• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Agung Republik Indonesia

A. DALAM EKSEPSI

II.1. OBJEK PERMOHONAN PRAPERADILAN BUKAN KEWENANGAN HAKIM PRAPERADILAN

3) Tindakan lain

Adapun yang dimaksud dengan tindakan lain disini yaitu tindakan-tindakan upaya hukum (dwang middelen) lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang bukti, surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Tindakan lain ini dimasukkan dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP secara rinci dapat dilihat dalam penjelasannya yang menyatakan kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan. Mengapa harus ditafsirkan demikian? Karena telah secara jelas dan tegas sebelumnya disebutkan bahwa kewenangan pra praperadilan adalah melakukan pemeriksaan secara yuridis terhadap suatu upaya paksa. Pertanyaannya, apakah penetapan sebagai Tersangka terhadap Pemohon dalam kasus a quo termasuk dalam kualifikasi suatu upaya paksa? Kami merasa tidak demikian. Tegasnya, penetapan seseorang sebagai Tersangka, tidaklah dapat di-review secara yuridis melalui ranah praperadilan, atau dengan kata lain permohonan yang diajukan

Hal 49 dari 244Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pemohon ini dapat dikatakan sesat dan menyesatkan apabila dikabulkan oleh pengadilan yang terhormat ini.

6. Bahwa dalil Termohon tersebut sejalan pula dengan pandangan Mahkamah Agung RI yang menyatakan secara limitatif kewenang Praperadialan sebagaimana termuat dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan (Buku II Edisi 2007, Mahkamah Agung RI (2009), halaman. 256), dimana disebutkan:

“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasa 77 KUHAP);

d. Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP)”

7. Bahwa dalam Buku Pedoman tersebut tidak ada disebutkan kewenangan Praperadilan terhadap sah atau tidaknya penetapan Tersangka maka objek Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Termohon berada diluar kewenangan Praperadilan, dengan demikian Hakim Praperadilan sebagai bagian dari lingkup Peradilan haruslah secara konsisten mematuhi Pedoman yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI;

8. Bahwa apa yang menjadi dasar Pemohon mengajukan Permohonan Praperadilan adalah berpedoman pada ketentuan Ganti Kerugian dan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yang menyatakan:

Ayat (1) : “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”

Ayat (2) : “Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.”

9. Bahwa dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP, secara limitatif menegaskan apa yang dimaksud dengan kerugian karena “tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum;

Perlu dipahami pula bahwa konteks “tindakan lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP serta penjelasannya hanya dapat digunakan sebagai alasan dalam pengajuan tuntutan ganti kerugian bukan dalam rangka mengajukan keberatan terhadap sah atau tidaknya penetapan Tersangka. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1) KUHAP diajukan ke Pengadilan yang memeriksa perkara pokoknya setelah perkaranya diadili dan diputus (vide Pasal 95 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHAP), sedangkan dalam hal perkara pokoknya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian atas “tindakan lain” berdasarkan Pasal 95 ayat

Hal 51 dari 244Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

(2) KUHAP, diputus dan disidang oleh Praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 77 KUHAP.

Mencermati Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP maka tergambar jelas apa yang dimaksud dengan “tindakan lain” akan selalu berkaitan dengan “upaya paksa”. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Loebby Loqman (Loebby Loqman, Pra-Peradilan Di Indonesia,Cetakan.3, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 74), yang menyatakan:

“...ternyata ganti kerugian yang dimaksud adalah ganti kerugian terhadap tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan, yakni tindakan-tindakan yang berhubungan dengan upaya paksa”

10.Bahwa dalam dalilnya Pemohon menyatakan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon telah mengakibatkan Pemohon dicekal (cegah dan tangkal) sehingga telah kehilangan kemerdekaannya, hal tersebut diasumsikan oleh Pemohon sebagai bagian dari tindakan lain dan merupakan upaya paksa;

Termohon menolak dalil Pemohon tersebut, karena faktanya Termohon tidak pernah melakukan “tangkal” terhadap diri Pemohon, selain itu secara tegas telah disampaikan bahwa ketentuan Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP telah mengatur secara limitatif kewenangan Praperadilan dimana “pencekalan” tidak termasuk objek Praperadilan. Qoad non tindakan pencegahan terhadap diri Pemohon dianggap sebagai upaya paksa maka sepatutnya Pemohon mengajukan tindakan pencegahan sebagai alasan Permohonan Praperadilan dan bukan mengenai sah atau tidaknya penetapan Tersangka oleh Termohon;

Penerapan Asas Legalitas Dalam Hukum Acara Pidana

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

11.Bahwa agar fair dan adil, kiranya Kami sebagai Termohon, juga perlu mengungkapkan penjelasan lebih lanjut perihal pernyataan Kami bahwa penetapan status tersangka pada seseorang bukan termasuk dalam ranah praperadilan. Hal ini pada dasarnya tidak terlepas dari salah satu asas hukum dalam hukum acara pidana, yang juga sangat penting dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas. Penjelasan Kami di bawah ini merupakan beberapa hal penting yang Kami kutip secara langsung dari tulisan Eddy O.S. Hiariej dalam JURNAL POLISI dan dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian (Lihat dalam Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dalam Hukum Acara Pidana, dalam Jurnal Polisi Indonesia, No. 14, 2010, hlm. 53-55).

Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana sebelumnya adalah salah satu prinsipat dalam hukum pidana yang dikenal dengan asas legalitas. Menurut sejarahnya asas ini merupakan produk aliran klasik dalam hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara dan bukan untuk melindungi masyarakat dan negara dari kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana moderen.

