• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X TAHUN 2015"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X TAHUN 2015

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Fakultas Farmasi

Oleh:

DINI PERWITA SARI K 100 130 143

PROGRAM STUDI STRATA I FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA PASIEN

GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X

TAHUN 2015

PUBLIKASI ILMIAH

oleh:

DINI PERWITA SARI K 100 130 143

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:

Dosen Pembimbing

Dra. Nurul Mutmainah, M.Si., Apt. NIK.831

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

IDENTIFIKASI

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA PASIEN

GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X

TAHUN 2015

OLEH

DINI PERWITA SARI K 100 130 143

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Kamis, 15 Desember 2016 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji:

1.Ambar Yunita Nugraheni, M.Sc., Apt. (……..……..)

(Ketua Dewan Penguji)

2.Zakky Cholisoh, M.Clin.Pharm., Ph.D., Apt. (………)

(Anggota I Dewan Penguji)

3.Dra. Nurul Mutmainah, M.Si., Apt. (……….)

(Anggota II Dewan Penguji)

Dekan,

Azis Saifudin, Ph.D., Apt. NIK. 956

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

.

Surakarta, 22 November 2016 Penulis

DINI PERWITA SARI K 100 130 143

(5)

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT X TAHUN 2015

IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) IN HOSPITALIZED GASTRIC DISORDERS PATIENT AT X HOSPITAL YEAR OF 2015

Dini Perwita Sari*, Nurul Mutmainah

Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, *E-mail: diniperwita@yahoo.co.id

Abstrak

Gangguan lambung dalam penelitian ini meliputi dispepsia, gastritis, tukak stress, dan tukak peptik. Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien terkait dengan terapi obat sehingga dapat mengganggu keberhasilan terapi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian DRPs kategori ketidaktepatan dosis meliputi dosis kurang, dosis lebih dan interaksi obat pada pasien dengan gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015. DRPs yang diteliti adalah DRPs potensial antara obat gangguan lambung dengan obat lain yang digunakan pasien. Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan pengambilan data secara retrospektif dan analisis data secara deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Dalam penelitian ini terdapat 44 data yang digunakan sebagai sampel. Data dianalisis berdasarkan literature. Drug Information Handbook tahun 2009, dan British National Formulary tahun 2011 untuk analisis dosis, Stockley’s Drug Interaction tahun 2008, Drug Interaction Facts tahun 2012, drug interaction checker yaitu www.drugs.com, dan www.medscape.com untuk analisis interaksi obat. Berdasarkan hasil penelitian, dari 44 pasien ditemukan kejadian DRPs sebanyak 42 pasien (95,45%) dengan kategori ketidaktepatan dosis yang mencakup dosis kurang dan dosis lebih, 30 pasien (68,18%) dengan kategori interaksi obat potensial. Potensi interaksi obat dengan tingkat keparahan major sebesar 4,54%, moderate 61,36%, dan minor 34,09%. Potensi interaksi dengan mekanisme farmakokinetik sebesar 84,08%, unknown 15,90%.

Kata Kunci: DRPs, dosis kurang, dosis lebih, gangguan lambung, interaksi obat. Abstract

Gastric disorders in this study include dyspepsia, gastritis, tukak stresss and peptic ulcer. Drug Related Problems (DRPs) is undesirable events experienced by patients related with drug therapy that can interfere of success therapy. This study was conducted to determine the incidence of DRPs with a dose inaccuracy category that includes under dose and overdose and drug interactions in patients with gastric disorders in the hospital X 2015. This is a observational research with retrospective data collection. Data was analyze descriptively. The data obtained were 44 samples. The data were analyzed based on literature. Drug Information Handbook 2009, and British National Formulary 2011 to analyze dose, Stockley’s Drug Interaction 2008, Drug Interaction Facts 2012, drug interaction checker (www.drugs.com, and www.medscape.com) to analyze drug interactions. Out of 44 patients, the result showed there were 42 patients (95.45%) with under dose and overdose category, 30 patients (68,18%) with potential drug interactions category. The level of severity of potential drug interactions were 4,54% major, 61,36%

(6)

moderate, and 34,09% minor. The mechanism of interactions of potential drug interactions were 84,08% pharmacokinetic mechanism, 15,90 % unknown mechanism. Keywords: DRPs, drug interactions, overdose, stomach disorders, underdose

1. PENDAHULUAN

Tukak peptik termasuk dalam daftar 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2009 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Angka kejadian tukak peptik menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit terbanyak di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (Alfiawati, 2014). Angka kejadian tukak lambung yang tersebar di seluruh dunia bergantung pada status sosial ekonomi dan demografi. Kejadian tukak lambung lebih banyak dijumpai pada pasien dengan status sosial ekonomi yang rendah (Sanusi, 2011).

