• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Tutur Dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya NH. Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindak Tutur Dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya NH. Dini"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep

Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu tindak tutur

dan novel Pertemuan Dua Hati.

Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan

keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer, 2004: 16).

Tindak tutur adalah kegiatan melakukan tindakan mengujarkan tuturan

(Rustono, 1999: 31).

Novel Pertemuan Dua Hati adalah novel karya Nh. Dini yang terbit pada tahun 1986. Novel ini menceritakan tentang Waskito seorang “murid yang sukar” sehingga ia tidak disukai oleh teman-temannya di sekolah. Waskito sering membolos, sering memukuli kawan-kawannya dan sering membuat onar di

sekolah. Akan tetapi, berkat keuletan Bu Suci, yakni guru Waskito, akhirnya si “anak sukar” itu berhasil dibimbing ke arah yang benar.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pragmatik

Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti pragmatik. Pragmatik ialah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan

(2)

tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya (Levinson dalam Rahardi, 2005: 48).

Parker (dalam Rahardi, 2005: 48) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun

yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Pakar ini membedakan pragmatik dengan studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa secara

internal. Menurutnya studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Berkenaan dengan

itu studi tata bahasa dapat dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context independent). Sebaliknya, studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya mutlak dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan

mewadahinya. Studi bahasa yang demikian dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent).

Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa, karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah

makna, dapat dikatakan bahwa pragmatik dalam banyak hal sejajar dengan semantik yang juga mengkaji makna. Perbedaan antar kedua adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal. Makna yang dikaji

dalam pragmatik bersifat terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji dalam semantik bersifat bebas konteks. Makna yang dikaji dalam semantik bersifat

(3)

mempelajari bentuk bahasa untuk memahami makna satuan lingual itu (Rahardi, 2005: 50).

2.2.2 Konteks Situasi Tutur

Konteks situasi tutur menurut Wijana (dalam Rahardi, 2005: 50)

mencakup aspek-aspek berikut: (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktifitas, (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.

Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut:

(1)Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya yang dikemukakan Searle lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti „pembicara atau penutur‟ dan H (hearer) yang dapat diartikan „pendengar

atau mitra tutur‟. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan

sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa

ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. (2) Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis.

Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan

mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.

(4)

dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan

tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.

Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau struktural.

(4)Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat

dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa

konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.

(5) Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat

dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah segala pertimbangan konteks yang

melingkupi dan mewadahinya.

2.2.3 Tindak Tutur

Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas jumlahnya karena setiap hari seseorang tidak dapat

(5)

lawan bicaranya. Para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur dalam berbagai jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis tuturannya, kategori,

modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya.

Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan

dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya

merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu berada dalam

peristiwa tutur. Jika peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam

menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan

dalam tuturannya.

Pada tahun 1962, Austin (dalam Tarigan, 1986: 109) telah membedakan

tiga jenis tindak ujar, yaitu

(1)Tindak lokusi (melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu).

(2)Tindak ilokusi (melakukan sesuatu tindakan dalam mengatakan sesuatu). (3)Tindak perlokusi (melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan

sesuatu).

(6)

Lokusi: pembicara mengatakan kepada penyimak bahwa X (X adalah kata-kata tertentu yang diucapkan dengan perasaan, makna, dan acuan tertentu)

Ilokusi: dalam mengatakan X, pembicara menyatakan P.

Perlokusi: dengan mengatakan X, pembicara meyakinkan penyimak bahwa P. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh austin tersebut, Searle (dalam Rahardi, 2005: 35) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut

dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Tindak lokusioner (locutionary acts), (2) Tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) Tindak perlokusioner (perlocutionary acts).

Tindak lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak

tutur ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak ilokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan

oleh si penutur. Jadi, tuturan tanganku gatal misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkn

tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.

Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya

(7)

bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan nya itu.

Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindakan ini dapat disebut dengan the act of affecting someone.

Tuturan tanganku gatal misalnya,dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Misalnya rasa takut itu muncul karena yang menuturkan tuturan itu berpotensi sebagai seorag tukang pukul yang pada

kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain. Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005: 36) menggolongkan tindak tutur

ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut: (1) Asertif (Assertives), yakni bentuk tutur yang mengikat penutur penutur pada kebenaran proposisi yang di ungkapkan, misalnya

menyatakan (statting), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming); (2) Direktif (Directives), yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending); (3) Ekspresif (Expressive) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu

(8)

(promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering); (5) Deklaratif (Declarations), yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing).

Searle (dalam Pangaribuan, 2008: 117) mengutarakan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna di dalam konteks, dan makna itu dapat dikategorikan ke

dalam makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Uraian-uraian dan analisis pada contoh berikut menjelaskan hal tersebut.

1. Saya Akan Di Malang Besok.

Secara literal, contoh <1> di atas bermakna sebagai berikut.

2. Makna Ujaran.

a. Infomasi: kehadiran b. Subjek: saya

c. Lokasi: di malang d. Waktu: besok

Makna “informasi- subjek- lokasi- waktu” diatas merupakan makna lokusi.

Dengan demikian, makna tersebut dinyatakan sebagai berikut.

3. Makna Lokusi: Informasi- Subjek- Lokasi- Waktu

Namun demikian, makna <1> tidaklah begitu jelas. Terdapat varian-varian seperti pada <4> berikut.

