4.6 Hasil Penelitian
4.6.4 Hasil Hipotesis 4
H4. Taktik pengaruh proaktif subjek dengan executive coaching pada tipe kepemimpinan transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional
Hasil pengujian hipotesis 4 melalui pengujian komparatif dengan Uji Independent Sample t-Test menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,000 dimana nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan transformasional dengan executive coaching secara statistik terbukti memiliki perbedaan dengan tipe kepemimpinan transaksional dengan executive coaching.
Tabel 4.28 Komparatif Efektivitas Executive Coaching padaTipe Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional
Tipe Kepemimpinan Sebelum Executive Coaching Sesudah Exceutive Coaching Transformasional 72,39 79,95 Transaksional 61,30 69,88
Pada analisis deskriptif diperoleh nilai rerata untuk kepemimpinan transformasional dengan executive coaching sebesar 79,95 dan kepemimpinan transaksional dengan executive coaching sebesar 69,88.
100
Dengan demikian, hal ini berarti bahwa executive coaching lebih efektif bila diberikan pada tipe kepemimpinan transformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan transaksional.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 4 didukung oleh bukti empiris dalam penelitian ini. Coachee yang mendapat coaching dengan tipe kepemimpinan transformasional, memiliki pengaruh lebih baik terhadap strategi taktik pengaruh proaktif dibanding dengan mendapatkan coaching dengan tipe kepemimpinan transaksional. Temuan penelitian menunjukkan coachee yang diberikan coaching dengan pemimpin transformasional mengalami perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan baik, nampak melakukan bentuk konsultasi secara intensif dengan pimpinan untuk mendapatkan solusi.
Coaching bagaikan jembatan yang menghubungkan antara bawahan dan atasan sehingga keduanya saling percaya, saling memiliki keterikatan, mengantar pada satu tujuan. Coachee benar-benar menunjukkan proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan komitmen yang diungkapkan benar-benar dilakukan. Subjek diberikan virtual coaching dengan metode coaching pemimpin transformasional dengan menggunakan kata-kata proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki kesan positif terhadap subjek tersebut, kondisi ini menyebabkan proses coaching berjalan dengan baik yaitu mendapatkan komitmen dari para coachee. Dalam proses ini, terdapat sebuah perubahan dari see (paradigm) yaitu para coachee melihat dan merasakan atas komunikasi yang diberikan oleh pimpinan, membuat coachee mengubah peta pikiran terhadap pimpinan maupun pekerjaannya. Perubahan peta pikir itulah membuat coachee do (behavior) melakukan suatu tindakan atau perilaku berdasarkan peta pikir yang baru. Perilaku yang baru yaitu menggunakan model konsultatif untuk mencapai tujuan, sehingga memasuki tahap get (result), yaitu hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Para coachee menjawab dengan semangat, hal tersebut terbukti dalam jangka waktu menjawab memiliki jeda yang pendek. Setelah menerima email
101 segera merespon dengan kalimat yang menunjukkan antusias terhadap proses coaching tersebut, misalnya “menghadapi tantangan dan target kita tahun ini
cukup besar, menurut pendapat saya yang harus dilakukan adalah kerjasama yang baik dan bersinergi antar divisi.” Coachee merespon dengan cepat dan bahkan memberikan bukti-bukti hasil pelaksanaan dari rencana atau komitmen sebelumnya. Para coachee, merasakan bahwa melalui virtual executive coaching terjadi efisiensi waktu, tempat, dan biaya. Selain itu, coachee merasakan adanya perubahan perilaku yaitu ketika melakukan keputusan yang berkaitan dengan strategi taktik pengaruh proaktif dari menggunakan argumen logis dan bukti faktual yang menunjukkan bahwa permintaan layak dan relevan untuk kepentingan dalam mencapai tujuan (rational persuasion) bergeser ke consultation, yaitu meminta orang untuk memberi saran perbaikan atau membantu merencanakan kegiatan atau perubahan yang diajukan untuk mendukung tujuan yang diinginkan.
