D. Analisis Pengaturan
1. Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor
Berpedoman kepada asas dalam hukum pidana, maka dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius special, atau bijzonder strafrecht). Ketentuan-ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti yang diatur dalam KUH Pidana sedangkan ketentuan-ketentun hukum pidana khusus dimaksudkan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur tentang kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk feiten). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UUPTPK), termasuk ke dalam salah satu bagian dari hukum pidana khusus, di samping memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum yakni dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara tindak pidak pidana korupsi.113
113
Sudarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 61. Lihat juga: E.Y. Kanter., dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 22. Lihat juga: Ermansyah Djaja., Op. cit., hal. 32-33. Keberadaan UUPTPK dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama yaitu sejak berlakunya KUH Pidana (Wetboek van Strafrecht) pada tanggal 1 Januari 1918. KUH Pidana di Indonesia sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatblad) 1915 Nomor 752, pada tanggal 15 Oktober 1915. Keberadaan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia, sejak kemerdekaan
Rumusan tindak pidana korupsi menurut UUPTPK, dianalisis bahwa terdapat dalam rumusan Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 22, dan 23, selain diperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, UUPTPK menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Penegasan ini penting, sebab kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial dari perbuatan pidana korupsi di samping perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan sekalipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di sidang pengadilan karena telah dikembalikan oleh tersangka.114
Ketentuan pasal-pasal dalam UUPTPK yang disebutkan di atas, pelaku tindak pidana korupsi ”setiap orang” yaitu orang perseorangan ataupun korporasi. Pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam UUPTPK lebih diperluas
Indonesia diproklamirkan, juga diatur dalam hukum positif Indonesia, pada waktu NKRI dinyatakan dalam suasana perang berdasarkan UU No.74 Tahun 1957 tentang Pencabutan “Regeling Po De Staat Van Oorlog En Beleg” Dan Penetapan “Keadaan Bahaya” juncto UU No.79 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Pernyataan Keadaan Perang Sebagai yang telah Dilakukan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957. Pengaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957, Nomor: Prt/PM/03/1957 tanggal 27 Mei 1957, Nomor: Prt/PM/1957 tanggal 1 Juli 1957. Peraturan ini jga disebut dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat yang berlaku hanya sementara karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Penguasa Perang Pusata tersebut, segera diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yaitu Perppu No.24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi ditetapkan menjadi undang-undang. Perppu ini berlaku selama 28 tahun kemudian digantikan dengan UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.3 Tahun 1971 diganti oleh UU No.31 Tahun 1999 yang kemudian diubah (direvisi) melalui UU No.20 Tahun 2001, Sehingga undang-undang anti korupsi yang berlaku sekarang adalah UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).
114
dibandingkan dengan pengertian pelaku tindak pidana korupsi dalam UU No.3 Tahun 1971, yang mana pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam UU No.3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai ”barang siapa” yang memiliki makna bahwa pelaku tindak pidana korupsi itu adalah siapa saja atau orang perseorangan saja.115
UUPTPK mengandung 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi, rumusan ini berdasarkan rumusan KPK dalam Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, yaitu: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal 12B junto Pasal 12C, dan Pasal 13.116
Menurut versi KPK, pasal-pasal yang berkaitan dengan delik korupsi murni merugikan keuangan negara terdapat dalam Pasal 2, dan Pasal 3 UUPTPK,117 sementara pendapat lain menyatakan bahwa delik korupsi murni merugikan keuangan negara terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12,
115
Korporasi yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) UU No.31 Tahun 1999 adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisisr baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Bentuk dari badan-badan hukum di Indonesia terdiri dari: Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi, sedangkan bentuk badan-badan usaha di Indonesia dapat berupa: Commanditaire Vennootschap (CV), Usaha Dagang (UD), dan lain-lain.
116
Komisi Pemberantasan Korupsi., Memahami Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi, Buku Saku, (Jakarta: Penerbit KPK, 2006), hal. 3.
117
Pasal 12A, dan Pasal 17 UUPTPK. Tindak pidana korupsi yang menyangkut suap- menyuap terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d
UUPTPK.118
Tindak pidana korupsi ”murni merugikan keuangan negara” adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil, dan penyelenggara negara yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.119
Tindak pidana ”suap” pada prinsipnya dalam UUPTPK dapat dipahami bahwa tidak dapat berakibat langsung kepada kerugian keuangan negara ataupun perekonomian negara karena sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang negara atau aset negara melainkan dari aset atau uang orang yang melakukan penyuapan. Tindak pidana korupsi ”suap”
118
Ermansjah Djaja., Op. cit., hal. 60. 119
dapat dijerat atau didakwa dengan Pasal 5 Pasal 5, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12A, dan Pasal 17 UUPTPK.
Peristiwa dalam tindak pidana korupsi ”pemerasan” menurut UUPTPK yang berperan aktif adalah Pegawai Negeri Sipil penyelenggara negara yang meminta bahkan cenderung melakukan pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan ataupun bantuan dari Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara tersebut, disebabkan faktor ketidakmampuan secara materil dari Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara, sehingga terjadi tindak pidana ”pemerasan”. Tindak pidana korupsi ”pemerasan” dapat dijerat atau didakwa dengan Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12A, dan Pasal 17 UUPTPK.120
Tindak pidana korupsi ”penyerobotan” dapat dipahami bahwa hal ini berbeda dengan delik ”pemerasan”, ”suap”, dan gratifikasi. Tindak pidana korupsi ”penyerobotan” yang berperan aktif adalah Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.121 Dalam UUPTPK dapat diancam dengan Pasal 12 huruf h, dan Pasal 17.
