• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Tingkah Laku

Monyet hitam Sulawesi merupakan spesies diurnal, terestrial, dan arboreal yang kadang-kadang disebut semiarboreal (Rowe 1996, Supriatna dan Wahyono 2000). Lokomosi terutama secara kuadrupedal (Rowe 1996), walaupun cara bergerak monyet ini sangat bervariasi, dari menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brakiasi), ataupun memanjat (Supriatna dan Wahyono 2000). Daerah jelajahnya seluas 114-320 ha,

dan jelajah hariannya dapat mencapai 5 km (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan penelitian pendahuluan (Saroyo 2002b, Saroyo et al. 2004b), Kelompok Rambo II di CA Tangkoko-Batuangus mempunyai daerah jelajah yang cukup sempit yaitu 59 ha dan jarak jelajah hariannya 2.839 ± 423,6 m. Monyet hitam Sulawesi aktif pada siang hari (diurnal), dan sore hari menjelang tidur mereka memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur dilakukan pada tajuk tinggi pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk segera turun mencari makan. Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di tanah dan setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan (Kinnaird 1997).

Status Konservasi

Monyet hitam Sulawesi dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 421/Kpt/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 (Supriatna dan Wahyono 2000). Dalam daftar yang dikeluarkan IUCN, spesies ini digolongkan sebagai satwa genting dan dicantumkan dalam Appendix II CITES (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan kecenderungan hilangnya hutan, status spesies ini perlu diubah menjadi kritis (Lee et al. 2002).

Populasi

Habitat monyet hitam Sulawesi telah banyak mengalami penyusutan akibat penebangan dan pembukaan lahan perkebunan (Lee et al. 2001). Saat ini mereka telah kehilangan 60% habitatnya dari 12.000 km2 menjadi 4.800 km2, dan hanya menempati areal seluas 2.750 km2 dalam kawasan konservasi (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan penelitian Lee dan Kussoy (1999), kerapatan populasi monyet hitam Sulawesi di Tangkoko sebesar 58,0 ekor/km2, di Pulau Talise 21,5 ekor/km2, di Manembonembo (22,8 ekor/km2), dan di Manado Tua 34,0 ekor/km2.

Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, populasi monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Penelitian MacKinnon dan MacKinnon pada tahun 1978, kerapatan populasi monyet di CA Tangkoko-Batuangus-DuaSudara sebesar 300 ekor/km2, dan berdasarkan penelitian Sugardjito et al. pada tahun 1988, kerapatannya menjadi 76 ekor/km2 (Rosenbaum et al. 1998). Penelitian Rosenbaum et al. pada tahun 1994 menunjukkan bahwa kerapatan populasi monyet sebesar 66,7 ekor/km2 (Rosenbaum et al. 1998). Berdasarkan hasil survei Kyes et al. (2002) pada tahun 1999-2002, kerapatannya sebesar 39,8 ekor/km2.

Cagar Alam (CA) Tangkoko-Batuangus

Sulawesi Utara mempunyai beberapa kawasan perlindungan, baik cagar alam, taman nasional, maupun suaka margasatwa. CA Tangkoko-Batuangus terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan GB No. 6 Stbl 1919, tanggal 12 Februari 1919 (KSDA Sulawesi Utara). Luas cagar alam ini 3.196 ha, terletak pada 1o30’-1o34’N dan 125o10’-125o81’E (Sunarto et al. 1999). Sebagian dari wilayahnya digunakan sebagai daerah wisata alam, dan sampai saat ini belum diketahui pengaruh kegiatan tersebut terhadap kehidupan monyet. Beberapa kelompok monyet, seperti KRII dan KRI mempunyai daerah jelajah yang melalui daerah Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih (Saroyo 2002a). CA Tangkoko-Batuangus menyatu dengan CA DuaSudara, TWA Batuangus, dan TWA Batuputih. Luas keempat kawasan ini 8.718 ha (KSDA Sulawesi Utara 2002).

CA Tangkoko-Batuangus meliputi beberapa tipe habitat (Whitten et al. 1987, Saroyo 2003b) sebagai berikut ini.

1) Pantai, yaitu formasi barringtonia, meliputi tumbuhan: Barringtonia asiatica

(bitung), Pandanus sp. (pandan), Callophyllum soulattri (nyamplung), Morinda citrifolia (mengkudu daun besar), Morinda bracteata (mengkudu daun kecil), Cycas rumphii (pakis haji), Terminalia catappa (ketapang), Hibiscus tiliaceus (waru laut),

Ixora sp. (soka/suwing), Erythrina sp. (dadap), Pongamia pinnata (lakehe), Leea indica (momaling biasa), Kleinhovia hospita (bintangar), dan Barringtonia acutangula (salense).

2) Hutan sekunder dengan pohon khas Cocos nucifera (kelapa), Mangifera indica

3) Semak-semak yang tersusun atas Imperata cylindrica (alang-alang), Saccharum spontaneum (glagah), Eupatorium odoratum, Lantana camara (tembelekan), Piper aduncum (sirih hutan), dengan diselingi pohon Macaranga sp. (binunga), dan Melia azedarach (mindi/bugis).

