• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tim Survei Etnohistori

Dalam dokumen LAPORAN PENELITIAN ILMIAH ARKEOLOGIS DAN (Halaman 53-65)

1. Makam Abu Hasan Al Basri

Makam Abu Hasan Basri terletak di Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Makam ini dikeramatkan oleh masyarakat sekitar karena dianggap sebagai salah satu wali yang menyebarkan agama islam di daerah tersebut. Saat ini makam tersebut telah mengalami renovasi. Menurut narasumber renovasi dilakukan sekitar tahun 2007 yaitu dengan menambahkan bangunan pada makam utama. Di komplek makam tersebut terdapat tiga bangunan yaitu bangunan utama yang terdapat nisan Wali Abu Hasan Basri serta dua bangunan tempat tinggal juru kunci dan tempat menginap bagi para peziarah. Pada bangunan utama terdapat dua makam yaitu makam Wali Abu Hasan dan isterinya bersandingan. Pada sisi bagian utara bangunan terdapat dua sumur yang dikeramatkan.

Menurut narasumber, Wali Abu Hasan Basri merupakan wali yang menyebarkan agama islam ke arah timur. Abu Hasan Basri merupakan wali yang berasal dari Cirebon. Pada mulanya Wali Abu Hasan Basri menuntut ilmu ke Mesir yang kemudian kembali ke Indonesia. Ilmu agama yang di dapat dari Mesir kemudian disebarluaskan ke arah timur. Cerita yang berkembang di masyarakat menceritakan bahwasanya di sekitar makam tersebut terdapat aliran sungai yangkerap meluap pada saat musim penghujan. Luapan air sungai tersebut mengakibatkan banjir di sekitarnya namun makam Wali Abu Hasan Basri tidak pernah tergenang oleh banjir tersebut. Cerita lainnya yang dipercaya oleh masyarakat sekitar yaitu adanya dua buah sumur yang dikeramatkan. Jika para peziarah mengambil air sumur tersebut untuk diminum maka air yang diambil tersebut tidak akan habis.

Para peziarah yang datang ke makam Wali Abu Hasan Basri menyakini bahwa beliau merupakan seorang wali dengan tujuan mulia yaitu utuk menyebarkan agama islam di derahnya. Oleh karena itu para peziarah yang datang dari bebabagai daerah berkunjung untuk sekedar mendoakan maupun dengan berbagai motif dan tujuan yang lainnya.

Foto 40. Makam Abu Hasan Al Basri Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

2. Gunung Tugu

Gunung Tugu merupakan salah satu perbukitan yang masih berada di kawasan Alas Purwo. Terletak di selatan Desa Kutorejo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Kondisi alam Gunung Tugu tidak jauh berbeda dengan Alas Purwo bagian dalam yang berupa hutan bambu, maupun berbagai jenis tanaman lainnya. Penamaan Gunung Tugu sendiri diambil dari adanya bangunan yang mirip tugu di puncak bukit tersebut. Area ini dialiri oleh aliran sungai sebagai sumber mata air di kawasan tesebut. Saat musim penghujan aliran sungai tersebut mempunyai ketersediaan air yang cukup melimpah namun sebaliknya jika musim kemarau datang sungai tersebut akan kering. Sepanjang alaian sungai tersebut akan dijumpai 2 buah mberik. Mberik merupakan batu karang yang saling bertabrakan sehingga membentuk sebuah lorong. Mberik ini digunakan oleh para peziarah untuk beristirahat karena perjalanan menuju Puncak Tugu sekitar 8 jam. Saat ini kondisi tanah di mberik tersebut mengalami pendangakalan karena proses sedimentasi aliaran sungai.