Gangguan lambung dalam penelitian ini meliputi dispepsia yang merupakan suatu kumpulan gejala seperti nyeri ulu hati, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa (Sanusi, 2011), gastritis yang merupakan proses inflamasi pada mukosa dan sub – mukosa lambung (Djojoningrat, 2001), tukak peptik yaitu kondisi putusnya kontinuitas mukosa yang melebar di bawah epitel dan terjadinya kerusakan jaringan mukosa, sub mukosa sampai lapisan otot di suatu daerah saluran gastrointestinal yang berhubungan secara langsung dengan cairan asam lambung atau pepsin (Sanusi, 2011), dan tukak stress yang merupakan luka atau beberapa perlukaan pada lambung yang berkembang selama stress fisiologi dari penyakit yang parah (Avunduk, 2008).

Drug Related Problems (DRPs) potensial yaitu masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Nita, 2004). Terapi pada pasien tukak peptik biasanya sering menggunakan obat kombinasi. Penggunaan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi obat. Interaksi obat adalah peristiwa pengubahan aksi suatu obat yang menyebabkan perubahan kadar suatu obat dalam darah akibat penggunan obat lain atau senyawa lain yang diberikan bersamaan (Helmyati et al., 2014). Interaksi obat menjadi penting secara klinik apabila berakibat meningkatkan toksisitas atau menurunkan efektivitas obat yang berinteraksi (Setiawati, 2008).

Secara garis besar mekanisme interaksi obat dapat dibedakan menjadi 2 mekanisme, yakni interaksi farmakodinamik, dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga mengakibatkan terjadinya efek aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2008). Interaksi farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi atau mengubah proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari obat lain

(7)

(Helmyati et al., 2014). Menurut Tatro dalam Kigen et al (2011), klasifikasi keparahan interaksi obat terbagi menjadi 3 yaitu major (berhubungan dengan toksisitas yang signifikan secara klinis), moderate (dapat menyebabkan penurunan status klinis), dan minor (memiliki konsekuensi ringan dan tidak mempengaruhi hasil terapi) (Kigen et al., 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Alfiawati (2014) tentang evaluasi penggunaan obat pada pasien tukak peptik di instalasi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014 ditemukan kejadian ketidaktepatan pemberian dosis obat sebesar 96%. Data ketidaktepatan dosis tersebut menunjukkan dosis obat yang kurang atau berlebih. Hasil penelitian Abidullah et al (2013) di Pakistan ditemukan kejadian interaksi obat pada terapi tukak peptik sebanyak 27,64%. Berdasarkan hal tersebut dan tingginya kejadian ketidaktepatan dosis pada pengobatan penyakit tukak peptik maka perlu dilakukan penelitian mengenai DRPs kategori dosis kurang, dosis lebih dan interaksi obat.

2. METODE

Penelitian ini termasuk penelitian observasional atau non eksperimental dengan mengikuti rancangan deskriptif serta pengambilan data secara retrospektif dengan menggunakan data rekam medik. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar pengumpul data, Drug Information Handbook tahun 2009, dan British National Formulary tahun 2011untuk melihat ketepatan dosis, dan buku acuan Stockley’s Drug Interaction tahun 2008, Drug Interaction Facts tahun 2012, dan drug interaction checker yaitu www.drugs.com, dan www.medscape.com untuk melihat interaksi obat. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medik pasien dengan diagnosa gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X tahun 2015 yang memenuhi kriteria inklusi.

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien penderita gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X tahun 2015. Sampel diambil menggunakan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi yang meliputi pasien terdiagnosa penyakit gangguan lambung dengan penyakit penyerta yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit X tahun 2015, pasien yang mendapat obat ≥ 2 macam obat, data rekam medik pasien lengkap meliputi nomor rekam medik, jenis kelamin, usia, penyakit penyerta, dan data penggunaan obat yang meliputi nama obat, dosis, frekuensi pemberian, waktu pemberian, dan rute pemberian. Penulusuran dan pengumpulan data dilakukan di bagian rekam medis Rumah Sakit X. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencatatan data rekam medik pasien. Data dianalisis dengan mencocokkan dosis obat yang digunakan dengan literature untuk mengetahui ketepatan atau ketidaktepatan dosis yang mencakup

(8)

dosis kurang dan dosis lebih, serta potensi interaksi obat. Selanjutnya masing-masing hasil analisis diklasifikasikan dalam bentuk persentase dengan rumus:

x 100%

3. HASILDANPEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 62 pasien yang terdiagnosa mengalami gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X tahun 2015. Setelah dilakukan seleksi dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan didapatkan 44 data yang digunakan sebagai sampel penelitian.

