DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Bambang. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Malang: Airlangga.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Depatemen Pendidikan Nasional.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Dini, N.h. 2003. Pertemuan Dua Hati. Jakarta: Gramedia
Mulyana, 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Pangaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Press.
Siregar, Asrul. 1997. Pragmatik Dalam Linguistik. Medan: FIB USU.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Tarigan, Hendri Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Skripsi
Merlyn. 2013. “Tindak Tutur Asertid dan Direkif dalam Novel Perahu
Kertas Karya Dewi Lestari”. Medan. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Tampubolon,Rina Desliah. 2013. “ Tindak Tutur dalam Iklan Radio 105.8 Delta Fm Medan”. Medan. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
Nurcahaya, Vera. 2010. “Tuturan Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba”. Medan. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Website
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Penelitian
Adapun waktu yang diperlukan penulis dalam melakukan penelitian
adalah selama empat minggu. Waktu penelitian ini sesuai dengan rencana
penelitian skripsi yang telah dilampirkan.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel berasal dari sumber data. Sumber data dalam
penelitian ini adalah sebuah novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
Populasi adalah sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber
pengambilan sampel, suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang
berkaitan dengan masalah penelitian (KBBI, 2007:889). Sampel adalah sebagian
dari pemakaian bahasa yang mewakili dari satu populasi (Sudaryanto, 1990:157).
Berdasarkan dari pengertian populasi diatas, maka yang menjadi populasi
dalam penelitian ini adalah tindak tutur secara keseluruhan yang ada di dalam
novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Dalam penelitian ini peneliti
mengambil sebanyak sepuluh sampel percakapan yang diambil secara acak pada
novel karya Nh. Dini tersebut.
Data pada analisis wacana selalu berupa teks, baik lisan maupun tulisan.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data tulis yang terdapat dalam novel
tersebut.
Pada penelitian ini data diperoleh dengan menggunakan metode simak.
Metode ini dinamakan demikian karena pelaksanaan metode ini adalah dengan
menyimak peggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Metode simak ini
diwujudkan dengan menggunakan teknik catat. Teknik catat digunakan untuk
mencatat data-data yang dibutuhkan.
3.4 Metode dan Teknik Pengkajian Data
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian data-data tersebut dianalisis
untuk menyelesaikan permasalahan penelitian yang telah ditetapkan.
Dalam menganalisis data digunakan metode padan. Dalam hal ini peneliti
terlebih dahulu membaca dan mendeskripsikan (memaparkan atau
menggambarkan dengan kata-kata secara jelas dan terperinci) novel karya Nh.
Dini lalu menganalisis teks novel yang berupa percakapan, kemudian menentukan
jenis tindak tuturnya.
Contoh. Data percakapan dalam novel pertemuan dua hati.
Anak: ”Di sana lebih banyak pohon buah ya, bu”
Ibu : ”Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan”
Anak: ”Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu, satunya lagi?”
Ibu: ”Gadung, di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga ada.”
Anak: ”karena tempat kakek lebih luas dari rumah kita disana”
Ibu: ”Di sana itu bukan rumah kita sayang. Sekarang di semarang inilah rumah kita.”
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan diatas akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel
Tuturan
Jenis Tindak Tutur Menurut Austin Jenis Tindak Tutur Ilokusi Menurut Searle
Lokusi Ilokusi Perlokusi
jenis pohon
mangga yang tumbuh di sepanjang jalan. Mereka berbincang sambil
memperhatikan halaman rumah orang kota yang jarang ditumbuhi buah-buahan.
Si anak bungsu mulai membandingkan tempat tinggalnya yang sekarang dengan
Pada tuturan (1) menyatakan bahwa <anak> memberitahukan kepada
ibunya bahwa di sana lebih banyak pohon buah. Tuturan tersebut disampaikan
secara sengaja oleh <anak> yang disebut dengan tindak lokusi. Selain tindak
lokusi, tuturan (1) juga mempunyai maksud yang ingin disampaikannya, yaitu
memberitahu di sana tempat mereka tinggal dahulu lebih banyak pohon buahnya
dari pada di daerah tempat tinggalnya yang sekarang. Tindak ini disebut dengan
tindak ilokusi. Dari tuturan tersebut kemudian timbul efek oleh lawan tutur ketika
mendengar perkataan dari lawan bicaranya tersebut yang disebut tindak
perlokusi. Tindak tersebut muncul pada tuturan (2) dengan memberikan jawaban
oleh <ibu> atas pernyataan tersebut.
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <ibu> menyahut pernyataan
anaknya tentang apa yang dilihat dan dibandingkan si <anak>. Tindak ilokusi
pada tuturan (2) adalah <ibu> bermaksud menjelaskan bahwa rumah di desa lebih
banyak yang memiliki pekarangan, sehingga banyak ditumbuhi pepohonan. <ibu>
memberikan pemahaman tentang kehidupan di desa dan kota yang jauh berbeda.
Tindak perlokusinya, yaitu muncul pada tuturan (3) dengan memberikan respon
tambahan oleh <anak> mengenai lingkungan hidup tempat mereka sekarang
tinggal.
Tindak lokusi pada tuturan (3) yaitu <anak> merespon kembali penjelasan
dari ibunya dengan menyebutkan berbagai jenis pohon buah yang ada di
rumahnya dahulu. Tindak ilokusi pada tuturan (3) yaitu menyatakan bahwa di
rumahnya ada tiga macam pohon buah dan bertanya kembali karena lupa dengan
dan merasa bahwa lingkungan rumah yang terdahulu lebih menyenangkan dari
pada yang sekarang. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (4) dengan respon
jawaban dari pertanyaan <anak>.
Tindak lokusi pada tuturan (4) <ibu> menyatakan pada <anak> bahwa di
rumah kakek lebih banyak lagi pohon buah. Tindak ilokusi pada tuturan (4) <ibu>
merespon pertanyaan <anak> dan menyatakan bahwa di rumah kakek lebih
banyak lagi pohon buah. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (5) dengan respon
dari <anak> mengenai pernyataan <ibu> sebelumnya.
Tindak lokusi pada tuturan (5) <anak> merespon pernyataan <ibu>
mencoba untuk mengungkapkan isi hatinya tentang kecintaan <anak> tinggal
dirumah yang lama. <anak> selalu menganggap rumah lama dikampung jauh
lebih menyenangkan. Tindak ilokusi pada tuturan (5) adalah bermaksud
menyatakan isi pemikiran nya tentang keinginan hatinya menetap di kampung
tempat tinggal mereka terdahulu. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (6)
dengan respon dan penjelasan dari <ibu>
Tindak lokusi pada tuturan (6) yaitu <ibu> merespon pernyataan yang dari
isi pemikiran anaknya. <ibu> ingin memberikan penjelasan secara perlahan agar
anaknya dapat mengerti dan menerima secara perlahan kehidupan baru mereka
dikota. Tindak ilokusi tuturan (6) yaitu <ibu > bermaksud menjelaskan bahwa di
sana bukan lah rumah mereka lagi, melainkan mereka sudah pindah kerumah yang
baru. <ibu> mengerti bahwa tak mudah <anak> bersosialisai dan melupakan
kenangan di kampung tempat mereka tinggal selama bertahun-tahun. Tindak
terdiam dam terus mengingat kenangan di kampung tempat mereka tinggal
dahulu. Bagi <anak> seluruh kehidupan di kampung tempat mereka tinggal
dahulu jauh lebih baik dari pada yang sekarang.