Dari informasi yang didapat di Gunung Tugu sendiri terdapat 3 tempat yang digunakan untuk ritual oleh para peziarah. Ketiga tempat itu diantaranya Goa Trisula, Goa Putri, dan Puncak Tugu. Goa Trisula berada di bagian paling bawah dari ketiga tempat ritual lainnya. Penamaan Goa Trisula sendiri berkaitan dengan adanya 2 tempat lainnya yaitu Goa Putri dan Puncak Tugu sehingga di namakan Goa Trisula. Goa Trisula ini lebih membentuk seperti ceruk karena tidak terlalu memiliki ruang atau lorong yang cukup dalam. Pada bagian tengah Goa Trislua terdapat

replika mahkota yang terbuat dari batu. Pembuatan replika ini berkaitan untuk menandakan pernah ditemukannya mahkota yang terbuat dari tembaga di Puncak Tugu. Goa ini menghadap barat dengan intensitas cahaya yang masuk ke goa relatif baik. Kondisi tata gunalahan disekitar berupa semak belukar dan ditumbuhi berbagai jenis vegetasi. Dari pengamatan yang dilakukan di lapangan tidak ditemukan adanya temuan permukaan yang berpotensi sebagai tinggalan arkeologis. Saat ini Goa Trisula lebih berfungsi sebagai tempat ritual.

Foto 41. Struktur Tugu di puncak dunung tugu Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

Puncak Tugu merupakan puncak dari Gunung Tugu sebagai tempat tujuan uatama bagi para peziarah. Di Puncak Tugu ini terdapat struktur bangunan yang menyerupai bangunan piramida. Saat ditemukan pertama kali struktur bangunan berserakan di sekitar dan sudah tidak membentuk bangunan apapun. Baru pada tahun 2014 Paguyuban Sastrohayuningratan membangunan struktur bangunan baru. Sebagian struktur bangunan asli digunakan untuk membangun bangunan baru tersebut. hal ini dapat dilihat pada bagian pondasi dan dinding sebelah timur yang srtuktur batunya berbeda dengan lainnya. Pada dinding sebelah utara terpahat tulisan dengan huruf jawa, namun telah mengalami keausan yang cukup tinggi sehingga sangat sulit terbaca. Selain itu menurut narasumber di pucak tugu ini pernah ditemukan mahkota yang terbuat dari temabaga. Namun sangat disayangkan temuan mahkota ini telah hilang dicuri oleh para pencari benda-benda kuno. Selain bangunan tugu yang digunakan untuk ritual terdapat pohon apik yang juga digunakan untuk ritual di Puncak Tugu tersebut. Puncak Tugu menjadi tempat tujuan utama selain adanya pohon apik dan bangunan tugu suasana sepi sangat mendukung bagi para peziarah untuk melakukan ritual.

Goa Putri menjadi salah satu tempat ritual lainnya disamping Puncak Tugu dan Goa Trisula. Penamaan Goa Putri sendiri diambil dari adanya batu besar yang berada disekitar goa tersebut yang menyerupai seorang manusia (perempuan). Goa Putri lebih menyerupai ceruk yang berada di tebing cukup tinggi. Pada sisi selatan Goa Putri terdapat ceruk lainnya. Namun dari pengamatan yang dilakukan di lapangan ceruk ini tidak menjadi tempat ritual. Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya sesaji yang digunakan untuk ritual. Namun pada bagian selatan ditemukan konsentrasi temuan permukaan berupa sisa-sisa kulit kemiri yang cukup padat.

Foto 42. Gunung Tugu

Dok. oleh Mathilda Chandra C.R.P., 2014

Terdapat setidaknya 3 tujuan peziarahan di Area Gunung Tugu; Goa Trisula, Gunung Tugu, dan Goa Putri. Peziarah Gunung Tugu, menurut narasumber khususnya adalah umat Hindu dari luar daerah Alas Purwo, umumnya berasal dari Bali. Peziarah ini kerap menghabiskan dana hingga berjuta-juta untuk melakukan peziarahan di Gunung Tugu Alas Purwo. Banten atau sesaji yang disiapkan juga beraneka rupa, juga dengan sari (kain) yang cukup mahal. Ritual yang dilakukan peziarah-peziarah, menurut narasumber yang kerap menjadi pemandu jalan mereka (yang juga beragama hindu) biasanya bukan berdasarkan hari tertentu. Peziarahan lebih bersifat personal, dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi baik merupakan ujub atau pun syukur. Menurut narasumber, rombongan peziarah ke Goa Putri berkisar 100-200 orang, sedangkan di Gunung Tugu berkisar puluhan orang.