3.1 Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien yang tersaji dalam Tabel. 1 meliputi data distribusi pasien dengan diagnosa penyakit gangguan lambung berupa jenis kelamin, usia, diagnosa, lama perawatan, kondisi keluar dan diagnosa lain atau penyerta. Jenis kelamin laki - laki memiliki resiko lebih besar untuk mengalami ulcer dibanding perempuan, hal ini berkaitan dengan kebiasaan merokok yang banyak dilakukan oleh laki – laki (Al-marsoumi and Jabbo, 2013). Namun menurut Thorsen et al (2013) distribusi pasien yang teridentifikasi tukak peptik sepanjang tahun 2001 – 2010 berdasarkan jenis kelamin menunjukkan hasil yang seimbang antara perempuan dengan laki – laki. Hal tersebut selaras dengan penelitian ini dimana terdapat sebanyak 22 pasien laki – laki (50%) dan 22 pasien (50%) perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan penderita penyakit gangguan lambung terbanyak yaitu pasien dengan usia >64 tahun sebanyak 21 pasien (47,72%). Usia lanjut merupakan faktor resiko independen terjadinya tukak peptik, kejadian tukak peptik meningkat secara linier dengan usia pasien. Hal ini dikarenakan adanya penurunan sistem kerja dari lambung dan dimungkinkan akibat dari peningkatan penggunaan OAINS pada pasien usia lanjut (Berardi and Welage, 2008). Diagnosa terbanyak adalah tukak stress (86,36%), selanjutnya tukak peptik (9,09%), gastritis (2,27%), dan dispepsia (2,27%). Berdasarkan hasil analisis terkait lama rawat inap pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa hasil terbanyak yaitu 6 – 10 hari sebanyak 23 pasien (52,27%), selanjutnya 1 - 5 hari sebanyak 12 pasien (27,27%) dan >10 hari sebanyak 9 pasien (20,45%). Kondisi keluar dari pasien menunjukkan bahwa angka kematian (65,90%) lebih tinggi dibandingkan angka kesembuhan (34,09%). Apabila ditinjau dan dikaitkan dengan karakteristik usia pasien, pasien terbanyak yaitu dengan usia >64 tahun atau usia lanjut. Menurut penelitian Tas et al (2015), usia pasien > 60 tahun merupakan faktor resiko independen terjadinya kematian pada pasien tukak peptik. Faktor resiko lain yang menyebabkan terjadinya tukak stress yaitu penyakit sepsis (Mohebbi and Hesch, 2009), dalam penelitian ini diagnosa lain atau penyakit penyerta terbanyak yang diderita pasien yaitu sepsis sebanyak 13 pasien (29,54%).

(9)

Tabel. 1 Karakteristik pasien dengan diagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015

Kriteria Jumlah Persentase (%) N=44

Usia (tahun) >64 21 47,72 45-64 20 45,45 25-44 2 4,54 15-24 1 2,27 Jenis Kelamin Laki-Laki 22 50 Perempuan 22 50 Diagnosis Tukak stress 38 86,36 Tukak peptic 4 9,09 Dispepsia 1 2,27 Gastritis 1 2,27 Lamanya Perawatan 1-5 Hari 12 27,27 6-10 Hari 23 52,27 >10 Hari 9 20,45 Kondisi Keluar Meninggal 29 65,90 Sembuh 15 34,09 Diagnosa Lain Sepsis 13 29,54 Anemia 10 22,72 Diabetes Melitus 9 20,45

Congestive Heart Failure 7 15,9

Hipertensi 7 15,9

Hematemesis 6 13,63

Hipokalemi 6 13,63

Stroke Non Hemoragik 6 13,63

Melena 5 11,36

Acute Renal Failure 4 9,09

Pneumonia 4 9,09

Acute Kidney Injury 3 6,82

Infeksi Saluran Kemih 3 6,82

Cholesistitis 2 4,54

Chronic Kidney Disease 2 4,54

Edema Cerebri 2 4,54 Hipoglikemi 2 4,54 Hiponatremi 2 4,54 Tetanus 2 4,54 Asidosis Metabolik 1 2,27 Bronkopneumonia 1 2,27 Diare Kronis 1 2,27 Hematuria 1 2,27 Hipoalbumin 1 2,27 Hipotensi 1 2,27

Ischemic Heart Disease 1 2,27

Jaundice 1 2,27 Kanker Kolon 1 2,27 Meningitis 1 2,27 PPOK 1 2,27 Sirosis Bilier 1 2,27 Stroke Hemoragik 1 2,27 Tifoid 1 2,27 Tuberkulosis Paru 1 2,27 Tumor Leiomyoma 1 2,27 3.2 Karaktristik Obat

Karakteristik obat pada Tabel. 2 digunakan untuk mengetahui gambaran peresepan pasien dengan diagnosa penyakit gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X tahun 2015.