3.5 Metode dan Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis disajikan dengan metode informal dan formal. Pelaksanaan
kedua metode tersebut dibantu dengan teknik yang merupakan perpaduan dari
kedua metode tersebut, yaitu penggunaan katakata dan tanda-tanda atau lambang
(Sudaryanto, 1993: 145). Penyajian hasil analisis juga mengikuti proses deduktif
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Jenis Tindak Tutur yang Digunakan dalam novel Pertemuan Dua Hati
Setelah data terkumpul makan akan dianalisis dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
Data Percakapan 1:
Bu Suci: ”Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!”
Bu Suci: ”Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?” Raharjo: ”Tahu, Bu.”
Bu Suci: ”Lalu? Terlalu jauh buat kamu?”
Raharjo: ”Oh, tidak Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau
pulang!”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati, halaman 26)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Raharjo. Pagi itu Bu Suci sedang memulai pelajaran di kelasnya
dengan santai. Hari itu anak didiknya yang bernama Waskito belum juga masuk
mengenal waskito agar dapat melihat keadaan Waskito yang sudah dua hari tidak
masuk sekolah.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 1
Tuturan
4. Lalu?
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 2 kali
Raharjo: ”Dia anak orang kaya Bu”
mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti.” Raharjo: ”Biar Waskito tidak masuk Bu, kami malah senang!”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati, halaman 27)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Raharjo. Di dalam ruang kelas pada pagi itu Bu Suci menanyai
murid yang mengetahui rumah Waskito, karena Waskito sudah beberapa hari
tidak masuk kelas. Bu Suci sangat heran karena seluruh murid di kelas terlihat
sangat tidak menyukai Waskito. Mereka selalu menghindar ketika ditanyai perihal
Waskito. Menurut mereka Waskito adalah anak yang sangat nakal.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 2
Tuturan
Jenis Tuturan Menurut Austin Jenis Tindak Tutur Ilokusi Menurut Searle Lokusi Ilokusi Perlokusi
kalian
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 1 kali
Tindak Tutur Direktif = 1 kali
Tindak Tutur Ekspresif = 1 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 3
Murid: ”Saya dan teman yang lainnya Bu”
Bu Suci: ”Bagaimana terjadi? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?”
Murid: ”Tidak Bu, kalau saya memang bertengkar lalu dipukul. Tapi kebanyakan tanpa ada yang dipersoalkan Bu, tiba-tiba dia memukul”
(sumber: nover Pertemuan Dua Hati karya halaman 28)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Murid. Masih di dalam ruangan kelas, Bu Suci ingin
mengetahui apa penyebab murid-muridnya tidak menyukai Waskito. Bu suci
semakin heran karena seluruh murid mengatakan Waskito adalah anak yang jahat.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 3
Tuturan
kelainan. Suka memukul, menyakiti siapa saja
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 4 kali
Tindak Tutur Direktif = 1 kali
Tindak Tutur Ekspresif = -
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 4
Bu Suci: ”Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito?” Murid: ”Saya dilempari batu-batu besar Bu. Untung tidak kena, tetapi
lampu sepeda saya pecah. Saya kena marah di rumah.” Bu Suci: ”Kamu katakan bahwa Waskito yang memecahkannya?” Murid: ”Saya bilang tabrakan dengan teman.”
Bu Suci: ”Mengapa?”
Murid: ”Bapak tidak suka saya buat perkara di sekolah.”
(sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 29)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Murid. Di ruang kelas pada waktu itu seluruh anak mengelukan
tentang kenakalan Waskito. Di ruang kelas tersebut Bu Suci mencari tahu tentang
karena seluruh siswa mulai mengungkapkan apa yang pernah dialami oleh
mereka.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 4
Tuturan
4. Saya bilang
5. Mengapa? Menanyakan mengapa
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 3 kali
Tindak Tutur Direktif = -
Tindak Tutur Ekspresif = 3 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Data Percakapan 5
Nenek: ”Tua-tua masih praktek jeng, hanya dua kali seminggu. Dia
bergantian dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja”
Bu Suci: ”Di samping itu Bapak tidak bekerja di mana-mana lagi, Bu?” Nenek: ” masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji pemerintah
jeng!” Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah lelah.
Katanya biar yang muda-muda saja, yang penting sekarang mengajar.”
(sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 36)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Nenek. Pada suatu sore yang telah ditentukan, Bu Suci
berkunjung ke rumah kakek dan nenek Waskito. Bu Suci bertemu dengan kakek
dan nenek Waskito yang usianya sebaya dengan orang tua Bu Suci. Si kakek
sebentar menyalam Bu Suci, lalu kembali masuk ke kamar praktek dokter.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 5
Tuturan
muda saja, yang penting sekarang mengajar
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 1 kali
Tindak Tutur Direktif = -
Tindak Tutur Ekspresif = 1 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 6
Waskito: “Tidak Bu! Saya di sini saja!” Bu Suci: ”Mengapa?”
Waskito: “Tidak Bu!”
Bu Suci: “Baiklah! Saya kira, saya tahu mengapa kamu tidak mau
pindah!”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 54)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
memperhatikan setiap siswa yang hadir di dalam ruangan. Kala itu Bu Suci sudah
mulai menghapal nama-nama muridnya. Hari itu Bu suci menyuruh murid-murid
untuk berpindah-pindah tempat sesuai arahan dari Bu Suci. Bu Suci mengatur
tempat duduk agar murid dapat menyerap pelajaran dengan maksimal sesuai
dengan teman sebangku yang diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 6
Tuturan
Jenis Tindak Tutur Menurut Austin Jenis Tindak Tutur Ilokusi Menurut Searle
Lokusi Ilokusi Perlokusi
1. Tidak Bu!
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = -
Tindak Tutur Direktif = -
Tindak Tutur Ekspresif = 3 kali
Tindak Tutur Deklaratif = 1 kali
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 7
Bu Suci: ”Raharjo! Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini. Kamu cepat mengembalikan ke lemari kantor ya!” ”Waskito! Tolong bawakan buku-buku tugas! Saya tidak dapat membawanya sendiri”
Waskito: “ini Bu” (meletakkan buku tugas di meja Bu Suci) Bu Suci: “Terima kasih! Nanti akan saya periksa.”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 55)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Ketika lonceng istirahat berbunyi, buku bacaan
dikumpulkan kembali. Di meja ada setumpuk buku tugas, harus dibawa ke kantor
sekolah. Saat itu Bu Suci ingin mencoba melakukan pendekatan terhadap Waskito
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 7
Tuturan
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = -
Tindak Tutur Direktif = 1 kali
Tindak Tutur Ekspresif = 2 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 8
Murid: ”Bu Suci! Waskito kambuh Bu! Dia mengamuk! Dia mau
membakar kelas!”
