PERAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Terhadap Pengadaan Barang Di Sekolah Menengah Kejuruan
Negeri 3 Tebing Tinggi)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ARIFIN SAID RITONGA 097005079 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(LEMBAR PENGESAHAN)
NAMA : ARIFIN SAID RITONGA
N.I.M. : 097005079
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
JUDUL TESIS : PERAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Terhadap
Pengadaan Barang Di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi)
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua
Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah diuji pada
Tanggal, 6 Juni 2011
PANITIA PENGUJI
Ketua:
1. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.
Anggota:
2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.
ABSTRAK
Aparat Kepolisian sebagai bagian dari sistim hukum, peranannya sangat penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum anti korupsi. Penyidik Satuan Reskrim Unit Tipikor Polresta Tebing Tinggi melakukan serangkaian tindakan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi atas Dana Program Layanan Dasar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2006 Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera Utara dalam rangka pengadaan barang-barang keperluan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi. Judul dalam penelitian ini adalah “Peran Kepolisian Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap Pengadaan Barang di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi)”.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama,
bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?; Kedua, bagaimanakah peranan penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang keperluan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi?; Ketiga, apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang untuk SMK Negeri 3 Tebing Tinggi?
Metode yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dengan mengacu kepada UU No.31 Tahun 1999 junto UU
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa peran Polresta Tebing Tinggi dalam penanganan tindak pidana korupsi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga sampai pada pelimpahan BAP ke Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi. Penerapan Pasal 3 dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 mencerminkan kepastian hukum dan rasa keadilan dalam menghukum pelaku. Disarankan dalam penelitian ini kepada penyidik agar koordinasi antar instansi terkait dalam Criminal Justice System tetap dipertahankan Polresta Tebing Tinggi dan dilakukan pelatihan-pelatihan mengikuti kejuruan reserse kriminal khusunya tindak pidana korupsi agar penyidik dapat profesional dalam penerapan pasal-pasal tindak pidana korupsi yang dilakukan ke depan nantinya sehingga penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi berjalan dengan baik.
ABSTRACT
Police apparatus as part of legal system have a very important role in law enforcement especially the anti-corruption law. The investigators of Criminal Investigation Squad, Corruption Criminal Act Unit, Tebing Tinggi Police Department have done a series of investigations on the corruption of Basic Service Program Fund originated from the 2006 National Budget (APBN) for Sumatera Utara Provincial Vocational and Secondary Education Service related to the procurement of school equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi (State Vocational Secondary School). The title of this study is “Role of Police in Corruption Criminal Act Investigation (A Study on Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi).
The research problems to be answered in this study are: first, how corruption as criminal act is regulated in law No.31/1999 and in its amendment Law No.20/2001; second, what the role of investigator in handling the case of corruption of the Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi is; and, third, what constraints are faced by the Police investigators in handling the case of corruption of the Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi.
This study employed normative juridical method by referring to the legal values and norms found in the regulation of legislation referring to Law No.31/1999 in connection with law No.20/2001 on Elimination of Corruption, Law No.2/2002 on Police Department, and Presidential Decree No.80/2003 on Guidelines for the Implementation of Public Goods/Service Procurement.
The conclusion of this study is that the role of Tebing Tinggi Police Department in handling the case of corruption of the Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi is carried out commencing from investigation, examination and transferring the Official Report to Tebing Tinggi State Prosecution Office. The application of Article 3 and Article 18 of Law No. 31/1999 in connection with law No.20/2001 portrays legal certainty and justice in punishing the actor. The investigators of Tebing Tinggi Police Department are suggested to keep maintaining the coordination with related agencies in Criminal Justice System and to organize trainings on criminal detection especially on criminal act of corruption that, in the future, the investigators can be professional in applying the articles related to the criminal act of corruption and, therefore, the investigation and examination of criminal act of corruption goes well.
KATA PENGANTAR
Dengan menghaturkan sujud syukur kepada Allah SWT, berkat segala
kemudahan dan petunjuk-Nya jugalah penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis
ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Hukum di Universitas
Sumatera Utara. Adapun judul Tesis ini adalah: “Peran Kepolisian Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap Pengadaan Barang Di
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi)”.
Dengan segala motivasi dan bantuan, penulis menyampaikan rasa hormat
yang mendalam dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Inspektur Jenderal Polisi, Drs. H. Wisnu Amat Sastro, selaku Kapolda
Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
2. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H
dan seluruh staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menimba ilmu pengetahuan di Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum beserta
asisten yang telah memberikan perhatian kepada penulis selama belajar di
Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H dan Prof. Dr. Sunarmi, S.H.,
M.Hum serta Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum selaku dosen-dosen
dan senantiasa telah mengorbankan banyak waktu untuk memberikan
bimbingan kepada penulis, hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
tesis ini secara sistematis.
5. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum dan Dr. Marlina, S.H., M.Hum selaku
dosen-dosen penguji tesis penulis mulai dari kolokium, seminar hasil dan
meja hijau yang selalu memberikan arahan dan petunjuk dalam
menyempurnakan tesis.
