C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
3. Tindak Pidana Korupsi Percobaan, Pembantuan, dan
Tipe tindak pidana korupsi yang dikategorikan ke dalam jenis tindak pidana percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat, terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
b, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 8, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 UUPTPK. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ketentuan rumusan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Analisis rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan huruf d UU No.20 Tahun 2001, terdapat 2 (dua) tipe tindak pidana korupsi yaitu:
a. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengawas bangunan, dan
pengawas penyerahan bahan bangunan yang membiarkan perbuatan curang pada saat pelaksanaan pembangunan dan penyerahan bahan bangunan.
b. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas pengawas penyerahan barang keperluan TNI dan Polri yang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang pada saat penyerahan barang-barang tersebut.
Rumusan tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan huruf d UU No.20 Tahun 2001 di atas, merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 387 dan Pasal 388 KUH Pidana. Pertama kali rumusan ini diadopsi dan diharmonisasi dalam UU No.24/Prp/1960, kemudian diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No3. Tahun 1971, diadopsi dan diharmonisasi lagi dalam Pasal 7 UU No.31 Tahun 1999, terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2001.
Ketentuan rumusan dalam Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Analisis rumusan Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 mengandung 3 (tiga) jenis tindak pidana korupsi, yaitu:
a. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus- menerus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatan;
b. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-
menerus atau sementara waktu dengan membiarkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, diambil atau digelapkan orang lain; dan c. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus- menerus atau sementara waktu dengan membantu orang lain mengambil atau menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya. Rumusan tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001, selain termasuk kategori murni merugikan keuangan negara, juga dikategorikan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat. Ketentuan ini merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 415 KUH Pidana yang merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUH Pidana tentang Kejahatan Jabatan, yang telah diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi oleh UU No.3 Tahun 1971 pada Pasal 1 angka (1) huruf c, juga telah diadopsi dan diharmonisasi oleh UU No.31 Tahun 1999, dan terakhir UU No.20 Tahun 2001 terdapat dalam Pasal 8.
Ketentuan rumusan dalam Pasal 10 UU No.20 Tahun 2001 yang mengandung anasir pembantuan dan pemufakatan jahat terdapat pada Pasal 10 huruf b dan huruf c. Pasal 10 huruf b berbunyi sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja, membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 10 huruf c UU No.20 Tahun 2001 ditentukan sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja, membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Terdapat 2 (dua) tipe tidak pidana korupsi yang dianalisis dalam Pasal 10 huruf b dan huruf c UU No.20 Tahun 2001, yaitu sebagai berikut:
a. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus- menerus atau sementara waktu dengan sengaja membiarkan110 orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang-barang, akta, surat-surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya.
b. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus- menerus atau sementara waktu dengan sengaja membantu111 orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang-barang, akta, surat-surat, atau daftar yang digunakan untuk
110
Garis bawah dari penulis. 111
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya.
Rumusan tindak pidana korupsi dianalisis dalam Pasal 10 huruf b dan huruf c UU No.20 Tahun 2001 dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi pembantuan dan pemufakatan jahat. Ketentuan ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 417 KUH Pidana yang merupakan salah satu jenis kejahatan dalam jabatan yang dimuat dalam Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan. Ketentuan ini pertama kali diadopsi dan diharmonisasi menjadi tindak pidana korupsi dalam UU No.24/Prp/1960, kemudian diadopsi da diharmonisasi dalam Pasal 1 angka (1) huruf c UU No.3 Tahun 1971, kemudian oleh Pasal 10 UU No.31 Tahun 1999, kemudian yang terakhir diadopsi dan diharmonisasi dalam Pasal 10 UU No.20 Tahun 2001.
Rumusan dalam Pasal 15 UU No.31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 15 UU No.31 Tahun 1999 ini mengandung 3 (tiga) jenis tindak pidana korupsi, yakni sebagai berikut:
a. Setiap orang (termasuk korporasi) yang melakukan “percobaan” sebagaimana
dimaksud Pasal 53 ayat (1) KUH Pidana, untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
b. Setiap orang (termasuk korporasi) yang melakukan “pembantan” sebagaimana dimaksud Pasal 56 KUH Pidana, untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UUPTPK;
c. Setiap orang (termasuk korporasi) yang melakukan “pemufakatan jahat” sebagaimana dimaksud Pasal 88 KUH Pidana, untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UUPTPK.
Rumusan Pasal 15 dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 15 UU No.31 Tahun 1999, yaitu, “ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya”. Terhadap ketentuan Pasal 15 ini ditentukan pula dengan tegas ancaman pidana percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14 UUPTPK.
Rumusan dalam Pasal 16 UU No.31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Rumusan Pasal 16 UU No.31 Tahun 1999 ini kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasannya dirumuskan yaitu:
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam ketentuan ini adalah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bertitik tolak dengan ketentuan yang terdapat di dalam rumusan Pasal 16 UU No.31 Tahun 1999 tersebut, setiap orang termasuk juga korporasi di luar wilayah NKRI yang memberi “bantuan, kesepakatan, sarana, dan keterangan” untuk terjadinya tindak pidana korupsi dapat dijangkau dengan penerapan UU No.31 Tahun
1999 juncto UU No.20 Tahun 2001(UUPTPK).
Rumusan dalam Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999, berbunyi: “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”. Maksud dari rumusan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999 menghendaki terhadap Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 harus ditafsirkan termasuk ke dalam Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 12C UU No.20 Tahun 2001. Makna dari ketentuan Pasal 17 UU No.31 Tahun 1999 adalah terdakwa yang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999, dapat dipidana dengan pidana pokok dan pidana tambahan.112
Penjatuhan hukuman pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah “fakultatif”, artinya Hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan bergantung kepada
112
pertimbangan apakah di samping menjatuhkan pidana pokok, dimana berdasarkan Pasal 17, Hakim harus mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana tambahan ataukah tidak menjatuhkan pidana tambahan.