KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Karawang, mengenai anatomi dan fisiologi laring, faring , dan esofagus. Dalam pembuatan karya tulis ini, penulis mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.
Dan ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. H. Yuswandi Affandi, Sp.THT-KL dan Dr. M. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp.THT-KL sebagai konsulen Ilmu Kesehatan THT-KL, orang tua kami yang telah memberikan dukungan baik secara moral dan materil, tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dan bekerjasama dalam pembuatan referat ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.
Penulis
Desember 2010
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... Daftar Isi ... BAB I PENDAHULUAN ... BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI ...
2.1. Anatomi Hidung ... 2.2 Kompleks Ostiomeata ... 2.3. Perdarahan Hidung ... 2.4. Persarafan Hidung ... 2.5. Mukosa Hidung ... 2.6. Sistem Transport Mukosilier ... 2.7. Fsiologi Hidung ... 2.7.1. Fungsi Respirasi ... 2.7.2. Fungsi Penghidu ... 2.7.3. Fungsi Fonetik ... 2.7.4. Refleks Nasal ... BAB III Rinitis Alergi ...
3.2. Etiologi ... 3.3. Epidemiologi ... 3.4. Morbiditas dan Mortalitas ... 3.5. Patofisiologi ... 3.6. Gambaran Histologik ... 3.7. Klasifikasi ... 3.8. Diagnosis ... 3.8.1. Anamnesis ... 3.8.2. Pemeriksaan Fisik ... 3.8.3. Pemeriksaan Penunjang ... 3.9. Terapi ... 3.10. Komplikasi ... 3.11. Prognosis ... BAB IV KESIMPULAN ... DAFTAR PUSTAKA ...
BAB I PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan inflamasi dari membran nasal(1) dan ditandai oleh gejala-gejala yang terdiri dari kombinasi berikut ini: bersin, hidung tersumbat, rasa gatal dan rinore.(2)
Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
Alergen yang paling umum diantaranya adalah debu, binatang peliharaan, jamur dan serbuk sari. Alergen timbul dengan waktu dan tempat yang bervariasi, mengetahui alergen yang berada dalam lingkungan dengan waktu yang spesifik dalam setahun membantu diagnosis dan pengobatan serta pencegahan rinitis alergi. Terpaparnya alergen dapat menyebabkan inflamasi pada saluran nafas atas dan bawah,termasuk hidung dan paru. Para ahli percaya bahwa saluran nafas pasien harus dievaluasi secara menyeluruh, bukan sebagai bagian tersendiri. Penelitian juga menunjukan bahwa sebagian besar pasien asthma juga memiliki penyakit rinitis alergi. Reaksi alergi dari saluran nafas atas dapat berdampak pada saluran nafas bawah dan demikian pula sebaliknya, dalam penelitian itu pula didapatkan bahwa pasien dengan rinitis alergi yang tidak diobati memiliki resiko dua kali lipat untuk masuk IGD dan tiga kali lipat resiko untuk dirawat di RS atas eksersebasi asthma.(3) Namun, didapatkan pula hasil bahwa pengobatan bagi penyakit rinitis alergi akan membuat kemajuan penyembuhan signifikan bagi penyakit asthma.(4)
Rinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rinitis, dan berdampak sekitar 20% dari populasi masyarakat. Walaupun termasuk penyakit yang umum dijumpai, efek pada kehidupan sehari-hari tidak dapat diremehkan. Pasien dengan rinitis alergi
merasa penyakitnya sama beratnya dengan asma berat dalam penurunan aktivitas harian. Pekerja dengan riwayat alergi yang tidak kunjung sembuh dilaporkan 10% kurang produktif dibandingkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi, dan pekerja yang menjalani pengobatan untuk rinitis alergi dilaporkan 3% kurang produktif. Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan yang efektif dapat menekan keseluruhan biaya dari penurunan produktivitas.(5)
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1. Anatomi hidung
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari bebrapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Gambar 1. Anatomi hidung
2.2. Kompleks ostiomeatal (K OM )
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
2.3. Perdarahan hidun g
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan fakor predispsisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke intracranial.