a. Goa Trisula

Merupakan goa karst yang cukup luas. Pada sudut utara goa terdapat sebuah payung ritual, keranjang bunga dan kain putih yang disarungkan pada batu karst goa tersebut. Tidak jauh dari mulut goa, terdapat abu sisa pembakaran yang menggunung serta beberapa potongan botol bekas air mineral pengunjung. Beberapa puluh senti dari dinding goa juga ditemukan sisa-sisa dupa.

b. Gunung Tugu

Situs ini diketahui oleh narasumber lewat wangsit yang turun kepada beliau, namun ditemukan oleh orang lain. Menurut keterangan narasumber, begitu tugu tersebut ditemukan, seorang pengumpul/pengkoleksi/pencari barang antik mengutus beberapa orang untuk membongkarnya. Tujuannya ialah harta karun yang konon ada pada bangunan bangunan kuno. Setelah situs tersebut dirusak, sebuah paguyuban membangunnya kembali dengan balok-balok batu, untuk difungsikan kembali menjadi tempat peziarahan.

Tugu tersebut berbentuk prisma berpenampang ± 1 m x 1 m dan tinggi 124 cm dengan susunan persegi di bagian pucuknya diatas 2 tingkat susunan balok batu berbentuk segi empat. Struktur paling bawah berpenampang ± 4 m x 4 m dan tinggi 17 cm, dan struktur segi empat diatasnya berukuran 367 cm x 367 cm dan tinggi 59 cm. Tugu tersebut berada di pucuk sebuah bukit di dalam kawasan hutan konservasi Alas Purwo. Sekitar satu meter dari sisi selatan tugu, berkibar bendera Merah Putih yang dipasang pada tiang sederhana dari dahan/batang pohon.

Pada sisi timur halaman tugu, terdapat anak tangga dari batu alam (karst) yang dibentuk manusia, menurut narasumber anak tangga tersebut sejaman dengan pembuatan tugu yang menghubungkan halaman dengan tanah datar yang disana tumbuh pohon Apek. Pada batang pohon Apek tersebut dililitkan kain kuning dan digantungkan wadah bunga dari kayu (semacam keranjang) yang juga ada di Goa Trisula.

c. Goa Putri

Merupakan Goa karst, yang sangat besar. Dinamakan ‘Goa Putri’ karena dulu, terdapat

ornamen goa yang dengan alami berbentuk menyerupai seorang putri. Ornamen tersebut kini sudah tidak berada di goa. Menurut keterangan narasumber, ornamen tersebut dibawa oleh pengumpul barang antik yang sama dengan yang membongkar Tugu di Gunung Tugu. Pada salah satu ceruk, ditata dua buah payung berwarna kuning dan putih, kain putih, dan potongan botol mineral berisi pasir dengan sisa dupa masih menancap disana. Wadah untuk menancapkan dupa seperti tadi tidak

hanya di dekat payung, tapi juga ada di dekat mulut ceruk. Di dalam goa juga terdapat beberapa botol kaca bekas minuman berenergi yang telah dimodifikasi menjadi lampu minyak. Pada teras/ halaman goa terdapat 2 bangunan semi permanen terbuat dari bambu, yang menurut narasumber digunakan untuk menyinggahkan banten/sesaji.

Foto 43. Mulut Goa Putri Dok. oleh Oktavian A., 2014

Foto 44. Kondisi bagian dalam Goa Putri Dok. oleh Oktavian A., 2014

Foto 45. (Kiri) Kondisi Lantai Goa Putri. (Kanan) Temuan permukaan dalam Goa Putri berupa cangkang kerang

3. Jati Papak

Menurut narasumber, ‘Jati Papak’ ditemukan ketika Perhutani membuka hutan alam untuk dijadikan hutan produksi tanaman Jati. Disuatu lokasi, mesin alat berat yang digunakan pada waktu itu mati berkali-kali tanpa sebab. Setelah hutan tersebut berhasil dibuka oleh Pt. Perhutani, ditemukanlah Jati Papak, yaitu: akar sisa tebangan pohon Jati dengan lebar yang sangat luas sehingga bisa diduduki oleh banyak orang berapapun jumlahnya. Peristiwa tersebut bertepatan dengan turunnya wangsit pada seseorang mengenai keberadaan tempat keramat. Kemudian warga desa mencari tempat tersebut yang pada akhirnya bertemu juga dengan Jati Papak. Wangsit tersebut diakui pula oleh narasumber telah datang kepadanya, namun tidak dapat ia temukan.