12.Bahwa paling tidak ada empat makna dari asas legalitas. Pertama, terhadap ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif atau nullum crimen noela poena sine lege praevia atau lex praevia). Kedua, ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen noela poena sine lege scripta atau lex scripta). Ketiga, rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen noela poena sine lege certa atau lex certa). Keempat, ketentuan pidana

Hal 53 dari 244Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen noela poena sine lege stricta atau lex stricta).

Selalu menjadi pertanyaan mendasar apakah asas legalitas dalam hukum pidana hanya berlaku dalam hukum pidana materiil ataukah juga dalam hukum pidana formil? kiranya untuk menjawab pertanyaan tersebut kita kembalikan kepada rumusan awal sebagimana yang dikemukakan Anselm von Feuerbach. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali bila diuraikan dalam 3 frasa yang dikemukakan Feuerbach akan menjadi:

a. Nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;

b. Nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.

c. Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.

13.Bahwa berdasarkan ketiga frasa tersebut, asas ini mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi melindungi yang berarti undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Kedua, fungsi instrumentasi yaitu dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materiil yang mengacu pada frasa pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine). Sedangkan fungsi intrumentasi lebih pada hukum pidana formil yang mengacu pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali).

Bila dicermati frasa ketiga nullum crimen sine poena legali yang berarti “tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang” adalah suatu

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

kalimat negatif. Jika kalimat tersebut dipositifkan, maka bunyinya, “semua perbuatan pidana harus dipidana menurut undang-undang”. Dengan demikian asas legalitas dalam hukum pidana meliputi hukum pidana materiil dan formil. Dalam hukum pidana materiil asas legalitas berarti tidak ada yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Sementara dalam hukum pidana formil asas legalitas berarti setiap perbuatan pidana harus dituntut.

Asas legalitas dalam hukum acara pidana hanya mengandung tiga makna. Pertama, lex scripta, yang berarti bahwa penuntutan dalam hukum acara pidana harus bersifat tertulis. Kedua, lex certa, yang berarti hukum acara pidana harus memuat ketentuan yang jelas. Ketiga, lex stricta, yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Tegasnya, kalaupun dilakukan penafsiran dalam hukum acara pidana, maka penafsiran tersebut bersifat restriktif. Hal ini dapat dipahami dengan mengingat sifat keresmian dalam hukum acara pidana dan karakter hukum acara pidana yang sedikit – banyaknya mengekang hak asasi manusia.

Pertanyaan lain dan selanjutnya, apakah asas legalitas tersebut harus dipatuhi? Menurut Kami menjadi penting dan relevan untuk menjelaskan apa itu asas hukum. Bellefroid mendefinisikan asas hukum umum sebagai norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum dianggap sebagai pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. van Eikema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum

Hal 55 dari 244Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

atau pentunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif (Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, hlm.34). Mark Costanzo yang mengutip pendapat John Carrol menyatakan bahwa hukum menekankan pada penerapan asas-asas yang abstrak yang sifatnya terhadap kasus-kasus tertentu (Mark Costanzo, 2006, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 15). Menurut Paul Scholten, asas hukum itu adalah kecenderungan disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada (Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, hlm. 5).

Dilengkapi oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa asas hukum atau prinsip hukum itu bukanlah peraturan konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, hlm. 5-6). Penjelasan atau doktrin-doktrin dari para ahli di atas secara tegas dan jelas menyatakan bahwa yang namanya asas hukum adalah suatu hal yang sangat prinsipil dalam hukum, dan oleh karenanya harus ditaati dan dilaksanakan.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Termohon sependapat dengan Pemohon bahwa hukum acara pidana sangat melindungi hak asasi manusia, oleh sebab itu upaya paksa hanya dapat dilakukan apabila ada dasar hukumnya dan tidak boleh ditafsirkan suatu ketentuan hukum yang tidak jelas (Pasal 3 KUHAP).

Kiranya penjelasan Termohon perihal asas legalitas dalam hukum acara pidana dan mengenai asas hukum ini sudah lebih dari cukup untuk menafsirkan perihal kompetensi praperadilan menurut KUHAP dan asas legalitas dalam hukum acara pidana, yang menurut pemahaman Kami tidak memberikan celah lagi untuk mengajukan hal lainnya di luar kompetensi praperadilan yang telah disebutkan di atas. Tegasnya, sekali lagi Kami harus menyebutkan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon ini sesat dan mohon kiranya Yang Mulia tidak “meneruskan” atau “mengamini” kesesatan tersebut.

Penerapan Yurisprudensi Sebagai Dasar Hukum Permohonan

14.Bahwa salah satu alasan Pemohon dalam gugatannya adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel yang dianggap sebagai yurisprudensi karena telah menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan dengan menyatakan antara lain “tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka”. Dalam kasus a quo, apakah Pemohon lupa atau tidak tahu, bahwa Pemohon dalam perkara putusan PN Jakarta Selatan dengan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tersebut adalah salah satu Tersangka yang dikenai Penahanan oleh pihak Kejaksaan. Artinya, unsur upaya paksa sebagai objek dari praperadilan terpenuhi dalam kasus tersebut. Sedangkan dalam kasus ini, Pemohon sama sekali belum dikenakan upaya paksa apapun terhadapnya, sehingga demi hukum menurut hemat Kami Pemohon

Hal 57 dari 244Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan Praperadilan terhadap Termohon.

15.Bahwa mengenai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/ Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel yang dianggap Pemohon sebagai yurisprudensi, maka perlu diketahui terhadap Putusan tersebut Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah menyampaikan laporan atau pengaduan Perkara Atas Nama Bachtiar Abdul Fatah kepada Komisi Yudisial dan menyampaikan juga Surat Pengaduan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang pada intinya menyampaikan keberatan terhadap tindakan Hakim Praperadilan yang memutus perkara No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, dimana dalam surat pengaduan tersebut dinyatakan :

Bahwa amar putusan yang menyatakan “tidak sah menurut hukum tindakan