(10)

Berdasarkan hasil penelitian obat gangguan lambung yang paling banyak diresepkan yaitu omeprazol (77,27%) yang merupakan obat golongan PPI. Proton Pump Inhibitor (PPI) adalah salah satu kelas terapi yang paling sering diresepkan karena dianggap memiliki efek kemajuan yang begitu besar dalam pengobatan penyakit asam lambung (Vanderhoff and Tahboub, 2002). Selain omeprazol obat golongan PPI yang diresepkan untuk pasien yaitu lansoprazol (11,36%), obat golongan H2 reseptor antagonis yang diresepkan yaitu ranitidin (54,54%), dan obat dari golongan lain yang digunakan yaitu sukralfat (52,27%). Obat kelas terapi lain yang banyak diresepkan yaitu seftriakson yang merupakan antibiotik golongan sefalosporin.

Tabel. 2 Gambaran peresepan obat pada pasien dengan diagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015

Kelas Terapi Nama Obat Jumlah Persentase

(%) N = 44

Anti sekretori Omeprazol 34 77,27

Ranitidin 24 54,54

Lansoprazol 5 11,36

Pelindung mukosa Sukralfat 23 52,27

Laksatif Bisakodil 2 4,54

Laxadin® (gliserol, parafin, fenolftalein)

1 2,27

Antidiare Attapulgit 4 9,09

Obat hepatitis kolestatis Asam ursodeoksikolat 1 2,27

Antiemetik Ondansetron 9 20,45

Metoklopramid 6 13,63

Stimulan motilitas Cisapride 1 2,27

Pankreatin Vitazym® (amilase, protease,

lipase, vitamin B kompleks)

1 2,27 Antibiotik Seftriakson 19 43,18 Metronidazol 7 15,9 Sefotaxim 5 11,36 Seftazidim 5 11,36 Sefoperazon 4 9,09 Azitromisin 3 6,81 Levofloksasin 3 6,81 Siprofloksasin 3 6,81 Amoksisilin 2 4,54 Sefixim 2 4,54 Ampisillin-Sulbactam 1 2,27 Klaritromisin 1 2,27 Meropenem 1 2,27 Anti TBC Etambutol 1 2,27 Isoniazid 1 2,27 Pirazinamid 1 2,27 Rifampisin 1 2,27

Anti jamur Fluconazol 2 4,54

Nistatin 1 2,27

Anti hipertensi Amlodipin 10 22,72

Valsartan 6 13,63 Kaptopril 5 11,36 Irbesartan 2 4,54 Telmisartan 2 4,54 Nifedipin 1 2,27 Verapamil 1 2,27 Kandesartan 1 2,27 Bisoprolol 1 2,27 Propanolol 1 2,27

Antiangina Isosorbid dinitrat 1 2,27

Syok & hipotensi Dobutamin 2 4,54

(11)

Tabel. 2 Lanjutan

Kelas Terapi Nama Obat Jumlah Persentase

(%) N = 44

Manitol 6 13,63

Spironolakton 2 4,54

Hemostatik & Fibrinolitik Asam traneksamat 11 25

Antiplatelet Klopidogrel 1 2,27

Obat Reumatik & Gout Allopurinol 1 2,27

Analgetik & Antipiretik Ketorolak 5 11,36

Tramadol 2 4,54 Aspirin 1 2,27 Morfin 1 2,27 Parasetamol 1 2,27 Sistenol® (asetilsistein, parasetamol) 1 2,27

Hipnosis & Sedatif Diazepam 6 13,63

Alprazolam 1 2,27

Anti Epilepsi Fenitoin 1 2,27

Dopaminergik Dopamin 3 6,81

Neuroprotektor Citicolin 2 4,54

Vasodilator perifer (anti vertigo) Flunarizin 1 2,27

Bronkodilator Salbutamol 1 2,27

Terbutalin 1 2,27

Norepineprin 1 2,27

Teofilin 1 2,27

Farbivent® (ipratroium bromida, salbutamol)

1 2,27

Mukolitik Ambroxol 4 9,09

Bromheksin 1 2,27

Vitamin & Mineral Vitamin B1B6B12 9 20,45

Kalium Aspartat 7 15,9

Kalsium Karbonat 3 6,81

Vitamin K 2 4,54

Kalsium Polistiren Sulfonat 2 4,54

Alinamin F® (fursultiamin, riboflavin)