Bu Suci: ”Mengapa begitu? Apa yang menyebabkan dia marah? Kalian bertengkar?”
Murid: ”Tidak Bu! Tidak tahu apa yang terjadi, saya kembali dari kamar kecil dan mendengar Waskito berteriak-teriak seperti dulu! Dia mengatakan sangat membenci kami semua”
(sumber: novel Pertemuan Dua Hati Halaman 68)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Murid. Selama tiga bulan Bu Suci bekerja menjadi guru di
sekolah barunya, keadaa dapat dikatakan tenang. Baik persoalan Waskito dan
Tiba-tiba keadaan berubah. Saat itu guru-guru sedang beristirahat di kantor,
menunggu lonceng masuk kembali. Seorang murid terengah-engah datang dan
menghampiri.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 8
Tuturan
dulu! Dia mengatakan sangat membenci kami semua
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 2 kali
Tindak Tutur Direktif = -
Tindak Tutur Ekspresif = 1 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 9
Bu Suci: ”Buku-buku tugas harus dibungkus dengan sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor!”
Waskito: ”Baik Bu” (berdiri dan pergi)
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 72)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
berdentang, Bu Suci masuk kelas dan melihat Waskito sudah berpindah tempat
duduk, tepat di depan meja guru. Suasan terlihat lebih damai dari biasanya.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 9
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = -
Tindak Tutur Direktif = 1 kali
Tindak Tutur Ekspresif = 1 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 10
Bu Suci: ”Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama teman-teman
sebayamu?”
Waskito: ”Tidak Bu! Kecuali kalau mencuri-curi seperti waktu membolos”
Bu Suci: ”Kalau membolos, dengan siapa kamu pergi?”
Waskito: ”Dengan anak-anak kampung. Siapa saja yang mau diajak buat teman.”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 77)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Pada waktu jam istirahat Bu Suci selalu membiasakan
berbincang-bincang mengenai kehidupan Waskito, dan Waskito mulai
menunjukkan kemajuan dengan mulai berbicara jujur kepada Bu Suci.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 10
Tuturan
4. Dengan
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 2 kali
Tindak Tutur Direktif = -
Tindak Tutur Ekspresif = 2 kali
Tindak Tutur Deklaratif = -
Tindak Tutur Komisif = -
Data Percakapan 11
Bu Suci: ”Kamu bisa berenang? Seumpama jatuh ke sungai?”
Katanya kolam renang umum selalu kotor. Harus tunggu sampai kami buat kolam sendiri”
Bu Suci: ”Akan membuat kolam renang?” Waskito: ”Ya katanya begitu”
(sumber: novel pertemuan dua hati halaman 77)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Masih di ruang kelas, Bu Suci merasa iba karena
Waskito tidak memiliki teman di sekolah. Bu Suci berbincang-bincang dengan
murid sukarnya tersebut, berharap agar ia merasa nyaman dengan Bu Suci dan
perlahan Bu Suci bisa mengarahkan Waskito menjadi anak yang disukai oleh
banya teman.
Dengan menggunakan teori tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin
dan Searle, maka data tuturan akan dianalisis sebagai berikut:
Tabel 11
Tuturan
2. Dulu
Dari tabel di atas terlihat jumlah tindak tutur yang muncul, yaitu:
Tindak Tutut Asertif = 1 kali
Tindak Tutur Direktif = -
Tindak Tutur Deklaratif = 1 kali
Tindak Tutur Komisif = -
4.2 Analisis Makna dari Tindak Tutur dalam Dialog Novel Pertemuan
Dua Hati.
Setelah jenis-jenis tindak tutur ditemukan, kemudian akan dilanjutkan
dengan analisis makna pragmatik sebagai berikut:
Data Percakapan 1:
(1) Bu Suci: ”Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!”
(2) Bu Suci: ”Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?” (3) Raharjo: ”Tahu, Bu.”
(4) Bu Suci: ”Lalu? Terlalu jauh buat kamu?”
(5) Raharjo: ”Oh, tidak Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati, halaman 26)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan, yaitu
Bu Suci dan Raharjo. Setelah beberapa hari menjadi guru baru di sekolah yang
baru, pagi itu Bu Suci sedang memulai pelajaran di kelasnya dengan santai. Hari
terhitung dua hari lamanya. Ia mulai bertanya kepada murid yang mengenal
waskito agar dapat melihat keadaan Waskito yang sudah dua hari tidak masuk
sekolah.
Pada tuturan (1) menyatakan bahwa <Bu Suci> mengatakan kepada Raharjo
agar pergi ke rumah Waskito untuk menanyakan mengapa Waskito tidak masuk
sekolah. Tuturan disampaikan secara sengaja oleh <Bu Suci> yang disebut dengan
tindak lokusi. Selain tindak lokusi, tuturan (1) juga mempunyai maksud yang
ingin disampaikannya, yaitu <Bu Suci> ingin menyuruh Raharjo sebagai ketua
kelas agar dapat pergi melihat keadaan Waskito. Tindak ini disebut sebagai tindak
ilokusi. Dari tuturan tersebut timbul efek oleh lawan tutur, yaitu <Raharjo> hanya
terdiam dan memalingkan pandangan dengan maksud tidak ingin pergi
menjumpai ataupun berurusan dengan Waskito.
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Bu Suci> bertanya kembali apakah
<Raharjo> tidak mengetahui rumah Waskito. Tindak ilokusi pada tuturan (2) yaitu
<Bu Suci> meminta Raharjo menjawab pertanyaannya dan memintanya agar tidak
hanya terdiam. Tindak perlokusinya muncul pada tuturan (3) yaitu <Raharjo>
memberikan jawaban kepada <Bu Suci> dengan berat hati karena ia sangat
menakuti sosok Waskito yang sangat nakal dan sukar.
Tindak lokusi pada tuturan (3) menyatakan bahwa <Raharjo> mengetahui
rumah Waskito. Tindak ilokusi pada tuturan (3) adalah <Raharjo> menjawab
pertanyaan dengan singkat dan berharap agar <Bu Suci> tidak menyuruhnya
yaitu setelah mendengar penyataan muridnya itu <Bu Suci> merasakan
kejanggalan dan kembali bertanya kepada <Raharjo>.
