• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERMINOLOGI DEMOKRASI DALAM PEMILUKADA MENURUT

TERMINOLOGI DEMOKRASI DALAM PEMILUKADA MENURUT PASAL 18 AYAT (4) 1945

A. Multitafsir Makna Hukum Frasa “dipilih secara demokratis”90

Sebagai formalitas politik, pemilu hanya dijadikan alat legilasi pemerintahan nondemokratis. Pemilunya sendiri dijalankan secara tidak demokratis. Kemenangan satu kontestan lebih merupakan hasil rekayasa kekuasaan ketimbang hasil pilihan politik rakyat. Pemenang pemilu terkadang sudah diketahui sebelum pemilunya sendiri berlangsung. Tentu saja, sistem politik yang menjalankannya sulit dikategorikan demokratis. Hampir semua sarjana politik sepakat bahwa pemilu merupakan satu kriteria penting untuk mengukur kadar demokrasi sebuah sistem politik.91 Kadar demokrasi sebuah pemerintahan dapat diukur, antara lain, dari ada atau tidaknya pemilu yang mengabsahkan pemerintahan itu.

Sebaliknya, sebagai alat demokrasi, pemilu dijalankan secara jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil. Pemerintahan yang menyelenggarakan pemilu bahkan kerap mesti menerima kenyataan bahwa pemilu yang mereka adakan justru menjatuhkan mereka dari kursi pemerintahan dan mamakzulkan kelompok politik lain yang dikehendaki rakyat. Dalam keadaan ini, pemilu benar-benar bisa menjadi alat ukur yang valid untuk menentukan kualitas demokrasi sebuah sistem politik.

90

Nur Rohim Yunus, Gagasan Pemilukada Serentak (Implikasinya Terhadap Pesta Demokrasi Yang Efektif Dan Efisien), (Jakarta: UIN FSH Press, 2014), h. 46

91

Evaluasi Pemilu Orde Baru, Cetakan Pertama (Bandung: Mizan, 1997), h. 14

Pengaitan pemilu dan demokrasi hanya mungkin dilakukan jika pemilu itu mencerminkan kebebasan politik rakyat dan menghasilkan sirkulasi kekuasaan dalam sistem politik. Menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya sebagai wahana pembentuk representative government. Nilai demokratis sebuah pemilu terutama dinilai dari tingkat kompetisi yang berjalan didalamnya. Semakin kompetitif sebuah pemilu maka semakin demokratis pula pemilu itu.92

Hampir tidak ada sistem politik yang bersedia menerima cap tidak demokratis, maka hampir tak ada sistem poltik yang tidak menjalankan pemilu, kecuali sejumlah kecil saja seperti Brunei Darussalam dan sejumlah Negara monarki di Timur Tengah. Bahkan sistem politik-sitem politik komunis, sebelum mereka runtuhpun mengadakan pemilu, sekalipun lebih merupakan formalitas politik belaka.93

Perbedaan substansial antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya adalah kedudukan kepala daerah yang proses pemilihannya dilakukan secara demokratis. Dasar konstitusional, pemilihan tersebut merujuk pada hasil perubahan kedua UUD 1945 pasal 18 ayat (4) yang menyatakan: “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan walikota dipilih secara demokratis”

92

Evaluasi pemilu orde baru, h. 15

93

Undang-undang memandang bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara demokratis dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, pemilihan oleh DPRD. Kedua, pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pasal 62 undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DRP, DPD, dan DPRD tidak mencantumkan tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu makna demokratis lebih diartikan pemilihan yang dilakukan langsung oleh rakyat.

Pasca reformasi telah 2 (dua) undang-undang yang mengatur mengenai otonomi daerah khususnya berkenaan dengan pemilihan kepala daerah yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Apabila dicermati secara seksama terdapat dua problematika yang saling berhimpitan yakni terkait dengan aspek kapasitas dan aksestabilitas dari kepala daerah dari hasil pemilihan. Dalam berbagai dokumen ditegaskan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya dimaksudkan untuk menyelesaikan problematika tersebut.