2 4,54

Elektrolit Natrium Klorida 23 52,27

Ringer Laktat 17 38,63

Suplemen Asam Folat 15 34,09

Kurkuma 4 9,09

Insulin Insulin Aspart 4 9,09

Insulin Glargin 2 4,54

Antihipoglikemi Dekstrosa (D5%) 6 13,63

Kortikosteroid Metilprednisolon 6 13,63

Deksametason 2 4,54

Anti alergi rinitis Setirizin 1 2,27

Anti hipertrofi prostat Dutasteride 1 2,27

Tamsulosin 1 2,27

3.3 Analisis Drug Related Problems Kategori Dosis

Salah satu problem terapi dengan obat yaitu ketidaktepatan dosis obat, bisa dikarenakan dosis yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kemungkinan penyebab problem terapi dengan obat terkait dosis yaitu interval pemakaian yang terlalu jarang atau sering, dosis terlalu rendah atau berlebih untuk mencapai efek yang diinginkan, dan durasi obat yang terlalu pendek atau panjang (Priyanto, 2009). Ketepatan dosis pada penelitian ini dianalisis berdasarkan literature (Drug Information Handbook tahun 2009, dan British National Formulary tahun 2011). Ketepatan dosis tersebut dianalisis

(12)

menurut besaran dosis obat yang diberikan, frekuensi penggunaan, dan data laboratorium berupa serum kreatinin. Nilai serum kreatinin dan klirens kreatinin digunakan sebagai penanda standar untuk mendeteksi adanya penurunan fungsi ginjal karena nilainya mendekati kecepatan filtrasi glomerulus (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011), sehingga perlu penyesuaian dosis untuk pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Faull, 2007). Menurut Dixon et al dalam Lucida et al (2011) pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal ranitidin memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih panjang dibandingkan pasien dengan fungsi ginjal yang normal, sehingga pasien dengan nilai klirens kreatinin < 50 mL/menit yang menerima terapi ranitidin perlu dilakukan penyesuaian dosis. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan hasil untuk ketepatan dosis sebanyak 2 kasus dengan persentase 4,54% dan ketidaktepatan dosis sebanyak 42 kasus dengan persentase 95,45%. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis terkait durasi penggunaan obat dikarenakan adanya 29 pasien yang meninggal sehingga dapat menyebabkan hasil yang bias.

Berdasarkan Tabel. 3 ketidaktepatan pemberian dosis obat berupa dosis lebih dijumpai pada pemberian obat omeprazol iv (54,54%), lansoprazol po (6,81%), lansoprazol iv (6,81%), ranitidin iv (29,54%), dan sukralfat po (52,27%). Sedangkan ketidaktepatan pemberian dosis obat berupa dosis kurang dijumpai pada pemberian obat omeprazol po (9,09%), ranitidin iv (22,72%), dan sukralfat po (2,27%). Penggunaan dosis obat dibawah dosis standar (dosis kurang) akan mengakibatkan efek terapi yang diharapkan tidak maksimal atau bahkan tidak akan menimbulkan efek terapi (kegagalan terapi) (Halczli and Woolley, 2013). Sebaliknya, berbagai akibat mungkin akan muncul apabila dosis obat yang digunakan melebihi dosis standar (dosis lebih), penggunaan dosis yang melebihi dosis standar akan mengakibatkan toksisitas dari obat tersebut meningkat.

Tabel. 3 Distribusi ketidaktepatan dosis pada pasien dengan diagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015

Nama obat Dosis lebih Dosis kurang

No. Kasus

Keterangan Jumlah Persentase(%)

N= 44

No. Kasus

Keterangan Jumlah Persentase

(%) N= 44 Omeprazol iv 1,2,3,7,8, 9,14,15,1 6,17,19, 20, 22,23,24, 27,32,37, 38,39,40, 41,43,44 Frekuensi lebih 24 54,54 - - - - Omeprazol po - - - - 2,5,18,4 2 Besaran kurang 4 9,09 Lansoprazol po 4,17,37 Frekuensi lebih 3 6,81 - - - - Lansoprazol iv 4,11,13 Frekuensi lebih 3 6, 81 - - - - Ranitidin iv 1,2,7,8, 14,18,25, 28,30,32, 33,34,44 Frekuensi lebih 13 29,54 6,10, 11,13,22 ,24,27,2 9,31,38 Frekuensi kurang 10 22,72

(13)

Tabel. 3 Lanjutan

Nama obat Dosis lebih Dosis kurang

No. Kasus

Keterangan Jumlah Persentase(%)

N= 44

No. Kasus

Keterangan Jumlah Persentase

(%) N= 44 Sukralfat po 1,2,4,5,6, 7,8,11,15 , 16,17,19, 20,21,22, 23,25,26, 31,25,37, 38,40 Besaran lebih 23 52,27 44 Besaran kurang 1 2,27 

3.4 Analisis Drug Related Problems Kategori Interaksi Obat

Terdapat sebanyak 30 (68,18%) pasien dari 44 pasien yang terdiagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015 yang berpotensi mengalami interaksi obat dengan total 44 kejadian interaksi obat potensial. Tabel. 4 menunjukkan gambaran potensi interaksi obat potensial yang dibedakan berdasarkan tingkat keparahan dan mekanisme interaksi.