Tindak lokusi pada tuturan (4) yaitu <Bu Suci> bertanya kepada <Raharjo>
apakah rumah Waskito terlalu jauh, karena terlihat dari wajah <Raharjo> bahwa ia
sangat tidak ingin berurusan dengan Waskito. Tindak ilokusinya adalah meminta
<Raharjo> agar menjawab dan memberikan penjelasan tentang sikapnya yang
tidak bersahabat ketika ditanyai mengenai Waskito. Tindak perlokusinya muncul
pada tuturan (5) yaitu <Raharjo> menjawab pertanyaan dengan jujur.
Tindak lokusi pada tuturan (5) adalah <Raharjo> menyatakan kejujuran bahwa
rumahnya tidak jauh dari rumahnya dan selalu dilewati setiap mau berangkat
ataupun pulang dari sekolah. Tindak ilokusinya ialah <Raharjo> ingin
memberikan penjelasan bahwa rumah Waskito sebenarnya tidaklah jauh. Tindak
perlokusinya adalah <Bu Suci> heran karena Raharjo keberatan jika ditanyai
tentang Waskito dan tidak mengeti mengapa Raharjo bertindak seolah tidak
mengetahui rumah Waskito.
Data Percakapan 2
(1) Raharjo: ”Dia anak orang kaya Bu”
(2) Bu Suci: ”Hanya itu? Apa lagi lain-lainnya? Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti.”
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Raharjo. Di dalam ruang kelas pada pagi itu Bu Suci menanyai
murid yang mengetahui rumah Waskito, karena Waskito sudah beberapa hari
tidak masuk kelas. Bu Suci sangat heran karena seluruh murid di kelas terlihat
sangat tidak menyukai Waskito. Mereka selalu menghindar ketika ditanyai perihal
Waskito. Menurut mereka Waskito adalah anak yang sangat nakal. Bu suci
semakin penasaran siapa sebenarnya Waskito, karena sejak pertama mengajar di
sekolah tersebut nama Waskito yang tercantum di daftar hadir tidak pernah hadir
di ruang kelas.
Pada tuturan (1) tindak lokusi yang terjadi, yaitu <Raharjo> memberi
pernyataan bahwa Waskito adalah anak orang kaya sombong dan teman sekelas
tidak ada yang menyukai Waskito. Tindak ilokusi pada tuturan (2) ialah
<Raharjo> memberitahu kepada <Bu Suci> tentang status sosial Waskito agar
<Bu Suci> mengetahui tentang Waskito yang menurut Raharjo dan teman-teman
sekelas adalah murid yang sangat nakal. Tindak perlokusinya muncul pada tuturan
(2) yaitu <Bu Suci> melayangkan pandangan ke seluruh penjuru lalu bertanya
serta menasehati murid-muidnya agar tidak boleh bersikap menjauhi seseorang
hanya karena status sosial sebagai orang kaya, walaupun ia terbilang sombong.
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Bu Suci> menanyakan apakah
(2) yaitu memberi nasihat murid-muridnya agar tidak menakuti sosok orang kaya
yang mereka maksud, karena orang kaya bukan lah sosok yang harus ditakuti.
<Bu Suci> menasihati agar murid-murinya tidak saling membenci. Tindak
perlokusinya muncul pada tuturan (3) yaitu murid di kelas tidak setuju dengan
nasihat <Bu Suci>.
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Raharjo> menyatakan rasa
ketidaksukaannya terhadap Waskito. Ia berharap tidak bertemu dengan Waskito di
sekolah dan ingin Waskito pindah saja dari kelasnya. Tindak ilokusinya pada
tuturan (3) adalah <Raharjo> membantah nasihat <Bu Suci> agar tidak
membenci Waskito. <Raharjo> menyatakan rasa kesal yang mendalam terhadap
Waskito. Tindak perlokusinya adalah <Bu Suci> terkejut karena <Raharjo>
membantah <Bu Suci> dan <Bu Suci> semakin heran mengapa murid-muridnya
sampai sangat membenci Waskito.
Data Percakapan 3
(1) Murid: ”Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul, menyakiti siapa saja.” (2) Bu Suci: ”Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?”
(3) Murid: ”Saya dan teman yang lainnya Bu”
(4) Bu Suci: ”Bagaimana terjadi? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?”
(sumber: nover Pertemuan Dua Hati karya halaman 28)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Murid. Masih di dalam ruangan kelas, Bu Suci ingin
mengetahui apa penyebab murid-muridnya tidak menyukai Waskito. Bu suci
semakin heran karena seluruh murid mengatakan Waskito adalah anak yang jahat.
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (1), yaitu <Murid> menyatakan
bahwa Waskito mempunyai kelainan. Ia suka memukul dan mengamuk tanpa
sebab. Penyebab teman-teman tidak menyukai Waskito adalah karena kekasaran
Waskito terhadap teman-temannya. Tindak ilokusi pada tuturan (1) adalah
<Murid> memberitahu <Bu Suci> tentang kekesalannya atas tindakan Waskito
yang brutal. <Murid> menjelaskan mengapa seluruh teman di kelas membenci
Waskito. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (2), yaitu <Bu Suci> bertanya
kepada <Murid> untuk menjelaskan siapa saja yang pernah disakiti oleh Waskito.
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (2) adalah <Bu Suci> bertanya
kepada <Murid> siapa saja yang pernah disakiti oleh Waskito. Tindak ilokusinya
adalah <Bu Suci> ingin mengetahui siapa saja yang pernah disakiti. <Bu Suci>
ingin melihat seberapa banyak anak yang telah dipukul dan disakiti oleh
Waskito>. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (3), yaitu hamper seluruh murid
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Murid> mengangkat tangan
bersama teman-teman yang lain dan mengatakan bahwa ia dan teman-teman yang
lain pernah disakiti. Tindak ilokusi tuturan (3) adalah <Murid> memberitahu agar
<Bu Suci> mengetahui bahwa banyak orang yang telah disakiti oleh Waskito.
Tindak perlokusi muncul pada tuturan (4), yaitu <Bu Suci> bertanya bagaimana
semua itu bias terjadi.
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (4) adalah <Bu Suci> bertanya
bagaimana kebrutalan Waskito bias terjadi dan seperti apa Waskito menyakiti
teman-temannya. Tindak ilokusi tuturan (4) adalah <Bu Suci> ngin mendapat
jawaban dan mengetahui secara jelas kronologis kejadian, agar <Bu Suci> dapat
mengambil kesimpulan dan segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah
tersebut. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (5), yaitu <Murid> menceritakan
kejadian bagaimana Waskito betindak kasar kepadanya.