Prinsip demokrasi yang terkandung dalam pasal 18 ayat (3) dan (4), menyangkut pemilhan anggota DPRD dan Kepala Daerah secara langsung,

dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan umum tidak hanya untuk memilih mewakili rakyat (DPR, DPD, DPRD), tetapi juga untuk kepala pemerintahan.94

Lahirnya kata demokratis dalam pasal 18 ayat (4) adalah ketika pada saat itu menjelang perubahan kedua tahun 2000. Setidak-tidaknya dikarenakan adanya dua pendapat yang berdebat mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan sepenuhnya mengikuti pada pemilihan presiden dan wakil presiden. dan satu lagi dilakukan secara tidak langsung.95

Pemilukada langsung telah menjadi bumerang melalui penafsiran seragam terhadap makna frasa “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan UU pemerintahan daerah. Ridwan Mukti juga menyebut pasal 18 ayat (4) UUD 1945 telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh UU No. 32 tahun 2004 sehingga konsekuensinya pilkada bermasalah, baik secara praktik ataupun perilaku, norma serta bentuk aturannya.96

Menurut Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin97 yang merupakan anggota MPR perumus amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) pada perubahan kedua tahun 2000. Mereka menyatakan bahwa

94

Tutik Triwulan Titik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, h. 90

95

Ibid, h. 98

96

Harian Kompas, 8 maret 2014, Pilkada Asimetris dan Tafsir Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945

97

perimbangan pembentuk Undang-undang sengaja menggunakan kalimat “dipilih secara demokratis” dalam pemilihan kepala daerah dikarenakan adanya dua pendapat yang berbeda, satu berpendapat menghendaki pemilihan kepala dawerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dan sepenuhnya mengikuti apa yang terjadi pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung.

B.Penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi

Tujuan dari pemilihan frasa “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah mencari jalan tengah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, yaitu secara demokratis.

Sedangkan menurut putusan sidang Mahkamah Konstitusi untuk putusan perkara gugatan judicial review UU No. 32 tahun 2004 terhadap UUD 1945 mengatakan:

Lahirnya kata demokratis yang dicantum dalam pasal 18 ayat (4) UUD RI tahun 1945 ketika itu menjelang perubahan kedua tahun 2000. Setidak-tidaknya dikarenakan adanya dua pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dan sepenuhnya mengikuti

apa yang terjadi pada pemilihan presiden dan wakil presiden sementara pendapat yang lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung.98

Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi mengatakan:

“Rumusan “dipilih secara demokratis” dalam ketentuan pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksudkan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945… Tetapi hal ini dapat diartikan bahwa pilkada secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis” yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD… namun kenyataannya dalam menjabarkan maksud “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 pembuatan undang-undang telah memilih cara pilkada secara langsung. Sebagai konsekuensinya asas-asas dan lembaga penyelenggara pemilu harus tercermin dalam penyelenggaraan pilkada.”99

Sesuai dengan konsideran penjelasan umum angka 2 pemerintah daerah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan:

“Pemilihan secara demokratis terhadap kepala daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susuan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

98

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 Pengujian UU Pemda Terhadap UUD 1945, h. 61

99

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 271

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, makan pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung.”

Menurut Taufiqurrahman Syahuri:100

“Rumusan “dipilih secara demokratis” dalam ketentuan pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pilkada di daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana di maksud pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Hal ini tidak dapat diatikan bahwa pilkada secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis” yang dimuat dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945.”

Untuk melaksanakan maksud dan tujuan pemilihan kepala daerah langsung sebagai sarana kedaulatan rakyat diwilayah daerah, maka berdasarkan Pasal 56 Ayat (1) UUD Pemda menyatakan: “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Penggunaan asas tersebut merupakan konsekuensi sebagai pelaksanaan pemilihan secara demokratis. Menurut Mahkamah Konstitusi: Dalam menjabarkan maksud “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pembuat undang-undang telah memilih cara pemilihan kepala daerah secara langsung. Maka sebagai konsekuensi logisnya,

100

asas penyelenggaraan pemilihan umum harus tercermin dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil).

Pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi instrumen demokrasi untuk menjaring kepemimpinan nasional tingkat daerah, walaupun belum dilaksanakan secara serentak seperti pemilihan umum legilatif atau pemilihan presiden dan wakil presiden sehingga mampu menjamin pelaksanaan pemilihan umum secara jujur dan adil.

