• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinggalan Sejarah dan Proses Islamisas

Dalam dokumen Sejarah Perkembangan Seni Rupa Islam (Halaman 78-85)

37 Sumber; Majalah Liberty, Desember 2007, hlm 22-23.

D. Bangunan Makam Peninggalan Kerajaan Islam di Sulawesi Selatan

3. Tinggalan Sejarah dan Proses Islamisas

Sulawesi Selatan berada pada posisi sangat menguntungkan di tengah jalur hubungan barat-timur dan utara ke selatan. Posisi ini membawa dampak terjadinya akumulasi kultural dan politik yang berasal dari berbagai arah. Hubungan terus menerus antar pulau ini mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya, khususnya dalam menyerap tradisi besar dari India, baik dalam bidang aksara (Palallawa dan Devanagari), bidang bahasa (Sangsekerta, Hindi dan Tamil), maupun bidang arsitektur. Aksara dari India ini berubah perlahan-lahan di nusantara ini membentuk aksara Batak, Rejang, Lampung, Jawa, Sunda, Bali, Bugis-Makassar, dan lain-lain.49 Bahasa- bahasa dari India itu tampak pengaruhnya yang besar pada

bahasa Jawa dan Melayu, Bidang arsitektur telah meninggalkan candi, biara, stupa, keraton, tamansari, benteng, dan lain-lain yang bentuknya telah bercampur dengan unsur lokal. Ajaran agama Hindu dan Budha telah melembaga dalam bentuk sekte-sekte, do’a dan mantra serta ritus kedewaan yang semuanya dapat mendukung terjadinya pemujaan terhadap para wali di masa kemudian. DaftarPustaka

Dim, Herry (Editor), 1996. Seni Rupa Kontemporer Istiqlal, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Ave, Joop, 1991. Nafas Islam: Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Ensiklopedi Islam Seri 1, 1994. Ensiklopedi Islam Seri 2, 1994. Ensiklopedi Islam Seri 3, 1994. Ensiklopedi Islam Seri 4, 1994. Ensiklopedi Islam Seri 5, 1994. Ensiklopedi Keluarga, 1995.

Al-Faruqi, Ismail Raji, 1999. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Cetakan I, Yogyakarta: Bentang.

Hiasan Bangunan

Penampakan hiasan pada bangunan istana raja, merupakan suatu keterampilan tersendiri dalam seni dekoratif. Dalam konteks ini, pemberian dan penempatan hiasan disesuaikan dengan tempat atau fungsi masing- masing.dalam perhitungan estetika yang cermat. Motip hias sangat bervariasi dan umumnya mengadopsi dari tradisi lama, namun dalam hal-hal tetentu unsur-unsur lokal ikut berbaur di dalamnya. Dengan variasi yang diadopsi dari unsur-unsur lokal tadi, maka lahirlah gaya atau langgam/corak daerah. Misalnya ragam hias gaya Cirebon, Mataram, Yoyakarta, Jepara, dsb.

Keragaman kebudayaan Nusantara yang ada dan proses akulturasi yang wajar menumbuhkan budaya Islam Nusantara yang beragam, kaya dan mempesona. Keragaman tersebut antara lain dapat dilihat dalam berbagai cabang kesenian (sastra, musik, tari, seni rupa , arsitektur, film, dsb).

Efigrafi Islam-Indonesia Lihat Ambary, hal 168-170.

Kaligrafi (Inskripsi) pada Nisan Makam: Kajian Epigrafi hal. 172-175

Kaligrafi atau tulisan merupakan sumber informasi penting sebagai warisan catatan kehidupan masa lampau, sedang efigrafi adalah kajian tentang sumber sebagai bahan informasi masa lampau. Karena itu, kaligrafi pada nisan makam bisa ditelusuri dengan melakukan pendekatan epigrafi terhadap nilai kaligrafi, yang diarahkan pada upaya pencarian informasi masa lampau melalui sumber tertulis.

Dalam studi arkeologi, hal penting yang ingin ditelusuri – selain rekonstruksi kehidupan masa lampau- adalah masalah kronologi. Dalam hal ini adalah epigrafi yang menekankan pentingnya kronologi, karena sumber epigrafi seperti makam kuno diharapkan dapat memerikan infpormasi mengenai tokoh (man), data tahun wafat (chronology), dan terkadang kepangkatan atau gelar si tokoh. Demikian kajian epigrafi kita dapat menelusuri masalah-masalah pertumbuhan dan perkembngan masyarakat Islam di Indonesia. Para arkeolog tidak akan mempercayai suatu kurun jaman, kejadian atau sejarah mastyarakat tanpa baukti angka tahun yang tertera pada sumber atau data arkeologi.