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (5) adalah <Murid> menyatakan
bahwa memang ia bertengkar dengan Waskito lalu dipukul tetapi kebanyakan
Waskito memukul teman-teman tanpa ada sebabnya. Tindak ilokusi yang terdapat
pada tuturan (5) adalah <Murid> menceritakan dan mengeluhkan tindakan
Waskito yang bisa saja mengamuk dan memukul tanpa sebab yang jelas. Tindak
perlokusinya ialah <Bu Suci> hanya terdiam sambil memikirkan jalan keluar dari
Data Percakapan 4
(1) Bu Suci: ”Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito?”
(2) Murid: ”Saya dilempari batu-batu besar Bu. Untung tidak kena, tetapi lampu sepeda saya pecah. Saya kena marah di rumah.”
(3) Bu Suci: ”Kamu katakan bahwa Waskito yang memecahkannya?”
(4) Murid: ”Saya bilang tabrakan dengan teman.”
(5) Bu Suci: ”Mengapa?”
(6) Murid: ”Bapak tidak suka saya buat perkara di sekolah.” (sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 29)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Murid. Di ruang kelas pada waktu itu seluruh anak mengelukan
tentang kenakalan Waskito. Di ruang kelas tersebut Bu Suci mencari tahu tentang
apa saja yang pernah dilakukan oleh Waskito. Pagi itu suasana kelas agak gaduh
karena seluruh siswa mulai mengungkapkan apa yang pernah dialami oleh
mereka.
Tindak lokusi pada tuturan (1), yaitu <Bu Suci> menanyakan siapa saja
yang pernah berurusan dengan Waskito. Tindak ilokusi pada tuturan (1) adalah
<Bu Suci> ingin mengetahui seberapa banyak orang yang disakiti Waskito dan
ingin mendengar kesaksian dari orang-orang yang pernah berurusan dengan
Waskito. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (2), yaitu <Murid> menceritakan
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Murid> menyatakan bahwa ia
pernah dilempari batu-batu besar oleh Waskito. Penyebab kemarahannya tidak
jelas. Tindak ilokusi tuturan (2) adalah <Murid> memberitahu dan bersaksi
kepada <Bu Suci> bahwa ia pernah dilempari batu besar. Untungnya tidak
melukai tubuhnya hanya saja lampu sepedanya rusak. Akibat ulah Waskito
<Murid> dimarahi oleh orang tuanya. Tindak perlokusi terdapat pada tuturan (3),
yaitu < Bu Suci> bertanya apakah <Murid> menceritakan kejadian tersebut
kepada orang tuanya.
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Bu Suci> bertanya apakah
<Muid> memberitahu kepada orang tuanya bahwasannya yang memecahkan
lampu sepedanya adalah Waskito. Tindak ilokusi tuturan (3) adalah <Bu Suci>
ingin mengetahui apakah <Murid> berkata jujur kepada orang tuanya. Tindak
perlokusi muncul pada tuturan (4) <Murid> menjawab pertanyaan <Bu Suci> dan
mengatakan bahwa ia tidak berkata jujur
Tindak lokusi pada tuturan (4) adalah <Murid> mengatakan kepada <Bu
Suci> bahwa ia tidak berkata yang sejujurnya kepada orang tuanya. Tindak ilokusi
tuturan (4) adalah <Murid> memberitahu kepada <Bu Suci> bahwa ia hanya
mengatakan bahwa lampu sepeda pecah karena bertabrakan dengan teman.
<Murid> tidak berkata jujur kepada orang tuanya. Tindak perlokusinya muncul
pada tuturan (5), yaitu <Bu Suci> bertanya mengapa.
Tindak lokusi pada tuturan (5) adalah <Bu Suci> bertanya mengapa
<Bu Suci> ingin mengetahui alasan mengapa <Murid> tidak berkata dengan jujur.
Tindak perlokusi muncul pada tuturan (6), yaitu <Murid> menyatakan alasannya.
Tindak lokusi pada tuturan (6) adalah <Murid> menyatakan bahwa orang
tuanya tidak menyukai jika ia berbuat masalah apa pun di sekolah. Tindak ilokusi
tuturan (6) adalah <Murid> memberitahu alasan mengapa ia tidak berkata jujur. Ia
takut jika orang tuanya marah besar. Tindak perlokusinya adalah <Bu Suci> mulai
berpikir tentang perlakuan Waskito.
Data Percakapan 5
(1) Nenek: ”Tua-tua masih praktek jeng, hanya dua kali seminggu. Dia bergantian dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja”
(2) Bu Suci: ”Di samping itu Bapak tidak bekerja di mana-mana lagi, Bu?”
(3) Nenek: ” masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji pemerintah jeng!” Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah lelah.
Katanya biar yang muda-muda saja, yang penting sekarang mengajar.”
(sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 36)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Nenek. Pada suatu sore yang telah ditentukan, Bu Suci
dan nenek Waskito yang usianya sebaya dengan orang tua Bu Suci. Si kakek
sebentar menyalam Bu Suci, lalu kembali masuk ke kamar praktek dokter.
Tindak lokusi pada tuturan (1) adalah <Nenek> menyatakan kepada <Bu
Suci> bahwa suaminya walaupun sudah tua masih praktek sebagai dokter. Tindak
ilokusi tuturan (1) adalah <Nenek> memberitahu tentang status sosial suaminya
yang masih bekerja sebagai dokter. Suaminya masih aktif dua minggu sekali
untuk praktek walaupun sudah tua. <Nenek> memperkenalkan diri dan
kehidupannya agar terlihat leih akrab dengan <Bu Suci>. Tindak perlokusi
muncul pada tuturan (2) bertanya apakah hanya itu saja yang dikerjakan oleh
suaminya.
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Bu Suci> bertanya apakah hanya
praktek dan membantu dokter muda saja yg dikerjakan olah suaminya. Tindak
ilokusi tuturan (2) <Bu Suci> ingin mengetahui lebih dalam tentang seluruh
kehidupan Waskito, termasuk Nenek dan suaminya. Tindak perlokusi muncul
pada tuturan (3), yaitu <Nenek> dengan senang hati menceritakan tentang
keseharian suaminya.
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Nenek> mengatakan bahwa selain
bekerja di tempat praktek, suaminya juga masih bekerja di Rumah Sakit Karyadi.
Supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Tindak ilokusi pada tuturan (3)
adalah <Nenek> memberitahu bahwa suaminya masih bekerja di Rumah Sakit
Karyadi agar tidak tertinggal metode-metode baru. <Nenek> menceritakan bahwa
penolong orang sakit. Tindak perlokusinya adalah <Bu Suci> menilai baik
kehidupan <Nenek>.
Data Percakapan 6
(1) Waskito: “Tidak Bu! Saya di sini saja!”
(2) Bu Suci: ”Mengapa?”
(3) Waskito: ”Tidak Bu!”
