BAB III : GAMBARAN UMUM
A. Tindakan DK PBB dalam Menyikapi Kasus Nuklir Iran Menurut
A. Tindakan DK PBB dalam Menyikapi Kasus Nuklir Iran menurut Piagam PBB 1945
Sejarah menunjukkan bahwa Iran telah berupaya untuk memiliki dan mengembangkan teknologi nuklir jauh sebelum Revolusi Islam Iran tahun 1979. Kedekatan Iran semasa pemerintahan Shah Pahlevi dengan pemerintah Iran menjadikan Iran mudah untuk melakukan penelitian tentang nuklir dan mendapat pasokan bahan-bahan nuklir dari Amerika Serikat sebagai salah satu negara nuklir (Mass Weapon State). Dalam makalah Ali R Wibisono (2006) berjudul Proliferasi
Iran dan keamanan Internasional tertulis bahwa Akbar Etemad, Direktur
Organisasi Energi Atom Iran ketika itu mengatakan para peneliti nuklir Teheran terlibat dalam eksperimen laboratorium yang mencoba menerapkan proses pemanfaaatan bahan bakar yang habis digunakan (plutonium). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa sudah sejak tahun 1970-an, Iran oleh IAEA dicurigai berupaya memproduksi senjata nuklir sendiri dengan melakukan pengayaan uranium/uranium enrichment. Presiden Mahmoud Ahmadinejad juga pernah mengumumkan di Mahshad bahwa negaranya telah berhasil melakukan
pengayaan uranium sendiri dan menjadi bagian dari negara nuklir dunia (Nuclear
Club). Meskipun demikian, rentang waktu antara tahun 1980-an hingga 2003
kecurigaan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya mengenai indikasi kepemilikan senjata nuklir oleh Iran.
IAEA berdasarkan amanah oleh Perjanjian Non Proliferasi (NPT) 1978 dalam mengawasi persenjataan pemusnah massal dunia, telah malakukan pengawasan dan verifikasi terhadap aktivitas nuklir Iran semenjak adanya tuduhan dari negara-negara Barat yang merasa khawatir program nuklir Iran bertujuan untuk membuat senjata nuklir. Riza Sihbudi (2006) menuliskan dalam makalahnya berjudul Isu Nuklir Iran bahwa laporan tim inspeksi IAEA yang disampaikan dalam sidang IAEA pada tanggal 13 September 2004 menyebutkan bahwa Iran masih memiliki cadangan uranium sebesar 37 ton. Namun dalam laporannya tersebut, IAEA sama sekali tidak menyinggung keberadaan senjata nuklir Iran. Walaupun laporan IAEA menyebutkan bahwa tidak ditemukan bukti mengenai kepemilikan senjata nuklir, Iran masih tetap menjalankan aktivitas nuklirnya yang membuat kecurigaan negara lain semakin bertambah.
Pada bulan Oktober 2003 Iran memang pernah menangguhkan kegiatan pengayaan nuklirnya. Penangguhan uranium ini terus dilakukan Iran selama 20 bulan dan diperpanjang pada bulan Februari dan November tahun 2004 menyusul perundingan Iran dengan 3 negara Eropa yang menghasilkan Dekalarasi Paris dan Brusel44
44 http://indonesian.irib.ir/POLITIK/2005/agustus05/nuklir.htm
. Tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi tekanan dari negara-negara Barat. Namun sejak bulan Agustus 2005 atau tepatnya semenjak kursi
kepresidenan jatuh ke tangan Mahmoud Ahmadinejad yang terpilih dua bulan sebelumnya, Iran kembali melanjutkan kegiatan nuklirnya. Iran mengirimkan surat kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengenai keputusannya yang bulat untuk memulai kembali aktivitas pengolahan uranium di fasilitas nuklir Isfahan. Keputusan ini diambil setelah pihak tripartit Eropa, yaitu Jerman, Inggris dan Perancis tidak melaksanakan janjinya untuk mengajukan prakarsa yang menjamin status damai program nuklir Iran, dalam jangka waktu dua bulan yang telah disepakati.
Terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden Iran juga turut membawa perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan nuklir Iran dan peta politik luar negeri Iran. Mahmoud Ahmadinejad merupakan presiden terpilih dari kelompok konservatif garis keras Iran yang selalu menentang kebijakan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. Pada akhirnya, hubungan buruk Iran dengan negara-negara Barat yang sudah berlangsung selama 26 tahun menjadi bertambah memburuk dan semakin membuat negara Barat memusuhi Iran dengan cara menggunakan isu program nuklir Iran sebagai senjata untuk menekan Iran.
Amerika Serikat sebagai pemimpin negara-negara Barat yang memegang kendali sistem keamanan Unipolar dan menganggap Iran sebagai salah satu poros kejahatan, lebih menampakkan kebijakan anti Iran-nya dengan cara menyebarkan propaganda terhada[ aktivitas nuklir Iran. Amerika Serikat juga menuntut pemindahan agenda nuklir Iran dari IAEA ke Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk segera memberikan sanksi kepada Iran. Argumen tersebut didasarkan pada Iran sebagai negara peserta NPT dan termasuk dalam negara bukan penghasil
senjata pemusnah masal (Non Mass Destruction Weapons State) yang berarti Iran tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengembangkan senjata nuklir.
Bersama keempat negara-negara anggota tetap DK PBB lainnya seperti Perancis, Jerman, Rusia, dan China, Amerika Serikat mengadakan pertemuan para Menteri Luar Negeri di London. Pertemuan tersebut juga dihadiri Menteri Luar Negeri Jerman untuk membahas mengenai permasalahan program nuklir Iran. Kelima anggota tetap DK PBB pada akhirnya sepakat bahwa isu nuklir Iran harus diajukan ke Dewan Keamanan dan setuju setiap tindakan Dewan Keamanan harus menunggu laporan Direktur Jenderal IAEA, Mohamad Elbaradai mengenai Iran dalam pertemuan IAEA45
Berdasarkan struktur, IAEA merupakan sebuah badan otonom di bawah naungan PBB yang setiap tahun melaporkan tentang kegiatan-kegiatannya kepada Majelis Umum, dan sebagai kelayakan, kepada Dewan Keamanan dan Dewan Ekonomi dan Sosial. Laporan IAEA dalam bidang nuklir menjadi bahan masukan DK PBB dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan bila dianggap telah mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Berikut adalah gambar struktur DK PBB:
.
STRUKTUR DEWAN KEAMANAN
Gambar 1: Struktur Dewan Keamanan MAJELIS UMUM
Komite Tindakan Kolektif (Collective
Measures Committee)
Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency)* Komisi Perlucutan Senjata (Disarmament Commission)
Komite Para Ahli (Committee of Experts)
Komite Staf Militer (Military Staff
Committee)
Komite Mengenai Izin Masuk Anggota Baru
(Committee on the Admission of New Members) DEWAN KEAMANAN Kepala-Kepala Staf Anggota-Anggota Tetap Dewan Keamanan BADAB-BADAN AD HOC - Namibia - Hak-Hak Rakyat Palestina - Resolusi 421 (1977) mengenai Afrika Selatan - Benin - Apartheid - UNTSO - UNDOF - UNFICYP - UNMOGIP
DK PBB dalam menyelesaikan setiap kasus yang diserahkan kepadanya selalu berpegang kepada Piagam PBB 1945. Sesuai Piagam PBB, kewenangan utama DK PBB yang menjadi landasan DK PBB dalam mengambil tindakan, tercantum dalam Bab VI dan VII. Kewenangan Bab VI terkait dengan “Pacific Settlement Of Disputes” sedangkan Bab VII mengenai “Peace Enforcement”. Selain itu, kewenangan DK PBB lainnya terdapat dalam Bab VIII (Regional Arrangement) dan Bab XII (International
Trusteeship System).
Menurut Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB, disebutkan bahwa:
“Untuk menjamin agar Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan sempurna, maka anggota-anggotanya memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar supaya Dewan Keamanan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya di bawah tanggung jawab ini bertindak atas nama mereka.”