(9)

c. Saya memperkirakan bahwa saya akan di Malang besok.

Setiap ujaran <4,a,b,c> diatas itu pada dasarnya dapat dikatakan sebagai

varian dari <1>, dan di dalam konteks komunikasi ketiganya dapat muncul. Namun demikian, dalam situasi atau waktu tertentu hanya

salah satu yang sering muncul, seperti berikut. 5. A: Dalam perjalanan sdr. ke Jember, sdr di mana?

B: Saya akan di Malang besok.

Jawaban pada <5 B> di atas dapat dipastikan mengacu pada makna yang relatif sama seperti pada <4c>, dan bukan <4a> atau <4b>. makna yang

kedua ini disebut makana ilokusi, yaitu makna yang dimaksudkan pembicara sebagai informasi yang perlu disampaikan, dan direalisasikan dengan fungsi komunikasi yang digunakan. Pada contoh <5> di atas, B menggunakan fungsi “menjawab”.

Sekarang, mari kita perhatikan yang berikut.

6. A1: Dalam perjalanan sdr. ke Jember, sdr di mana? B: Saya akan di Malang besok.

A2: Baiklah, kami menyiapkan kendaraan sdr.

Bila kita amati jawaban <6-A2 > di atas, dapat disimpulkan bahwa pesapa A2 menyimak waktu dan memberikan informasi yang relevan dengan “jawaban” B di atas.

Uraian di atas menunjukkan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna

(10)

itu memiliki komponen dasar (bach & harnish dalam Pangaribuan, 2008: 119) sebagai berikut.

7. Skema Komponen Tindak Tutur

a. Tindak bertutur: penyapa mengutarakan tuturan dari bahasa kepada

pesapa di dalam konteks.

b. Tindak lokusi: penyapa mengatakan kepada pesapa di dalam konteks bahwa ada informasi.

c. Tindak ilokusi: penyapa berbuat fungsi tertentu dalam konteks.

d. Tindak perlokusi: penyapa mempengaruhi pesapa dalam cara tertentu

dalam konteks.

Dengan demikian, suatu tindak tutur itu memiliki empat komponen seperti pada <7>. Komponen di atas dan pola identifikasi unsur-unsurnya

digunakan sebagai titik tolak memahami stuktur tindak-tutur dan analisisnya.

2.3 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai tindak tutur bukanlah baru pertama kali dilakukan. Sudah ada penelitian terdahulu tentang masalah tersebut. Namun, yang meneliti

khusus tindak tutur dalam novel Pertemuan Dua Hati belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(11)

terdapat empat jenis tuturan saja di dalam tuturan tersebut, yang terdiri dari tuturan representatif, tuturan komisif, tuturan direktif, dan tuturan ekspresif.

Tuturan deklaratif tidak ditemukan karena tuturan tersebut hanya dilakukan oleh orangyang mempunyai kedudukan untuk membuat suatu perubahan dunia.

Reza Pahlevi (2013) dalam skripsi nya yang berjudul Analisis Tindak Tutur dalam Dialog Film Perempuan Punya Cerita menyimpulkam bahwa setiap tuturan dalam film tersebut merupakan tindak ilokusi karena mengacu pada

makna denotasinya, sedangkan tindak ilokusi dan perlokusi, tidak semua tuturan memiliki kedua tindak tersebut.

Rina Desliah (2013) dalam skripsinya yang berjudul Tindak Tutur dalam Iklan Di Radio 105.8 Delta Fm Medan menyimpulakn bahwa dalam iklan di radio tersebut terdapat tindak tutur sesuai dengan yang dikemukakan oleh Austin

(lokusi, ilokusi, dan perlokusi), sedangkan tindak tutur komisif tidak ditemukan. Tidak tutur dominan yang terdapat dalam iklan di radio tersebut sesuai dengan

teori yang dikemukakan oleh Searle yaitu tindak tutur ekspresif berupa ucapan terima kasih, kritikan, dan nasihat.

Merlyn (2013) dalam skripsinya yang berjudul Tindak Tutur Asertif dan Direktif dalam Novel Perahu Kertas Karya Dewi Lestari menyimpulkan (1) bentuk tindak tutur yang pertama adalah bentuk tindak tutur asertif dalam novel

tersebut terdapat lima jenis tindak tutur, antara lain memberitahukan yang berarti melaporkan untuk menyatakan sesuatu hal kepada orang lain agar mengetahui apa

(12)

telah disampaikan oleh penutur, menunjukkan yang berarti memberitahu sesuatu terhadap apa yang diarahkan, dan berspekulasi yang berarti sebuah pendapat atau

dugaan yang tidak berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. (2) bentuk tindak tutur yang kedua adalah bentuk tindak tutur direktif dalam novel terrsebut

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang:.. Nama

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang:.. Nama

Pada rumah penduduk, memiliki bentuk persegi dan persegi panjang merupakan bentukan dari sebuah ruang yang difungsikan sebagai tempat tinggal, pada rumah di

Untuk mengubah data matakuliah yang sudah ada, pada halaman Daftar Matakuliah , cari matakuliah yang akan diubah datanya, kemudian tekan tombol Ubah pada kolom

“sebelas” memang perkecualian, mestinya “satu - belas”. Untuk itu guru perlu memperkenalkan polanya. Jika anak sudah mengetahui pola menghitung tersebut anak akan