• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders .1 Bentuk partisipasi stakeholders .1 Bentuk partisipasi stakeholders

5.4.2 Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB

2 Mengikuti pertemuan dalam sosialisai CB-GSK-BB

3 Menginformasikan hasil sosialisasi CB-GSK-BB kepada masyarakat

4 Berperan aktif sejak perumusan hingga penetapan CB-GSK-BB dan terlibat dalam pengambilan keputusan

5 Rapat koordinasi terkait kegiatan pengelolaan CB-GSK-BB

6 Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa

7 Inventarisasi jenis keanekaragaman satwa dan flora beserta tipe ekosistem dan kajian sosial masyarakat

8 Mengadakan kegiatan study penelitian bersama

9 Bekerjasama dalam pengamanan kawasan hutan dan penanggulangan kerusakan lingkungan

10 Pengembangan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak terkait dalam pengelolaan

CB-GSK-BB

Keterangan: I: Identification (identifikasi); P: Planing (perencanaan); A: Action (pelaksanaan);

C: Controling (pemantauan dan evaluasi).

Berdasarkan data dalam Tabel 13 menunjukan bahwa belum adanya partisipasi stakeholders dalam tahap pemantauan dan evaluasi. Hal ini dikarenakan CB-GSK-BB relatif baru sejak ditetapkan pada tahun 2009 dan hingga kini pengelolaan masih berjalan secara bertahap. Upaya-upaya partisipasi terus dilakukan oleh stakeholders sebagai bentuk keikutsertaan dan kontribusi dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Selanjutnya klasifikasi bentuk partisipasi

stakeholders terhadap tahapan pengelolaan tersebut digunakan untuk menganalisis

tingkat partisipasi stakeholders.

5.4.2 Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB

Tingkat partisipasi stakeholders merupakan posisi sejauh mana keterlibatan keikutsertaaan stakeholders pada setiap tahapan pengelolaan. Tingkat partisipasi dalam pengelolaan CB-GSK-BB digolongkan mulai dari tingkat informasi yaitu

stakeholders hanya sekedar mendapatkan dan/atau memberikan informasi,

kemudian tingkat konsultasi/perundingan dimana stakeholders berkonsultasi dan berunding melalui pertemuan dan terjadi komunikasi dua arah, tetapi ada yang tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat partisipasi stakeholders yang lebih tinggi yaitu kemitraan, dimana setiap

stakeholders mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama sampai

dengan stakeholders memegang kontrol secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Tingkat partisipasi tersebut digunakan sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata dilapangan. Untuk mengetahui tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, maka dilakukan analisis menggunakan matriks partisipasi berdasarkan hasil klasifikasi bentuk-bentuk partisipasi stakeholders terhadap tahapan pengelolaan (Tabel 14).

Tabel 14. Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB

Tahapan Pengelolaan

Tingkat Partisipasi

Informasi Konsultasi/

Perundingan Kemitraan Kontrol

Identifikasi / inventarisasi SMF, LIPI, MI, BPPR Perencanaan BLHB, BLHS, PHKA SMF, LIPI, MI, MAB, BBKSDA, DHR, BLHR, BPDR Pelaksanaan KTB, KTST, KTS, KTG, KTL, BPKPB, DBWB, DBWS, DILR BLHB, DHKB, BLHS, DHKS, BPKPS, DKR, DBWR SMF, LIPI, MAB, BBKSDA, DHR, BLHR, BPDR, BPPR, ULK, UIR, UNRI, YPHS, SC Pemantauan dan Evaluasi

Pada Tabel 13 terlihat bahwa terdapat 9 stakeholders yang berada pada Tingkat Informasi yaitu Kepala Desa Tasik Betung, Kepala Desa Tasik Serai Timur, Kepala Desa Tasik Serai, Kepala Desa Temiang, Kepala Desa Tanjung Leban, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis (BPKPB), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bengkalis (DBWB), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak (DBWS), dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau (DILR). Seluruh stakeholders yang berada di tingkat ini, partisipasi dalam pengelolaan CB-GSK-BB dilakukan pada tahap pelaksanaan dalam tahapan pengelolaan. Stakeholders unsur masyarakat (kelima kepala desa) berpartisipasi dalam memberikan informasi (informasi gathering) kepada warganya terkait

sosialisasi CB-GSK-BB yang diperoleh dari hasil pertemuan dengan pihak BBKSDA, pemerintah daerah dan SMF. Stakeholders pemerintah daerah (BPKPB, DBWB, DBWS dan DILR) hanya mendapat informasi (informing) dan sementara ini belum ada tindakan partisipasi yang dilakukan karena upaya tersebut masih dalam proses perencanaan sesuai bidang tupoksinya, seperti DBWB yang sedang merencanakan pemanfaatan CB-GSK-BB sebagai salahsatu destinasi ecotourism di Bengkalis.