2.4. Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung menfapat persarafan sensoris dari n. Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n. Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainna, sebagian besar mendapat persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terlaetak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.fungsi penghidupan berasal dari n. Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan keudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiaga atas hidung.
2.5. Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar ronggaa hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silis (ciliated peudostratified collumner epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidup terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertia berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel, penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna cokalat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respratori berwarna nerah muda dan selalu basaah karena diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawahepitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yangkhas. Arteriol terltak pada bagian yang le3bih dalan dari tuniak propria dan tersusun secara parallel dan longitudinal. Artriol ini memberikan pendarahab pada anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastic dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter oto. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut. Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.
2.6. Sistem transport mukosilier
Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas system transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palutlendir. Palut lender ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan kelenjar seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan factor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikopdrotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan local yang bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamsi jika terpajang dengan antigfen banteri. Pada sinu maksila, system transport mukosilier menggerakkan secret sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negative dan berkenbangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghebntikan atau mengubah transport, dan secret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika secret lebih kental, secret akan trhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan system transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Secret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian kea tap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menujuaresesus forntal. Gerakan spiral menuju keostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah dindingnya.
Pada dinding lateral terdapata 2 rute besar transprort mukosilier. Tute pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada bagian postero-superior orifisium tuba eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Secret pada septum akan berjalan vertical kea rah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius.
2.7. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiosgis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanise inunologik local; 2) fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
2.7.1 Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk kehdung menuju system repirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kea rah nasorafing. Aliran udara edi hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan menglami humidifikasi oleh palut lender. Rada musin panas, udara hamper jenuh olehuap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh benyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan dasaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b0 silis, c) palut lender. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2.7.2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pencecep adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
Gambar 4. Sistem olfaktoris
2.7.3. Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.
2.7.4. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan rekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
BAB III RINITIS ALERGI
3.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.(6)
3.2. Etiologi
Rinitis alergi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini: 1. faktor herediter (riwayat rinitis alergi dalam keluarga) 2. faktor lingkungan (pajanan debu dan jamur) 3. pajanan alergen (serbuk sari, bulu hewan, dan makanan) 4. perokok pasif (terutama dalam masa kanak-kanak) 5. polusi pabrik. Pada bayi dan balita, alergen berupa makanan seperti susu, telur, kedelai serta debu dan alergen inhalan merupakan penyebab utama dari rinitis alergi dan menjadi komorbid dari penyakit dermatitis atopi, otitis media, dan astma. Pada anak yang lebih besar, serbuk sari mejadi faktor penyebab rinitis alergi.(7)
3.3. Epidemiologi
Rhinitis alergi berdampak pada kurang lebih 40 juta penduduk Amerika Serikat. Penelitian di Scandinavia menunjukan bahwa prevalensi kumulatif pada laki-laki adalah sebesar 15% dan 14% pada wanita. Prevalensi dari penyakit ini bervariasi di tiap negara , yang mungkin dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis dan tipe serta potensi alergen. Rinitis alergi dapat terjadi pada setiap individu dan muncul pada tiap ras. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi antara populasi dan budaya yang disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor geografi atau perbedaaan lingkungan. Pada anak-anak, rinitis alergi lebih sering muncul pada laki-laki dibanding perempuan. tetapi pada usia dewasa dapat terjadi dengan angka prevalensi yang sama besar antara lelaki dan wanita. Onset sering terjadi pada masa anak-anak, usia remaja dan dewasa muda, dengan usia onset rata-rata 8-11 tahun. tetapi rinitis alergi dapat muncul pada usia berapa saja, dalam 80% rinitis alergi terjadi pada usia 20 tahun. prevalensi dari penyakit ini telah dilaporan sebanyak 40% pada anak-anak, dan menurun sesuai dengan usia.(8)
3.4. Morbiditas dan mortalitas
Walaupun rinitis alergi bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa, (kecuali diikuti oleh astma berat atau anafilaksis) morbiditas dari kondisi ini dapat signifikan. Rinitis alergi sering muncul bersama dengan asma dan dapat dikaitkan dengan eksersebasi asma, otitis media, disfungsi tuba eustachius, sinusitis, polip nasal, konjungtivitis alergi, dan dermatitis alergi. dapat pula menyebabkan kesulitan belajar, gangguan tidur, dan kelelahan. Rinitis alergi dapat menyebabkan gangguan kehidupan sehari-hari sehingga terjadi penurunan kualitas hidup. Gejala seperti kelelahan dan mengantuk akibat pengobatan menyebabkan gangguan pada pekerjaan dan sekolah bahkan kecelakaan lalu lintas.(8)
3.5. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksialergi alergi teriri dari 2 fase yaitu alergi fase cepat (rafs) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 setelahnya dan late phase allergicreaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipr-raktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Gambar 5. Patofisiologi rinitis alergi (paparan pertama pada alergen)
Gambar diatas menunjukkan paparan terhadap antigen. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel Thelper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (lL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti lL 3, lL 4, lL 5 dan lL 13. lL 4 dan lL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (lgE).