6. Bapak Direktur Reserse Kriminal Umum Poldasu, Komisaris Besar Polisi,
Drs. Agus Adrianto, S.H. dan seluruh jajaran Dit Reskrim Umum, Staff
Jajaran Polresta Tebing Tinggi yang telah memberikan referensi dan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
7. Orang Tuaku yang dicintai Allah SWT: H. Ahmad Yajid Ritonga dan Hj.
Siti Rafeah Nasution serta Mertuaku yang disayangi Allah SWT: H.M
Syukur dan (Alm) Hj. Asmah Sinaga yang selalu setiap saat berdoa,
memotivasi kepada penulis dalam melaksanakan tugas sebagai putra negara,
beragama, serta memberikan pandangan hidup yang jauh ke depan.
8. Istri dan anak-anakku yang tercinta: dr. Diana Herawati, Arya Suci Said
Ritonga, Ash Sarah Said Ritonga, dan Ardina Shahira Said Ritonga yang
selalu setia dan penuh kasih sayang menemani serta memberikan perhatian
khusus dan semangat hidup kepada penulis.
9. Abangda Abdul Wahab Nasution dan Adinda Alfian Ritonga, S.E. serta
persatu yang selalu mengingatkan tentang prinsip pendidikan dan prinsip
hidup.
10.Seluruh dosen pengajar Universitas Sumatera Utara beserta staf, terima kasih
atas pengetahuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
11.Rekan-rekan sefakultas Hukum Ekonomi Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara yang dibanggakan negara, selalu mengingatkan
penulis menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dosen, salam hormat
penulis buat keluarga.
12.Teman di Kota Medan, Rudi Permana serta teman-temanku yang tidak dapat
penulis menyebutkan namanya satu persatu yang selalu mengingatkan tentang
pendidikan dan pergaulan sebagai makhluk sosial.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis memohon petunjuk dan kemudahan
menjalankan segala aktivitas selama ini di Universitas Sumatera Utara. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun Tesis ini masih banyak
kekurangan-kekurangan, mengingat terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menambah
kesempurnaan penyusunan Tesis ini.
Medan, 6 Juni 2011 Hormat Penulis
ARIFIN SAID RITONGA, S.H., S.I.K.
Tesis ini kupersembahkan untuk:
Almamaterku Universitas Sumatera Utara.
Orang Tuaku yang dicintai Allah SWT: H. Ahmad Yajid
Ritonga dan Hj. Siti Rafeah Nasution serta Mertuaku
yang disayangi Allah SWT: H.M Syukur dan (Alm) Hj.
Asmah Sinaga.
Istriku, dr. Diana Herawati yang tercinta dan anak-anakku
yang tersayang, Arya Suci Said Ritonga, Ash Sarah Said
Ritonga, dan Ardina Shahira Said Ritonga yang selalu
DAFTAR RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Nama : ARIFIN SAID RITONGA, S.H., S.I.K., M.H.
Tempat dan Tanggal Lahir : Rantau Parapat, 10 November 1977
Agama : Islam
Alamat : Jl. Menteng Raya Gang Sembako No. 1 Medan
Pekerjaan : Polisi Republik Indonesia
I. Riwayat Pendidikan
A. Pendidikan Formal
1. SD Negeri 5 Rantau Parapat di Sumatera Utara Tahun 1984-1990
2. SMP Negeri 3 Rantau Parapat di Sumatera Utara Tahun 1990-1993
3. SMA Negeri 5 Rantau Medan di Sumatera Utara Tahun 1993-1996
4. English Lenguage Course International di Yogyakarta Tahun 1996-1999
5. (S1-SH) Universitas Lancang Kuning di Pekan Baru Tahun 2003-2007
6. (S2-MH) Universitas Sumatera Utara di Medan Tahun 2009-2011
B. Pendidikan Kepolisian
1. (D3-IPDA) Akademi Kepolisian di Semarang Tahun 1999-2002
2. (S1-SIK) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Jakarta Tahun 2007-2009
C. Pendidikan Kejuruan Kepolisian
2. Police Lenguage English School di Jakarta Tahun 2006
3. Tactical Safety And Survival From Drug Enforcement Administration
(DEA-America) International Law Enforcement Academy di Bangkok
Thailand Tahun 2007
4. Preventing And Investigating Crimes At Cultural Heritage Sites in Southeas
Asia From Federal Beureu Investigation (FBI-America) International Law
Enforcement Academy di Bangkok Thailand Tahun 2010
II. Kepangkatan
1. IPDA (Inspektur Polisi Tingkat Dua) T.M.T 12 - 12 - 2002
2. IPTU (Inspektur Polisi Tingkat Satu) T.M.T 01 - 01 - 2006
3. AKP (Ajun Komisaris Polisi) T.M.T 01 - 01 - 2009
III.Riwayat Jabatan
1. Ka SPK 3 Polres Indragiri Hulu Riau Tahun 2003-2003
2. Kanit Resum Sat Reskrim Polresta Tanjung Balai Karimun Tahun 2003-2004
3. Kanit Buser Sat Reskrim Poltabes Pekanbaru Tahun 2004-2005
4. Kanit Reskrim Polsekta Bukitraya Poltabes Pekanbaru Tahun 2005-2006
5. Kanit Reskrim Polsekta Limapuluh Poltabes Pekanbaru Tahun 2006-2006
6. Kanit Ranmor Sat Reskrim Poltabes Pekanbaru Tahun 2006-2006
7. Kasat Reserse Kriminal Polres Kuansing Riau Tahun 2006-2008
9. Kasat Reserse Kriminal Polresta Tebing Tinggi Sumut Tahun 2010-2011
10.Panit Bajak Sandera Reskrim Umum Polda Sumut Tahun 2011-skg
IV.Penghargaan
1. Penghargaan Kapolda Riau Mengungkap dan Menangkap Pelaku Perampokan
yang Menggunakan Senjata Api di Wilayah Hukum Polda Riau Tahun 2004
2. Penghargaan Kapoltabes Pekanbaru Mengungkap dan Menangkap Pelaku
Mutilasi Mahasiswa Universitas Islam Riau Tahun 2004
3. Penghargaan Kapolresta Tebing Tinggi Mengungkap dan Menangkap Pelaku
