki efek sebagai anti sekretori dan efek

pertahanan mukosa lambung dan duodenum. Namun efek terapi prostaglandin

utamanya sebagai stimulasi mekanisme pertahanan mukosa (Wecker et al., 2010).

e) Bismuth

Bismuth memiliki aktivitas anti bakteri secara langsung terhadap H.

pylori dan dapat digunakan untuk eradikasi bersamaan dengan antibiotik lain

(Sanusi, 2011). Sukralfat dan bismuth harus digunakan dalam keadaan lambung

kosong karena dapat membentuk kompleks dengan protein makanan (Neal, 2007).

f) Antasida

Antasida efektif untuk meringankan gejala tukak (Avunduk, 2008).

Antasida dapat meningkatkan pH lumen lambung yang berakibat pada

peningkatan kecepatan pengosongan lambung sehingga efek dari antasida menjadi

lebih singkat (Neal, 2007).

Tabel. 1 Obat – obat untuk terapi tukak peptik

Golongan Obat Dosis

Proton Pump Inhibitor Omeprazol 40 mg per hari Lansoprazol 30 mg per hari

Rabeprazol 20 mg per hari

Pantoprazole 40 mg per hari Esomeprazol 20 – 40 mg per hari H reseptor antagonis Simetidin 400 mg 2 x sehari

Famotidin 20 mg 2 x sehari

Nizatidin 150 mg 2 x sehari

Ranitidin 150 mg 2 x sehari

Pelindung mukosa Sukralfat 2 g 2 x sehari

(8)

Tabel. 1 Lanjutan

Golongan Obat Dosis

Magnesium karbonat 10 mL 3 x sehari Magnesium trisilikat 250 mL 3 x sehari (Berardi and Welage, 2008); (BNF, 2011); (Lacy et al., 2009)

3) Terapi akibat penggunaan OAINS

Pasien dengan kondisi gangguan lambung yang harus tetap menggunakan

OAINS maka dosis OAINS harus dikurangi atau beralih menggunakan

parasetamol, non asetilsalisilat, atau COX-2 selektif inhibitor karena selektif

menghambat COX-2 yang berperan dalam proses inflamasi namun tidak

menghambat COX-1 yang memiliki peran dalam menjaga integritas mukosa

lambung (Berardi and Welage, 2008; Matsui et al., 2011). PPI merupakan obat

pilihan ketika OAINS harus tetap digunakan, PPI sebagai penekan asam yang

diperlukan untuk mempercepat penyembuhan tukak (Berardi and Welage, 2008).

4) Terapi pencegahan stress related mucosal bleeding (SRMB)

Pasien dengan tukak stress beresiko mengalami SRMB, oleh karena itu

perlu dilakukan pencegahan terhadap SRMB. Pilihan terapi untuk pencegahan

Stess Related Mucosal Bleeding yaitu antasida, obat anti sekretori (H2 reseptor

antagonis dan PPI), sukralfat, dan pelindung mukosa (Berardi and Welage,

2008).

5) Terapi eradikasi H. Pylori

Tukak peptik yang positif disebabkan karena infeksi H. pylori perlu

dilakukan terapi eradikasi H. pylori (Tabel. 2). Penggunaan antibiotik tunggal

untuk eradikasi H. pylori tidak efektif. Rejimen terapi tripel yang terdiri dari

kombinasi antibiotik dengan obat anti sekretori sebagai lini pertama efektif untuk

eradikasi H. pylori (Wecker et al., 2010).

Tabel. 2 Rejimen terapi untuk eradikasi H. pylori

Obat Dosis

Rejimen terapi tripel PPI (esomeprazol atau omeprazol)

20 mg 2 x sehari

Klaritomisin 500 mg 2 x sehari

(9)

Tabel. 2 Lanjutan

Obat Dosis

Rejimen terapi kuadrupel PPI (esomeprazol atau omeprazol)

20 mg 2 x sehari

Bismuth subsalisilat 4 x 2 tab

Amoksisilin atau metronidazol Amoksisilin 1 g 2 x sehari atau metronidazol 250 mg 4 x sehari

Tetrasiklin 500 mg 4 x sehari (Avunduk, 2008); (Lockrey and Lim, 2011); (Sanusi, 2011)

Amoksisilin tetap menjadi terapi lini pertama. Metronidazol hanya

disarankan untuk pasien yang alergi terhadap penisillin. Regimen terapi kuadrupel

disarankan apabila terapi tripel tidak memberikan hasil atau gagal (Sanusi, 2011).

2. Drug Related Problems (DRPs) a. Pengertian

DRPs adalah seluruh kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh

pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan benar-benar atau

berpotensi mengganggu hasil terapi yang diinginkan pasien (Cipolle et al., 1998).

DRPs terdiri dari DRPs aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual yaitu masalah

yang sedang terjadi kaitannya dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh

penderita, sedangkan DRPs potensial yaitu masalah yang diperkirakan akan

terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Nita,

2004).

b. Klasifikasi

Klasifikasi Drug Related Problems menurut Pharmaceutical Care

Network Europe (PCNE) tahun 2006 sebagai berikut:

1) Adverse Drug Reaction (Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki)

Obat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Efek yang

ditimbulkan dapat berupa alergi, non alergi, atau efek toksik.

