Tumbuhan beracun yang ditemukan di Hutan Lindung Simancik I ada 13 jenis tumbuhan. Data analisis tumbuhan beracun dapat ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Analisis tumbuhan beracun (tumbuhan bawah) di Hutan Lindung Simancik I Jenis tumbuhan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) INP H' Gagaten Peik 680 13.76 0.16 12.69 26.45 Gujera 180 3.65 0.06 4.77 8.42 Kerah-Kerah 760 15.38 0.16 12.69 28.07 Ndulpak 240 4.86 0.08 6.35 11.21 Rancang 620 12.55 0.14 11.11 23.66 Rancang Daluna 80 1.62 0.06 4.77 6.39 Riang-Riang 660 13.36 0.14 11.11 24.47 Risi-Risi 760 15.38 0.16 12.69 28.07 Silawir Buluh 200 4.05 0.08 6.35 10.4 Sukul-Sukul 440 8.90 0.10 7.93 16.83 Tabar-Tabar 180 3.65 0.06 4.77 8.42 Takur-Takur Ratah 140 2.84 0.06 4.77 7.61 Total 4940 100 1.26 100 200 0.14
Tabel 2. Analisis tumbuhan beracun ( pohon ) di Hutan Lindung Simancik I Jenis tumbuhan K (ind/ha) KR (%) F FR (%) INP H' Cep-cepan 160 2.84 0.06 4.10 6.94 Deng-Deng Kerangen 720 12.76 0.16 10.95 23.71 Duri-Duri 680 12.05 0.14 9.58 19.63 Ingul Kerangen 80 1.42 0.06 4.10 5.52 Jabut-Jabut 780 13.82 0.12 8.21 22.03 Kukur 660 11.70 0.14 9.58 21.28 Lancing Kerangen 760 13.47 0.16 10.95 24.42 Mbetung 120 2.13 0.08 5.48 7.61 Sanggubuh 60 1.07 0.06 4.10 5.17 Sangke Sempilit Kerangen 500 8.87 0.16 10.95 19.82 Sangketen 620 10.99 0.14 9.58 20.57 Silantam Ruhi 60 1.07 0.04 2.74 3.81 Silantem Kerangen 440 7.81 0.14 9.58 17.39 Total 5640 100 1.46 100 200 0.03
Nilai Kerapatan Relatif (KR) tertinggi terdapat pada jenis Kerah-kerah dan Risi pada golongan tumbuhan bawah dengan nilai sebesar 15.38%. Tingginya nilai ini menunjukkan bahwa jenis kedua jenis ini memiliki kerapatan yang tinggi di Hutan Lindung Simancik I. Sedangkan nilai kerapatan relatif yang terendah adalah jenis Rancang Daluna dengan nilai sebesar 1.62%. Nilai Kerapatan Relatif tertinggi pada golongan tingkat pohon terdapat pada jenis Jabut-Jabut dengan nilai sebesar 13.82%. Tingginya nilai ini menunjukkan bahwa jenis Jabut-Jabut memiliki kerapatan yang tinggi di Hutan Lindung Simancik I. Sedangkan nilai kerapatan relatif yang terendah adalah jenis Silantam Ruhi dan Sanggubuh dengan nilai sebesar 1.07%. Ini disebabkan karena sifat pertumbuhan dari kedua jenis ini yang sangat lambat dan sulitnya menghasilkan anakan yang tidak mampu berkompetisi dengan jenis lain . Sehingga populasi jenis tersebut hanya sedikit. Beragamnya nilai kerapatan relatif ini mungkin disebabkan karena kondisi hutan yang memiliki variasi lingkungan yang tinggi. Loveless (1989) menyatakan bahwa sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung tersebar luas.
Berdasarkan data analisis vegetasi yang terdapat pada Tabel , diperoleh bahwa nilai H’ yang didapatkan pada golongan tumbuhan bawah adalah sebesar 0.14% dan pada golongan tingkat pohon adalah 0.03%. Menurut (Indriyanto,2006) Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wiener didefenisikan sebagai berikut :
a. Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah melimpah tinggi
b. Nilai H’ 1 < H’ < 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu transek sedang melimpah
c. Nilai H’ < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah sedikit atau rendah
Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan beracun di Hutan Lindung Simancik I tergolong rendah produktivitasnya, baik tingkat tumbuhan bawah maupun tingkat pohon karena jenis yang ditemukan tidak terlalu banyak dan penyebaran jenis Tumbuhan beracun kurang merata. Hal ini juga dapat disebabkan oleh persaingan tumbuhan satu dengan yag lainnya, sehingga beberapa jenis kurang mampu untuk beradaptasi di Hutan Lindung Simancik I, serta tidak terjadinya keseimbangan jumlah jenis.
Nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi terdapat pada jenis Gagatan Perik, Kerah-Kerah, Risi-Risi dengan nilai sebesar 12.69% pada golongan tumbuhan bawah. Dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa ketiga jenis tersebut banyak terdapat di hutan tersebut. Sedangkan nilai frekuensi relatif yang terendah adalah jenis Gujera, Rancang Daluna, Tabar-tabar, dan Takur-takur Ratah dengan nilai sebesar 4.77%, yang artinya jenis ini sangat sedikit ditemukan di hutan. Nilai Frekuensi Relatif tertinggi pada tingkat pohon terdapat pada jenis Deng-Deng Karanngen, Lancing Kerangen, dan Sangke Sempilit Kerangen. dengan nilai sebesar 10.95%. Dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa ketiga jenis tersebut banyak terdapat di hutan tersebut. Sedangkan nilai frekuensi relatif yang terendah adalah jenis Silantam Ruhi dengan nilai sebesar 2.74%, yang artinya jenis ini sangat sedikit ditemukan di hutan Frekuensi kehadiran sering pula dinyatakan dengan konstansi. Konstansi atau frekuensi kehadiran organisme dapat
dikelompokkan atas empat kelompok yaitu jenis aksidental (frekuensi 0-25%), jenis assesori (25-50%), jenis konstan (50-75%), dan jenis absolut (di atas 75%) (Suin, 2002). Berdasarkan data tabel , bahwa tumbuhan yang ada di Hutan Lindung Simancik I termasuk dalam kategori jenis aksidental dengan frekuensi 0-25%. Hal ini memperlihatkan jenis-jenis tersebut daerah penyebarannya terbatas, dan menyebarkan bijinya hanya pada sekitar lokasi hutan tempat tumbuhnya saja.
Kondisi fisik lokasi menjadi faktor penentu pertumbuhan jenis tumbuhan beracun di Hutan Lindung Simancik I, di antaranya kondisi cahaya, suhu, kelembaban, vegetasi, dan unsur hara. Kondisi yang memungkinkan meratanya ketidakmeratanya jumlah tumbuhan beracun yang ditemukan di setiap plot adalah karena kawasan hutan Lindung Simancik I, sudah terlebih dahulu rusak dan terdapat bebas tebangan dan pembakaran kawasan hutan yang dilakukan oleh pihak yang tak bertanggungjawab.
Indeks Nilai Penting menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam komunitas. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada golongan tumbuhan bawah adalah jenis Kerah-Kerah, dan Risi-risi dengan nilai sebesar 28.07%. Ini artinya jenis tersebut mempunyai peranan penting dalam komunitasnya. Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang memiliki INP yang paling rendah adalah jenis Rancang Daluna. yaitu sebesar 6.39%. INP tertinggi pada tingkat pohon adalah jenis lancing Kerangen dengan nilai sebesar 24.42%. Ini artinya jenis tersebut mempunyai peranan penting dalam komunitasnya. Sedangkan jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang memiliki INP yang paling rendah adalah jenis Silantam Ruhi. yaitu sebesar 3.81%. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi tempat tumbuh yang kurang mendukung pertumbuhan
jenis tumbuhan beracun ini. Jenis Kerah-Kerah, Lancing Kerangen dan Risi-Risi mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga lebih mendominasi pertumbuhan tumbuhan beracun lainnya.
Hasil Skrining Fitokimia Tumbuhan Beracun di Hutan Lindung Simancik I Sebelum dilakukan skrining fitokimia, tumbuhan beracun tersebut telah diidentifikasi dan dikering udarakan hingga kadar airnya menjadi rendah. Pengeringan dilakukan untuk mempermudah penghalusan sampel tumbuhan beracun tersebut. Sampel yang telah dihaluskan, dapat dicampurkan dengan pereaksi-pereaksi kimia untuk mendapatkan kandungan fitokimianya. Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam jamur tersebut. Senyawa-senyawa tersebut meliputi Alkaloid, Flavonoid, Tanin, Terpenoid, dan Saponin. Pengujian dilakukan pada masing-masing spesies tumbuhan beracun . Tumbuhan beracun yang mengandung senyawa tersebut, ditandai dengan adanya minimal dua pereaksi yang bernilai positif. Pada pengujian saponin dan tanin hanya digunakan satu pereaksi.