Sindikat Pembunuh Bayaran Tahun 2010
4. Penghargaan Kapolresta Tebing Tinggi Mengungkap dan Menangkap Pelaku
Perampokan Menggunakan Senajata Api Tahun 2010
Medan, 6 Juni 2011
ARIFIN SAID RITONGA, S.H., S.I.K., M.H.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian... 15
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 16
1. Kerangka Teori... 16
2. Landasan Konsepsional... 31
G. Metode Penelitian... 32
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 33
2. Sumber Data... 33
3. Teknik Pengumpulan Data... 34
BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 ... 36
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 36
B. Tindak Pidana Korupsi Dalam UUPTPK ... 40
1. Murni Merugikan Keuangan Negara Dalam UU No.31 Tahun 1999... 40
2. Tindak Pidana Korupsi Dalam UU No.20 Tahun 2001 ... 46
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ... 54
1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan ... 54
2. Tindak Pidana Korupsi Pemerasan, Penyerobotan, Turut Serta, dan Gratifikasi... 65
3. Tindak Pidana Korupsi Percobaan, Pembantuan, dan Pemufakatan Jahat... 71
D. Analisis Pengaturan... 79
1. Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 .... 79
BAB III : PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK
PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG-BARANG
KEPERLUAN DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
NEGERI 3 TEBING TINGGI... 92
A. Penyelidikan... 92
B. Penyidikan Terhadap Tersangka ... 95
C. Penyidik Meminta Keterangan Saksi-Saksi ... 102
D. Penyidik Melakukan Penyitaan dan Mengumpulkan Barang-Barang Bukti Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi ... 112
E. Penyidik Menentukan Pasal-Pasal Dalam UUPTPK yang Dilanggar Tersangka ... 118
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 3 TEBING TINGGI ... 135
A. Hambatan yang Dihadapi Penyelidik Dalam Melakukan Penyelidikan... 135
B. Hambatan yang Dihadapi Penyidik Dalam Melakukan Penyidikan... 138
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 142
A. Kesimpulan ... 142
B. Saran... 144
ABSTRAK
Aparat Kepolisian sebagai bagian dari sistim hukum, peranannya sangat penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum anti korupsi. Penyidik Satuan Reskrim Unit Tipikor Polresta Tebing Tinggi melakukan serangkaian tindakan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi atas Dana Program Layanan Dasar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2006 Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera Utara dalam rangka pengadaan barang-barang keperluan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi. Judul dalam penelitian ini adalah “Peran Kepolisian Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap Pengadaan Barang di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi)”.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama,
bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?; Kedua, bagaimanakah peranan penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang keperluan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi?; Ketiga, apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang untuk SMK Negeri 3 Tebing Tinggi?
Metode yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dengan mengacu kepada UU No.31 Tahun 1999 junto UU
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa peran Polresta Tebing Tinggi dalam penanganan tindak pidana korupsi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga sampai pada pelimpahan BAP ke Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi. Penerapan Pasal 3 dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 mencerminkan kepastian hukum dan rasa keadilan dalam menghukum pelaku. Disarankan dalam penelitian ini kepada penyidik agar koordinasi antar instansi terkait dalam Criminal Justice System tetap dipertahankan Polresta Tebing Tinggi dan dilakukan pelatihan-pelatihan mengikuti kejuruan reserse kriminal khusunya tindak pidana korupsi agar penyidik dapat profesional dalam penerapan pasal-pasal tindak pidana korupsi yang dilakukan ke depan nantinya sehingga penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi berjalan dengan baik.
ABSTRACT
Police apparatus as part of legal system have a very important role in law enforcement especially the anti-corruption law. The investigators of Criminal Investigation Squad, Corruption Criminal Act Unit, Tebing Tinggi Police Department have done a series of investigations on the corruption of Basic Service Program Fund originated from the 2006 National Budget (APBN) for Sumatera Utara Provincial Vocational and Secondary Education Service related to the procurement of school equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi (State Vocational Secondary School). The title of this study is “Role of Police in Corruption Criminal Act Investigation (A Study on Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi).