Menurut ayat tersebut, DK PBB memiliki tanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional yang diberikan oleh negara-negara anggota PBB di seluruh dunia. Tanggung jawab tersebut membuat para anggota DK PBB yang beranggotakan 15 negara terus berupaya menegakkan amanat piagam PBB. Lima negara anggota tetap DK PBB (Permanent 5 /P-5) diberi status luar biasa (eksepsional) yang lebih daripada
kesepuluh anggota DK PBB lainnya yang salah satunya berupa kepemilikan hak veto. Adanya status luar biasa tersebut menyebabkan negara-negara anggota tetap tersebut merasa perlu untuk segera menyelesaikan kasus program nuklir Iran yang dianggap meresahkan dunia internasional mengenai isu pembuatan senjata nuklirnya dikarenakan beban dan tanggung jawab tersebut yang harus dilaksanakan.
Pada tanggal 4 Februari 2006, IAEA mengeluarkan laporan bernomor GOV/2006/14 mengenai Implementation of The NPT Safeguards Agreement
in The Islamic Republic of Iran (Implementasi Perjanjian NPT di Republik
Islam Iran). Laporan tersebut salah satunya berbunyi:
“Request the Director General to report to the Security Cuncil of the United Nations that these steps are required of Iran by the Board and to report to the security Council all IAEA reports and resolutions, as adopted, relating to this issue.”
Maksud dari ayat tersebut adalah meminta Direktur Jenderal IAEA melaporkan semua hasil tim inspeksi IAEA kepada DK PBB mengenai aktivitas nuklir Iran. Berdasarkan laporan Dewan Gubernur bernomor GOV/2005/87 pada 8 Agustus 2005, Iran melanjutkan aktivitas konversi uranium di reaktor Isfahan dan mengambil langkah untuk melanjutkan aktivitas pengayaan uranium pada 10 Januari 2006. Meskipun demikian, laporan tersebut menerangkan bahwa IAEA belum menemukan bukti adanya kepemilikan senjata nuklir dengan cara
mengembangkan kemampuan produksi material fisil yang selama ini dituduhkan oleh negara-negara Barat.
Upaya diplomasi yang dilakukan terus berlanjut dengan diadakannya berbagai pertemuan antar anggota IAEA mengenai dugaan kepemilikan senjata nuklir Iran. Sebelum diadakannya pertemuan antar anggota IAEA untuk memastikan dibawanya kasus nuklir Iran ke DK PBB, Rusia sebagai salah satu negara nuklir menawarkan Iran agar bekerja sama untuk memindahkan aktivitas pengayaan nuklirnya ke Rusia dalam suatu perundingan antara Iran dengan Rusia. Salah satu perundingan Iran dengan Rusia tersebut adalah perundingan yang dilaksanakan di Moskow yang berakhir pada tanggal 12 Februari 2006. Dalam perundingan tersebut, delegasi perunding Iran yang dipimpin oleh Deputi Strategi Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Husein Tash menyatakan bahwa Teheran sepakat untuk melanjutkan perundingan guna didapatkan satu formula bersama terkait kasus nuklir Iran tersebut. Moskow juga sependapat dengan Teheran bahwa berkas nuklir Iran ini tidak perlu dilimpahkan ke DK PBB46
Kesediaan Iran untuk berunding tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan Amerika Serikat dan Eropa bahwa kegiatan pengayaan uranium Iran untuk memproduksi bahan baku persenjataan nuklir. Dengan dipindahkannya proses pengayaan uranium tersebut, maka pengawasan oleh IAEA akan lebih mudah. Penawaran tersebut semula disepakati oleh Iran namun akhirnya mengalami kegagalan dan Iran menolak tawaran tersebut karena masih adanya
.
perbedaan pandangan mengenai pemindahan tersebut. Konstantin Kosachev, Ketua Komite Masalah Luar Negeri Majelis Rendah Parlemen Rusia, mengingatkan Teheran bahwa penolakan untuk melanjutkan perundingan tawaran Rusia dapat memicu sikap radikal dalam pembicaraan soal nuklir Iran, yang dijadwalkan akan digelar DK PBB47
DK PBB sebagai salah satu organ PBB bertugas membantu terwujudnya dasar dan tujuan PBB berdasarkan ketentuan dalam instrumen pokok piagam PBB. DK PBB dibawah payung Piagam PBB 1945 diberi wewenang untuk
.