(4) Bu Suci: “Baiklah! Saya kira, saya tahu mengapa kamu tidak mau pindah!”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 54)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Di dalam ruangan kelas, seperti biasa Bu Suci
memperhatikan setiap siswa yang hadir di dalam ruangan. Kala itu Bu Suci sudah
mulai menghapal nama-nama muridnya. Bu suci menyuruh murid-murid untuk
berpindah-pindah tempat sesuai arahan dari Bu Suci. Bu Suci mengatur tempat
duduk agarmurid dapat menyerap pelajaran dengan maksimal sesuai dengan
teman sebangku yang diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik.
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (1) adalah <Waskito>
menyatakan kepada <Bu Suci> bahwa ia tidak mau pindah tempat duduk karena
ia tidak suka diatur oleh siapa pun di sekolah. Tindak ilokusi tuturan (1) adalah
<Waskito> membantah perkataan <Bu Suci> untuk berpindah tempat duduk.
Tindak perlokusi muncul pada tuturan (2), yaitu < Bu Suci> mencoba bersabar
menghadapi <Waskito
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Bu Suci> bertanya mengapa
<Waskito> tidak ingin berpindah tempat duduk. Tindak ilokusi tuturan (2) adalah
<Bu Suci> ingin mengetahui alasan <Waskito> tidak mau pindah tempat duduk.
Tindak perlokusi nya adalah <Waskito> menghiraukan <Bu Suci> dengan
pandangan mata tajam.
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Waskito> mengatakan tidak
kepada <Bu Suci>, tanpa alasan yang jelas. Tindak ilokusi tuturan (3) adalah
<Waskito> membantah perkataan <Bu Suci> untuk berpindah dari tempat duduk.
<Waskito> tidak menghiraukan ucapan <Bu Suci> dengan hanya berdiam diri di
tempat duduknya. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (4), yaitu <Bu Suci>
mencoba mengahadapi <Waskito> dengan besar hati.
Tindak lokusi pada tuturan (4) adalah <Bu Suci> mengatakan bahwa ia
mengetahui alasan mengapa <Waskito> tidak ingin pindah tempat duduk. Tindak
ilokusi tuturan (4) adalah <Bu Suci> pasrah dan mencoba mengikuti kemauan
<Waskito>, seolah mengerti mengapa <Waskito> tidak ingin pindah.
Data Percakapan 7
istirahat ini. Kamu cepat mengembalikan ke lemari kantor ya!”. ”Waskito! Tolong bawakan buku-buku tugas! Saya tidak dapat membawanya sendiri”
(2) Waskito:”ini Bu” (meletakkan buku tugas di meja Bu Suci ) (3) Bu Suci: ”Terima kasih! Nanti akan saya periksa.”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 55)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Ketika lonceng istirahat berbunyi, buku bacaan
dikumpulkan kembali. Di meja ada setumpuk buku tugas, harus dibawa ke kantor
sekolah. Saat itu Bu Suci ingin mencoba melakukan pendekatan terhadap Waskito
dengan menyuruhnya untuk membantu membawa buku tugas.
Tindak lokusi pada tuturan (1) adalah <Bu Suci> mengatakan kepada
<Waskito> untuk membantu membawa buku tugas ke kantor sekolah. Tindak
ilokusi tuturan (1) adalah <Bu Suci> memerintahkan <Waskito> untuk membantu
membawa buku tugas ke kantor. <Bu Suci> bermaksud untuk melakukan
pendekatan kepada <Waskito> dan berharap <Waskito> dapat mematuhi
perkataannya. Tindak perkokusi muncul pada tuturan (2) <Waskito> meletakkan
buku tugas di meja <Bu Suci>
Tindak lokusi pada tutuan (2) adalah <Waskito> mengatakan ini Bu
kepada <Bu Suci> dan meletakkan buku tugas di meja <Bu Suci>. Tindak ilokusi
pada tuturan (2) adalah <Waskito> mematuhi perintah <Bu Suci> untuk pertama
kalinya. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (3), yaitu <Bu suci> merasa
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Bu Suci> mengucapkan terima
kasih kepada <Waskito>. Tindak ilokusi pada tuturan (3) adalah <Bu Suci>
berterima kasih kerena <Waskito> sudah mematuhi perintahnya. <Bu Suci>
merasa senang karena <Waskito> sudah menunjukkan sedikit kemajuan dengan
telah mengikuti perintah <Bu Suci>. Tindak perlokusinya adalah <Waskito>
mengangguk kan kepala lalu pergi.
Data Percakapan 8
(1) Murid: ”Bu Suci! Waskito kambuh Bu! Dia mengamuk! Dia mau
membakar kelas!”
(2) Bu Suci: ”Mengapa begitu? Apa yang menyebabkan dia marah?
Kalian bertengkar?”
(3) Murid: ”Tidak Bu! Tidak tahu apa yang terjadi, saya kembali dari kamar kecil dan mendengar Waskito berteriak-teriak seperti dulu! Dia mengatakan sangat membenci kami semua”
(sumber: novel Pertemuan Dua Hati Halaman 68)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Murid. Selama tiga bulan Bu Suci bekerja menjadi guru di
sekolah barunya, keadaa dapat dikatakan tenang. Baik persoalan Waskito dan
Tiba-tiba keadaan berubah. Saat itu guru-guru sedang beristirahat di kantor,
menunggu lonceng masuk kembali. Seorang murid terengah-engah datang dan
menghampiri.
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (1) adalah <Murid> berkata
kepada <Bu Suci> bahwa Waskito sedang mengamuk. <Murid> takut bahwa
Waskito akan berbuat kasar kembali kepada murid-murid disekitarnya. Tindak
ilokusi pada tuturan (1) adalah <Murid> ingin memberitahu kepada <Bu Suci>
bahwa Waskito sedang berbuat ulah dan mengingikan <Bu Suci> untuk segera
menghampiri Waskito agar dapat menghentikannya. Tindak perlokusi muncul
pada tuturan (2) <Bu Suci> terkejut dan segera berlari menghampiri Waskito.
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Bu Suci> bertanya kepada
<Murid> apa penyebab kemarahan Waskito. Tindak ilokusi tuturan (2) adalah
<Bu Suci> ingin mengetahui mengapa Waskito bias mengamuk dan berbuat ulah,
setelah beberasa minggu terakhir Waskito mengalami perubahan yang baik.
Tindak perlokusi muncul pada tuturan (3), yaitu <Murid> menjelaskan secara
terburu-buru sambil mengiring <Bu Suci> ke tempat Waskito berada.
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Murid> berkata kepada <Bu Suci>
bahwa <Murid> tidak mengetahui mengapa Waskito bisa mengamuk, ia hanya
mendengar teriakan Waskito dan mengatakan ia benci dengan semua orang yang
ada di sekolah. Tindak ilokusi tuturan (3) adalah <Murid> memberitahu kepada
<Bu Suci> apa yang ia ketahui saat kejadian tersebut. <Murid> ingin <Bu Suci>
Suci> merespon baik dan segera menghampiri Waskito untuk menenangkan dan
mencari tahu mengapa semua bisa terjadi.