The research problems to be answered in this study are: first, how corruption as criminal act is regulated in law No.31/1999 and in its amendment Law No.20/2001; second, what the role of investigator in handling the case of corruption of the Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi is; and, third, what constraints are faced by the Police investigators in handling the case of corruption of the Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi.
This study employed normative juridical method by referring to the legal values and norms found in the regulation of legislation referring to Law No.31/1999 in connection with law No.20/2001 on Elimination of Corruption, Law No.2/2002 on Police Department, and Presidential Decree No.80/2003 on Guidelines for the Implementation of Public Goods/Service Procurement.
The conclusion of this study is that the role of Tebing Tinggi Police Department in handling the case of corruption of the Procurement of Equipment at Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi is carried out commencing from investigation, examination and transferring the Official Report to Tebing Tinggi State Prosecution Office. The application of Article 3 and Article 18 of Law No. 31/1999 in connection with law No.20/2001 portrays legal certainty and justice in punishing the actor. The investigators of Tebing Tinggi Police Department are suggested to keep maintaining the coordination with related agencies in Criminal Justice System and to organize trainings on criminal detection especially on criminal act of corruption that, in the future, the investigators can be professional in applying the articles related to the criminal act of corruption and, therefore, the investigation and examination of criminal act of corruption goes well.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia
sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi
masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.1 Korupsi
juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi
sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti
oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Setelah perang dunia
kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang
berkembang.2
Tindak pidana korupsi di Indonesia sedemikian parah dan akut seperti
“penyakit sosial”.3 Diperkuat dengan praktik-praktik korupsi yang diekspos oleh
media meningkatkan persepsi terhadap korupsi sudah seperti sebuah penyakit apalagi
di akhir masa orde baru bahkan pada orde reformasi saat ini, korupsi hampir dapat
ditemui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi. Sehubungan
dengan itu, Romli Atmasasmita, menyebutkan:4
1
Efi Laila Kholis., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hal. 5.
2
Ibid. 3
Juniadi Soewartojo., Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 4.
4
Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pejabat pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini. Korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Ditegaskanlah kemudian bahwa korupsi selalu bermula dan berkembang di sektor publik dengan bukti-bukti yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat publik dapat menekan atau memeras pada pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah.
Korupsi berkaitan erat dengan kekuasaan, dengan menyalahgunakan
kekuasaan, menyebabkan perkembangan korupsi sulit diberantas, sebab sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi
secara baik. Landasan hukum yang digunakan pun mengandung banyak kelemahan
dalam implementasinya. Didukung pula oleh sistem check and balances yang lemah
di antara ketiga kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
membuat korupsi menjadi membudaya.5
Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orang
banyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia.
Korupsi semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Korpusi semakin terpola dan tersistematis serta
terorganisir, lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas
batas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar
biasa (extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.6
5Ibid . 6
Korupsi semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari
modus operandinya, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkupnya, korupsi dapat
menjatuhkan sebuah rezim yang menyengsarakan rakyat, menghancurkan
perekonomian negara, mengurangi kepercayaan publik dan investor luar negeri.7
Sehubungan dengan korupsi dapat menghancurkan perekonomian suatu
negara, Abyadi Siregar, menyebutkan bahwa:8
Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Lebih-lebih di negara miskin, korupsi dapat menurunkan pertumbuhan
ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi yang akibat selanjutnya dapat
memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Berbeda halnya korupsi di
negara maju tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya seperti
negara miskin, tetapi korupsi di negara maju tetap saja dapat menggoyahkan
keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya tersebut. Korupsi dapat
pula menghancurkan negara-negara yang sedang berkembang (mengalami transisi)
seperti di Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menghambat pelaksanaan
demokrasi dan stabilitas ekonomi pasar di Indonesia.9
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) prihatin terhadap masalah korupsi dan
menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas dan
keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga dan nilai demokrasi,
nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) bagi negara-negara yang menghadapi fenomena korupsi.10
Perkembangan korupsi saat ini dapat dilakukan disertai dengan tindak pidana lain
terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil korupsi melalui pencucian
uang (money laundering).11 Konvensi PBB mendiskripsikan bahwa masalah korupsi
sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat,
melemahkan institusi, dan merusak demokrasi.12
Sebagaimana disebutkan di atas, korupsi sangat berhubungan erat dengan
kekuasaan, dibenarkan oleh Sri Soemantri Martosoewingjo, mengatakan bahwa:13
Hampir dua abad yang lalu, Lord Action (John Emerich Edward Delberg-Action) dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dengan “kekuasaan” yakni: “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, artinya bahwa, “kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut”.
Bertitik tolak dari ungkapan Lord Action tersebut, dibenarkan pula oleh
mantan Hakim Agung, Muchsin pada tahun 2006,14 kemudian oleh Miriam
10
Purwaning M. Yanuar., Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.