lgE di sirkulasi darah akan masuk kejaringan dan diikat oleh reseptor lg E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai lgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mdiators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 9LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (lL3, lL4, lL6, lL6, (PAF) dan berbagai sitokin. (lL3, lL4, lL5, lL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Fakor) dll. Inilah yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar klukosa dan sel goblekmengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah gidung tersumbat akibat vasodilatasi sinosoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga mengakibatkan rangsangan pada klukosa hidung sehingga teri pengeluaran Inter Celluler Adhesion Molecule 1 (lCAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul komotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperrresponsif hidung akibat peranan eosinofil dan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosiniphilic derived protein (EDP), Major Basic
Protein (MPB) dan Eosinophilic peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain factor spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Gambar 6. Patofisiologi rinitis alergi ( early and late phase reaction )
3.6. Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, seta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan komestik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tuuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respons PrimerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons SekunderReaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistim imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistim imunologik, maka berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons TertierReaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.
3.7. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifikm, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinisis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen inhalan utama aladalah alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alerg yang lain, seperti urtikaria gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdsarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atatu kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi dua:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
3.8. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan : 3.8.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seirng kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari Anamnesis saja.(1) Anamnesis secara detail perlu dilakukan untuk mengevaluasi rhinitis alergi terutama mengenai sifat, durasi, dan waktu dari
gejala; kemungkinan pencetus atau trigger , respon dari obat-obatan, gejala penyerta; riwayat keluarga tentang penyakit alergi; paparan dari lingkungan, tempat kerja; serta efek terhadap kualitas hidup pasien.(2) Anamnesis secara menyeluruh dapat menolong dalam mengidentifikasi pencetus yang spesifik dari rhinitis.
Gejala yang berhubungan dengan rhinitis alergi antaralain bersin berulang, sumbatan hidung, rasa gatal (pada hidung, mata, telinga, langit-langit mulut), rinorea (hidung berair), gangguan penciuman, sakit kepala, nyeri pada telinga, mata berair, mata merah, bengkak pada mata, rasa lelah atau lemas, tidak enak badan serta mengantuk.(3) Menentukan umur saat onset gejala dan apakah gejala tersebut berlangsung terus menerus sejak onset tersebut perlu dilakukan dimana onset dari rinitis alergi dapat juga terjadi pada masa dewasa, dan gejala sebagian besar pasien terjadi pada umur 20 tahun.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning prosess) bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. (1)
Tentukan pola waktu dari gejala dan apakah gejala tersebut terjadi secara konsisten dalam waktu tahunan (seperti rinitis perennial), hanya terjadi pada saat waktu atau musim tertentu (rhinitis musiman), atau kombinasi dari keduanya. Selama periode eksaserbasi, tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara harian atau secara episodic. Tentuka juga apakah gejala berlangsung sepanjang hari atau hanya di waktu tertentu dalam satu hari. Informasi ini dapat menolong dalam menegakan diagnosis dan mentukan kemungkinan pencetus.