Dalam pertemuan IAEA di markasnya, Wina Austria, tanggal 8 Maret 2006, pada akhirnya IAEA membuka jalan bagi DK PBB untuk melakukan tindakan terhadap Iran. Perundingan tersebut menghasilkan laporan bernomor GOV/2006/15 yang berisi penegasan laporan IAEA bernomor GOV/2006/14 tanggal 4 Februari 2006 untuk melaporkan proses penyelidikan yang dilakukan terhadap aktivitas nuklir Iran selama ini kepada DK PBB sekaligus memberikan secara detil dan jelas mengenai perkembangan nuklir Iran sejak November 2005.
Penyerahan laporan IAEA kepada DK PBB tersebut mengindikasikan kegagalan pemeriksaan IAEA selama 3 tahun untuk mengkonfirmasi keabsahan kegiatan nuklir Iran sesuai yang diminta negara-negara Barat selama ini. Dengan pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal IAEA tersebut, maka dapat menjadi dasar yang kuat bagi anggota DK PBB untuk secepatnya membicarakan kasus itu secara resmi dan sejak saat itu DK PBB mulai untuk menyelesaikan kasus nuklir Iran tersebut.
melaksanakan salah satu prinsip PBB mengenai tanggung jawab untuk menentukan ancaman dimana DK PBB dapat menentukan langkah-langkah yang dianggap mengganggu keamanan dan perdamaian internasional berdasarkan apa yang tercantum dalam Bab VII Pasal 39 yang berbunyi:
“Dewan Keamanan akan menentukan adanya sesuatu ancaman terhadap perdamaian, pengacauan terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan akan memajukan anjuran-anjuran atau memutuskan tindakan apa yang akan diambil sesuai dengan Pasal 1 dan 42, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.”
Menurut Pasal 39 tersebut, keterlibatan DK PBB dalam suatu keadaan yang dianggap mengganggu perdamaian dan keamanan internasional sangat diperlukan. Oleh karena itu, DK PBB berwenang melakukan tindakan-tindakan untuk menyelesaikannya. Atas dasar itulah maka sejak diserahkannya kasus nuklir Iran dari IAEA, DK PBB mulai melakukan berbagai tindakan salah satunya menyelidiki kasus tersebut. Dalam Bab VI Pasal 34 Piagam PBB 1945, menyatakan bahwa:
“Dewan keamanan dapat menyelidiki setiap pertikaian, atau setiap keadaan yang dapat menimbulkan pertentangan intenasional atau menimbulkan suatu pertikaian, untuk menentukan apakah berlangsungnya pertikaian atau keadaan itu dapat membahayakan terpeliharanya perdamaian serta keamanan internasional.”
Realisasi wewenang dalam pasal tersebut diwujudkan dengan dikeluarkannya naskah pernyataan DK PBB mengenai kasus nuklir Iran. Usulan naskah pernyataan DK PBB yang didukung oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis tersebut dibagikan kepada 15 anggota DK PBB pada tanggal 15 Maret 200648
Dalam pertemuan anggota-anggota DK PBB tanggal 29 Maret 2006, Presiden DK PBB mewakili seluruh anggota DK PBB mengeluarkan pernyataan yang dicatatkan dalam laporan DK PBB dengan nomor dokumen S/PRST/2006/15 yang menegaskan bahwa DK PBB sangat mendukung upaya yang telah dilakukan oleh IAEA dalam menyelesaikan isu nuklir Iran yang belum terpecahkan dan meminta agar IAEA tetap melanjutkan tugasnya untuk mengklarifikasi isu tersebut. Disamping itu dalam pernyataannya, presiden DK PBB mengatakan:
. Dalam naskah tersebut, dicantumkan permintaan DK PBB yang diantaranya meminta agar Iran harus menghentikan semua kegiatan pengayaan uarnium termasuk riset dan pengembangan nuklir.
Selain itu DK PBB juga melakukan suatu tindakan Preventif Diplomacy untuk mencegah semakin meluasnya kasus nuklir Iran dengan meminta Iran mempertimbangkan pembangunan sebuah reaktor riset yang digerakkan oleh aliran air deras. DK PBB mengingatkan jika Iran tetap melanjutkan aktivitas pengayaan uranium maka akan semakin meningkatkan kekhawatiran internasional dan DK PBB mengancam tidak segan-segan akan bertindak memaksa dengan mengeluarkan sanksi yang menjadi wewenang DK PBB.