Dalam masa-masa awal Islamisasi di Sulawesi selatan, misalnya para arkeolog tidak akan mempercayai anggapan bahwa Islam sudah masuk di Makassar pada awal/akhir 1905 M/Hijriah, sebab bukti-bukti yang diajukan mengenai pertanggalan tersebut terbatas berupa analog, bahwa ulama dari Sumatera datang ke Makassar dan mengislamkan raja Gowa I sejak abad …Hijriah. Memang benar ada bukti sejarah yang menyatakan demikian, tetapi terdapat masalah yang masih sukar dipecahkan, yakni apakah pada waktu itu sudah ada masyarakat pribumi yang masuk dan memeluk agama Islam ? Hingga dewasa ini tidak ada bukti tertulis untuk hal tersebut. karena itu masalah tersebut telah menimbulkan kesangsian, baik diantara para arkeolog maupun sejarawan. Begitu pula dengan pendirian masjid tua Katangka yang sampai

sekarang masih dipertanyakan dan terdapat dua versi yang berbeda. Namun ketika orang mengamati angka tahun yang terdapat diantara kaligrafi (inskripsi) yang terdapat di atas pintu masuk masjid (pintu I & pintu II). Angka tahun dalam inskripsi pada pintu pertama dapat diduga sebagai angka tahun pembangunan pertama masjid tersebut, sedangkan angka tahun dalam inskripsi pada pintu kedua diduga sebagai angka tahun ketika pertama kali dipugar. Berbeda halnya ketika makam berangka tahun tertua di suatu situs ditemukan misalnya di Katangka yang dapat memperlihatkan bukti-bukti tertulis dalam bentuk angka tahun tadi………..

Makam dengan tulisan bergaya huruf Serang (Aksara lokal) memberikan bukti tertulis tentang adanya pemukiman atau komunitas Islam di Katangka Gowa Kedua, dengan gaya huruf Serang tersebut daspat diduga bahwa tipe makam di Katangka boleh jadi mendapat pengaruh dari Serang atau Tedore yang lebih awal memluk ajran Islam daripada raja-raja di Makassar.(Periksa Ambary hal…).

Berdasarkan kajian epigrafis terhadap inskripsi pada pintu masjid Katangka, kita dapat menelusuri kapan masjid itu dibangun. Begitu pula kita dapat menelusuri sejak kapan Islam masuk di Makassar. Karena itu, inskripsi pada pintu masjid Katangka dan inskripsi pada makam kuno Katangka memiliki makna penting bagi kajian perkembangan sejarah Islam di Makassar. Dengan penemuan lewat bukti-bukti tertulis misalnya pada nisan makam akan memperkuat atau dapat dibenarkan (justifiable) setelah didukung bukti arkeologis berupa makam berikut tulisan-tulisan yang menyertainya.makam kuno di Katangka, kita dapat menelusuri jenis huruf yang dituliskan pada makam tersebut, khususnya masalah asal gaya tulisannya,

Walaupun Ambary menyatakan bahwa makam dan nisan tipe Aceh yang sangat kaya dengan hiasan kaligrafi dipahatkan diatas batu tidak hanya tersebar di Aceh atau di wilayah Sumatera saja, tetapi menjadi komoditas penting yang disebarkan ke luar Aceh. Bahkan telah menyebar di

Kawasan Asia Tenggara. Batu nisan tersebut populer dan telah digunakan secara luas di kawasan Asia Tenggara.50 Namun jika dicermati antara nisan tipe Aceh dengan nisan tipe yang ada di Katangka, baik bentuk, material, dan hiasannya maupun gaya tulisan inskripsi – tidak banyak memiliki persamaan. Gaya tulisan pada tipe makam Aceh umumnya termasuk gaya Tsulust dan Naskh, bukan gaya huruf Serang seperti yang terlihat pada nisan di Katangka Gowa.

Kondisi di atas sekaligus juga merupakan salah satu bukti adanya rekayasa Muslim atau penulis Muslim di Makassar yang memiliki nilai estetik dan citarasa seni sangat tinggi. Kemahiran para seniman Makassar ini memungkinkan kaligrafi menjadi salah satu media ekspresi seni sebagai sebuah prestasi di masa lampau yang patut kita hargai. Selain itu, aspek epigrafi Islam nampak memegang peranan penting di dalam masyarakat Islam di kerajaan Makassar, khususnya pada abad …Masehi. Kehadiran makam-makam bernisan dan bertuliskan Arab di kompleks Katangka ini memberikan petunjuk bahwa di lingkungan tersebut telah ada komunitas Islam yang bermukim selama berabad-abad khususnya sejak sekitar abad ke … hingga abad ke ….. M. Selain di Katangka, hiasan kaligrafi Arab juga banyak ditemukan pada batu nisan di Kompleks Lamuru (Makam raja-raja Bone), kompleks Makam Jera’ Lompoe di Soppeng, Jera Palette di Takalar, Kompleks Makam di Mandar. Hiasan dan kaligrafi dipahatkan di atas material batu (jenis batu ……….) yang beratnya ada yang mencapai kurang lebih 100.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kajian tentang kaligrafi Islam lebih Banyak dilakukan terhadap data epigrafi pada makam kuno yang memuat angka tahun. Namun, selain pada makam, kaligrafi serupa juga dijumpai pada bagian pintu dan jendela masjid Tua Katangka. dan dengan material yang sama. Selain itu khusus kaligrafi Lontarak (Aksara Lokal Bugis-Makasar) ditemukan pada

daun lontar dan pada material kertas. Selain pada pada nisan dan masjid, ukiran-ukiran sejenis (tanpa kaligrafi) juga ditemukan pada rumah adat (rumah tua) di Kab. Gowa serta pada beberapa rumah penduduk.