2) Drug Use Problem (Masalah Terkait Penggunaan Obat)

Termasuk dalam masalah terkait penggunaan obat yaitu obat tidak diambil

(10)

3) Drug Choice Problems (Masalah Terkait Pemilihan Obat)

Pasien mendapatkan obat yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan kondisi

serta penyakit yang diderita. Obat yang diberikan tidak sesuai dengan

indikasi, kontraindikasi dengan keadaan pasien, bentuk sediaan yang tidak

tepat serta adanya duplikasi obat.

4) Dosing Problem (Masalah Terkait Dosis)

Pemberian dosis obat yang kurang atau melebihi dari dosis yang dibutuhkan

pasien. Termasuk frekuensi dan durasi yang kurang atau lebih.

5) Drug Interaction (Interaksi Obat)

Terdapat interaksi aktual dan potensial. Interaksi dapat terjadi antara obat

dengan obat lain atau obat dengan makanan.

6) Others (Masalah Lain)

Keberhasilan terapi tidak tercapai meskipun obat yang digunakan tepat,

kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakit yang diderita.

(PCNE, 2006)

3. Interaksi obat a. Pengertian

Interaksi obat adalah peristiwa pengubahan aksi suatu obat yang

menyebabkan perubahan kadar suatu obat dalam darah akibat penggunan obat lain

atau senyawa lain yang diberikan bersamaan (Helmyati et al., 2014).

Hasil farmakologis akibat adanya interaksi obat yakni sebagai berikut:

1) Obat yang satu memperkuat efek obat yang lain sehingga efek total obat yang

dihasilkan melebihi jumlah total efek kedua obat tersebut

2) Obat yang satu menghambat kerja obat yang lain, sehingga efeknya

berkurang

3) Inaktivasi obat yang satu oleh obat yang lain menyebabkan obat pertama

tidak/kurang memberikan efek yang diinginkan

(11)

b. Mekanisme interaksi obat

Secara garis besar mekanisme interaksi obat dapat dibedakan menjadi 3

mekanisme, yakni interaksi farmasetik atau inkompatibilitas, interaksi

farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik (Setiawati, 2008).

1) Interaksi farmasetik atau inkompatibilitas

Interaksi farmasetik merupakan interaksi fisiko-kimiawi antara suatu obat

dengan obat lain sehingga menaikkan atau menghilangkan aktivitas farmakologi

suatu obat (Helmyati et al., 2014). Interaksi berupa inkompatibilitas terjadi di luar

tubuh, sebelum obat digunakan. Inkompatibilitas terjadi antara obat yang tidak

dapat bercampur. Pencampuran obat menyebabkan tejadinya interaksi langsung

baik secara fisik atau kimiawi (Setiawati, 2008). Interaksi fisik sangat bergantung

terhadap sifat-sifat fisik obat dan bentuk sediaan yang diberikan. Interaksi

kimiawi terjadi jika dua atau lebih obat dicampurkan sehingga membentuk zat

baru dengan khasiat yang berbeda dari bahan asalnya (Joenoes, 2009).

2) Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi atau

mengubah proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari obat lain

(Helmyati et al., 2014). Interaksi ini menyebabkan kadar plasma obat kedua

meningkat atau menurun sehingga terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan

efektivitas obat tersebut (Setiawati, 2008).

3) Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada

sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga

mengakibatkan terjadinya efek aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi

perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2008).

Menurut Tatro dalam Kigen et al (2011), klasifikasi keparahan interaksi

obat terbagi menjadi 3 yaitu :

a) Major : berhubungan dengan toksisitas yang signifikan secara klinis.

b) Moderate : dapat menyebabkan penurunan status klinis.

c) Minor : memiliki konsekuensi ringan dan tidak mempengaruhi hasil terapi.

(12)

E. Keterangan Empiris

Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati (2015), tentang evaluasi

penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi rawat inap RSUP Dr.

Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian ketidaktepatan

pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis tersebut meliputi

dosis obat yang kurang atau berlebih. Berdasarkan hasil penelitian Abidullah et al

(2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi tukak peptik

sebanyak 27,64%.

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data yang sesuai kriteria inklusi

dan diharapkan dapat diketahui kejadian Drug Related Problems kategori

ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan kategori interaksi obat

potensial pada pasien dengan penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap

Gambar

Tabel. 1 Obat – obat untuk terapi tukak peptik Obat Dosis
Tabel. 2 Lanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dianalisis dengan metode deskriptif untuk mengetahui evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia pediatrik di Instalasi rawat inap RSUP “X” tahun

dosis lebih maupun dosis kurang yang terjadi pada pasien ISPA di Instalasi Rawat.. Inap

Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien gangguan ginjal kronis di instalasi rawat inap RSUD Dr. Penelitian ini

pengobatan dan analisis biaya terapi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani.. hemodialisa di instalasi rawat inap

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP..

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN KANKER SERVIKS DI INSTALASI RAWAT INAP..

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian DRPs kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan interaksi obat pada pasien dengan gangguan

Untuk mengetahui ketepatan frekuensi pemberian obat pada pasien penyakit ginjal kronik pengguna obat antihipertensi di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP DR.. Untuk mengetahui