11Ibid
., hal. 47. 12
Lilik Mulyadi., Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 3. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari tindak pidana khusus.
13
Sri Soemantri Martosoewingjo., dalam Ermansyah Djaja., Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1.
14
Budiardjo, yang menyatakan, “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah
pasti akan menyalahgunakannya”.15
Mengamati kasus-kasus korupsi yang muncul di Indonesia, menunjukkan
bahwa korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan tertentu,
seolah-olah pejabat pelaku korupsi (koruptor) tidak menunjukkan rasa malu dan takut
bahkan memamerkan hasil korupsinya.16 Padahal korupsi merupakan masalah yang
sangat serius dalam suatu negara, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan
stabilitas keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial,
politik dan ekonomi masyarakat, dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi,
menurunkan tingkat kepercayaan negara-negara di dunia untuk turut serta
berinvestasi dalam dunia bisnis.17
Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tindakan yang tidak bermoral,
tidak etis, dan melanggar hukum,18 maka untuk memberantas tindak pidana korupsi,
perlu dilibatkan secara optimal sistem peradilan pidana (criminal justice system)19
meliputi serangkaian tindakan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
15
Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 99. 16
Soetanto Soepiadhy., ”Gerakan Indonesia Patut”, Artikel Mingguan Pada Kolom Opini
Suara Sejati, Jakarta, Edisi 10 Tahun I Tanggal 16-18 September 2005, hal. 2. 17
Ermansyah Djaja., Op. cit., hal. 3. 18
Juniadi Soewartojo., Op. cit., hal. 5. 19
Pemasyarakatan sebagai suatu sub sistim hukum yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.20
Sebagaimana tulisan Lord Action tersebut di atas mengenai hubungan antara
korupsi dengan kekuasaan, apabila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi atas Dana
Program Layanan Dasar (school grant) melalui pengadaan barang-barang yang
dilakukan oleh Kepala Sekolah (Umi Kalsum Sitorus) untuk keperluan di Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi, dapat dibenarkan.
Kedudukan sebagai Kepala Sekolah memiliki kekuasaan di dalam ruang
lingkup kepemimpinannya terhadap sekolah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan
di atas, bahwa korupsi erat kaitannya dengan kekuasaan telah terjadi pada diri Kepala
Sekolah SMA Negeri 3 Tebing Tinggi dalam lingkup kekuasaannya memimpin di
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi yang terjadi terjadi sekitar
bulan November 2006.
Laporan Penyidik Satuan Reskrim Unit Tipikor Polresta Tebing Tinggi pada
tanggal 9 Juli 2007, dijelaskan sekitar bulan Desember 2006 diduga telah terjadi
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Umi Kalsum Sitorus di Sekolah Menengah
Kejuruan Kota Tebing Tinggi dengan mempergunakan Dana Program Layanan Dasar
(school grant) tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dalam
20
pelaksanaan pengadaan barang-barang untuk keperluan di Sekolah Menengah
Kejuruan Kota Tebing Tinggi.21
Dana yang dikorupsi adalah dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera
Utara yang disebut dengan Dana Program Layanan Dasar (school grant) sebesar
Rp.35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) yang pada peruntukannya digunakan
untuk peningkatan mutu pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing
Tinggi.
Dana sejumlah Rp.35.000.000,- tersebut diterima Kepala Sekolah untuk
dikelola dalam membelanjakan barang-barang yang diperlukan di Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi, akan tetapi Umi Kalsum Sitorus sebagai Kepala
Sekolah, melakukan penggelembungan harga-harga pembelian barang-barang di
dalam faktur pembelian.
Dikatakan demikian karena dalam Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan
school grant melebihi harga standar di pasaran (penggelembungan harga) dan
berdasarkan hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Tim
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumatera Utara
selaku pejabat Auditor menyebutkan bahwa negara Republik Indonesia dalam hal ini
21
Dinas Pendidikan Sumatera Utara telah mengalami kerugian sebesar Rp.7.900.743,-
(tujuh juta sembilan ratus ribu tujuh ratus empat puluh tiga rupiah).22
Umi Kalsum Sitorus didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam
dakwaan primair dan subsidair. Dalam dakwaan primair JPU mendakwakan Pasal 2
junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya ditulis UUPTPK) sedangkan dalam dakwaan subsidair JPU
mendakwakan Pasal 3 junto Pasal 18 UUPTPK.23
Perkara tindak pidana korupsi, dalam putusan Nomor:
301/Pid.B/2008/PN.TTD, terhadap Umi Kalsum Sitorus, Majelis Hakim memutuskan
dan menyatakan bahwa dalam dakwaan primair, terdakwa tidak terbukti melakukan
tindak pidana korupsi melainkan Hakim memutuskan dan menjatuhkan dakwaan
subsidair yakni Pasal 3 Junto Pasal 18 UUPTPK. Majelis Hakim menjatuhkan pidana
denda Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dan menghukum untuk membayar uang
22
Hasil perhitngan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana korupsi Penggunaan Dana Program Layanan Dasar (school grant) oleh Tim Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Procinsi Sumatera Utara Nomor R-1651/PW.02/5/2007, tanggal 25 Juni 2007. Dari jumlah total Dana Program Layanan Dasar (school grant) adalah Rp.35.000.000,-, dikeluarkan untuk perhitungan sesuai dnegan nominal dalam faktur/kwitansi Rp.23.655.600,- untuk pembayaran pajak Rp.3.443.657,- sehingga jumlah total pengeluaran Rp.27.099.257,- dari perhitungan tersebut maka jumlah total kerugian keuangan negara Rp.7.900.743,-.