Data Percakapan 9
(1) Bu Suci: ”Buku-buku tugas harus dibungkus dengan sampul yang sama. Waskito! Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor!”
(2) Waskito: ”baik Bu” (berdiri dan pergi) (Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 72)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Pada pagi hari ketika lonceng pelajaran pertama
berdentang, Bu Suci masuk kelas dan melihat Waskito sudah berpindah tempat
duduk, tepat di depan meja guru. Suasana terlihat lebih damai dari biasanya.
Tindak lokusi pada tuturan (1) adalah <Bu Suci> mengatakan kepada
<Waskito> untuk mengambil gulungan kertas yang ada di meja kantor. Tindak
ilokusi pada tuturan (1) adalah < Bu Suci> memerintahkan <Waskito> untuk
mengambil gulungan kertas. <Bu Suci> berharap agar <Waskito> dapat menuruti
perintahnya, dan dapat berubah menjadi anak berpribadi yang baik. Tindak
perlokusi muncul pada tuturan (2), yaitu <Waskito> segera berdiri dan pergi untuk
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Waskito> mengatakan kepada <Bu
Suci> bahwa ia akan mengambil gulungan kertas sesuai yang diperintahkan oleh
<Bu Suci>. Tindak ilokusi pada tuturan (2) adalah <Waskito> mengikuti
perkatakaan <Bu Suci> untuk mengambil gulungan kertas. Tindak perlokusinya
adalah <Bu Suci> sangat senang dengan perubahan yang terjadi dalam diri
<Waskito>.
Data Percakapan 10
(1) Bu Suci: ”Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama teman-teman sebayamu?”
(2) Waskito: ”Tidak Bu! Kecuali kalau mencuri-curi seperti waktu membolos”
(3) Bu Suci: ”Kalau membolos, dengan siapa kamu pergi?”
(4) Waskito: ”Dengan anak-anak kampung. Siapa saja yang mau diajak buat teman.”
(Sumber: novel Pertemuan Dua Hati halaman 77)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Pada waktu jam istirahat Bu Suci selalu membiasakan
untuk mendekatkan diri kepada waskito. Saat itu di ruang kelas mereka
berbincang-bincang mengenai kehidupan Waskito, dan Waskito mulai
Tindak lokusi yang terdapat pada tuturan (1) adalah <Bu Suci> bertanya
kepada <Waskito> apakah <Waskito> tidak pernah berpergian bersama
teman-temannya. Tindak ilokusi pada tuturan (1) adalah <Bu Suci> ingin mengetahui
mengapa <Waskito> tidak memiliki teman dekat untuk bermain. <Bu Suci> ingin
mengetahui keseharian <Waskito> bermain dengan siapa saja. Tindak perlokusi
muncul pada tuturan (2), yaitu <Waskito> menjawab pertanyaan dan
menceritakan kebiasaannya kepada <Bu Suci>
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Waskito> mengatakan bahwa ia
tidak pernah bermain dengan teman sebaya atau teman di sekolahnya. Tindak
ilokusi pada tuturan (2) adalah <Waskito> memberitahu kepada <Bu Suci> bahwa
ia tidak pernah bermain dengan teman sebaya nya. <Waskito> hanya bermain
ketika ia sedang bolos sekolah, karena jika sudah waktunya pulang sekolah dia
tidak diperbolehkan untuk bermain lagi. Tindak perlokusi muncul pada tuturan
(3), yaitu <Bu Suci> merasa tersentuh dan bertanya dengan siapa <Waskito>
bolos.
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Bu Suci> bertanya kepada
<Waskito> dengan siapa ia pergi bolos sekolah. Tindak ilokusi pada tuturan (3)
adalah <Bu Suci> ingin mengetahui penyebab <Waskito> bolos dan dengan siapa
dia akan pergi. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (4), yaitu <Waskito>
menceritakan ia bolos karena rindu akan bermain bersama teman sebaya.
Tindak lokusi pada tuturan (4) adalah <Waskito> mengatakan bahwa ia
ilokusi pada tuturan (4) adalah <Waskito> ingin memberitahu <Bu Suci> bahwa
ia begitu rindu bermain bersama teman sebaya, hingga ia bolos untuk bermain
dengan anak kampung. <Waskito> ingin mengungakapkan bahwa jika sudah
waktunya jam pulang sekolah, ia harus segera pulang dan tidak diiznkan untuk
bermain dengan teman sebaya nya. <Waskito> memilih untuk bolos agar dapat
menikmati waktu bermain bersama anak kampung yang mau berteman
dengannya. Tindak perlokusinya adalah <Bu Suci> merasa iba kepada <Waskito>
dan memikirkan cara untuk mendekatkan <Waskito> kepada teman sebayanya
termasuk anak dari <Bu Suci> sendiri.
Data Percakapan 11
Bu Suci: ”Kamu bisa berenang? Seumpama jatuh ke sungai?”
Waskito: ”Dulu saya ingin beljar berenang, tetapi tidak boleh oleh Ibu.
Katanya kolam renang umum selalu kotor. Harus tunggu sampai kami buat kolam sendiri”
Bu Suci: ”Akan membuat kolam renang?” Waskito: ”Ya katanya begitu”
(sumber: novel pertemuan dua hati halaman 77)
Konteks:
Pada dialog di atas terdapat percakapan yang melibatkan dua partisipan,
yaitu Bu Suci dan Waskito. Masih di ruang kelas, Bu Suci merasa iba karena
murid sukarnya tersebut, berharap agar ia merasa nyaman dengan Bu Suci dan
perlahan Bu Suci bisa mengarahkan Waskito menjadi anak yang disukai oleh
banya teman.
Tindak lokusi pada tuturan (1) adalah <Bu Suci> bertanya kepada
<Waskito> apakah <Waskito> pandai berenang jika seandainya terjatuh di sungai.
Tindak ilokusi tuturan (1) adalah <Bu Suci> ingin mengetahui apakah <Waskito>
bisa berenang jika seandainya ia jatuh ke sungai dan tidak ada orang di dekatnya.
<Bu Suci> ingin mengetahui apakah <Waskito> bisa menjaga dirinya sendiri.
Tindak perlokusi muncul pada tuturan (2) <Waskito> menjawab pertanyaan <Bu
Suci> dan mengatakan ia tidak bisa berenang.
Tindak lokusi pada tuturan (2) adalah <Waskito> mengatakan pada <Bu
Suci> bahwa dulu ia ingin beajar berenang tetapi ibunya tidak memperbolehkan
karena menurut ibunya kolam renang umum terlalu kotor untuk <Waskito>.