Tingkat Konsultasi/Perundingan ditempati oleh 8 stakeholders, yaitu Badan Lingkungan Hidup Bengkalis (BLHB), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkalis (DHKB), Badan Lingkungan Hidup Siak (BLHS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Siak (DHKB), Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak (BPKPS), Dinas Perkebunan Provinsi Riau (DKR), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (DBWR) dan Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan (PHKA). Badan Lingkungan Hidup Bengkalis, Badan Lingkungan Hidup Siak dan PHKA berpartisipasi mulai dari tahap perencanaan, yakni mengikuti perundingan dan terlibat dalam proses pengusulan serta memberikan arahan pada perumusan CB-GSK-BB, khususnya oleh Kementerian Kehutanan (PHKA).

Stakeholders pemerintah daerah (BLHB, DHKB, BLHS, DHKS, BPKPS, DKR

dan DBWR) terlibat pada tahap pelaksanaan. Partisipasi stakeholders ini dalam rapat koordinasi bersama BBKSDA, SMF, Pemprov, Pemkab dan beberapa lembaga lainnya terkait pengelolaan CB-GSK-BB. Keterlibatan tersebut dikarenakan adanya kesesuaian tupoksi dengan kegiatan pengelolaan dan instansi pemerintah daerah dapat berpengaruh pada kebijakan dalam pengelolaan. Menurut Nistyantara (2011), menyebutkan bahwa instansi pemerintah daerah memiliki pengaruh dari faktor organisasi yaitu sebagai penentu kebijakan dalam pembangunan daerah.

Selanjutnya, terdapat 14 stakeholders yang berada pada Tingkat Kemitraan yaitu SMF, LIPI, MAB, BBKSDA Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Riau (DHR), BAPPEDA Provinsi Riau (BPDR), Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau (BLHR), Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau (BPPR), Majelis Ilmiah (MI), Universitas Lancang Kuning (ULK), Universitas Islam Riau (UIR), Universitas Riau (UNRI), Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS) dan

Siak Cerdas (SC). Pada tahap identifikasi, kemitraan yang dilakukan stakeholders diantaranya adalah pihak SMF dengan LIPI melakukan kontrak kerjasama dalam kajian keanekaragaman hayati di kawasan GSK-BB, kajian sosial, ekonomi dan budaya, serta monitoring plot permanen study pada areal hutan produksi (Blok Makmur dan Blok Humus) yang termasuk dalam areal inti CB-GSK-BB. Kemitraan tersebut dimulai pada tahun 2007 yang merupakan bagian dari langkah awal dalam proses pembentukan CB-GSK-BB.

Pada tahap perencanaan, kemitraan yang dilakukan stakeholders diantaranya adalah disepakatinya Memorandum of Understanding (MoU) antara BBKSDA Riau dengan PT. Arara Abadi tentang Program Pengembangan SM GSK, SM BB serta areal sekitarnya di Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau dengan pola Manajemen Kolaboratif. Nota Kesepakatan tersebut ditandatangani pada bulan Januari tahun 2008 (satu tahun menjelang ditetapkannya CB-GSK-BB). Hal ini yang mendasari SM GSK-BB dan areal sekitarnya milik perusahaan diusulkan sebagai zona inti CB-GSK-BB dan dikelola secara kolaborasi.

Pada tahap pelaksanaan, kemitraan yang dilakukan stakeholders diantaranya adalah disepakatinya Letters of Agreement (LOA) antara LIPI, Universitas Lancang Kuning dan Tokyo University of Agriculture, Japan mengenai Study Meranti bakau. Perjanjian ini disepakati pada bulan Desember tahun 2010 (satu tahun setelah ditetapkannya CB-GSK-BB oleh UNESCO pada bulan Mei tahun 2009 di Jeju, Korea Selatan). Kerjasama tersebut berupa kegiatan penelitian bersama yang dilakukan dalam rangka upaya pelestarian dan budidaya Meranti bakau dan jenis pohon potensial lainnya sebagai tumbuhan khas hutan rawa-gambut (peat-swamp forest) di provinsi Riau yang dapat digunakan untuk memproduksi bioethanol.

Berdasarkan analisis tingkat partisipasi menunjukkan bahwa tidak ada

stakeholders pada Tingkat Kontrol di setiap tahapan pengelolaan. Hal ini

dikarenakan pengelolaan CB-GSK-BB bersifat kolaboratif (co-management) sehingga tidak ada kontrol dari satu atau beberapa stakeholders melainkan semua pihak yang terlibat bekerja dan bertanggung jawab bersama-sama. Dalam

distribusi tanggung-jawab pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya secara formal. Menurut Borrini-Feyerabend 1996 dalam Purwanti 2008, wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada di antara manejemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh stakeholders. Arah kerja co-management tersebut mencakup berbagai cara menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai dari konsultasi aktif, mencari konsensus, negoisasi, sharing otoritas dan transfer otoritas (Gambar 9). Ditambahkan pula oleh Borrini-Feyerabend et al. (2004) yang menyebutkan bahwa modal co-management adalah keberagaman pelaku sosial dengan berbagai ragam tingkatan, bagian dan disiplin.

Co-management didasarkan pada negoisasi dengan pengambilan keputusan dilakukan

secara bersama, serta terjadi power sharing dan pembagian pendapatan diantara semua pelaku yang terlibat.

Sumber: Borrini Feyerabend 1996 dalam Purwanti 2008

Gambar 9 Arah kerja co-management.

Hasil analisis tingkat partisipasi menunjukkan bahwa belum adanya pelibatan dari unsur masyarakat (kelima kepala desa) pada tahap perundingan atau konsultasi dalam proses pembuatan kebijakan pengelolaan CB-GSK-BB, padahal masyarakat merupakan kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan pengelolaan dan memiliki hak untuk diajak konsultasi. Menurut Hardjasoemantri (1993) dalam Purwanti 2008, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bersifat konsultatif, dimana masyarakat memiliki hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu. Kemudian untuk menuju

ke tingkat kolaborasi, diperlukan fasilitator sebagai pengamat dan penasehat agar kedudukan masyarakat setara dan dapat selalu bersama mengidentifikasi permasalahan, merumuskan kegiatan dan mengevaluasi hasil-hasil kegiatan secara terus menerus.

Selanjutnya, sebagian besar stakeholders melakukan kerja sama (kemitraan) pada tahap pelaksanaan dalam pengelolaan CB-GSK-BB, padahal dalam pengelolaan yang bersifat kolaboratif, stakeholders seharusnya bekerja bersama-sama mulai dari mengidentifikasi permasalahan, merumuskan kegiatan dan mengevaluasi hasil-hasil kegiatan. Kusumanto et al. (2006) menyebutkan bahwa kunci keberhasilan co-management yaitu ketika para stakeholders tidak hanya berpartisipasi (kerjasama) dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan yang meliputi pengamatan, perencanaan, aksi, pemantauan dan refleksi.

Stakeholders CB-GSK-BB diharapkan berpartisipasi hingga tahap

pemantauan dan evaluasi yang sampai saat ini belum dilakukan, sementara pengelolaan masih berjalan dengan berpegang pada prinsip kolaborasi. Menurut Wiratno et al (2004), salah satu prinsip dan asumsi yang harus dipegang dalam manajemen kolaborasi adalah memperhatikan keragaman dan perbedaan kapasitas maupun fokus pengelolaan dari tiap pihak, sehingga diharapkan dapat saling melengkapi dalam berbagai peran yang dijalankan. Dengan demikian, partisipasi

stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB harus dilakukan secara kontinyu

dan bersifat saling sinergis dalam bentuk kerjasama antarpihak (kolaboratif) untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan yang dibangun atas dasar komitmen, kejelasan peran dan fungsi serta tanggung jawab stakeholders CB-GSK-BB.

BAB VI

Dokumen terkait