23
pengganti sebesar Rp.7.900.743,- (tujuah juta sembilan ratus ribu tujuh ratus empat
puluh tiga rupiah) serta pidana penjara 1 (satu) tahun tetapi tidak akan dijalankan
melainkan Majelis Hakim mempersyaratkan bahwa pidana 1 (satu) tahun tersebut
akan dijalankan apabila terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dipidana sebelum
masa 2 (dua) tahun terakhir.24 Oleh Hakim pada sidang pengadilan tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tebing
Tinggi tersebut.25
IGM Nurdjana, meyatakan bahwa korupsi harus diberantas dan dalam
memberantas korupsi perlu dilibatkan secara optimal sistem peradilan pidana yang
meliputi unsur-unsur substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum.26 Khusus
dalam hal struktur hukum, penerapan hukum didasarkan kepada berbagai peraturan
perundang-undangan hukum formil dan materil dimana terdapat berbagai
lembaga/institusi yang memiliki tugas dan fungsi serta wewenang dalam menegakkan
hukum korupsi (UUPTPK) yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga terkait seperti: BPK, BPKP, PPATK,
termasuk pula lembaga advokasi, LSM, lembaga kontrol internal dan eksternal
lainnya.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut, Polisi sebagai aparat
penegak hukum berperan melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dan
penyidikan, sebab fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
24
Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor: 301/Pid.B/2008/PN.TTD. 25
Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Nomor: 674/PID/2009/PT-MDN. 26
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.27
Kepolisian Negara Republik Indonesia dibentuk bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.28 Sehubungan dengan itu, Pasal 5 UU
Kepolisian menentukan:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kaitannya dengan penegakan hukum sebagai salah satu fungsi Kepolisian
dalam hal perkara tindak pidana korupsi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3
Kota Tebing Tinggi atas Dana Dekontrasi APBN tahun 2006 dari Dinas Pendidikan
Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera Utara yang disebut dengan Dana Program
Layanan Dasar (school grant), Penyidik mengemban amanah dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
27
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian). 28
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.29
Penyelenggaraan pendidikan dimaksud, didasarkan kepada prinsip-prinsip
sebagai berikut:30
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Berdasarkan fungsi, tujuan, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan
di atas, maka dalam mewujudkan pendidikan yang baik melibatkan semua pihak
termasuk peran serta Kepolisian khususnya penegakan hukum korupsi yang terjadi di
di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Kota Tebing Tinggi terhadap Dana
Dekontrasi APBN tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi
Sumatera Utara yang disebut dengan Dana Program Layanan Dasar (school grant).
Penting untuk diteliti mengenai peran Polisi khususnya penyidik Polresta
Tebing Tinggi sebagai bagian dari struktur hukum memberantas tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Umi Kalsum Sitorus. Sebagai penyidik, selain Polisi,
banyak lembaga/instansi terkait yang dapat berperan misalnya Kejaksaan, dan KPK.
Terdapatnya berbagai institusi penyidik tersebut yang memiliki kewenangan untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, menurut Pope, harus pula disesuaikan
dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing institusi.31
Salah satu tugas pokok Polisi adalah ”menegakkan hukum”.32 Mengenai
penegakan hukum itu, kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g UU
Kepolisian, bahwa tugas pokok sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 13
mencakup dalam hal ”melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya”. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, dalam UU Kepolisian
ada disebutkan mengenai tugas polisi khusus tersebut misalnya dalam Pasal 3
disebutkan polisi khusus yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan,
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f, Pasal 15 ayat (1) huruf f, Pasal 15 ayat (2) huruf g,
dan lain-lain.
Polresta Tebing Tinggi memiliki dasar dalam melakukan peran (penyelidikan
dan penyidikan) atas perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Umi Kalsum
Sitorus sebagai Kepala SMA Negeri 3 Tebing Tinggi atas penggelembungan
harga-harga barang-barang dalam pembangunan gedung sekolah, sehubungan dengan itu,
maka sangat penting untuk dilakukan penelitian tentang ”Peran Kepolisian Dalam
31
P. Pope., Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 71.
32
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap Pengadaan Barang Di Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi)”, sebagaimana yang telah diuraikan di
atas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil
tiga pokok permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001?
2. Bagaimanakah peranan Penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi
dalam pengadaan barang-barang keperluan untuk Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi?