Tentukan juga sistem organ yang dipengaruhi serta gejala spesifiknya. Beberapa pasien mempunyai keterlibatan pada hidung, dan sebagian yang lain mempunyai keterlibatan dari berbagai organ. Beberapa pasien umumnya mempunyai keluhan bersin-bersin, gatal, mata berair, dan hidung berair , dan yang lain mungkin hanya mengeluh hidung tersumbat. Keluhan hidung tersumbat yang signifikan, khususnya bila unilateral, kemungkinan mengarah ke obstruksi struktural seperti polip, benda asing, atau deviasi septum.
Tentukan apakah gejala berhubungan degnan faktor pencetus tertentu yang spesifik seperti terpapar serbuk bunga di ruang terbuka, spora jamur saat melakuanpekerjaan taman, binatang tertentu, atau debu sewatu membersihkan rumah. Pencetus iritan seperti asap, polusi, dan bau yang kuat dapat memperburuk gejala pasien dengan rhinitis alergi. Hal tersebut juga merupakan pencetus dari rhinitis vasomotor. Banyak pasien mempunyai kedua rhinitis alergi dan rinitis vasomotor. Pasien lain mengkin menggambarkan gejala sepanjang tahun yang tidak terlihat berhubungan dengan pencetus spesifik. Hal tersebut dapat saja rhinitis nonalergi, tetapi alergen yang sepanjang tahun, seperti debu tungau atau pajanan binatang harus dianggap pencetus pada situasi ini.
Pasien dengan rhinitis alergi mungkin mempunyai kondisi atopi lain seperti asma(5,6) atau dermatitis atopi.(7) Pasien dengan riwayat dermatitis atomi mempunyai 70% peluang untuk mempunyai rhinitis alergi, asma, atau keduanya. Pasien dengan riwayat asma juga mempunyai insidensi yang tinggi untuk memiliki rhinitis alergi. Pada 20 % pasien rhinitis alergi juga mempunyai gejala asma dan rinitis alergi yang tidak terkontrol akan memperburuk asma(8) atau bahkan dermatitis alergi.(7) Dicari juga kondisi yang mungkin terjadi akibat dari komplikasi rinitis alergi. Sinusitis terjadi cukup sering. Kemungkinan komplikasi yang lain termasuk otitis media, gangguan tidur atau sleep apnea, masalah gigi, dan abnormalitas langi-langit
mulut. Rencana pengobatan mungkin dibedakan bila satu dari komplikasi tersebut terjadi. Polip nasi dapat terjadi berhubungan dengan rhinitis alergi, walaupun apakah rhinitis alergi secara nyata penyebab dari polip nasi masih belum jelas. Polip mungkin tidak respon terhadap pengoobatan medis dan mungkin juga predisposisi terhadap sinusitis atau gangguan tidur(karena sumbatannya).
Oleh karena rhinitis alergi mempunyasi komponen genetik yang signifikan, riwayat atopi dalam keluarga yang positif membuat diagnosis lebih mungkin. Faktanya, semakin besar nya resiko rhinitis alergi dapat terjadi bila kedua orang tua mempunyai atopi dibandingkan salah seorang dari orang tua. Bila seorang anak mempunyai seorang dari orangtuanya yang memiliki alergi, peluang untuk mendapatkan rhinitis alergi sekitar 30%. Hal ini meningkat sampai 50-70% bila kedua orangtuanya mempunyai alergi atau asma. Bagaimanapun, penyebab rhinitis alergi merupakan multifaktorial, dan seorang yang tidak mempunyai riwayat rhinitis alergi dalam keluarga, dapat mempunyai rhinitis alergi.
Riwayat lengkap dari lingkungan pasien sangat penting dan dapat menolong dalam mengidentifikasi pencetus spesifik alergi. Hal ini termasuk investigasi faktor resiko untuk menunjukan alergen tahunan seperti tungau, spora, hewan peliharaan. Faktor beresiko pada tungau umumnya ada pada karpet berbulu, area suhu panas, dan lembab, serta tempat tidur yang tidak memiliki pelindung terhadap tungau. Kelembaban yang kronis pada rumah merupakan pembentukan dari munculnya faktor resiko munculnya spora jamur. Riwayat hobi dan aktivitas rekreasi membantu kita untuk memnentukan resiko dan pola waktu paparan dari serbuk sari. Selain itu tanyakan mengenai lingkungan kerja dan sekolah termasuk paparan terhadap alergen tahunan (tungau, spora, bulu hewan) allergen dalam pekerjaan yang
khusus seperti hewan laboratorium, produk hewani, serbuk kayu,material organic, karet, ataupun enzim/ bahan kimia).