Cerita yang dipercaya oleh masyarakat, Jati Papak tersebut merupakan sisa akar dari sebuah Pohon Jati raksasa yang dahulu digunakan oleh Sunan Kalijaga membangun Masjid Kesultanan Demak. Jati Papak kini berpagar tembok konblok setinggi ± 1 meter dengan 10 tiang kayu penyangga atap. Pada kedua sisi pintu pagar, masing-masing ditempatkan patung macan loreng bertanggal tahun 2013 diatas meja dan payung dengan corak kotak-kotak hitam-putih yang biasa ada pada tempat-tempat ritual umat Hindu. Di dalam pagar, juga ditemui dua payung berwarna merah dan putih serta bendera Merah Putih. Di halaman luar pagar tersebut, terdapat 5 lingkaran abu sisa pembakaran yang kami duga merupakan sisa dari ritual-ritual yang dilakukan disana. Menurut narasumber, sebagian besar orang-orang yang melakukan ritual di sini adalah penduduk sekitar penganut Hindu dan Budha.

Foto 46. Jatipapak yang diberi pagar dan atap Dok. oleh Wildan Kasyfi, 2014

Pada abad VIII dalam perjalanan Marchandra dari Gunung Raung Jawa Timur ke Bali melintasi Semenjung Purwo yang sekarang dikenal dengan Alas Purwo. Di pulau Bali beliau membangun Pura Besakih di Gunung Agung, dimana salah satu diantaranya tersebut beliau beri nama Pura Dalam Alas Purwo (Pura Murwa) dan pura Gunung Raung di Alas Tara.

Kemudian pada tahun 1966 ketika diadakan kegiatan reboisasi di lahan bekas garapan masyarakat di hutan Purwo, ditemukan peninggalan leluhur berupa batu-batu kuno. Batu-batu kuno tersebut berupa batu bata, tetapi penampilannya misterius karena baik bentuk ukuran dan bahannya sangat berbeda dengan batu bata biasa. Akhirnya tempat tersebut dijadikan tempat suci untuk beribadah bagi umat hindu disekitarnya.

Salah satu jenis ibadah yang yang rutin dilaksanakan di tempat ini setiap 7 bulan (210 hari) adalah upacara Hari Raya Pagarwesi tepatnya pada hari Rabu Kliwon, wuku sinta. Sampai saat ini acara pagarwesi tersebut telah berjalan sebanyak 19 kali. Pada mulanya upacara tersebut hanya diadakan oleh umat hindu Kecamatan Tegaldlimo, namun belakangan ini semakin berkembang dan meluas yang meliputi umat Hindu se-Kabupaten Banyuwangi dan bahkan Provinsi Bali.

Upacara ini mengandung nilai kultural sebagai bentuk penyelamatan terhadap ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa. Pagarwesi mempuyai 3 sesi utama, yakni palemahan, pawongan, dan kahyangan. Palemahan dilakukan dengan membuang sesaji ke tanah agar dimakan Betharakala. Pawongan merupakan prosesi penurunan ilmu dari dewa di kahyangan dan sedangkan kahyangan adalah penyampaian rasa syukur kepada dewa-dewa atas ilmu pengetahuan yang diberikan. (mitos seputar Taman Nasional Alas Purwo)

Berdasarkan perkembangan diatas dan mengingat tempat tersebut kurang memenuhi syarat untuk melaksanakan upacara agama, maka panitia pagarwesi meminta lahan seluas 2 hektar kepada pihak pengelola TNAP untuk memberikan hak tanah yang akan dijadikan tempat membangun pura baru yang lebih luas sebagai tempat pelaksanaan upacara pagarwesi selanjutnya.