48 Kompas, 16 Maret 2006.hlml:11
“The Security Council expresses the conviction that such suspension
and full, verified Iranian compliance with the requirements set out by the IAEA Board of Governors would contribute to a diplomatic, negotiated solution that guarantees Iran’s nuclear programme is for exclusively peaceful purposes, and underlines the willingness of the international community to work positively for such a solution which will also benefit nuclear non-proliferation elsewhere.”
Maksud dari pernyataan diatas adalah Dewan Keamanan menyatakan tegas bahwa baik sebagian maupun keseluruhan, tindakan Iran dalam memenuhi persyaratan yang dibuat oleh IAEA akan memberikan kontribusi bagi upaya diplomatik, solusi negosiasi yang menjamin program nuklir Iran adalah bertujuan damai, menggarisbawahi keinginan masyarakat internasional untuk bekerja secara positif sebagai upaya penyelesaian, mendorong Iran, dalam penyesuaian syarat-syarat diatas, untuk terikat kembali dengan masyarakat internasional dan dengan IAEA, dan menekankan bahwa keterikatan tersebut akan bermanfatan bagi Iran.
Dari pernyataan tersebut dapat dirumuskan bahwa Iran harus dapat bekerja sama sehingga akan memberikan solusi yang dapat menjamin bahwa program nuklir Iran memang bertujuan damai. Sebagai satu-satunya Peace
Making Organ dari PBB, pernyataan yang disampaikan presiden DK PBB
tersebut mencerminkan Bab VI tentang penyelesaian pertikaian secara damai pada Pasal 33 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
“Negara-negara yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang terus menerus yang mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan peraturan, permufakatan, perwasitan, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau persetujuan-persetujuan setempat, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih sendiri.
Dewan keamanan, bila dianggap perlu, akan meminta kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara demikian.”
Selanjutnya langkah penyelesaian kasus nuklir Iran oleh DK PBB dalam rangka mengimplementasikan Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34, dan Pasal 39 tersebut harus dilalui proses pemungutan suara oleh para anggota DK PBB. Bab V Piagam PBB pada Pasal 27 diatur secara jelas mengenai hak suara yang dimiliki oleh angota DK PBB, yang bunyinya:
1. Setiap anggota Dewan Keamanan mempunyai satu suara.
2. Keputusan-keputusan Dewan Keamanan mengenai soal-soal prosedur harus ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota. 3. Keputusan-keputusan Dewan keamanan mengenai hal-hal lainnya
akan ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bulat dari anggota-anggota tetap; dengan ketentuan bahwa,
dalam keputusan-keputusan di bawah Bab VI, dan di bawah ayat 3 Pasal 52, pihak yang berselisih diperkenankan memberikan suaranya. Berdasarkan rumusan dari Pasal 27 Piagam tersebut di atas, dapat diuraikan bahwa:
1. Untuk masalah-masalah prosedur memerlukan sembilan suara setuju dari anggota DK PBB.
2. Untuk masalah non prosedur, diperlukan suara setuju, dengan termasuk lima suara bulat dari anggota tetap DK PBB (empat anggota tidak tetap + lima anggota tetap).
Dalam masalah non prosedur inilah hak istimewa anggota tetap DK PBB dapat membatalkan suatu keputusan yang akan diambil, sehingga meski secara perhitungan telah memenuhi rasio perbandingan, namun bila salah satu anggota tetap mempergunakan hak vetonya maka keputusan ini menjadi batal. Permasalahan Iran merupakan salah satu masalah untuk kategori non prosedur oleh karena itu suara bulat dari kelima anggota tetap DK PBB memang menjadi mutlak diperlukan dan oleh karena itu tidak mengherankan bahwa pembahasan kasus nuklir Iran mengenai kemungkinan tindakan-tindakan pemaksaan oleh DK PBB terhambat oleh kehendak anggota-anggota tetap DK PBB yang dapat menggunakan hak vetonya.