4) Semak-semak lain yang tersusun atas rumput Cyrtococcum oxyphyllum yang hampir tertutup oleh Piper aduncum (sirih hutan), Melia azedarach (mindi/bugis),

Macaranga sp. (binunga), Lantana camara (tembelekan), Pterospermum diversifolium (wolo daun besar), Alstonia sp. (kayu telur), Laportea sp. (kemaduh), dan Tectona grandis (jati).

5) Hutan primer dengan berbagai jenis pohon, yang menyolok antara lain Ficus sp.

(ara), Leea indica (momaling biasa), Palaquium amboinense (nantu), Ardisia sp.

(kayu anoa), Eugenia sp. (gora hutan), Garuga floribunda (kayu kambing),

Dracontomelum dao (rao), Livistona rotundifolia (woka), dan Baringtonia acutangula (salense).

6) Di atas ketinggian 800 m sudah merupakan vegetasi pegunungan.

Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi

Bangsa Primates merupakan salah satu Bangsa dalam Kelas Mammalia yang hidup dalam suatu kelompok sosial. Hidup bersosial memberikan beberapa keuntungan untuk akses terhadap pakan, proteksi terhadap predator, akses untuk kawin, dan mempermudah dalam pemencaran keturunan (Collinge 1993). Beberapa terminologi berikut merujuk pada Collinge (1993). Suatu Kelompok Sosial tersusun dari satwa-satwa yang berinteraksi pada suatu basis reguler. Primata mampu mengenal satu dengan yang lain dan menggunakan lebih banyak waktu dengan anggota kelompoknya. Struktur Sosial menunjukkan bentuk fisik kelompok berkaitan dengan kelompok umur dan jenis kelamin, serta hubungan interaksi satu dengan lainnya. Organisasi Sosial merupakan ekspresi yang lebih inklusif yang secara umum digunakan untuk mendeskripsikan beberapa aspek kelompok sosial, yang meliputi distribusi spasial, komposisi kelompok, serta hubungan sosial dan fisik di dalam kelompok. Perbedaan utama struktur sosial dan organisasi sosial, bahwa organisasi sosial juga mencakup komponen tingkah laku.

Berdasarkan sistem klasifikasi sosioseksual, struktur sosial monyet hitam Sulawesi termasuk kelompok banyak jantan-banyak betina. Di alam, monyet hitam Sulawesi hidup dalam kelompok besar, yaitu 20-70 ekor (Supriatna dan Wahyono 2000). Mereka hidup dalam kelompok dengan nisbah (rasio) jantan dan betina dewasa 1:3,4 (Rowe 1996). Nisbah jantan dan betina ini merupakan fungsi dari pola emigrasi jantan dan filopatri betina (Napier dan Napier 1985). Filopatri betina berarti bahwa betina tetap berada dalam kelompok kelahirannya. Masyarakat monyet ini berpusat pada keluarga betina, sementara jantan keluar dari kelompok kelahirannya (Matsumura 1998).

Interaksi Sosial

Tingkah laku sosial monyet hitam Sulawesi sangat terorganisir dan kompleks. Jantan membentuk hierarki kekuasaan. Jantan paling dominan ditandai dengan ukuran tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas dalam mendapatkan pakan dan pasangan (Kinnaird 1997). Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan anak, sehingga jantan sempat membersihkan segala parasit dari rambut tubuh mereka dan membantu kaum betina memperkuat ikatan sosial dengan anggota lainnya. Kaum remaja melewatkan waktu dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran atau bergumul dengan sebayanya. Meringis lebar merupakan senyuman mengajak bermain-main bukan menantang berkelahi (Kinnaird 1997).

Interaksi sosial dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu kompetitif (antagonistik) dan kooperatif (positif atau afiliatif). Beberapa penelitian tentang interaksi sosial antaranggota kelompok pada satwa primata, antara lain: dominansi pada monyet Jepang (M. fuscata) (Chaffin et al. 1995), hubungan dominansi betina dewasa pada monyet Jepang di alam (Nakamichi et al. 1995), hubungan proksimitas pada monyet Jepang (Nakamichi 1996), dominansi pada monyet Assam (M. assamensis ) (Bernstein dan Cooper 1999), menelisik, ikatan sosial, dan agonistik pada monyet Rhesus (M. mullata) (Matheson dan Bernstein 2000), dan hubungan kekeluargaan dan dominansi betina pada

sooty mangabey (Cercocebus atys) (Range dan Noe 2002). Penelitian tentang tingkah laku sosial jantan dan hierarki dominansi pada monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko- Batuangus telah dilakukan pada tahun 1994 selama enam minggu (Reed et al. 1997) pada

suatu kelompok besar (97 individu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa. Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat. Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang lebih tinggi terhadap betina yang secara seksual reseptif daripada terhadap betina pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa jantan monyet hitam Sulawesi mempunyai organisasi sosial yang sama dengan pada spesies Macaca lainnya (Reed et al. 1997).

Dokumen terkait