Penting dijelaskan di sini, bahwa abad ke –17- ……….. dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai peroiode munculnya berbagai aliran tarekat. Gejala ini ber langsung sejalan dengan semakin surutnya peranan pusat- pusat kekuasaan Islam serta munculnya dominasi Belanda atau negara Eropa lain, baik di bidang politik dan ekonomi. Dalam kondisi seperti itu, para seniman dan pujangga istana, yang biasanya dekat dengan lingkungan kekuasaan, kehilangan media untuk menyalurkan karya seninya. Bersamaan dengan gejala tersebut, ada kemungkinan penyaluran bakat dan keterampilan seniman dalam hal hias-menghias dialihkan pada pembuatan hiasan di rumah- rumah adat, khususnya hiasan anjong bola. (hiasan bubungan rumah). Kecuali hal seperti ini, sampai sekarang masih dapat kita saksikan pada rumah-rumah adat di setiap daerah.

Demikianlah dengan masuknya raja Tallo sebagai muslim, 22 September 1605 dengan gelar Sultan Alauddin awwalul Islam, agama Islam kemudian berkembang ke Soppeng (1609), Wajo (1610), Bone (1611) dan seterusnya sehingga meliputi seluruh wilayah kerajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Melihat asal-usul dan perkembangan tarekat di Sulawesi Selatan, maka pusatnya sampai sekarang adalah Luwu, Maros (daerah raja Tallo) dan Sungguminasa Gowa tempat tarekat Khalawatiah memegang dominasi (Halide: 258).

Kehadiran Islam dalam masyarakat Indonesia, dilihat dari aspek sosio-budaya dapat ditandai dengan perubahan konsepsi tentang hubungan dan strata stratifikasi sosial. Islam telah memperkenalkan persamaan hak individu, yang tidak mengenal stratifikasi sosial atau tingkatan-tingkatan derajat manusia atas dasar asal usul atau keturunan.- seperti Karaeng atau Andi, Somba, Puang, dsb di kalangan masyarakat Bugis-Makassar.

Karena itu, masyarakat muslim hanya mengenal paham homoequalis, bukan homo herarchikus. Hal ini berbeda dengan masyarakat di Sulawesi Selatan pada masa pra- Islam. Pengenalan konsep homo equalis telah menjadi salah satu faktor penting bagi diterimanya Islam sebagai agama baru di Indonesia.51 Namun demikian, sikap equalis ini di kalangan elit masyarakat tampaknya tidak demikian disukai. Mereka ada kecenderungan memakai pola sosial yang berlaku sebelum Islam Dalam pengangkatan raja, misalnya, Islam menghendaki kepada pemerintahan diangkat dari mereka yang mampu, namun dalam kenyataan sistem pengangkatan raja pada kerajaan Islam cenderung dilakukan berdasarkan hirarki keturunan. Hal ini dapat kita lihat pada hampir semua kerajaan atau kesultanan Islam di Indonesia. Sebagai contoh misalnya, pada dekade 1970-an ke bawah, pengangkatan Bupati di daerah tingkat II Sulawesi Selatan, cenderung diperioritaskan bagi keturunan raja. Bahkan pada pemilihan Bupati Jeneponto tahun 1998 terjadi pertentangan serius di kalangan elit masyarakat golongan bangsawan, karena yang terpilih bukan dari keturunan raja.

Pustaka:

Zein, Abdul Baqir, 1999. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta; Gema Insani.

3. Tinggalan Sejarah dan Proses Islamisasi

Sulawesi Selatan berada pada posisi sangat menguntungkan di tengah jalur hubungan barat-timur dan utara ke selatan. Posisi ini membawa dampak terjadinya akumulasi kultural dan politik yang berasal dari berbagai arah. Hubungan terus menerus antar pulau ini mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya, khususnya dalam menyerap tradisi besar dari India, baik dalam bidang aksara (Palallawa dan Devanagari), bidang bahasa (Sangsekerta, Hindi dan Tamil), maupun bidang arsitektur. Aksara dari India ini berubah

perlahan-lahan di nusantara ini membentuk aksara Batak, Rejang, Lampung, Jawa, Sunda, Bali, Bugis- Makassar, dan lain-lain.52 Bahasa-bahasa dari India itu tampak pengaruhnya yang besar pada bahasa Jawa dan Melayu, Bidang arsitektur telah meninggalkan candi, biara, stupa, keraton, tamansari, benteng, dan lain-lain yang bentuknya telah bercampur dengan unsur lokal. Ajaran agama Hindu dan Budha telah melembaga dalam bentuk sekte-sekte, do’a dan mantra serta ritus kedewaan yang semuanya dapat mendukung terjadinya pemujaan terhadap para wali di masa kemudian.

Dalam dokumen Sejarah Perkembangan Seni Rupa Islam (Halaman 78-85)

Dokumen terkait