• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pendapatan dan Kelayakan Usaha .1Tingkat pendapatan

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

5.2 Tingkat Pendapatan dan Kelayakan Usaha .1Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan setiap jenis alat tangkap berbeda satu sama lain. Tingkat pendapatan terendah diperoleh nelayan gillnet baik sebelum dan sesudah menerima bantuan unit penangkapan ikan. Sedangkan tingkat pendapatan tertinggi diperoleh nelayan mini purse seine baik sebelum dan sesudah menerima bantuan unit penangkapan ikan (Tabel 14).

Tabel 14 Pendapatan nominal responden sebelum dan sesudah bantuan unit penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

Pendapatan Rata-Rata

(Rp per tahun) Kenaikan

Nelayan

Jumlah Responden

(Orang) Sebelum Sesudah (Rp.) %

Gillnet 15 9.660.000 20.669.000 11.009.000 114

Rawai 15 36.642.680 61.071.140 24.428.460 67

Mini purse

seine 16 263.225.000 526.450.000 263.225.000 100

Tingkat pendapatan nelayan gillnet dihitung berdasarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan ikan dikurangi dengan biaya operasional setiap trip. Ditinjau dari segi nominal pendapatan nelayan gillnet

mengalami kenaikan tertinggi dibanding alat tangkap lainnya, yaitu sebesar 114 % atau dari Rp 9.660.000 per tahun (sebelum bantuan) menjadi 20.699.000 per tahun (sesudah bantuan).

Tingkat pendapatan nelayan rawai (pendapatan bersih) dihitung berdasarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan ikan (pendapatan kotor) dikurangi dengan biaya operasional setiap trip. Untuk pendapatan nelayan rawai sebelum menerima bantuan, pendapatan bersih dibagi 40% bagi pemilik kapal dan 60% bagi ABK. Pendapatan nominal nelayan rawai juga mengalami kenaikan setelah menerima bantuan unit penangkapan ikan, yaitu sebesar 67 % atau dari Rp

36.642.680 per tahun (sebelum bantuan) menjadi 61.071.140 per tahun (sesudah bantuan), seperti tersaji pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Begitupula pendapatan nelayan mini purse seine mengalami kenaikan setelah memperoleh bantuan unit penangkapan ikan, yaitu sebesar 100 % atau dari

Rp 263.225.000 per tahun (sebelum bantuan) menjadi 526.450.000 per tahun (sesudah bantuan), seperti tersaji pada Gambar 11 dan Gambar 12.

114 67 100 0 20 40 60 80 100 120

Gillnet Rawai Pajeko

% Kenaikan Pendapatan R a ta -R a ta P e n d a p a ta n P e r T a h u n

Gambar 11 Presentase peningkatan pendapatan nelayan penerima bantuan unit penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

9,660 36,643 263,225 20,669 61,071 526,450 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000

Gillnet Rawai Pajeko

Unit Penangkapan Ikan

R a ta -r a ta P e n d a p a ta n P e r T a h u n (0 0 0 ) Sebelum Sesudah

Gambar 12 Rata-rata pendapatan nominal usaha penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

Faktor utama yang juga sangat mempengaruhi pendapatan nelayan adalah harga ikan. Hasil wawancara terhadap responden tentang persepsi harga ikan, menunjukkan hampir 93,25% responden menyatakan harga ikan rendah dan hanya 6,75% responden menyatakan harga ikan cukup, seperti tersaji pada Gambar 13.

0 6.75 93.25 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Baik Cukup Rendah

Persepsi Responden Terhadap Harga Ikan

P ro s e n ta s e

Gambar 13. Persepsi responden terhadap penjualan harga ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

5.2.2 Analisis usaha dan investasi

Analisis usaha penangkapan ikan dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan usaha yang akan dicapai secara finansial. Analisis usaha yang dilakukan dalam usaha pengembangan usaha gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara meliputi keuntungan, payback period (PP) dan

return of investment (ROI). Hasil analisis usaha perikanan gillnet, rawai dan

pajeko tersaji pada Tabel 15. Hasil analisis usaha dari ketiga ukuran alat tangkap tersebut dilakukan sebagai penilaian keberhasilan pengembangan usaha gillnet, rawai dan pajeko pada saat ini dan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha gillnet, rawai dan pajeko dimasa mendatang.

Tabel 15 Analisis usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara.