Respon terhadap pengobatan seperti antihistamin mendukung diagnosis rinitis alergi, walaupun bersin-bersin, rasa gatal, dan rinorea berhubungan dengan rhinitis nonalergi yang juga membaik dengan antihistamin.(4) Respon terhadap kortikosteroid intranasal mendukung rhinitis alergi, walau beberapa kasus rhinitis non alergi juga (khususnya rhinitis nonalergi dengan sindrom eusinofil [NARES]) membaik dengan steroid hidung.
3.8.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan menyeluruh dilakukan untuk menemukan penyakit lain yang mungkin ada seperti asma, eksim, dan cystic fibrosis, yang seringkali muncul sehubungan dengan rhinitis alergi. Evaluasi melingkupi kepala, mata, telinga, hidung dan kerongkongan. Pada saat pemeriksaan, perhatikan gejala-gejala berikut :
1. Kepala
Allergic shiners adalah lingkaran hitam, bengkak sekitar mata (kelopak bawah mata) dan dihubungkan dengan vasodilatasi atau kongesti hidung.“Nasal Crease” yaitu lipatan horizontal atau garis melintang yang melewati dari dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebabkan oleh garukan berulang kea rah atas pada puncak hidung dengan menggunakan punggung tangan “Allergic salute”. Morgan-Dennie lines, garis dibawah kelopak mata, mungkin dapat terlihat.
2. Mata
Tentukan apakah ada eritema dan edema pada konjungtiva palpebra dan hipertrofi papil dari konjungtiva tarsal. Kemosis pada konjungtiva mungkin
terjadi. Pasien biasanya mengalami mata berair. Katarak dapat terjadi akibat menggaruk mata yang gatal.
3. Telinga
Membran timpani harus diperiksa untuk menilai adanya infeksi kronis atau efusi telinga tengah. Peran dari allergic rhinitis dalam media otitis kronis tidak jelas, tetapi penurunan jumlah infeksi telah dicatat pada anak-anak dengan rhinitis alergi yang mengikuti terapi.
4. Hidung
Pemeriksaan hidung sering menolong dalam menegakan diagnosis. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Lakukan penilaian terhadap karakter dan banyaknya lendir hidung. Ingus biasanya cair bening atau putih dan sedikit, jarang bewarna kuning atau hijau. Bila didapati ingus yang berwarna, kental, dan banyak, diagnosis infeksi virus atau sinusitis dipertimbangkan. Darah kering umumnya ditemukan sebagai trauma sekunder akibat dari menggosok hidung. Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum atau perforasi septum yang mungkin dapat disebabkan oleh rhinitis kronik, penyakit granulamatosis, pecandu kokain, penggunaobat dekongestan berlebih, akibat operasi sebelumnya. Periksa rongga hidung untuk melihat adanya masa seperti polip dan tumor. Polip jarang ditemukan pada anak-anak.
Pemeriksaan pada pertumbuhan gigi dapat informatif. Perubahan warna pada gigi seri dan lengkungan pada langit-langit mulut tinggi berhubungan dengan pernafasan mulut yang lama. Serta maloklusi sering berhubungan dengan pernafasan melalui mulut yang kronis. Permukaan berbenjol-benjol atau granuler dan edema (cobblestone appearance), pada faring posterior juga merupakan tanda dari hipertrofi folikular dari mukosa jaringan limfoid akibat dari kongesti hidung yang kronik. Dinding leteral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). Tentukan ukuran tonsil, yang mungkin dapat meberikan petunjuk ukuran dari adenoid. Adenoid yang besar dapat menimbulkan gejala dan tanda rhinitis alergi. Sumbatan hidung yang kronis akibat hipertrofi adenoid sering ditemukan pada anak-anak dengan otitis media dan sinusitis berulang.
6. Leher
Tentukan apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening atau pembesaran tiroid.
7. Paru – paru
Dicari apakah terdapat tanda-tanda dari asma.
8. Kulit
Dievaluasi apakah terdapat tanda dermatitis atopi
3.8.3. Pemeriksaan penunjang
Tes Alergi
Tes ini dilakukan untuk menegakkan bukti secara objektif akan adanya penyakit atopi. Ia juga dapat menentukan agen penyebab reaksi alergi
tersebut, yang akan dapat membantu dalam penanganan secara spesifik. Terdapat dua tipe pemeriksaan yang sering digunakan bagi menilai secara kausatif maupun kuantitatif sensitifitas suatu alergen: tes kulit dan esai serum in vitro (in vitro serum assay).
1. Tes Kulit
dapat dilakukan secara epikutan, intradermal atau kombinasi keduanya. a. Tes cukit kulit merupakan tes kulit secara epikutan yang paling
sering digunakan. Secara umumnya tes ini tergolong cepat, spesifik, aman dan ekonomis. Dengan adanya sistem tes multipel yang tersedia, tes ini mudah dilaksanakan dan prosedurnya selalu tidak pernah berubah. Namun bila hasil tes ini diragukan, selanjutnya dilakukan tes secara intradermal.
b. Tes cukit kulit secara intradermal menggunakan pengenceran berseri yang kuantitatif 1:5 merupakan tes pilihan bagi kebanyakan ahli spesialis THT setelah dilakukan tes cukit kulit secara epikutan. Tipe tes yang dikenal sebagai intradermal dilutional testing (IDT), dulunya dikenal sebagai serial endpoint titration (SET) ini sangat berguna dalam menentukan tahap sensitifitas alergen, dan dalam rangka itu, amat bermanfaat dalam penentuan terapi imunal yang tepat dan aman bagi penderita rhinitis alergi.
Tes ini melibatkan IgE serum yang spesifik dengan alergen dan merupakan teknik yang mudah dikerjakan serta akurat dalam mendeteksi adanya pengaruh atopi pada pasien dengan rhinitis alergi. Teknologi in vitro juga sudah sangat dikembangkan sedemikian rupa sehingga efektifitasnya sudah kurang lebih sama dengan tes cukit kulit. Tes ini aman, murah dan cukup spesifik sehingga penderita tidak perlu bebas dari pengaruh antihistamin atau obat-obat lain pada saat pada saat pemeriksaan dijalankan, yang kalau pada tes cukit kulit, dapat mengganggu penilaian. Tes ini juga sangat mudah dan cepat dikerjakan sehingga menjadi pilihan dalam menangani pasien anak-anak maupun dewasa yang disertai gangguan anxietas. Walaupun tes in vitro yang pertama yaitu radioallergosorbent test (RAST) sudah tidak dikerjakan lagi, terminologi RAST ini masih digunakan secara umum dalam menjelaskan pemeriksaan IgE spesifik darah. Saat ini, sudah banyak tipe esai in vitro yang ditinggalkan, karena peralihan ke tipe baru yang lebih cepat, dapat diandalkan dan lebih efisien contohnya ImmunoCap. Dengan tidak menggunakan tes yang dapat diandalkan, dapat berakibat buruk kepada diagnosis atopi yang seterusnya membawa kepada penanganan yang tidak adekuat. Dibawah merupakan bagan pelaksanaan tes in vitro:
Gambar 7. Proses tes invitro
3.9. Terapi
Dalam menangani rinitis alergi perlu dipertimbangkan gejala utama, derajat penyakitnya, kualitas hidup penderita, perbelanjaan yang digunakan selama terapi serta alergen yang terlibat agar tiap terapi yang dipilih bertepatan dengan tiap individu yang menderita rinitis alergi.
Secara umumnya yang dipilih sebagai terapi terbagi kepada tiga kategori besar yaitu menghindari kontak dengan alergen dan pengelolaan lingkungan, farmakoterapi dan imunoterapi.