Tabel. 4 Penggolongan potensi interaksi obat pada pasien dengan diagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015

Kategori Farmakodinamik Farmakokinetik Unknown Total

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persenta se (%) Jumlah Persentase (%) Major - - 2 4,54 - - 2 4,54 Moderate - - 24 54,54 3 6,81 27 61,36 Minor - - 11 25 4 9,09 15 34,09 Total - - 37 84,08 7 15,90 44 100

a. Interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan

Tabel. 5 menunjukkan distribusi potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan. Tingkat keparahan interaksi obat dibedakan menjadi 3 yaitu major, moderate, dan minor (Tatro, 2012).

Tabel. 5 Distribusi potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan pada pasien dengan diagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015

Mekanisme Obat A Obat B No. Kasus Jumlah

kejadian

Persentase (%)

Major Omeprazol Klopidogrel 27 1 50

(n=2) Isoniazid 44 1 50

Moderate Omeprazol Flukonazol 2, 17 2 8

(n=25) Furosemid 3, 12, 21, 22, 23, 34, 42, 43 8 32 Teofilin 9 1 4 Rifampisin 44 1 4 Sukralfat Lansoprazol 4, 11, 17, 37 4 16 Allopurinol 8 1 4 Kalsium karbonat 8 1 4 Insulin aspart 15, 16 2 8 Insulin glargin 15 1 4 Fenitoin 35 1 4 Lansoprazol Klaritromisin 11 1 4 Furosemid 13 1 4 Flukonazol 17 1 4

(14)

Tabel. 5 Lanjutan

Mekanisme Obat A Obat B No. Kasus Jumlah

kejadian

Persentase (%)

Minor Ranitidin Parasetamol 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32 7 41,18 (n=17) Ketorolak 14, 22, 30 3 17,65 Verapamil 31 1 5,88 Sukralfat Isoniazid 44 1 5,88 Omeprazol Klaritromisin 11 1 5,88 Deksametason 44 1 5,88 ISDN 43 1 5,88 Diazepam 3, 38 2 11,76

Berdasarkan tingkat keparahan, potensi interaksi obat yang paling sering terjadi yaitu interaksi obat dengan tingkat keparahan moderate sebanyak 25 kejadian (61,36%), selanjutnya minor sebanyak 17 kejadian (34,09%), dan major sebanyak 2 kejadian (4,54%). Interaksi obat dengan tingkat keparahan minor yang paling sering terjadi yaitu interaksi antara ranitidin dengan parasetamol. Ranitidin dapat menghambat enzim glucoronyltransferase parasetamol, namun potensi interaksi yang terjadi tidak bermakna secara klinis (Baxter, 2008). Sedangkan interaksi obat yang paling sering terjadi dengan tingkat keparahan moderate yaitu interaksi antara omeprazol dengan furosemid. Penggunaan obat golongan PPI jangka panjang dapat menyebabkan hipomagnesia, dan furosemid dapat menyebabkan meningkatnya efek hipomagnesia dari omeprazol (FDA, 2011), dan interaksi obat yang terjadi dengan tingkat keparahan major yaitu interaksi antara omeprazol dengan klopidogrel, dan omeprazol dengan isoniazid. Klopidogrel membutuhkan enzim CYP2C19 untuk menjadi metabolit aktif sedangkan omeprazol juga dimetabolisme oleh enzim CY2C19 sehingga jumlah metabolit aktif klopidogrel berkurang dan mengakibatkan efek anti platelet dari klopidogrel menjadi turun, sedangkan efek dan kadar omeprazol di dalam darah menjadi meningkat (Drepper et al., 2012). Isoniazid dapat menghambat aktivitas dari CYP2C19 yang akan mempengaruhi metabolisme enzim di hati sehingga akan meningkatkan efek dari omeprazol (Desta et al., 2001).

b. Interaksi obat berdasarkan mekanisme

Berdasarkan hasil analisis, distribusi potensi interaksi obat berdasarkan mekanismenya dibedakan menjadi 2 yaitu mekanisme interaksi farmakokinetik dan unknown (Tabel. 6). Terdapat 37 (84,08%) kejadian interaksi farmakokinetik, dan 7 (15,90%) kejadian interaksi yang belum diketahui mekanismenya (unknown). Interaksi farmakokinetik yang paling sering terjadi yaitu interaksi antara omeprazol dengan furosemid, furosemid dapat meningkatkan efek hipomagnesemia dari omeprazol (FDA, 2011). Sedangkan interaksi dari mekanisme unknown yang paling banyak terjadi yaitu interaksi antara ranitidin dengan ketorolak, ranitidin dapat mengubah efek terapi dari ketorolak (Tatro, 2012).