Berkaitan dengan hal itu, dalam penyelenggaraan suatu pemilihan kepala daerah provinsi maupun kabupaten/kota diperlukan adanya suatu lembaga yang bersifat mandiri (independen). Pasal 57 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 dan pasal 4 Ayat (1) PP No. 6 Tahun 2005 menyebutkan “pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” Tugas KPUD dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah ini diatur dalam Pasal 1 Ayat (21) UU No. 32 Tahun 2004:

“komisi pemilihan umum daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU provinsi, kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah disetiap provinsi dan/atau kabupaten/kota.”

Sebagai lembaga independen KPUD harus bebas dari intervensi lembaga Negara manapun dalam menyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Ketentuan tersebut cukup logis mengingat bahwa amat sulit

mencapai tujuan tersebut apabila KPUD harus bertanggungjawab kepada lembaga lain misalnya DPRD. Sebab, DPRD merupakan unsur-unsur partai politik yang mana menjadi pelaku dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.

Pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (kedaulatan rakyat, transparan, dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan dalam demokratisasi lokal, yakni tidak sekadar ditribusi kekuasaan antar tingkat pemerintahan secara vertikal.

Terdapat pula tiga alasan penting pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu; pertama, akuntabilitas kepemimpinan kepala daerah; kedua, kualitas pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat; dan ketiga, sistem pertanggungjawaban yang tidak saja kepada DPRD atau pemerintah pusat, tetapi langsung kepada rakyat.

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan upaya untuk mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat yang diyakini justru kedaulatan hanya sepenuhnya dimiliki oleh lembaga-lembaga eksekutif maupun ditangan legislatif. Bahkan di era reformasi ini kedaulatan seolah-olah berada ditangan partai politik. Partai politik yang melalui fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, berwenang melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan Negara.

Menurut pandangan penulis sistem pemilu terbaik jika dilihat dari manfaat dan keefektifannya terhadap berjalannya demokrasi maka pemilihan kepala daerah secara langsung adalah opsi yang terbaik. Karena dari demokrasi secara langsunglah masyarakat belajar mengenai demokrasi serta dapat meningkatkan partisipasi langsung dalam masyarakat.

Setiap masyarakat mempunyai hak berpolitiknya masing-masing bisa jadi ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dalam pemilihan umum kepala daerah. Namun hak politik secara umum yang satu-satunya dimiliki oleh rakyat hanyalah memberikan suara pada saat pemilu berlangsung, karena sesudah melakukan hak politik tersebut semua hak politik yang dimiliki rakyat berpindah tangan kepada partai politik.

Demokratisasi itu tidak mudah, dan di dalam prosesnya akan selalu disertai oleh resiko gagal yang sulit dihindari betapapun menyatu, terampil dan beruntung usaha yang ditempuh demokratisasi.101 Ciri khas suatu demokrasi terlihat dalam: DPR, partai politik, pemilu dan lain. Memang pada akhirnya demokrasi tidak hanya tergantung pada ada atau tidaknya struktur yang mendukung, melainkan juga ditentukan oleh kepribadian aktor politik yang menjalankan mesin kekuasaan.

Antara pemilihan umum (pemilu) dan demokratisasi politik memiliki hubungan yang sangat erat. Pemilu merupakan suatu prosedur yang melaluinya para anggota masyarakat atau organisasi memilih orang

101

Rusli, M. karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), h. 24

untuk memegang suatu jabatan tertentu. Walaupun konsep tentang pemilu sangat ditentukan oleh sisitem politik masing-masing Negara, namun ide dasar pemilu adalah cara yang demokratis untuk memilih organ perwakilan rakyat, bahkan dalam suatu Negara yang tidak menjunjung demokrasi sekalipun.

Juan J Linz & Alfred Stepan dalam Problems of Democratic

Transition and Consolidation (1996) menggambarkan demokratisasi

sebagai proses dua tahap yaitu,102Tahap transisi dan konsolidasi.

Tahap pertama transisi adalah ketika sebuah rezim demokrasi memenuhi empat persyaratan berikut, yaitu 1) terdapat kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang demokratis; 2) pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu langsung; 3) pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya, 4) tak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tahap kedua, ketika demokrasi sudah terkonsolidasi, ditandai dengan tiga karakteristik berikut; 1) dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik yang berusaha menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau intervensi asing; 2) dalam hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini bahwa perubahan politik harus dilakukan dalam kerangka parameter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis ekonomi dan politik

102

Harian Kompas, Masdar Hilmy, Tidak Sekedar Pilih Langsung Atau Tidak Langsung, Kamis 16 Oktober 2014

yang parah sekalipun; 3) dalam hal konstitusi, semua kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sepakat bahwa konflik politik diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim demokrasi.

Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan kembali signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus dihapus dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen. Mekanisme pemilihan langsung jelas tidak bisa dipersalahkan atas sejumlah kekurangan yang ada, tetapi isunya adalah bagaimana agar segala bentuk kekurangan itu bisa ditekan dan dihilangkan.

Kenyataannya adalah bahwa demokrasi sedang mengalami titik kritis. Demokrasi mengalami kondisi darurat yang mana perlu adanya langkah-langkah tepat untuk menyelamatkannya, namun dengan cara menghentikan tindakan egois pipihak yang mencoba memangkas hak-hak dasar warga Negara.

Dalam konstitusi diatur kepala daerah dipilih secara demokratis. Istilah ini dalam UUD dibedakan dari istilah lain yang berlaku untuk rekrutmen Presiden, yakni dipilih secara langsung. Ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah melalui dipilih secara langsung telah memunculkan dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa dipilih secara demokratis tidak mesti berarti

dipilih secara langsung. Menurut kelompok pendapat ini, dipilih secara demokratis mencakup dua model, yakni dipilih melalui perwakilan, dan dipilih secara langsung.

Apa pun opsi yang diambil, menurut kelompok ini, kedua cara tersebut akan menghasilkan pemimpin daerah yang memiliki legitimasi yang sama. Pendapat kedua, walaupun berlandaskan pada pemahaman yang sama, menegaskan bahwa pemilihan secara langsung memiliki legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan melalui perwakilan. Dengan demikian, apabila UU sudah mengatur penerapan opsi tertinggi maka penerapan tersebut merupakan kemajuan optimal, dan oleh karena itu jangan dimundurkan kembali menjadi dipilih melalui perwakilan. Pilihan terhadap salah satu dari kedua pendapat tersebut yang akan menentukan: apakah rekrutmen kepala daerah termasuk rezim pemda atau rezim pemilu, atau rezim campuran.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri, dalam putusan No. 72-73/PUU-II/2004 dan putusan No.97/PUU-XI/2013, sudah menengaskan bahwa pemiihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung adalah konstitusional dan tetap demokratis sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini kata “dipilih secara demokratis” merupakan opened legal policy yang diartikan sebagai suatu kebijakan hukum yang terbuka bagi suatu peraturan.

Pada hakikatnya Pilkada langsung maupun tidak langsung tetap dinyatakan demokratis, sepanjang terwujudunya asas-asas demokratis

selama pilkada berlangsung. Pilkada langsung baik adanya, karena Pilkada langsung menjadi wadah aspirasi publik dan adanya keikutsertaan publik dalam mewakili kehendaknya dalam memilih pemimpin, yang merupakan hal yang baik dalam proses perwujudan demokrasi.

Namun pemilihan kepala daerah secara tidak langsung tidak dipersalahkan sepanjang mekanismenya dapat dikategorikan demokratis, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:103

a. Kepala daerah dapat dipilih melalui lembaga perwakilan rakyat daerah (DPRD). Hal demikian merupakan konsekwensi logis bahwa DPRD merupakan lembaga artikulasi kepentingan rakyat yang bertindak untuk menyambung kehendak rakyat dalam pelaksanaan pemerintahan, sekaligus lembaga atas pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan mekanisme saling kontrol dan imbang (cheks and balances), yaitu antara eksekutif dan legislatif.

b. Kepala daerah dapat dipilih oleh presiden. Dalam kandidat yang dianggap layak untuk ditetapkan sebagai kepala daerah, baik untuk provinsi, kabupaten maupun kota.

c. Kepala daerah (bupati dan walikota) dipilih oleh gubernur. Artinya gubernur memiliki otoritas untuk memilih para calon kepala daerah kabupaten/kota.

103

Nur Rohim Yunus, Gagasan Pemilukada Serentak (Implikasinya Terhadap Pesta Demokrasi yang Efektif dan Efisien) h. 48

Tidaklah menjadi hal yang salah jika pemilihan calon kepala daerah dipilih oleh DPRD, karena pada dasarnya DPRD dipilih oleh rakyat, keputusan yang dikeluarkannya merupakan perpanjangan tangan dari rakyat, dan memiliki legitimasi langsung dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan daerah.