1. Pengelolaan Lingkungan
Mengurangi semaksimalnya kontak dengan alergen dapat menurunkan kadar kambuhnya gejala rinitis alergi secara signifikan. Bagi penderita yang alergi terhadap tepungsari (pollen), dapat dianjurkan mengurangi kegiatan di luar rumah selama musim yang bersangkutan, menutup celah yang membolehkan udara luar masuk ke dalam rumah atau mobil serta menggunakan pendingin udara. Pengendalian debu
rumah, jamur dan bulu binatang, yang berikut dapat dilakukan: (1) mengurangi tahap kelembapan rumah sehingga dibawah paras 50%; (2) mencuci pakaian terutama alas kasur dengan air hangat; (3) jauhkan karpet dan binatang piaraan dari ruang yang sering digunakan penderita; (4) menggunakan bahan yang hipoalergenik; dan (5) bagi penderita yang tinggal di daerah padat dan kotor, sedapatnya membasmi kecoa.
Gambar 8. Pengelolaan lingkungan terhadap alergen
2. Farmakoterapi
Saat memilih terapi yang cocok bagi rinitis alergi, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat pengobatan yang sebelumnya.
a. Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1 justru menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh karena obat ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak dianjurkan untuk mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit karena hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin tidak akan berpengaruh pada hasil tes.
Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore dan pruritus namun kurang berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal congestion/blockers). Antihistamin generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan penderita, kadang dapat mengakibatkan kecelakaan saat menyetir atau di tempat kerja. Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan mulut kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin. Dua obat terakhir yang disebutkan sebelumnya banyak ditemukan dalam preparat obat flu di warung.
Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1 sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik. Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak menimbulkan efek penggunaan jangka panjang contohnya loratadin dan levosetirisin.
b. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap tingkat gejala rinitis alergi. Keberkesanan maksimal timbul pada minggu pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan hidung yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti triamsinolon, budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal dengan hampir tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur termasuk anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi dengan instruksi pemakaian yang benar.
c. Kortikosteroid sistemik
Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya adalah melalui intramuskuler atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis secara tapering off diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru menurunkan gejala rinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka panjang dapat timbul efek samping yang serius seperti penekaan aksis HPA dan efek samping kortikosteroid sistemik lain yang lazim ditemukan.
d. Dekongestan
Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga
hidung berkurang namun obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti rinore, bersin dan pruritus. Obat ini banyak ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa resep namun pemakaian pada penderita dengan kelainan jantung dan hipertensi harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin dapat menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari (rinitis medikamentosa).
e. Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).
f. Kromolin intranasal
Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi penderita.
g. Inhibitor leukotrien
Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rinitis alergi namun masih jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan kortikosteroid intranasal.
Gambar 9. Farmakoterapi untuk rinitis alergi
3. Imunoterapi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) sebelum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti. Teori yang bersangkutan adalah wujudnya blok antibody (blocking antibody) dan regulasi kaskade imun yang memacu terjadinya reaksi alergi.
Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen secara subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual yang terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri oleh penderita di rumah.
Masih belum ada penelitian yang adekuat mengenai lama pelaksanaan imunoterapi ini namun pada kebanyakan penderita, cukup hanya dua hingga tiga tahun sebelum ambang batas terhadap alergen dapat ditingkatkan.
3.10. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: 1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan slah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3.Sinusitis paranasal.
3.11. Prognosis
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat
imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan baik. Rinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah
pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi akan menurun pada pasien bila mencapai umur 4 dekade.
BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan teori – teori di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa rinitis alergi terjadi akibat alergen yang masuk ke dalam tubuh manusia dan alergen tersebut menimbulkan reaksi antigen – antibodi. Beberapa alergen yang sering ditemukan adalah debu rumah tangga, bulu hewan, dsb. Untuk mendiagnosis rinitis alergi, harus dilakukan anamnesis secara tepat terhadap gejala – gejala yang ada pada rinitis alergi, serta dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Rinitis alergi disebabkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh manusia, sehingga pengobatan utama untuk rinitis alergi adalah pengelolaan lingkungan untuk menghindari paparan alergen. Pengobatan berikutnya dengan farmakoterapi, tetapi sampai saat ini pemberian obat – obatan hanya untuk menghilangkan gejala dari rinitis alergi saja
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.