1. Alkaloid
Alkaloid didefinisikan sebagai senyawa yang bersifat basa, mengandung atom nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jika digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuh-tumbuhan dan pengatur kerja hormon. Alkaloid sangat penting dalam industri farmasi karena kebanyakan alkaloid mempunyai efek fisiologis.
Kandungan senyawa Alkaloida berperan sebagai penurun aktivitas makan pada organisme (antifeedant). Menurut Taofik (2010) yang menyatakan bahwa salah satu alkaloid yang mempunyai struktur tersederhana adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar. Nikotina bersifat racun (toksik) pada dosis yang tinggi, dan pernah juga digunakan sebagai insektisida, sedangkan nikotina dalam dosis rendah dapat berfungsi sebagai stimulan terhadap sistem syaraf otonom. Menurut Dinas Pertanian TPH Kabupaten Grobogan (2012) menyatakan bahwa nikotin merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat. Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga sehingga efektif untuk mengendalikan hama pengisap juga serangga seperti: ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida).
Fungsi alkaloid yang dikenal sebagian besar terkait pada sistem perlindungan, misalnya senyawa aporphine alkaloid liriodenine dihasilkan oleh pohon tulip untuk melindunginya dari serangan jamur parasit dan senyawa alkaloid lainnya pada tumbuhan tertentu untuk mencegah serangga memakan
bagian tubuh tumbuhan. Fungsi aktifitas senyawa alkaloid menurut Atta-ur-Rahman et al (1997) adalah sebagai antibakteri dan antifungi.
Untuk pengujian alkaloid menggunakan pereaksi Bouchardat, Wagner, Meyer dan Dragendorff. Perubahan warna larutan yang ditunjukkan oleh pereaksi Bouchardat adalah coklat, sedangkan dengan pereaksi Wagner ditunjukkan dengan adanya endapan warna coklat. Untuk pereaksi Meyer, perubahan warna larutan menjadi putih kekuningan, dan dengan pereaksi Dragendorff ditunjukkan dengan adanya endapan warna merah bata.
Setelah dilakukan pengujian di laboratorium, hasil uji Alkaloid
menunjukkan bahwa jenis yang mengandung senyawa alkaloid tersebut di antaranya adalah Kukur, Risi-Risi, Duri-Duri, Sangketen, Riang-Riang,
Silantem Kerangen, Kerah-Kerah, Sangke Sempilit Kerangen, Gagaten Perik, dan Rancang.Sampel lainnya yang mengandung senyawa golongan alkaloid merupakan jenis-jenis yang berpotensi sebagai insektisida ataupun fungisida. Hal ini membuktikan bahwa kesepuluh jenis tumbuhan ini dapat dijadikan sebagai anti hama.
2. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol yang terbanyak di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab terhadap zat warna ungu, merah, biru dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Kegunaan dari flavonoid antara lain, pertama terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap kanker dan ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik
untuk melakukan penyerbukan. Fungsi aktifitas senyawa flavonoid adalah sebagai antimikroba (Leo et al, 2004), antibakteri (Schütz et al, 1995) dan antifungi (Tahara et al, 1994).
Pengujian flavonoid, pereaksi yang digunakan adalah FeCl3. Tanda yang ditunjukkan oleh reaksi yang terjadi antara ekstrak tumbuhan dengan pereaksi FeCl3 adalah adanya perubahan warna larutan menjadi warna hitam pekat. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa Kukur, Lancing Kerangen, Risi-Risi, Duri-Duri, Sangketen, Riang-Riang, dan Rancang memiliki senyawa flavonoid. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai antimikroba dan antivirus. Oleh karena itu, ketujuh tumbuhan beracun yang diperoleh dapat dijadikan sebagai antimikroba. Hal ini membuktikan bahwa tumbuhan yang diujikan dapat dijadikan sebagai antimikroba atau antivirus.
3. Tanin
Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa pahit dan kelat, yang bereaksi dan menggumpalkan protein atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid. Senyawa-senyawa tanin ditemukan pada banyak jenis tumbuhan, berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari pemangsaan oleh herbivora dan hama, serta dalam pengaturan pertumbuhan.