3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polisi dalam melakukan
penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang untuk SMK
Negeri 3 Tebing Tinggi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan tindak pidana korupsi dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
2. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan Penyidik dalam penanganan
tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang-barang keperluan untuk
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi; dan
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polisi dalam
melakukan penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang untuk
SMK Negeri 3 Tebing Tinggi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik
secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya
pemahaman tentang peran Penyidik dalam penyidikan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh Kepala Sekolah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3
Tebing Tinggi dalam pengadaan barang-barang keperluan sekolah. Selain itu,
penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutannya serta
dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai
kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum
khususnya aparat Penyidik, agar dapat lebih mengetahui dan memahami
tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai institusi yang diharapkan dalam
penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, meliputi
pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU.
Berdasarkan penelusuran ditemukan judul yang berkenaan dengan tindak pidana
korupsi, yaitu “Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
atas nama Rumida Sianturi NIM: 077005105 yang membahas kewenangan Polri,
Jaksa, dan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi serta hambatan-hambatan
Polri dalam melakukan penyidikan.
Berbeda dengan fokus dalam penelitian ini yang membahas tentang peranan
Penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang-barang
keperluan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi, dan
hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri. Oleh karena itu, penelitian ini tidak
memiliki kemiripan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian terdahulu.
Judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan asli dan jauh dari unsur
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Sistim hukum (legal system) yang mendominasi negara-negara di dunia
membedakan dua sistim hukum, pertama, civil law (Continental Europe Legal
System) yang didominasi hukum perundang-undangan, kedua, common law (
Anglo-American Legal System) yang didominasi hukum tidak tertulis dan putusan-putusan
pengadilan terdahulu (precedent).
Sistim hukum menurut R. Subekti,33 adalah suatu susunan atau tatanan yang
teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama
lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk
mencapai suatu tujuan. Sistim hukum menurut Sudikno Mertokusumo,34 adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,35 lebih jauh mengatakan bahwa pada
hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas
sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum,
penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula.
Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang
membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
33
R. Subekti., dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.
34Ibid. 35
Tiga komponen dalam sistim hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:36
1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; 2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;
3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan
(keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya
dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.
Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan
budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistim sebagai faktor penentu apakah
suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih
menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu
sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau
peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut perilaku
masyarakatnya.37
Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan
hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan
pada tujuan yakni, ”Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah
36
Lawrence M. Friedman., dalam Achmad Ali., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.
37
kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki
”kepastian”. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur
hukum aslinya.38
Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan
hukum barat, sebab sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal
dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”.39 Indonesia
seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini
hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum
yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang
masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan
hukum barat yakni ”kepastian”.40
Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan
elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen-elemen dari tiga kompenen
ini tidak bekerja dengan baik, dapat mengganggu sistim hukum, hingga pada akhirnya
terjadi kepincangan hukum. Komponen-komponen sistim hukum menurut Soerjono
Soekanto,41 merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa
diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan
hukum yang diharapkan.
38
Achmad Ali., Op. cit., hal. 212-213. 39Ibid
., hal. 212-213. 40Ibid
., hal. 213. 41
Kepolisian sebagai salah satu bagian dari struktur hukum dalam sistim hukum,
mempunyai kedudukan yang sentral dan posisi yang strategis di dalam suatu negara
hukum karena institusi Kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.42
Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system, menunjukkan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan
belaka (machtsstaat).43 Franz Magnis Suseno,44 mengatakan ”salah satu kekuasaan
negara antara lain adalah Kepolisian, maka harus dijalankan atas dasar hukum yang
baik dan adil karena hukum menjadi landasan segenap tindakan lembag-lembaga
negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil”.
Norma di atas bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan. Hukum
mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan
bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,45 dapat berperan dengan baik dan benar di
tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu
adalah Kepolisian sebagai penyidik.
42
Pasal 2 UU Kepolisian. 43
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 44
Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.
