• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Landasan Teori

2.2.3 Tindak Tutur

Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas jumlahnya karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi, sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan atau pesan untuk berkomunikasi dengan

lawan bicaranya. Para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur dalam berbagai jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis tuturannya, kategori, modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya.

Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu berada dalam peristiwa tutur. Jika peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

Pada tahun 1962, Austin (dalam Tarigan, 1986: 109) telah membedakan tiga jenis tindak ujar, yaitu

(1)Tindak lokusi (melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu).

(2)Tindak ilokusi (melakukan sesuatu tindakan dalam mengatakan sesuatu). (3)Tindak perlokusi (melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan

sesuatu).

Lokusi: pembicara mengatakan kepada penyimak bahwa X (X adalah kata-kata

tertentu yang diucapkan dengan perasaan, makna, dan acuan tertentu)

Ilokusi: dalam mengatakan X, pembicara menyatakan P.

Perlokusi: dengan mengatakan X, pembicara meyakinkan penyimak bahwa P.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh austin tersebut, Searle (dalam Rahardi, 2005: 35) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Tindak lokusioner (locutionary acts), (2) Tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) Tindak perlokusioner (perlocutionary acts).

Tindak lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak ilokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan tanganku gatal misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkn tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.

Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan itu rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur. Namun, lebih dari itu

bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan nya itu.

Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindakan ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan tanganku gatal misalnya,dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Misalnya rasa takut itu muncul karena yang menuturkan tuturan itu berpotensi sebagai seorag tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005: 36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut: (1) Asertif (Assertives), yakni bentuk tutur yang mengikat penutur penutur pada kebenaran proposisi yang di ungkapkan, misalnya menyatakan (statting), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming); (2) Direktif (Directives), yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending); (3) Ekspresif (Expressive) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling); (4) Komisif (Commissives), yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji

(promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering); (5) Deklaratif (Declarations), yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing).

Searle (dalam Pangaribuan, 2008: 117) mengutarakan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna di dalam konteks, dan makna itu dapat dikategorikan ke dalam makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Uraian-uraian dan analisis pada contoh berikut menjelaskan hal tersebut.

1. Saya Akan Di Malang Besok.

Secara literal, contoh <1> di atas bermakna sebagai berikut.

2. Makna Ujaran.

a. Infomasi: kehadiran b. Subjek: saya c. Lokasi: di malang d. Waktu: besok

Makna “informasi- subjek- lokasi- waktu” diatas merupakan makna lokusi. Dengan demikian, makna tersebut dinyatakan sebagai berikut.

3. Makna Lokusi: Informasi- Subjek- Lokasi- Waktu

Namun demikian, makna <1> tidaklah begitu jelas. Terdapat varian-varian seperti pada <4> berikut.

4. a. Saya menyatakan bahwa saya akan di Malang besok. b. Saya berjanji bahwa saya akan di Malang besok.

c. Saya memperkirakan bahwa saya akan di Malang besok.

Setiap ujaran <4,a,b,c> diatas itu pada dasarnya dapat dikatakan sebagai varian dari <1>, dan di dalam konteks komunikasi ketiganya dapat muncul. Namun demikian, dalam situasi atau waktu tertentu hanya salah satu yang sering muncul, seperti berikut.

5. A: Dalam perjalanan sdr. ke Jember, sdr di mana? B: Saya akan di Malang besok.

Jawaban pada <5 B> di atas dapat dipastikan mengacu pada makna yang relatif sama seperti pada <4c>, dan bukan <4a> atau <4b>. makna yang kedua ini disebut makana ilokusi, yaitu makna yang dimaksudkan pembicara sebagai informasi yang perlu disampaikan, dan direalisasikan dengan fungsi komunikasi yang digunakan. Pada contoh <5> di atas, B menggunakan fungsi “menjawab”.

Sekarang, mari kita perhatikan yang berikut.

6. A1: Dalam perjalanan sdr. ke Jember, sdr di mana? B: Saya akan di Malang besok.

A2: Baiklah, kami menyiapkan kendaraan sdr.

Bila kita amati jawaban <6-A2 > di atas, dapat disimpulkan bahwa pesapa A2 menyimak waktu dan memberikan informasi yang relevan dengan “jawaban” B di atas.

Uraian di atas menunjukkan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Berdasarkan substansi linguistik, tindak tutur

itu memiliki komponen dasar (bach & harnish dalam Pangaribuan, 2008: 119) sebagai berikut.

7. Skema Komponen Tindak Tutur

a. Tindak bertutur: penyapa mengutarakan tuturan dari bahasa kepada pesapa di dalam konteks.

b. Tindak lokusi: penyapa mengatakan kepada pesapa di dalam konteks bahwa ada informasi.

c. Tindak ilokusi: penyapa berbuat fungsi tertentu dalam konteks.

d. Tindak perlokusi: penyapa mempengaruhi pesapa dalam cara tertentu dalam konteks.

Dengan demikian, suatu tindak tutur itu memiliki empat komponen seperti pada <7>. Komponen di atas dan pola identifikasi unsur-unsurnya digunakan sebagai titik tolak memahami stuktur tindak-tutur dan analisisnya.

Dokumen terkait