Kasus nuklir Iran yang telah dibawa ke DK PBB tersebut memang kemudian dibahas untuk menghasilkan kemungkinan dijatuhkannya sanksi
kepada Iran. Adanya penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh DK PBB tersebut sesuai dengan Bab VII Pasal 41 dan 42 Piagam PBB yang berbunyi:
“Dewan Keamanan dapat memutuskan tindakan-tindakan apa yang tidak termasuk digunakannya kekuatan senjata untuk dapat melaksanakan keputusan-keputusannya, dan dapat meminta kepada anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan tindakan-tindakan itu. Dalam hal ini termasuk tindakan-tindakan-tindakan-tindakan untuk memutuskan seluruhnya atau sebagian daripada hubungan-hubungan ekonomi, termsuk hubungan kereta api, alut, udara, pos, kawat, radio, dan alat-alat lainnya serta perhubungan diplomatik.
Apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa tindakan-tidnakan yang ditentukan dalam Pasal 41 tidak mencukupi atau telah terbukti tidak mencukupi, ia dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut, atau darat bila dianggap perlu untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian serta kemanan internasional. Dalam tindakan itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blokade, dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut, atau darat dari anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Pasal 41 dan 42 tersebut memberikan legitimasi bagi DK PBB untuk melakukan tindakan-tindakan pemaksaan dalam menyelesaikan suatu kasus. Menurut Pasal 41, DK PBB dapat memaksakan suatu negara untuk melaksanakan tindakan dengan tidak melibatkan pengggunaan senjata atau dengan jalan sanksi
ekonomi berupa embargo maupun pengucilan dari pergaulan internasional. Sedangkan dalam Pasal 42, DK PBB dapat menggunakan tindakan yang lebih keras (hard) dengan melibatkan aksi militer dengan mengerahkan pasukannya baik dari darat, udara, maupun laut. Namun penerapan sanksi yang bersifat memaksa sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 41 dan 42 tersebut sedapat mungkin dihindari dalam penyelesaian suatu kasus dan lebih diutamakan mekanisme penyelesaian melalui jalur diplomasi terlebih dahulu.
Rencana pemberlakuan sanksi kepada Iran tersebut tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari seluruh anggota DK PBB. Keberatan mengenai penerapan sanksi terhadap Iran sering datang dari Rusia dan Cina. Para diplomat barat mengatakan Cina dan Rusia kemungkinan akan mendukung resolusi PBB yang meminta Iran untuk menghentikan program nuklirnya, namun belum siap untuk mendukung langkah-langkah yang menuju pemberian sanksi49
Keberatan dari Rusia dan Cina mengenai pemberian sanksi bagi Iran yang dengan alasan akan memberikan dampak bagi kedua negara tersebut, dapat dibenarkan. Hal tersebut bukan lagi diperbolehkan pada negara-negara pemegang
.Rusia dan Cina memang memiliki kepentingan besar terhadap sumber energi Iran yakni berupa minyak mentah. Menurut anggota Duma, parlemen Rusia, Valentin Kuptsov menyatakan pengenaan sanksi ekonomi dan penggunaan kekuatan tentara atas Iran akan berbahaya bagi semua negara dari segi ekonomi dan keamanan. Hal tersebut juga tidak adil menekan negara pemakai teknologi nuklir secara damai untuk memajukan perekonomiannya.
49 Solopos, 3 Mei 2006.hlm:5
hak veto saja tetapi juga negara lain yang akan memperoleh dampak dari pemberlakuan sanksi tersebut juga diperbolehkan, sebagaimana yang tercantum dalam Bab VI Pasal 50 yang berbunyi:
“Jika tindakan-tindakan pencegahan atau paksaan terhadap sesuatu negara diambil oleh Dewan Kemanan, maka negara lain, baik anggota ataupun bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menghadapi persoalan-persoalan ekonomi khusus, yang timbul karena tindakan-tindakan tersebut, berhak meminta pertimbangan Dewan Keamanan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu.”
Oleh karena perundingan di meja DK PBB mengenai kasus nuklir Iran masih mengalami kebuntuan, dua anggota tetap DK PBB yang berada di Eropa seperti Inggris, Perancis, bersama 25 negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) menawarkan paket insentif kepada Iran. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah untuk menghindarkan Iran dikenai sanksi DK PBB sehingga dicarikan upaya lain berupa langkah diplomasi sebelum DK PBB benar-benar mengeluarkan