(15)

Tabel. 6 Distribusi potensi interaksi obat berdasarkan mekanisme pada pasien dengan diagnosa gangguan lambung di instalasi rawat inap Rumah Sakit X tahun 2015

Mekanisme Obat A Obat B No. kasus Jumlah

kejadian

Persentase (%)

Farmakokinetik Sukralfat Lansoprazol 4,11,17,37 4 10,81

(n = 37) Allopurinol 8 1 2,70 Kalsium karbonat 8 1 2,70 Fenitoin 35 1 2,70 Omeprazol ISDN 43 1 2,70 Flukonazol 2, 17 2 5,40 Diazepam 3, 38 2 5,40 Klaritromisin 11 1 2,70 Klopidogrel 27 1 2,70 Deksametason 44 1 2,70 Rifampisin 44 1 2,70 Isoniazid 44 1 2,70 Furosemid 3,12,21,22, 23,34,42,43 8 21,62 Teofilin 9 1 2,70 Lansoprazol Klaritromisin 11 1 2,70 Flukonazol 17 1 2,70 Furosemid 13 1 2,70 Ranitidin Parasetamol 25,26,27,28, 29,31,32 7 18,92 Verapamil 31 1 2,70

Unknown Sukralfat Insulin aspart 15,16 2 28,57

(n = 7) Insulin glargin 15 1 14,28

Isoniazid 44 1 14,28

Ranitidin Ketorolak 14,22,30 3 42,86

Farmasis memiliki posisi yang baik untuk berinteraksi dengan pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk memberikan pengetahuan yang diperlukan untuk mengurangi potensi adanya ketidaktepatan pemberian dosis obat (Halczli and Woolley, 2013). Farmasis memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengetahui akan kemungkinan efek samping dari terapi obat yang mereka gunakan. Farmasis memiliki peran besar dalam kaitannya dengan pencegahan, deteksi, dan pelaporan kejadian efek samping serta interaksi obat. Untuk memanajemen (meminimalkan atau mengatasi) interaksi obat dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan kombinasi obat untuk obat yang mempunyai resiko tinggi interaksi obat, menyesuaikan dosis obat yang diberikan, memberikan jarak waktu pemberian obat untuk obat yang berinteraksi di fase absorbsi, dan memonitoring keadaan klinis serta data laboratorium (Ansari, 2010).

Kelemahan penelitian ini adalah penelitian dilakukan menggunakan metode retrospektif yang hanya dapat menggambarkan DRPs dengan kategori ketidaktepatan dosis dan interaksi obat secara potensial, tidak dapat menggambarkan kejadian DRPs secara aktual. Analisa potensi interaksi obat dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan waktu paruh dari masing – masing obat sehingga hanya dilakukan analisa terhadap potensi interaksi obat yang digunakan pada hari yang sama, bukan pada waktu/jam pemberian yang sama.

Perlu adanya penelitian secara prospektif dengan mengikuti perkembangan pengobatan pasien untuk mengetahui kejadian DRPs yang benar- benar terjadi dan dialami oleh pasien atau DRPs aktual.

(16)

4. PENUTUP

Dari 44 pasien yang mengalami gangguan lambung di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit X tahun 2015 ditemukan kejadian drug related problems atau masalah yang berkaitan dengan obat sebanyak 42 pasien (95,45%) dengan kategori ketidaktepatan dosis yang mencakup dosis kurang, dosis lebih, dan sebanyak 30 pasien (68,18%) dengan kategori interaksi obat potensial. Dilihat dari tingkat keparahannya ditemukan kejadian interaksi major 2 kejadian (4,54%), moderate 25 kejadian (61,36%), dan minor 17 kejadian (34,09%). Bila dilihat dari mekanismenya ditemukan interaksi farmakokinetik 37 kejadian (84,08%), dan unknown 7 kejadian (15,90%).

PERSANTUNAN

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada yang terhormat Ibu Dra. Nurul Mutmainah, M.Si., Apt selaku pembimbing skripsi dan Direktur serta Staff rumah sakit terkait yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penulis dalam penyelesaian artikel ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abidullah, Hussain H., Shujat A., Kamal Z. and Ullah S., 2013, Pharmacotherapeutical Study of Peptic Ulcer Disease, Impact Journal, 1 (3), 29–36.

Alfiawati N., 2014, Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Tukak Peptik Di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun 2014, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Al-marsoumi and Jabbo, 2013, Risk factors in perforated peptic ulcer disease : Incidence and relation to morbidity and mortality, Mustansiriya Medical Journal, 12 (1), 35–44.

