HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil penelitian
2.1. Tingkat kecemasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh
keluarga pada klien diabetes melitus mayoritas mengalami tingkat kecemasan
sedang yakni sebanyak 38 responden (60,3%), kemudian diikuti dengan
kecemasan berat yaitu sebanyak terdapat 15 responden (23,8%), dan kecemasan
ringan hanya 10 responden (15,9%). Menurut Suliswati (2002) mengatakan
bahwa tingkat kecemasan sedang pada individu akan lebih memusatkan perhatian
pada hal yang penting yang dirasakan, yakni penyakit diabetes melitus dan
mengesampingkan hal lain diluar masalah yang telah dialami sehingga individu
mengalami perhatian selektif yang lebih terarah.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa mayoritas responden
yakni keluarga pada klien yang menderita diabetes melitus didapatkan hasil
bahwa mayoritas responden berusia pada rentang 27-33 tahun yakni sebanyak 19
responden (30,2%), menurut Fausiah (2008) bahwa umumnya gangguan
kecemasan sering terjadi pada masa dewasa muda yang merupakan usia cukup
matang dalam pengalaman hidup dan kematangan jiwanya, meskipun dapat pula
muncul pada usia yang lebih tua atau bahkan lebih muda. Usia berhubungan
dengan keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan dimana semakin
bertambah usia seseorang maka semakin besar kepercayaannya untuk mencari
dengan kematangan untuk memperhatikan anggota keluarga lain yang butuh
pertolongan kesehatan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Elsa (2011) tentang hubungan
dukungan perawat dengan tingkat kecemasan keluarga di ruangan rawat penyakit
dalam, menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering
terjadi pada masa dewasa dan kecemasan dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti peran sebagai pencari nafkah dan merawat keluarga.
Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin responden mayoritas laki-laki
sebanyak 33 responden (52,4%). Menurut Djiwandono (2002) kecemasan lebih
banyak terjadi pada wanita, karena wanita lebih mudah cemas dan wanita
menggunakan perasaan, sedangkan laki laki berfikir dengan logika. tingkat beban
keluarga lebih tergantung kepada pengalaman keluarga dalam merawat dan tidak
memandang apakah keluarga tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Pengalaman tersebut terkonseptualisasi sebagai sikap individu yang berhubungan
dengan perannya dalam keluarga.
Hasil penelitian berdasarkan suku menunjukkan mayoritas responden
bersuku aceh sebanyak 37 responden (58,7%), menurut Wiramihardja (2007) suku
sangat kuat mempengaruhi tampilnya kecemasan. Berdasarkan observasi langsung
yang dilakukan peneliti, bahwa suku aceh meyakini bahwa peran istri sangat
penting perannya dalam mengurus rumah tangga, sedangkan suami hanya mencari
nafkah, semua urusan rumah tanggung jawab istri.
Hasil penelitian tingkat pendidikan responden mayoritas adalah perguruan
kecemasan keluarga klien dipengaruhi oleh koping dan tingkat pengetahuan,
informasi dan keyakinan. Semakin banyak informasi yang diketahui maka tingkat
kecemasan keluarga semakin meningkat dan akan menimbulkan kekhawatiran
yang berlebih. Pentingnya pendidikan sebagai sumber koping dalam menghadapi
masalah dan bermakna untuk menentukan penggunaan fasilitas kesehatan.
Tingkat pendidikan keluarga yang terkategori tinggi berhubungan dengan
kemampuan pengetahuan mereka dalam menggunakan dan memilih fasilitas
kesehatan yang tepat dalam mengobati dan merawat klien diabetes melitus,
sehingga bisa mengurangi beban keluarga karena lebih cepat dan tepat dalam
mendapatkan bantuan dari petugas kesehatan.
Terkait tingkat kecemasan sedang keluarga pada klien diabetes melitus,
diperlukan intervensi secara psikologis jangka panjang meliputi terapi keluarga
yang bersifat psikososial dan tidak langsung maupun jangka pendek bersifat
suportif dan mendidik, jika keluarga tidak mendapatkan intervensi yang tepat
akan mempengaruhi fungsi dan tugas keluarga, hal ini sesuai dikatakan Friedman
(2010) bahwa adanya penyakit yang serius dan kronis yang terdapat pada salah
satu anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada sistim
keluarga, khususnya pada struktur peran dan pelaksasanaan fungsi-fungsi
keluarga yakni fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduktif, fungsi
ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan diterapkan keluarga terhadap klien
diabetes melitus diantaranya adalah menjelaskan kepada klien diabetes melitus
yang tepat pada klien diabetes melitus agar klien termotivasi menjaga dan
mengontrol kadar gula, memahami manfaat obat untuk mematuhinya.
Berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan bahwa sebanyak 15
responden (23,8%) mengalami kecemasan berat. Menurut Lumongga (2010)
mengatakan bahwa pada tingkat kecemasan berat tidak mampu menyelesaikan
masalah, perasaan terancam, verbalisasi cepat. Penyakit diabetes melitus
dipersepsikan sebagai ancaman dalam kehidupan karena kebutuhan untuk
bertahan yang tidak terpenuhi. Pada penyakit diabetes melitus yang sudah
komplikasi yang membutuhkan tindakan pembedahan, sehingga terjadinya
keluhan fisik dan individu terus menerus merasa takut dan mengalami kesulitan
untuk berkosentrasi dalam mengambil keputusan. Selanjutnya menurut Tarwanto
(2003) mengatakan bahwa cemas berat biasanya seseorang akan mengalami
lapangan persepsi sempit, seseorang cendrung memusatkan sesuatu yang terinci
dan spesifik dan tidak memikirkan hal yang lain. Semua prilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan dalam menghadapi penyakit diabetes melitus dalam
keluarga. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi kecemasan berat dengan
mekanisme koping yang berorientasi pada tugas dan mekanisme pertahanan ego,
dengan cara tindakan untuk memenuhi tuntutan situasi stres secara realistik,
mengatasi hambatan kebutuhan, menjauhkan diri dari ancaman, baik secara fisik
maupun psikologis dan membrikan informasi pelayanan atau informasi dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh keluarga
pada klien diabetes melitus sebagian mengalami tingkat kecemasan ringan yakni
hanya 10 responden (15,9%). Menurut Suliswati (2005) mengatakan bahwa pada
tingkat kecemasan ringan di hubungkan dengan ketegangan yang di alami
sehari-sehari dan menyababkan waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan
indra. Kecemasan ini dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu
memecahkan masalah secara elektif dan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas. Selanjutnya menurut Asmadi (2010) mengatakan kecemasan ringan,
tidak ada intervensi khusus sebab pada ansietas ringan ini pasien masih mampu
mengontrol dirinya dan mampu membuat keputusan yang tepat dalam
penyelesaian masalah. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan,
iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar,
motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi. Tingkat kecemasan ringan
intervensi yang diperlukan yakni mekanisme pertahanan ego, dengan cara
mengidentifikasi metode koping sebelumnya terhadap masalah kehidupannya,
mendengarkan secara aktif terkait dengan masalah kehidupan, mengidentifikasi
persepsi tentang tentang apa yang sedang terjadi dan memberi informasi tentang
cara untuk menghadapi kecemasan, misalnya keterampilan menyelesaaikan
masalah.