Fungsi aktifitas senyawa tanin menurut Goldstein dan Swain (1965) adalah sebagai penghambat enzim hama. Pereaksi dalam pengujian tanin adalah NaOH 10%. Uji skrining menunjukkan adanya kandungan tanin ditandai dengan munculnya perubahan warna menjadi hitam saat sampel tanaman direaksikan dengan senyawa pereaksi. Berdasarkan dari data hasil pengujian pada table,
Risi-Risi, Duri-Duri dan Sangketen mengandung senyawa tanin. Sampel yang mengandung senyawa golongan tanin merupakan jenis-jenis yang berpotensi sebagai pestisida.
4. Saponim
Saponin adalah senyawa aktif dengan permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Peran saponin pada tanaman sebagai bagian sistem pertahanan dapat menunjukkan aktivitas alelopati, antimikroba, anti-jamur dan anti serangga. Fungsi aktifitas senyawa saponin menurut Hostettmann dan Marston (1995) adalah sebagai antimikroba, fungisida, antibakteri, antivirus, piscisida, molluscisida dan insektisida
Kandungan senyawa saponin berperan sebagai penghancur sel-sel darah merah pada organisme, sehingga dapat dijadikan sebagai racun bagi organisme. Menurut Claus (1961) bahwa senyawa saponin dikarakteristikan dengan pembentukan solusi koloidal di dalam air yang berbusa ketika dikocok. Senyawa ini mengandung rasa yang lebih pahit, aroma yang tajam, dan berisikan racun-racun yang biasanya menyebabkan bersin dan iritasi pada selaput membran. Saponin dapat menghancurkan sel-sel darah merah melalui hemolisis dan dapat berperan sebagai racun pada hewan-hewan yang berdarah dingin, terutama digunakan sebagai racun ikan.
Pereaksi dalam pengujian saponin adalah HCl 10%. Uji skrining menunjukkan adanya kandungan saponin ditandai dengan munculnya buih permanen
Berdasarkan dari data hasil pengujian pada tabel , Sangketen dan Silantem Karangen saat dicampur dan diguncangkan dengan HCl 10% tidak memunculkan buih permanen. Sedangkan kesebelas tumbuhan lainnya memunculkna buih permanen. Hal ini menunjukkan bahwa kesebelas lainnya mengandung senyawa golongan saponin maka kesebelas jenis ini berpotensi sebagai pestisida.
5. Terpen/Steroid
Umumnya kandungan steroida berperan sebagai pelindung pelindung dan penolak serangga. Menurut Fauzia (2010) bahwa jika terdapat dalam tumbuhan, maka beberapa senyawa ini akan dapat berperan menjadi pelindung. Senyawa ini tidak hanya bekerja menolak beberapa serangga tetapi juga menarik beberapa serangga lain, sedangkan terpenoida dapat menolak beberapa serangga pada tanaman melalui ekstraksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budianto dan Tukiran (2012) yang mengatakan bahwa senyawa triterpenoid merupakan senyawa yang bersifat repellent (penolak serangga), sehinga sering dimanfaatkan sebagai insektisida.
Pengujian terpenoid, pereaksi yang yang digunakan adalah Liberman Burchard dan Cerik Sulfat. Perubahan warna yang terjadi apabila dicampurkan dengan pereaksi Liberman burchard menunjukkan warna larutan menjadi hijau kebiruan. Sedangkan dengan menggunakan pereaksi Cerik Sulfat menunjukkan perubahan warna larutan menjadi coklat. Berdasarkan dari data hasil pengujian pada tabel , hanya Kerah-Kerah yang tidak mengandung senyawa golongan terpen maka jenis lainnya berpotensi sebagai insektisida ataupun fungisida.
Potensi Tumbuhan Beracun di Hutan Lindung Simancik I
Jika dilihat dari pembahasan sebelumnya bahwa semua sampel yang diidentifikasi mengandung senyawa metaboloit sekunder. Dalam kondisi ini
semua tumbuhan dikategorikan tumbuhan beracun dan berpotensi sebagai biopestisida alami. Jika ditelaah satu persatu maka dapat disimpulkan bahwa Hutan Lindung Simancik I memiliki daya tarik terhadap eksplorasi hasil hutan non kayu. Hal ini dikarenakan keistimewaan Simancik I yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Ini adalah langkah awal untuk mengetahui potensi Hutan Lindung Simancik I. Sebagai upaya menyelamatkan kekayaan yang terdapat di dalamnya. Hal ini karena melihat kondisi Hutan Lindung Simancik I yang jauh dari pantauan pemerintah, dalam menyelamatkan hutan lindung tersebut. Jadi, Hutan Lindung Simancik I berpotesi menghasilkan tumbuhan beracun sebagai biopestisida alami.