Foto 47. Pintu Masuk Pura Luhur Giri Salaka Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

Foto 48. Bersama Pemangku Pura Luhur Giri Salaka Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

Foto 49. Batu kuno Di Situs Kawitan Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

Foto 50. Sisi Barat Situs Kawitan Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

Foto 51. Gerbang Situs Kawitan Dok. oleh Oktavian Ardhana, 2014

5. Lingga di Pura Purwanan Sidhi

Lokasi tempat di temukannya lingga berada di Resort Sembulungan, di sebuah bukit yang tidak ada penduduknya, kenampakan sekitarnya adalah hutan bambu berduri yang lebat dengan kemiringan lereng bukit yang cukup curam, ketika di lihat tempat di temukannya lingga tersebut berada di sebelah bunker jepang yang oleh beberapa sekitar dinamai situs Mpu Supo karena di percaya dahulu tempat itu di gunakan oleh seorang pandai besi pembuat keris yang sakti akan tetapi menurut kami adalah bunker jepang yang kemungkinan besar adalah dapur umum karena adanya cerobong di bunker tersebut, hal ini diperkuat dengan diketemukannya tiga buah bunker jepang lagi di sekitar situs Mpu Supo tersebut dan menurut informasi warga juga di sekitar balik bukit tersebut masih ada banyak sekali bunker jepang dan sebuah meriam yang tidak sempat di datangi, narasumber kami Pak Sum sekaligus porter Resort Sembulungan mengatakan bahwa situs Mpu Supo merupakan lokasi ditemukannya lingga tersebut, akan tetapi beliau kurang begitu yakin juga karena beliau tidak ikut dalam pengangkatan lingga tersebut. Oleh Pak Sum, situs Mpu Supo digambarkan merupakan bengkel pandai besi, sekaligus makamnya yaitu Mpu Supo yang diyakini warga adalah seorang yang sakti serta seorang pandai besi yang bisa membuat keris sakti.

Narasumber kami yang lain adalah Pak Gondo yang merupakan sesepuh di dusun dam buntung sekaligus di Desa Kutorejo mengatakan bahwa lingga diketemukan atau sudah diketahui bahwa ada lingga di tempat itu sebelumnya, akan tetapi baru dipindahkan di pura pada tahun 2005 atas prakarsa Pak Gondo dan beberapa umat hindu yang merasa bahwa lingga merupakan unsur penting yang harus dilestarikan sekaligus dikonservasi dan menurut info dari Pak Gondo tersebut bahwa beliau pernah didatangi oleh beberapa orang cina yang mengaku bahwa lingga tersebut merupakan sarana pemujaan nenek moyang mereka, kata Pak Gondo dulu lingga tersebut diketemukan berserakan dan tidak lengkap akan tetapi sekarang sudah diperbaiki dan kami tidak mengetahui bagaimana bentuk aslinya.

6. Makam Gandrung

Menurut narasumber Makam Gandrung merupakan makam yang tidak berisi mayat, makam ini adalah makam dari mahkota dan alat musik dari para pemain gandrung pada upacara petik laut pertama di Muncar yang kapalnya terbalik dan mayatnya tidak diketemukan namun hanya alat- alat tadi yang terdampar di sembulungan dan di buatkan makam di pinggir pantai di Resort Sembulungan

Makam Gandrung berada di pinggir pantai di Resort Sembulungan dan berada di dekat jalan setapak yang menghubungkan Resort Kucur dan Resort Sembulungan dan berada di dekat hutan lokasi dari Makam Gandrung ini juga dekat dengan bukit sembulungan yang merupakan tempat di ketemukannya lingga, ada 2 makam di sini dan di namakan juga Mbah Agung Kalong, kondisi makam ini terawat dan oleh warga yang ada di sana di anggap keramat sehingga banyak di ketemukan sesajen dan dupa di sekitar makam.

Makam ini di buat untuk menghormati para pemain dan pemusik gandrung yang kapalnya terbalik karena ombak pada acara petik laut pertama di muncar dan pada saat-saat tertentu makam ini ramai di kunjungi untuk memberikan sajian kepada nenek moyang terutama pada saat upacara petik laut dan berdoa agar acara yang akan di laksanakan lancar tanpa ada satupun halangan. Kondisi situs lumayan terawat hanya kotor akibat debu dan makam ini di manfaatkan untuk berziarah serta atau nyandran.

Foto 52. Makam Gandrung Dok. oleh Sultan Kurnia A.B., 2014

BAB IV

PENUTUPAN

Dalam dokumen LAPORAN PENELITIAN ILMIAH ARKEOLOGIS DAN (Halaman 53-65)

Dokumen terkait