Ansari J.A., 2010, Drug Interaction and Pharmacist, Journal of young pharmacists: JYP, 2 (3), 326– 331.

Avunduk C., 2008, Manual Of Gastroenterology : Diagnosis and Therapy, Fourth Edition., Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Baxter K., 2008, Stockley’s Drug Interactions, Eighth Edition., Pharmaceutical Press, London. Berardi R.R. and Welage L.S., 2008, Pharmacotherapi : A Pathophysiologic Approach, dalam

Gastrointestinal Disorders, Mc-GrawHill, New York, pp. 569–583.

Desta Z., Soukhova N. V. and Flockhart D.A., 2001, Inhibition of cytochrome P450 (CYP450) isoforms by isoniazid: Potent inhibition of CYP2C19 and CYP3A, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 45 (2), 382–392.

Djojoningrat D., 2001, Dispepsia Fungsional, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 153–157.

Drepper M.D., Spahr L. and Frossard J.L., 2012, Clopidogrel and proton pump inhibitors -where do we stand in 2012?, World journal of gastroenterology : WJG, 18 (18), 2161–2171.

(17)

Food and Drug Administration, 2011, FDA Drug Safety Communication: Low magnesium levels can be associated with long-term use of Proton Pump Inhibitor drugs (PPIs), U.S. Department of Health and Human Services Terdapat di: http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/ucm245011.htm [Diakses pada October 16, 2016]. Halczli A. and Woolley A.B., 2013, Medication underdosing and underprescribing: important issues

that may contribute to polypharmacy and poor outcomes, Formulary Journal Outcomes, 1–4. Helmyati S., Rahmawati N.F., Purwanto and Yuliati E., 2014, Buku Saku Interaksi Obat dan

Makanan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Jakarta. Kigen G., Kimaiyo S., Nyandiko W., Faragher B., Sang E., Beatrice, Jakait, Owen A., Back D.,

Gibbons S., Seden K. and Khoo S.H., 2011, Prevalence of Potential Drug-Drug Interactions Involving Antiretroviral Drugs in a Large Kenyan Cohort, PLoS ONE, 6 (2), 2.

Lucida H., Trisnawati R. and Suardi M., 2011, Analisis Aspek Farmakokinetika Klinik Pasien Gagal Ginjal Pada IRNA Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang, Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 16 (2), 144–152.

Mohebbi L. and Hesch K., 2009, Stress ulcer prophylaxis in the intensive care unit, Baylor University Medical Center Proceedings, 22 (4), 373–376.

Nita Y., 2004, Manajemen Farmasi, Airlangga University Press, Surabaya.

Priyanto, 2009, Farmakoterapi & Terminologi Medis, Penerbit : Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (Leskonfi), Jakarta.

Sanusi I.A., 2011, Buku Ajar Gatroenterologi, Edisi Kesatu., InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta Pusat.

Setiawati A., 2008, Farmakologi dan Terapi, edisi 5., Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia, Jakarta.

Tas I., Ulger B.V., Onder A., Kapan M. and Bozdag Z., 2015, Risk Factors Influencing Morbidity and Mortality in Perforated Peptic Ulcer Disease, Turkish Surgical Association.

Tatro D.S., 2012, Drug Interaction Facts 2012: The Authority on Drug Interactions, Wolters Kluwer Health, California.

Thorsen K., Soreide J.A., Kvaloy J.T., Glomsaker T. and Soreide K., 2013, Epidemiology of Perforated Peptic Ulcer: Age - and Gender Adjusted Analysis of Incidence and Mortality, World Journal of Gastroenterology, 19 (3), 347–354.

Vanderhoff B.T. and Tahboub R.M., 2002, Proton pump inhibitors: An update, American Family Physician, 66 (2), 273–278.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan hasil belajar siswa dengan menggunakan metode Respon Fisik Total dalam Pembelajaran Menyimak Bahasa

Reduksi data kalibrasi dari pengukuran FTIR dengan menggunakan metode GEFA sudah diperoleh pada jumlah faktor k= 4 dengan persentase 99.9891, namun untuk mendapatkan

Persiapan sebelum bencana terjadi, langkah ini dapat dilakukan dengan memonitor keadaan Gunung Galunggung atau memberi peringatan dini mengenai ancaman bahaya (letusan)

C. Untuk menemukan dan mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur pada wacana rubrik Rakyat Bicara surat kabar Joglosemar edisi Maret 2011. Untuk menemukan dan

Latar belakang : Diabetes mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara

Data yang digunakan adalah data sekunder yang di dukung dengan data primer yang di dapat dari observasi langsung di lapangan. Data sekunder meliputi:, peta jaringan sungai,