Tindak ilokusi pada tuturan (2) adalah <Waskito> memberitahu kepada <Bu
Suci> bahwa ia tidak bisa berenang, meskipun sesungguhnya ia sangat ingin
belajar berenang. <Waskito> ingin memeberitahu <Bu Suci> bahwa ibunya tidak
mengizinkannya berenang di tempat umum karena menurut ibunya kolam renang
umum terlalu kotor dan <Waskito> harus menunggu sampai mereka membuat
kolam renang sendiri. Tindak perlokusi muncul pada tuturan (3), yaitu <Bu Suci>
heran dengan keputusan ibu Waskito yag melarang anaknya untuk berbaur di
Tindak lokusi pada tuturan (3) adalah <Bu Suci> bertanya kepada
<Waskito> tentang keinginan orang tuanya yang akan membuat kolam renang
sendiri. Tindak ilokusi pada tuturan (3) adalah <Bu Suci> ingin mengetahui
apakah benar ibu <Waskito> akan membuat kolam renang dan tidak mengizinkan
anaknya untuk bergabung bersama anak-anak yang lain. Tindka perlokusin
muncul pada tuturan (4), yaitu <Waskito> menjawab pertanyaan <Bu Suci>
dengan nada keluhan.
Tindak lokusi pada tuturan (4) adalah <Waskito> berkata kepada <Bu
Suci> bahwa ibunya memang berjanji untuk membuat kolam renang sendiri.
Tindak ilokusi pada tuturan (4) adalah <Waskito> ingin memberitahu kepada <Bu
Suci> bahwa ibunya yang mempersempit ruang lingkupnya untuk tidak
sembarang bergaul. Tindak perlokusinya adalah <Bu Suci> merasa keputusan
ibunya adalah salah dan mulai mencari bagaimana cara agar <Waskito> tidak
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Seperti yang telah diuraikan pada Bab I, Bab II, Bab III, dan Bab IV, maka
dapat diketahui bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji
tentang tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan penulis, maka dapat diambil
simpulan bahwa percakapan yang terdapat dalam novel Pertemuan Dua Hati
terdapat jenis tindak tutur sesuai dengan yang dikemukakan oleh Austin
(lokusi, ilokusi, perlokusi) serta Searle (Asertif, Direktif, Ekspresif, dan
Deklaratif). Tindak tutur Komisif tidak ditemukan.
Tindak tutur dominan yang terdapat dalam novel Pertemuan Dua Hati
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Searle yaitu, tindak tutur asertif
(pernyataan, saran, dan keluhan) dan tindak tutur ekspresif (ucapan terima
kasih, kritikan dan pujian)
5.2Saran
Banyak aspek dari novel Pertemuan Dua Hati yang masih dapat diteliti
lebih lanjut. Di antaranya adalah dalam kajian pragmatik dapat dibahas secara
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep
Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu tindak tutur
dan novel Pertemuan Dua Hati.
Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu (Chaer, 2004: 16).
Tindak tutur adalah kegiatan melakukan tindakan mengujarkan tuturan
(Rustono, 1999: 31).
Novel Pertemuan Dua Hati adalah novel karya Nh. Dini yang terbit pada
tahun 1986. Novel ini menceritakan tentang Waskito seorang “murid yang sukar”
sehingga ia tidak disukai oleh teman-temannya di sekolah. Waskito sering
membolos, sering memukuli kawan-kawannya dan sering membuat onar di
sekolah. Akan tetapi, berkat keuletan Bu Suci, yakni guru Waskito, akhirnya si
“anak sukar” itu berhasil dibimbing ke arah yang benar.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti
pragmatik. Pragmatik ialah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan
tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya (Levinson dalam Rahardi, 2005:
48).
Parker (dalam Rahardi, 2005: 48) menyatakan bahwa pragmatik adalah
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun
yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan
dalam komunikasi yang sebenarnya. Pakar ini membedakan pragmatik dengan
studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa secara
internal. Menurutnya studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks,
sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Berkenaan dengan
itu studi tata bahasa dapat dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context
independent). Sebaliknya, studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan
mewadahinya. Studi bahasa yang demikian dapat disebut sebagai studi yang
terikat konteks (context dependent).
Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan
lingual tertentu pada sebuah bahasa, karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah
makna, dapat dikatakan bahwa pragmatik dalam banyak hal sejajar dengan
semantik yang juga mengkaji makna. Perbedaan antar kedua adalah bahwa
pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal. Makna yang dikaji
dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam
semantik bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam semantik bersifat
diadik, sedangkan makna yang dikaji pragmatik bersifat triadik. Pragmatik
mempelajari bentuk bahasa untuk memahami makna satuan lingual itu (Rahardi,
2005: 50).
2.2.2 Konteks Situasi Tutur
Konteks situasi tutur menurut Wijana (dalam Rahardi, 2005: 50)
mencakup aspek-aspek berikut: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan,
(3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktifitas, (5) tuturan
sebagai produk tindak verbal.
Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan
sebagai berikut:
(1)Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya yang
dikemukakan Searle lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti
„pembicara atau penutur‟ dan H (hearer) yang dapat diartikan „pendengar atau mitra tutur‟. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan
sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa
ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.
(2) Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis.
Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara
fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar
belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan
mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang
dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.
(3) Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu
sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan
tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau
tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.
Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang
berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau
struktural.
(4)Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang
ditangani pragmatik. Pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat
dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di
dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta
tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa
konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.
(5) Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat
dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam
sebuah pertuturan itu adalah segala pertimbangan konteks yang
melingkupi dan mewadahinya.
2.2.3 Tindak Tutur
Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan
bertutur tidak terbatas jumlahnya karena setiap hari seseorang tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi, sehingga tindakan bertutur selalu
lawan bicaranya. Para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur dalam berbagai
jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis tuturannya, kategori,
modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya.
Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan
dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa
tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur
dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya
merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk
mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu berada dalam
peristiwa tutur. Jika peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas,
maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan
peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan
dalam tuturannya.
Pada tahun 1962, Austin (dalam Tarigan, 1986: 109) telah membedakan
tiga jenis tindak ujar, yaitu
(1)Tindak lokusi (melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu).
(2)Tindak ilokusi (melakukan sesuatu tindakan dalam mengatakan sesuatu).
(3)Tindak perlokusi (melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan
sesuatu).
Lokusi: pembicara mengatakan kepada penyimak bahwa X (X adalah kata-kata
tertentu yang diucapkan dengan perasaan, makna, dan acuan tertentu)
Ilokusi: dalam mengatakan X, pembicara menyatakan P.
Perlokusi: dengan mengatakan X, pembicara meyakinkan penyimak bahwa P.
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh austin tersebut, Searle (dalam
Rahardi, 2005: 35) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut
dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Tindak lokusioner (locutionary acts), (2)
Tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) Tindak perlokusioner
(perlocutionary acts).
Tindak lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat
sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak
tutur ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak
ilokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan
oleh si penutur. Jadi, tuturan tanganku gatal misalnya, semata-mata hanya
dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkn
tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing
something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya