• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila BEST pada Pemeliharaan Pascatransportas

DAFTAR LAMPIRAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.2.3 Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila BEST pada Pemeliharaan Pascatransportas

Tingkat kelangsungan hidup ikan nila BEST pascatransportasi memiliki persentase hampir sama. Pada pemeliharaan hari ke-2, tingkat kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan 4 g/L sebesar 98,42%, 8 g/L sebesar 97,72%, 12 g/L sebesar 96,36%, dan 20 g/L sebesar 92,2%. Tingkat kelangsungan hidup ikan mengalami penurunan sampai pemeliharaan hari ke-3. Tingkat kelangsungan hidup paling tinggi hingga akhir pemeliharaan selama 20 hari adalah sebesar 98,14% pada perlakuan 4 g/L, dan terendah sebesar 90,44% pada perlakuan 20 g/L.

Gambar 8. Tingkat Kelangsungan Hidup Pascatransportasi

-0,010 0,000 0,010 0,020 0,030 0,040 0 4 8 12 16 20 24 N H 3 ( m g /L ) Waktu (jam) 4 g/L 8 g/L 12 g/L 20 g/L 80 85 90 95 100 105 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 S R ( % ) Waktu (hari) 4 g/L 8 g/L 12 g/L 20 g/L

19 3.1.2.4 Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Nila BEST pada Pemeliharaan

Pascatransportasi

Laju pertumbuhan ikan nila BEST tertinggi sebesar 7,48% terdapat pada perlakuan 8 g/L, sedangkan terendah adalah sebesar 5,06% pada perlakuan 4 g/L (Gambar 8). Hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan nyata untuk perlakuan 4 g/L, 8 g/L dan 12 g/L, dan perlakuan 20 g/L (P<0,05) (Lampiran 29).

Gambar 9. Laju Pertumbuhan Harian Benih Ikan Nila BEST

3.1.2.5 Histologi Insang

Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis, yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk mengamatinya. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan. Komponen pernafasan insang terdiri dari filamen atau lamela primer dan lamela sekunder. Insang merupakan organ respirasi utama dan vital pada ikan. Epitel insang ikan merupakan bagian utama untuk pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Gambar 10-14 berikut merupakan hasil pengamatan histologi insang pada perlakuan benih ikan nila BEST. Dari gambar dapat dilihat hasil histologi yang terjadi pada insang ikan sebelum perlakuan, setelah pengangkutan dan setelah pemeliharaan pada perlakuan dosis kadar garam 4 g/L, 8 g/L, 12 g/L, dan 20 g/L.

5,06 7,48 6,29 7,23 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A (4 g/L) B (8 g/L) C (12 g/L) D (20 g/L)

a

a

a

a

20 Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm)

Gambar 10. Preparat Histologi Insang sebelum Transportasi

(1). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) hemoragi (He). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 4 g/L setelah transportasi

dan 11(2). edema (E) Pewarnaan HE (Bar = 50 μm) pada Insang Ikan 4 g/L setelah pemeliharaan Gambar 11. Preparat Histologi Insang 4 g/L

M

He

M

E

21

(1). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) hemoragi (He) edema (E). Pewarnaan HE (Bar = 50 μm) pada Insang Ikan 8 g/L setelah transportasi

dan 12(2). edema (E) teleangiektasis lamela sekunder (T) Pewarnaan HE (Bar = 10 μm) pada Insang Ikan 8 g/L setelah pemeliharaan

Gambar 12. Preparat Histologi Insang 8 g/L

(1). edema (E). hiperplasia (H) Pewarnaan HE (Bar = 50 μm) pada Insang Ikan 12 g/L setelah transportasi

dan 13(2). edema (E) Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 12 g/L setelah pemeliharaan

Gambar 13. Preparat Histologi Insang 12 g/L

M

He

E

T

E

2 1

E

H

M

E

2 1

22

(1). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) edema (E) hemoragi (He). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 20 g/L setelah transportasi dan 14(2). Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (M) teleangiektasis lamella sekunder (T). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm) pada Insang Ikan 20 g/L setelah pemeliharaan

Gambar 14 Preparat Histologi Insang 20 g/L

2 1

E

M

He

M

T

23 3.1.2.6 Analisa Keuntungan

Berikut ini merupakan analisa efisiensi biaya transportasi benih ikan nila BEST satu kantong dengan kepadatan 700 ekor/liter.

Tabel 8. Perhitungan Pembiayaan Transportasi Benih Ikan Nila BEST

Jenis Biaya Satuan Jumlah

Harga/satuan (Rp)

Harga per packing Perlakuan 4 g/L (Rp) 8 g/L (Rp) 12 g/L (Rp) 20 g/L (Rp) ikan nila BEST

ukuran 2-3 cm Rp/ekor 700 40 28.000 28.000 28.000 28.000 oksigen murni

per kantong Rp/kg 3 100 300 300 300 300 plastik packing Rp/lembar 2 164 328 328 328 328 kain kasa Rp/cm 225 1 225 225 225 225 karet Rp/buah 5 14 70 70 70 70 es batu Rp/box 1/3 2.000 667 667 667 667 transportasi per

packing Rp/kg 4 375 1.500 1.500 1.500 1.500 karbon aktif Rp/gram 10 4.5 45 45 45 45

zeolit Rp/gram 20 3 60 60 60 60 garam Rp/gram 4, 8, 12, 20 1 4 8 12 20 Total Biaya 31.199 31.203 31.207 31.215 SR transportasi 99,57% 97,43% 88,07% 24,64% Jumlah ikan hidup pascatransportasi 684 666 591 173

Biaya terendah yang dikeluarkan yaitu pada perlakuan 4 g/L sebesar Rp. 31.199,- dengan kelangsungan hidup (SR) transportasi 99,57% dan tertinggi pada perlakuan 20 g/L sebesar Rp. 31.215,- dengan kelangsungan hidup (SR) transportasi 24,64%.

24 3.2 Pembahasan

3.2.1 Penelitian Pendahuluan

Hasil penelitian pendahuluan yang meliputi pengukuran kemampuan ikan puasa, tingkat konsumsi oksigen (TKO), dan laju ekskresi amoniak dari benih ikan nila BEST ukuran 2-3 cm dengan bobot 0,26 g, dapat dilakukan transportasi selama 24 jam (Tabel 1-3). Tingkat kelangsungan hidup ikan pada hasil uji kemampuan puasa pada ikan menunjukkan selama 7 hari kegiatan puasa, benih ikan nila BEST dapat bertahan hidup 100%. Kemampuan puasa benih ikan nila BEST yang mampu bertahan selama 7 hari dengan SR 100% tersebut dapat digunakan untuk transportasi dengan kebutuhan waktu selama 3 hari yaitu 2 hari pemuasaan dan 1 hari transportasi. Pemuasaan yang dilakukan selama 2 hari sebelum ditransportasikan bertujuan untuk mengosongkan saluran pencernaan ikan, sehingga metabolisme ikan menurun. Sehingga hasil tersebut dapat diketahui bahwa kematian ikan selama proses transportasi 24 jam bukan dikarenakan ikan tidak diberi pakan tetapi karena faktor lain seperti menurunnya kualitas air media.

Nilai uji TKO ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm dengan bobot 0,26 g sebesar 0,052 mgO2.g-1.jam-1, sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan selama 24 jam dengan kepadatan 700 ekor/L adalah sebanyak 227 mgO2 (Lampiran 1). Jumlah konsumsi oksigen ditentukan untuk penyesuaian jumlah gas oksigen yang dimasukkan ke dalam kantong pengepakan. Oksigen yang dimasukkan ke dalam kantong pengepakan sebanyak 4-4,5 L. Apabila dilihat dari perbandingan antara oksigen yang diberikan dengan kebutuhan oksigen tiap perlakuan, oksigen yang diberikan ke dalam plastik packing cukup untuk kebutuhan oksigen ikan selama transportasi. Tingkat konsumsi oksigen suatu organisme berbeda-beda tergantung pada spesies, ukuran tubuh, aktivitas, jenis kelamin, suhu, tingkat konsumsi pakan dan konsentrasi oksigen terlarut (Boyd 1990). Ikan yang memiliki bobot lebih kecil akan membutuhkan oksigen yang lebih banyak dibandingkan ikan yang memiliki bobot lebih besar. Hal ini disebabkan karena ikan yang berukuran lebih kecil lebih banyak membutuhkan energi untuk pertumbuhan, aktivitas, dan pembentukan jaringan baru. Spotte (1970) dalam Ghozali (2007) menambahkan bahwa organisme berukuran kecil memiliki laju metabolisme tubuh lebih tinggi daripada ikan yang berukuran besar.

25 Laju ekskresi amoniak menghasilkan ekskresi amoniak sebesar 0,005 mg TAN L-1.jam-1 (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji tersebut, nilai TAN ikan nila BEST dengan ukuran 2-3 cm (bobot ± 0,26 gram) sebanyak 700 ekor dalam media transportasi selama 24 jam adalah 21,84 mg/L. Dalam wadah transportasi ekskresi amoniak penting diketahui karena akumulasi amoniak dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup organisme yang diangkut. Hal ini dikarenakan dalam kandungan amoniak terdapat NH3 yang berbahaya bagi ikan. Laju ekskresi amoniak ditentukan untuk penggunaan zeolit dan karbon aktif sebagai penyerap amoniak. Menurut Setyawan (2003), 1 mg amoniak dapat diserap oleh 1 g zeolit. 3.2.2 Penelitian Utama

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian transportasi ikan nila BEST ukuran 2-3 cm dengan lama transportasi 16 jam dengan dosis zeolit (20 g/L) dan karbon aktif (10 g/L) dengan kepadatan benih ikan nila BEST yang berbeda, yaitu kepadatan benih ikan nila BEST optimum pada kepadatan 700 ekor/L menghasilkan tingkat kelangsungan hidup mencapai 79% (Lampiran 4) (Handayani 2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Handayani 2012) yaitu adanya penambahan garam pada media transportasi. Adapun dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit (20 g/L), karbon aktif (10 g/L) dan garam (4 g/L, 8 g/L, 12 g/L, dan 20 g/L). Kepadatan tinggi benih ikan nila BEST digunakan pada penelitian ini, untuk mengetahui efisiensi penambahan garam terhadap tingkat kelangsungan hidup benih selama transportasi.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (SR) yang terbaik adalah perlakuan 4 g/L yang mencapai 99,57%. Sedangkan kelangsungan hidup (SR) terendah terjadi pada perlakuan 20 g/L yaitu 24,64% (Tabel 6). Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan 20 g/L yang rendah dikarenakan selama transportasi ikan melakukan berbagai aktivitas seperti respirasi dan metabolisme lainnya seperti ekskresi feses sehingga terdapat amoniak sebesar 3,21±0,06 mg/L yang dapat membahayakan fisiologi tubuh ikan.

Bose et al. (1991) menambahkan beberapa hal penyebab kematian ikan dalam transportasi seperti menipisnya persediaan oksigen terlarut di media

46 Lampiran 5. Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Ikan Nila BEST Selama Pemeliharaan

Perlakuan Ulangan Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 4 g/L 1 (%) 100 99,28 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99.14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 99,14 2 (%) 100 97,56 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97.13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 97,13 Rata-rata 100,00 98,42 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 98,14 SD 0,00 1,22 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42 8 g/L 1 (%) 100 98,83 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 98,69 2 (%) 100 96,61 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 96,46 Rata-rata 100,00 97,72 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 97,58 SD 0,00 1,57 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 1,58 12 g/L 1 (%) 100 95,99 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 95,67 2 (%) 100 96,72 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 96,06 Rata-rata 100,00 96,36 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95.87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 95,87 SD 0,00 0,52 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 20 g/L 1 (%) 100 96,89 95,85 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 95,34 2 (%) 100 87,5 87,5 86,84 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 85,53 Rata-rata 100,00 92,20 91,68 91,09 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 90,44 SD 0,00 6,64 5,90 6,01 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94 6,94

26 transportasi, akumulasi dari gas toksik seperti amoniak, luka fisik akibat penanganan sebelum transportasi, gerakan ikan yang hiperaktif di awal transportasi, fluktuasi suhu air yang mendadak, dan penyakit. Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan rata-rata yang baik berkisar antara 73,5-86,0%. Kelangsungan hidup ikan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas air yang meliputi suhu, kadar amoniak dan nitrit, oksigen yang terlarut, dan tingkat keasaman (pH) perairan, serta rasio antara jumlah pakan dengan kepadatan (Nugroho 2006).

Penambahan bahan aktif ke dalam media transportasi mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui tingkat kelangsungan hidup ikan selama transportasi dipengaruhi oleh kualitas air di dalam media dan adanya peran penambahan bahan kedalam media yaitu zeolit, karbon aktif, dan garam. Penambahan garam sebanyak 4 g/L ke dalam media memberikan hasil tingkat kelangsungan hidup (SR) yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 99,57%. Menurut Swann dan Lllinois (1993), penambahan bahan aditif dapat diberikan pada saat transportasi ikan. Namun, dosis yang diberikan harus optimal karena dosis yang berlebih akan mengakibatkan munculnya masalah pada saat perlakuan. Oleh sebab itu dibutuhkan pengukuran dosis yang tepat untuk setiap bahan aditif.

Hasil penelitian menunjukkan penambahan dosis garam sebanyak 4 g/L merupakan dosis garam yang tepat untuk ikan nila BEST. Penambahan garam kedalam air yang digunakan sebagai media transportasi bertujuan untuk menurunkan perbedaan kadar mineral antara air dan darah ikan yang akan menurunkan efek dari ketidakseimbangan tekanan osmotik ikan air tawar yang memiliki konsentrasi mineral garam dalam tubuh yang lebih tinggi dari pada lingkungannya yang mengakibatkan ikan cenderung kehilangan mineral garam dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan Swann (1993), yaitu penambahan garam dapat meringankan stress dan menjaga keseimbangan antara konsentrasi cairan tubuh dan lingkungan. Untuk itu dibutuhkan penambahan garam dalam media air untuk meminimalisir penggunaan energi oleh ikan untuk kegiatan osmoregulasi.

Kegunaan zeolit dalam transportasi ikan adalah sebagai penukar ion NH4+ dengan Ca2+ atau Na+ atau ion-ion lainnya. Sehingga dapat menetralkan racun

27 hasil metabolisme. Penggunaan zeolit juga dapat menyerap karbondioksida namun tidak sekuat terhadap penyerapan TAN. Hal ini sesuai dengan Mumpton (1999), bahwa zeolit dapat menjerap molekul polar dengan selektifitas yang tinggi dan CO2 merupakan salah satu molekul polar. Walaupun terdapat garam dalam media transportasi yang bermolekul NaCl dengan kandungan Na+ di dalamnya juga merupakan ion positif yang dapat diserap dengan zeolit, namun zeolit lebih bersifat selektif untuk menyerap NH4+ dibanding Na+. Hal ini sesuai dengan Harjono (2004) dalam Ghozali (2007) bahwa zeolit klinoptiloit akan lebih mudah melakukan pertukaran dengan NH4 dibanding dengan Na, Mg, dan Ca. Sehingga fungsi garam sebagai pengatur tekanan osmotik dalam perlakuan ini tetap maksimum. Penggunaan zeolit menurut Setyawan (2003) baik digunakan dalam wadah transportasi selain dapat mengurangi amoniak juga dapat mencegah terjadinya penurunan pH air yang diakibatkan oleh sisa respirasi organisme yang diangkut. Sedangkan karbon aktif memiliki sifat absorbtif terhadap suatu larutan, gas, atau uap sehingga bahan tersebut dapat digunakan sebagai penjernih larutan, penghisap gas atau racun dan penghilang warna. Sifat karbon aktif yang paling penting adalah daya serap. Banyak senyawa yang dapat diabsorpsi oleh karbon aktif, tetapi kemampuannya untuk mengabsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa.

Ikan memerlukan air yang layak untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Kualitas air yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan meliputi oksigen terlarut, suhu, pH air, karbondioksida, dan amoniak (Effendi 2003). Jhingran dan Pullin (1985) mengatakan, air harus memenuhi persyaratan untuk kesehatan ikan, seperti bebas dari partikel tanah, bahan organik, kontaminasi hama, parasit atau penyakit serta bahan-bahan polusi yang dapat mengganggu kesehatan dan kehidupan ikan. Kualitas air yang buruk, akan berdampak pada kematian ikan, oleh karena itu kualitas air dalam media transportasi penting untuk diperhatikan. Kualitas air yang diamati pada penelitian selama transportasi meliput i TAN, NH3, CO2, suhu, pH, DO, dan kesadahan.

Konsentrasi Total Amoniak Nitrogen (TAN) pada penelitian menunjukkan peningkatan setiap waktunya (Tabel 7). Nilai TAN tertinggi sebesar 3,21 mg/L pada perlakuan 20 g/L jam ke-24, sedangkan nilai TAN terendah sebesar

28 0,23 mg/L pada perlakuan 4 g/L jam ke-0. Semakin tinggi garam yang digunakan, nilai amoniak semakin tinggi. Hal ini dikarenakan garam yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan racun amoniak pada media transportasi. Salah satu cara untuk mengurangi konsentrasi amoniak adalah menggunakan zeolit dan karbon aktif, karena zeolit dan karbon aktif mampu mengadsorbsi sejumlah amoniak dalam waktu tertentu (Supendi 2006).

Terdapat dua bentuk amoniak di perairan, yaitu amoniak tak terionisasi (NH3) dan ammonium (NH4+) (Boyd 1990). Menurut Effendi (2003) bentuk kandungan NH3 dan NH4+ tergantung pada konsentrasi ion hidrogen pada air. Air dengan pH rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH4+ lebih dominan. Kandungan NH3 yang tinggi tanpa di dukung oleh faktor lain seperti kandungan oksigen yang memadai dan keberadaan kation yang bermanfaat untuk ikan di dalam air akan menyebabkan kematian ikan karena bersifat toksik. Sawyer dan McCarty (1978) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar amoniak bebas yang tidak terionisasi pada air tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/l. Jika kadar amoniak lebih dari 0,02 mg/L maka air tersebut bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Hal ini terbukti dengan kematian pesat ikan pada jam ke-24 pada perlakuan kadar garam 20 g/L, dimana pada jam tersebut nilai NH3 hasil penelitian tinggi (Gambar 7). Peningkatan suhu air selama transportasi juga dapat menjadi penyebab meningkatnya NH3 yang bersifat toksik sehingga dapat membahayakan ikan. Muhammad (2001) menyatakan pengikatan hemoglobin terhadap amoniak lebih tinggi dibandingkan pengikatan hemoglobin terhadap oksigen, sehingga sel pada insang tidak mendapat suplai oksigen yang cukup dan mengakibatkan kematian pada benih.

Konsentarasi CO2 pada penelitiandalam media air transportasi yang berisi benih ikan sebanyak 700 ekor/L terus mengalami peningkatan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai CO2 pada jam ke-24 berkisar antara 15,98 mg/L hingga 63,13 mg/L. Nilai CO2 terendah sebesar 4 mg/L pada perlakuan 4 g/L jam ke-0, sedangkan nilai CO2 tertinggi sebesar 63,13 mg/L pada perlakuan 20 g/L jam ke- 24 (Gambar 2). CO2 bersifat racun dikarenakan gas ini menghalangi pengikatan oksigen oleh darah. Nilai CO2 yang tinggi disebabkan kurangnya kemampuan zeolit dan karbon aktif dalam menyerap CO2 dalam media transportasi. Sementara

29 itu menurut Berka (1986), kepadatan ikan dapat meningkatkan konsentrasi CO2 saat transportasi, tetapi konsentrasi tersebut dapat ditoleransi jika ikan dalam keadaan tenang.

Karbondioksida dalam media transportasi merupakan hasil respirasi dan dapat mengancam kelangsungan hidup ikan. Jumlah karbondioksida yang terlampau banyak akan bersifat racun bagi ikan (Jhingran dan Pullin 1985). Boyd (1992) mengatakan konsentrasi CO2 sebesar 50-100 mg/L dapat membunuh ikan, namun CO2 tidak berpengaruh nyata ke ikan, karena kebanyakan ikan mampu bertahan selama beberapa hari dalam air dengan konsentrasi CO2 sebesar 60 mg/L dengan kondisi cukup oksigen terlarut. Konsentrasi CO2 yang lebih besar dari 20 mg/L akan menghalangi pengambilan dan pengikatan oksigen dalam darah (Swann dan Illinois 1993). Berka (1986) menambahkan bahwa nilai-nilai kritis untuk karbondioksida selama transportasi sistem tertutup tergantung pada spesies, namun bervariasi antara 40 mg/L untuk spesies ikan di daerah bermusim, dan sampai dengan 140 mg/L untuk ikan tropis. Dalam hal ini ikan nila BEST termasuk ikan tropis.

Suhu merupakan parameter penting dalam monitoring kualitas air karena berfungsi sebagai katalis, penekan, aktivator, pembatas, stimulator, pengontrol, pembunuh, dan faktor paling penting dalam mempengaruhi karakter kualitas air. Kriteria temperatur yang ideal untuk transportasi ikan tropis adalah 20-24 0C (Jhigran dan Pullin 1985). Peningkatan suhu akan menurunkan konsentrasi DO (Dissolve Oxygen), meningkatkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen ikan. Sedangkan Wedemeyer (1996) menambahkan bahwa penurunan suhu air akan menurunkan suhu tubuh, respons imun ikan, aktivitas makan dan pertumbuhan. Penurunan suhu dalam transportasi ikan hidup digunakan untuk menurunkan laju metabolisme karena ikan bersifat poikilotermal yaitu perbandingan terhadap suhu lingkungan berbanding lurus dengan metabolisme ikan. Selain itu suhu yang rendah dapat menjaga kandungan oksigen dalam air. Sehingga dibutuhkan suatu usaha untuk menurunkan suhu pada pengangkutan untuk mengatasi peningkatan laju metabolisme. Untuk mencegah tingginya suhu pada saat transportasi, maka dilakukan penambahan es batu pada kemasan box Styrofoam. Nilai suhu pada penelitian bervariasi dan mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0

30 hingga jam ke-24. Nilai suhu pada jam ke-24 berkisar antara 26,5 oC hingga 21,5oC (Gambar 3). Nilai suhu yang diperoleh tersebut masih dikatakan wajar karena ikan nila BEST merupakan ikan tropis. Hal ini sesuai dengan Froese (1998) dalam Emu (2010) yang mengatakan bahwa ikan tropis dapat bertahan pada saat pengiriman pada suhu yang sama dengan lingkungannya yaitu sekitar 22-30oC. Selama transportasi suhu tidak mengalami fluktuasi yang tinggi. Suhu yang fluktuasinya tinggi dapat menyebabkan kematian pada ikan (Junianto 2003). Hal ini sesuai Stickney (1979), fluktuasi suhu akan membahayakan apabila terjadi perubahan secara mendadak yakni 5oC dalam waktu 1 jam.

Nilai pH yang diperoleh selama transportasi mengalami penurunan selama perlakua n mulai jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai pH pada jam ke-24 berkisar antara 5,4 hingga 5.7. Nilai pHterendah sebesar 5,4 pada perlakuan 4 g/L jam ke- 24, sedangkan nilai pH tertinggi sebesar 8 pada perlakuan 20 g/L jam ke-0 (Gambar 4). Nilai pH semakin tinggi, dengan semakin banyaknya garam yang ditambahkan. Nilai pH sangat berkaitan dengan amoniak. Garam yang ditambahkan melebihi dosis optimum dapat menyebabkann nilai pH yang semakin tinggi, hal ini akan menyebabkan tingginya konsentrasi OH- dan menggeser kesetimbangan ke arah NH3 sehingga menyebabkan tingginya kadar racun amoniak. Nilai pH yang diperoleh selama transportasi masih dalam kisaran toleransi, Namun pH optimum untuk transportasi ikan adalah 7-8 (Berka 1986). Suhu yang rendah merupakan pemacu tingginya pH perairan. Apabila nilai pH ditemukan berfluktuasi dalam transportasi dapat dikarenakan adanya perubahan ion H+. Ketika pH naik, terjadi perubahan kesetimbangan terhadap reaksi amoniak dalam air yaitu ion H+ akan terlepas sehingga NH4+ turun sementara OH- meningkat maka NH3 meningkat pula. Hal ini secara mekanisme pertukaran ion yang dilakukan oleh zeolit dimana mampu menyerap ion selektif yaitu NH4+ terlepas. Hal ini diduga karena goncangan atau gerakan ikan yang sudah dalam keadaan tidak tenang menyebabkan terlepasnya NH4+ dari kemampuan jerap zeolit.

Pada pH rendah aktivitas dan produksi enzim pencernaan menjadi rendah. Jaringan insang merupakan target organ pertama akibat stress asam. Ketika ikan berada pada pH rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada permukaan insang ,

31 hal ini juga terjadi apabila pH tinggi, dimana insang sangat sensitif dan berbahaya bagi mata ikan (Boyd 1990). Namun hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan zeolit yang dapat berfungsi sebagai buffer pH (Boyd 1990).

Kandungan oksigen selama transportasi mengalami penurunan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai DO pada jam ke-24 berkisar antara 2,7 mg/L hingga 3,55 mg/L. Nilai DO terendah sebesar 2,7 mg/L pada perlakuan 20 g/L jam ke-24, sedangkan nilai DOtertinggi sebesar 6,4 mg/L pada perlakuan 4 g/L jam ke-0 (Gambar 5). Oksigen terlarut adalah salah satu parameter kualitas air yang penting, karena kurangnya oksigen terlarut merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah yang besar. Oksigen terlarut di dalam media transportasi harus lebih besar dari 7 mg/L dan lebih kecil dari tingkat jenuh.

Penurunan oksigen terlarut pada media terjadi dikarenakan adanya respirasi oleh benih ikan. Nilai oksigen akhir transportasi ini masih dalam toleransi kandungan oksigen untuk transportasi ikan. Menurut Pescod (1973) nilai DO yang baik untuk transportasi ikan adalah 2 mg/L. Nilai DO yang menurun dipengaruhi faktor kualitas air lainnya. Hoar (1979) dalam Mahbub (2010) menyatakan bahwa penurunan kandungan oksigen terlarut biasanya diikuti dengan meningkatnya faktor lingkungan seperti amoniak, nitrit, dan urea yang dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan ikan. Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stress pernafasan, hipoksia jaringan, ketidaksadaran, bahkan kematian (Wedemeyer 1996). Kematian ikan yang terjadi pada perlakuan 20 g/L dapat dikarenakan nilai konsentrasi oksigen yang lebih kecil jika dibandingkan perlakuan yang lain. Kemampuan ikan untuk mengkonsumsi oksigen di pengaruhi oleh toleransi terhadap stress, suhu, air, pH, konsentrasi CO2, dan sisa metabolisme lain seperti amoniak (Junianto 2003).

Kandungan oksigen yang tinggi pada jam ke-0 terjadi karena adanya difusi antara muka air dengan pasokan oksigen murni yang dimasukkan saat transportasi, terjadi peningkatan kandungan oksigen terlarut di dalam media angkut sehingga meningkatkan kandungan oksigen di media. Menurut Effendi (2003), difusi oksigen dapat terjadi saat pergolakan air akibat gerakan muka air.

32 pergerakan muka air ini dapat dikarenakan goncangan ataupun pergerakan ikan. Liviawaty dan Afrianto (1990), menambahkan bahwa goncangan dalam transportasi berdampak positif yakni membantu difusi oksigen ke dalam air.

Nilai kesadahan yang diperoleh pada penelitian mengalami peningkatan selama perlakuan dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Nilai kesadahan pada jam ke- 24 berkisar antara 115 mg/L hingga 149 mg/L. Nilai kesadahanterendah sebesar 60 mg/L pada perlakuan 4 g/L jam ke-0, sedangkan nilai kesadahan tertinggi sebesar 149 mg/L pada perlakuan 20 g/L jam ke-24 (Gambar 6). Semakin tinggi dosis garam yang ditambahkan, semakin tinggi pula nilai kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium). Karbondioksida yang bereaksi dengan kalsium karbonat akan membentuk kalsium bikarbonat dimana di perairan tawar, ion bikarbonat berperan sebagai sistem

buffer. Kalsium dan magnesium dalam media berasal dari reaksi zeolit dengan air dan karbondioksida dalam media sehingga membentuk ikatan karbonat.

Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi secara mikroskopis, yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk mengamatinya. Insang merupakan alat pernafasan pada ikan. Komponen pernafasan insang terdiri dari filamen atau lamela primer dan lamela sekunder. Insang merupakan organ respirasi utama dan vital pada ikan. Epitel insang ikan merupakan bagian utama untuk pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Affandi dan Tang (2002) mengatakan bahwa insang memiliki peranan yang sangat penting sebagai organ yang mampu dilewati air maupun mineral, serta tempat diekskresikannya sisa metabolisme. Pada insang terdapat sel khlorida yang melakukan transport aktif kelebihan Na+ dan Cl- melawan gradien konsentrasi kembali ke

Dokumen terkait