45
Teori legal system dalam kaitannya dengan peran Polisi atas tindak pidana
pidana, menurut Pasal 3 ayat (1) huruf b UU Kepolisian, Polisi diberi tugas sebagai
penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa
penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai
dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang
terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.46
Penyidikan sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing)
berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk
oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar
yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.47 Sedangkan
penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan atau penyidik adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.48
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mendifinisikan penyidik adalah
pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.49
Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang dalam dalam undang-undang (KUHAP) untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.50 Penyidikan berbeda dengan
penyelidikan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam hukam
acara pidana.51
Perbedaan antara penyelidikan dengan penyidikan dapat dilihat dari tujuannya
dimana bahwa tujuan penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangka, sedangkan tujuan penyelidikan adalah untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Pasal 4 KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polisi negara
Republik Indonesia. Mengenai siapa pejabat kepolisian yang berwenang untuk
melakukan penyidikan, KUHAP tidak merincikannya dalam Pasal 6 KUHAP hanya
disebutkan penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
50Ibid
., Pasal 1 angka 2 KUHAP. 51
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk dapat
diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, calon harus
memenuhi persyaratan:
1. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
2. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
3. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;
4. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
5. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai
penyidik, apabila dalam suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang
berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara.52 Kepala Sektor
Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya
bertindak sebagai penyidik, apabila pada suatu sektor Kepolisian tidak ada penyidik
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1).53
Terdapat pada Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di
samping penyidik. Sedangkan untuk tindak pidana korupsi yang termasuk tindak
pidana khusus (lex specialis) maka selain penyidik Polri yang diatur dalam KUHAP,
ditambah dengan jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 6 KUHAP
52
Pasal 2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
53
mengatur siapa yang berhak menjadi penyidik ditinjau dari instansi maupun
kepangkatan. Pasal 6 KUHAP, menentukan:54
1. Pejabat Penyidik Polri. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP,
salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat Polisi negara. Hal ini agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan, hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2), namun KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6 tersebut. Syarat kepangkatan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana disebutkan di atas, untuk itu Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan, pejabat penyidik disesuaikan dengan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu PNS yang diberi fungsi dan wewenang sebagai penyidik, pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang bagi penyidik Pegawai Negeri Sipil disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya dan dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana yang diatur dalam Pasal
6 ayat (1) huruf b inilah oleh PP No. 58 Tahun 2010, disebut dengan PPNS, agar
dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:55
1. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; 2. Berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
3. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; 4. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
54
M. Yahya Harahap., Op. cit., hal. 115. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kepolisian sebagai penyidik pembantu menurut Yahya Harahap haruslah mereka yang mempunyai keahlian dibidang tertentu. Tanpa syaraat tersebut tidak ada alasan untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu.
55
5. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;
6. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
7. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3A ayat (1) tersebut di atas,
diajukan kepada Menteri oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan.56
Persyaratan tersebut diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
bekerja sama dengan instansi terkait.57
KPK juga diberikan wewenang melakukan penyidikan khususnya tindak
pidana korupsi. Penyidik KPK diangkat dan diberhentikan berdasarkan pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UUKPK).
Pasal 6 huruf c UUKPK ditentukan, salah satu tugas KPK adalah melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 8
ayat (2) UUKPK ditentukan bahwa dalam melaksanakan wewenangnya KPK
berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
Hal yang menarik dari kewenangan ketiga instansi antara Kepolisian,
Kejaksaan, dan KPK dalam hal tindak pidana korupsi dalam hal pengambilalihan
56Ibid
., Pasal 3A ayat 2 PP No. 58 Tahun 2010. 57
penyidikan dan penuntutan oleh KPK atas tindak pidana korupsi dialasankan
kepada:58
1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; 2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak
pidana korupsi yang sesungguhnya;
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan UU No16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Kejaksaan berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan
undang-undang.59 Hal ini merupakan bentuk hubungan koordinasi fungsional ketiga
institusi dalam penyidikan diatur dalam KUHAP adalah: pemberitahuan dimulainya
penyidikan, perpanjangan penahanan, pemberitahuan penghentian penyidikan, dan
penyerahan berkas perkara.60
Hubungan koordinasi ketiga intitusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan
yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait
dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh Republik Indonesia. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001, dan UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
60
terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (hakim) dan
lembaga pemasyarakatan. Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan
bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan
instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka
hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem tersebut dapat berupa: rapat kerja
gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan penataran gabungan dan
lain-lain.61
Pasal 1 butir 8 KUHAP telah menggariskan pembagian tugas dan wewenang
masing-masing instansi aparat penegak hukum, Polisi berkedudukan sebagai instansi
penyidik dan Kejaksaan berkedudukan sebagai aparat penuntut umum dan pelaksana
eksekusi putusan pengadilan, sedang hakim adalah pejabat peradilan yang diberi
wewenang untuk mengadili.
Sekalipun KUHAP menggariskan pembagian wewenang secara instansional,
KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum
dalam suatu hubungan kerja sama yang dititikberatkan bukan hanya untuk
menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk
terbinanya suatu sistem aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung
jawab saling mengawasi antara instansi terkait. Bahkan sistem ini bukan hanya
meliputi antar instansi pejabat penegak hukum Polisi, Jasa atau Hakim saja tetapi
sampai pejabat lembaga pemasyarakatan, penasihat hukum dan keluarga tersangka
atau terdakwa.
61
Memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang
pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP mengatur sistem pengawasan berbentuk
sistem “ceking” yang merupakan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini
berarti masing-masing instansi sama berdiri sejajar, antar instansi yang satu dengan
instansi yang lain tidak berada di atas atau di bawah instansi lainnya. Koordinasi
pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan
wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses penegakan hukum. Achmad
Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistim hukum yaitu:62
1. Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara
person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan
2. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara
person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.
Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain
semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak
profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan
rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam
sistim hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani
perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan
tersebut dalam sidang praperadilan.
Koordinasi sesama aparat penegak hukum dilaksanakan dengan semboyan
“saling asah, asih, dan asuh”. Dalam menjalin koordinasi tersebut, wadah bagi para
62