• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi

Dalam dokumen rinitis alergi (Halaman 33-39)

BAB III Rinitis Alergi

3.9. Terapi

Dalam menangani rinitis alergi perlu dipertimbangkan gejala utama, derajat penyakitnya, kualitas hidup penderita, perbelanjaan yang digunakan selama terapi serta alergen yang terlibat agar tiap terapi yang dipilih bertepatan dengan tiap individu yang menderita rinitis alergi.

Secara umumnya yang dipilih sebagai terapi terbagi kepada tiga kategori besar yaitu menghindari kontak dengan alergen dan pengelolaan lingkungan, farmakoterapi dan imunoterapi.

1. Pengelolaan Lingkungan

Mengurangi semaksimalnya kontak dengan alergen dapat menurunkan kadar kambuhnya gejala rinitis alergi secara signifikan. Bagi penderita yang alergi terhadap tepungsari (pollen), dapat dianjurkan mengurangi kegiatan di luar rumah selama musim yang bersangkutan, menutup celah yang membolehkan udara luar masuk ke dalam rumah atau mobil serta menggunakan pendingin udara. Pengendalian debu

rumah, jamur dan bulu binatang, yang berikut dapat dilakukan: (1) mengurangi tahap kelembapan rumah sehingga dibawah paras 50%; (2) mencuci pakaian terutama alas kasur dengan air hangat; (3) jauhkan karpet dan binatang piaraan dari ruang yang sering digunakan penderita; (4) menggunakan bahan yang hipoalergenik; dan (5) bagi penderita yang tinggal di daerah padat dan kotor, sedapatnya membasmi kecoa.

Gambar 8. Pengelolaan lingkungan terhadap alergen

2. Farmakoterapi

Saat memilih terapi yang cocok bagi rinitis alergi, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat pengobatan yang sebelumnya.

a. Antihistamin

Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1 justru menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh karena obat ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak dianjurkan untuk mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit karena hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin tidak akan berpengaruh pada hasil tes.

Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore dan pruritus namun kurang berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal congestion/blockers). Antihistamin generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan penderita, kadang dapat mengakibatkan kecelakaan saat menyetir atau di tempat kerja. Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan mulut kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin. Dua obat terakhir yang disebutkan sebelumnya banyak ditemukan dalam preparat obat flu di warung.

Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1 sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik. Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak menimbulkan efek penggunaan jangka panjang contohnya loratadin dan levosetirisin.

b. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap tingkat gejala rinitis alergi. Keberkesanan maksimal timbul pada minggu pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan hidung yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti triamsinolon, budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal dengan hampir tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur termasuk anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi dengan instruksi pemakaian yang benar.

c. Kortikosteroid sistemik

Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya adalah melalui intramuskuler atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis secara tapering off diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru menurunkan gejala rinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka panjang dapat timbul efek samping yang serius seperti penekaan aksis HPA dan efek samping kortikosteroid sistemik lain yang lazim ditemukan.

d. Dekongestan

Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga

hidung berkurang namun obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti rinore, bersin dan pruritus. Obat ini banyak ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa resep namun pemakaian pada penderita dengan kelainan jantung dan hipertensi harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin dapat menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari (rinitis medikamentosa).

e. Antikolinergik intranasal

Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).

f. Kromolin intranasal

Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi penderita.

g. Inhibitor leukotrien

Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rinitis alergi namun masih jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan kortikosteroid intranasal.

Gambar 9. Farmakoterapi untuk rinitis alergi

3. Imunoterapi

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) sebelum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti. Teori yang bersangkutan adalah wujudnya blok antibody (blocking antibody) dan regulasi kaskade imun yang memacu terjadinya reaksi alergi.

Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen secara subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual yang terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri oleh penderita di rumah.

Masih belum ada penelitian yang adekuat mengenai lama pelaksanaan imunoterapi ini namun pada kebanyakan penderita, cukup hanya dua hingga tiga tahun sebelum ambang batas terhadap alergen dapat ditingkatkan.

Dalam dokumen rinitis alergi (Halaman 33-39)

Dokumen terkait