Tindak pidana ”gratifikasi” dalam UUPTPK berbeda dengan tindak pidana ”suap”, dan ”pemerasan”. Tindak pidana korupsi ”gratifikasi” tidak terjadi
120
Juniadi Soewartojo., Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, Op. cit., hal. 125-126.
121
kesepakatan atau ”deal” berapa besar nilai uang atau benda berharga dan dimana uang atau benda berharga tersebut dilakukan penyerahan serta siapa dan kapan uang atau benda berharga itu diserahkan, antara pemberi gratifikasi dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, tetapi dalam tindak pidana korupsi suap, deal mengenai berapa besar nilai uang atau benda berharga dan dimana uang atau benda berharga tersebut dilakukan penyerahan serta siapa dan kapan uang atau benda berharga itu diserahkan.
Tindak pidana korupsi ”gratifikasi” juga berbeda dengan tindak pidana korupsi ”pemerasan” karena dalam tindak pidana korupsi ”pemerasan” walaupun terjadi penyerahan sejumlah uang atau benda berharga dari korban pemerasan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang melakukan pemerasan, tidak berdasarkan kesepkatan karena keterpaksaan. Tindak pidana gratifikasi diancam dalam Pasal 12B junto Pasal 12C, Pasal 13, dan Pasal 17 UUPTPK.122
Tindak pidana korusi ”percobaan”, ”pembantuan”, dan ”pemufakatan” dilakukan masih atau hanya sebatas percobaan, pembantuan, dan pemufakatan untuk melakukan tindak pidana korupsi, sehingga sanksi hukum terhadap terpidana tindak pidana korupsi ”percobaan”, ”pembantuan”, dan ”pemufakatan” dikurangi 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 15 UUPTPK yakni, ”ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikuangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidananya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b,
122
Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 8, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 UUPTPK.123
Terdapat tindak pidana korupsi dalam bentuk ”lainnya” dalam UUPTPK. Tindak pidana korupsi dalam bentuk lain adalah peristiwa atau perbuatan yang berkaitan dnegan tindak pidana korupsi yaitu perbuatan yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara tidak langsung sewaktu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan berlangung terhadap tersangka dan atau terdakwa ataupun terhadap saksi-saksi. Pelaku tindak pidana korupsi dalam bentuk lainnya ini dapat dikenakan ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UUPTPK.
UUPTPK menganut adanya sistim beban pembuktian atau pembuktian terbalik, yakni sistim pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang. Selain itu juga menganut sistim pembuktian secara negatif sebagaimana yang dianut dalam KUHAP. Penjelasan UU No.31 Tahun 1999 disebutkan pengertian pembuktian terbalik yakni ”pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang” yang maksudnya adalah terdakwa memiliki hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktian dakwaannya. Menurut Lilik
123
Mulyadi, ada salah satu aspek menarik dalam UU No.20 Tahun 2001 yaitu dianutnya perubahan pembalikan beban pembuktian secara tegas disebutkan bahwa:124
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas, pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan sistim khusus antara lain denga penerapan sistim pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan UU No.20 Tahun 2001 yaitu:
Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam UU
No.31 Tahun 1999 sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan
sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Hakikatnya pembalikan beban pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, dan Pasal 37A UUPTPK. Menurut Barda Nawawi Arief, gratifikasi dalam Pasal 12B UU No.20 Tahun 2001 diartikan sebagai suatu “perbuatan dalam arti luas”. Barda melihat formulasi gratifikasi itu bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik. Ketentuan Pasal 12B ayat (2) yang dijadikan delik (perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana) bukan gratifikasinya melainkan perbuatan yang “menerima gratifikasi”, jadi, Pasal 12 ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi yang dianggap sebagai
124
“penerima suap” dan jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai “pemberian suap”.125
Rumusan Pasal 12B masih diperdebatkan dalam hal boleh tidaknya dilakukan
asas pembalikan beban pembuktian126, Indriyanto Seno Adji, menyatakan,
pembuktian gratifikasi bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sebab gratifikasi dengan redaksional “dianggap menerima suap” harus didasarkan kepada dua unsur rumusan yang berhubungan dengan jabatannya dan melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajibanya, sehingga pembuktian Pasal 12B
UU No.20 Tahun 2001 relatif tidak menganut asas pembalikan beban pembuktian.127
Pengaturan gratifikasi dalam UUPTPK dipandang tidak jelas dan tidak realistik serta tidak konsisten sehingga menunjukkan adanya celah hukum (loopholes) yang tanpa disadari justru relatif lebih melindungi koruptor. Gratifikasi dalam UUPTPK tidak memenuhi kaidah-kaidah hukum murni (genuine criminal law).128
2. Pengadaan Barang dan Jasa Menurut Keputusan Presiden Republik