Indikator proses demokratisasi sebagai multiplier effect dari pelaksanaannya dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain:104

Pertama, pilkada akan meningkatkan akuntabilitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebab kepala daerah merupakan hasil pilihan rakyat secara langung sehingga pertanggungjawaban terhadap rakyat lebih mengemuka.

Kedua, pilkada langsung oleh rakyat diharapkan mampu

menumbuhkan kedewasaan partai politik di tingkat lokal, sehingga mampu mengajukan calon kepala daerah yang kredibel, kapabel dan dapat diterima (acceptable).

Ketiga, pilkada langsung akan mendorong terciptanya checks and balances yang ideal antara DPRD dan kepala daerah.

C. Kriteria Pilkada Demokratis

Pemilihan kata “demokratis” dalam padal 18 ayat (4) UUD 1945 menjadi suatu pengharapan agar pemilukada berjalan secara demokratis.

104

Kata demokratis tidaklah hanya menyangkut tentang bagaimana suatu cara yang terbaik dalam melaksanakan pilkada, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi secara sederhana pilkada akan dapat dikategorikan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan.105

Tersedianya peraturan pilkada yang ideal dan demokratis. Setidaknya sekarang ini telah ada tiga peraturan yang mengatur mengenai pilkada, yaitu UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan Kepmendagri No. 9 Tahun 2005.106 Meskipun, ketiga peraturan ini oleh banyak kalangan masih belum dapat dianggap demokratis karena adanya pasal-pasal yang berbenturan dengan UUD 1945. Sehingga, banyak pihak yang telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar UU dan PP ini dibatalkan. Tetapi setidaknya UU dan PP ini telah menjadi jalan baru bagi demokratisasi dalam pilkada yang berlangsung.

Tersedianya struktur dan infrastruktur pilkada juga menjadi syarat terbangunnya pilkada yang demokratis. Struktur disini berkaitan dengan tingginya tingkat kompetensi KPUD dalam menjalankan imperatif regulasi pilkada dan perlu adanya komitmen KPUD tidak mudah untuk diintervensi oleh kekuatan kekuasaan dan uang. Dengan cara yang seperti ini diharapkan KPUD dapat mendesain pelaksanaan Pilkada secara adil dan demokratis. 105 ensiklopedi pemilu, h. 201 106 Ibid, h. 90

Antuasiasme publik yang cukup besar terhadap pemilukada menjadi hal penting dalam pemilukada karena menjadi acuan pengukuran derajat tingkat demokratis dalam pilkada mendatang. Artinya adalah, jika antusiasme masyarakat semakin besar untuk berpartisipasi dalam pemilukada, maka makin besar pula kualitas suatu pemilkada tersebut. Namun apabila antusiasme masyarakat terhadap pemilukada merosot, maka semakin turun pula nilai suatu kedemokratisan pilkada yang berlangsung.

Antusiasme masyarakat ini sendiri akan tumbuh dengan baik, jika masyarakat merasakan langsung penting dan manfaat pilkada bagi perubahan tradisi politik di daerah. Namun sebaliknya, jika masyarakat tidak dapat merasakan manfaat dari arti pentingnya pilkada ini, maka pilkada patut diragukan eksistensinya.107 Menjadi tugas partai politik, LSM, pers dan aneka kelompok kepentingan masyarakat untuk memberikan pemahaman mengenai pentingnya pilkada bagi masyarakat.

Terjaminnya keamanan masyarakat, menjadi tugas polri dan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menjamin lahirnya situasi sosial dan politik di daerah yang aman, tertib dan terkendali. Ini dimaksudkan untuk mendorong sikap rasa aman bagi masyarakat berpartisipasi dalam semua

107

tahapan pilkada sejak dari awal pendaftaran hingga pemungutan suara dan penetapan hasil pilkada.108

Karena jika keamanan dan ketentraman masyarakat tidak terjamin, maka akan dapat dipastikan partisipasi masyarakat dalam pilkada akan rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa kekhawatiran dan ketakutan akan munculnya aneka kerusuhan dan kekerasan sosial, akibat situasi politik menjelang pilkada. Oleh karena itu adalah tugas kepolisian RI melalui kepolisan daerah untuk bersama-sama menjaga ketertiban dan keamanan dalam keberlangsungan pilkada.109

Dokumen terkait