Hal ini menunjukkan bahwa executive coaching dengan kepemimpinan transformasional membuka peluang keterbukaan antara pemimpin dengan bawahannya. Keterbukaan ini membawa dampak hubungan antara pemimpin dan bawahan lebih harmonis sehingga meminimalkan pemimpin terlambat mendapatkan informasi dan bahkan pemimpin mampu melakukan tracking terhadap proses performance anak buahnya. Dalam hal ini, trust menjadi sesuatu yang vital dalam proses coaching. Coachee memiliki trust kepada coach, karena ada dua elemen yang penting yaitu kompetensi dan karakter. Seseorang dianggap memiliki kompetensi karena di dalam dirinya terdapat kemampuan (kapasitas) dalam bidang yang saat ini dikerjakan, dan terdapat result (track record), yaitu hasil yang pernah didapatkan. Sedangkan elemen yang kedua yaitu karakter, orang yang memiliki karakter adalah orang yang memiliki intergritas, yaitu keselarasan dalam nilai, keyakinan, dan perilaku, misalnya kejujuran, rendah hati dan keberanian. Setiap orang yang memiliki integritas harus dibarengi dengan Intens (maksud) yang baik dari setiap perilakunya, yaitu memerhatikan dan memedulikan orang lain dengan tulus. Sikap empati itu
102
berdasarkan alasan mendasar dan agenda yang jelas dalam rangka mencari keuntungan bersama, serta bertindak untuk kepentingan orang lain.
Tipe kepemimpinan transformasional dalam proses executive coaching membangun trust secara terus menerus dalam hubungan coach dan coachee. Menjadi layak dipercaya bermula dari seorang pemimpin. Kepercayaan bergerak dari dalam keluar, bukan dari luar ke dalam. Pemimpin mungkin merasa organisasinya layak dipercaya atau tidak, berada di luar kendali pemimpin. Tetapi, sesungguhnya, hal itu bukanlah di luar pengaruh seperti tetesan air yang jatuh ke dalam kolam, layak atau tidaknya pemimpin dipercaya memberi dampak kepada seluruh hubungan, tim, organisasi, kepada pasar, dan bahkan pada masyarakat. Sebagai pemimpin yang layak dipercaya, mampu menghasilkan lima gelombang kepercayaan, yaitu 1) Self Trust. Pemimpin yang layak dipercaya memiliki kredibilitas pribadi. 2) Relationship Trust. Pemimpin yang layak dipercaya tahu bagaimana membangun, memberikan dan memulihkan kepercayaan kepada pihak lain. 3) Organizational trust. Pemimpin yang layak dipercaya membangun tim dan organisasi yang dapat dipercaya. 4) Market Trust. Pemimpin yang layak dipercaya membangun merek yang memiliki reputasi baik di pasar. 5) Societal Trust. Pemimpin yang layak dipercaya menciptakan kontribusi yang bermakna bagi lingkungan. Ungkapan Bhagavad Gita, untuk memercayai hidup, Anda harus memercayai orang lain; agar dapat memercayai orang lain, Anda harus memercayai diri sendiri terlebih dahulu.
Kondisi sebaliknya terjadi pada executive coaching dengan tipe kepemimpinan transaksional, temuan penelitian menunjukkan bahwa coachee mengalami tekanan dikarenakan proses coaching selalu menekankan hasil yaitu delivery order ataupun surat pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah dengan tulisan yang menggunakan huruf kapital. Coachee merasa coach tidak sopan, sedang dalam kondisi marah, sehingga coachee menganggap coaching ini hanyalah sebagai reminder atau pengingat bahwa coachee memiliki target. Selain hal itu coachee merasakan tidak adanya perubahan perilaku yaitu ketika melakukan keputusan yang berkaitan dengan
103 strategi taktik pengaruh proaktif dari menggunakan argumen logis dan bukti faktual yang menunjukkan bahwa permintaan layak dan relevan untuk kepentingan dalam mencapai tujuan (rational persuasion). Bahkan dalam penilaian coachee terhadap consultation, yaitu meminta orang untuk memberi saran perbaikan atau membantu merencanakan kegiatan atau perubahan yang diajukan untuk mendukung tujuan yang diinginkan menjadi minus (-). Hal ini dapat disimpulkan bahwa coachee mengalami penurunan kepercayaan kepada coach atau atasannya yang menggunakan tipe kepemimpinan transaksional. Dapat diibaratkan bahwa kepercayaan adalah pelumas yang memungkinkan organisasi berjalan, sehingga jika dalam organisasi tidak ada pelumas, maka hubungan satu dengan yang lain tidak akan terjadi hubungan yang harmonis. Bagaikan masyarakat yang dikenai pajak, namun tidak tahu pajak itu digunakan untuk apa. Hubungan pimpinan dan bawahan terjadi hanya karena jabatan, bukan karena saling percaya tetapi saling mencurigai.