Usaha Penangkapan Ikan

No. Analisis Usaha

Gillnet Rawai Pajeko

1. Keuntungan usaha per tahun (Rp)

16.481.500 25.321.000 246.140.830

2. Rasio imbangan

penerimaan dan biaya (R/C)

1,53 1,50 1,54

3. Return of Investment (ROI) 71,91% 90,11% 82,70%

Keuntungan usaha penangkapan ikan berbeda untuk ketiga jenis usaha. Berdasarkan analisis keuntungan per tahun, keuntungan usaha perikanan pajeko lebih besar dibandingkan dengan gillnet dan rawai, yaitu: sebesar Rp 246.140.830,- dibanding Rp 16.481.500,- dan Rp 25.321.000.-

R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Analisis R/C dilakukan melihat berapa penerimaan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada unit usaha perikanan pajeko. Pada usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko ini diperoleh nilai R/C>1, sehingga dapat diartikan usaha tersebut menguntungkan. Nilai R/C gillnet sebesar 1,53, rawai sebesar 1,50 dan pajeko sebesar 1,54. Artinya setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan total penerimaan gillnet sebesar Rp 0,53, rawai sebesar Rp 0,50 dan pajeko sebesar Rp 0,54.

ROI bertujuan mengetahui tingkat keuntungan diperoleh dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan. ROIdari unit usaha perikanan pajeko ukuran

gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara sebesar 71,97%, 90,11%

dan 82,70%. Hal ini berarti bahwa setiap seratus rupiah yang diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar Rp 71,97,-; Rp 77,90,- dan Rp 85,06,-;

PP dalam studi kelayakan usaha berfungsi mengetahui berapa lama usaha yang diusahakan dapat mengembalikan investasi. Semakin cepat pengembalian biaya investasi sebuah usaha, semakin baik usaha tersebut karena semakin lancar perputaran modal. PP dari unit usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara adalah 20 bulan, 16 bulan dan 21 bulan. Hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian biaya/modal investasi dalam waktu cukup pendek pada tahun kedua yaitu 20 bulan, 16 bulan dan 19,8 bulan.

5.2.3 Analisis kriteria investasi

Analisis kriterai investasi menggambarkan proyeksi arus peneriman dan arus pengeluaran usaha perikanan tangkap gillnet, rawai dan pajeko selama sepuluh tahun usaha. Adapun nilai kriteria kelayakan usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Halmahera Utara tersaji pada Tabel 16.

Tabel 16 Kriteria kelayakan usaha perikanan gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara.

Usaha Penangkapan Ikan No. Analisis Usaha

Gillnet Rawai Pajeko 1. Net Present Value (NPV) pada

DF 15% (RP) 51.457.820 222.969.168 625.146.670

2. Net B/Cpada DF 15% 1,33 2,66 1,28

3. Internal Rate of Return (IRR) 62% 141 % 40 %

Suatu usaha layak dijalankan jika NPV adalah selisih antara benefit

(pendapatan) dengan cost (pengeluaran) yang telah di presentvalue kan lebih dari nol. Nilai NPV pada ketiga jenis usaha penangkapan ikan bernilai positif (NPV>0), seperti tersaji pada Tabel 16. Hal ini menunjukkan usaha perikanan

gillnet, rawai dan pajeko adalah proyek usaha yang layak.

Net B/C unit usaha penangkapan perikanan gillnet, rawai dan pajeko lebih besar dari satu (Net B/C>1), artinya selama tahun proyek pada tingkat discount rate 15% per tahun setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memberikan

benefit bersih sebesar Rp 1,33, Rp 2,66 dan Rp 1,28 sehingga dapat dikatakan

ketiga usaha perikanan tersebut layak untuk dikembangkan di Kabupaten Halmahera Utara.

Perhitungan IRR dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara present value dari aliran kas dengan present value dari investasi (initial investment). Jika perhitungan IRR dari discount rate dikatakan usaha tersebut feasible (layak) dijalankan, bila lebih besar dari discount rate

(bunga kredit) dan jika IRR lebih kecil dari discount rate (bunga kredit) berarti usaha tersebut tidak layak. Nilai IRR dari gillnet, rawai dan pajeko di Kabupaten Halmahera Utara lebih tinggi dari nilai discount rate (15%). Hal ini menunjukkan ketiga jenis usaha penangkapan ikan tersebut layak diusahakan.

5.3 Strategi Peningkatan Usaha Pendapatan Ikan

Program pemberian bantuan unit penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara bertujuan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat nelayan didaerahnya. Implementasi program bantuan ini yang telah dilakukan tidak terlepas dari kekurangan baik yang bersumber dari pelaksana program (aparat pemerintah) maupun penerima program (masyarakat nelayan). Namun demikian

program bantuan tersebut telah berdampak positif dalam meningkatkan pendapatan nelayan penerima program. Oleh karena itu, program bantuan unit penangkapan ini diharapkan dapat terus diimplementasikan dengan berbagai perbaikan agar peningkatan pendapatan nelayan secara berkelanjutan.

Dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan berkelanjutan, tentunya diperlukan strategi kebijakan yang tepat. Untuk memilih strategi kebijakan yang tepat digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT dilakukan untuk membandingkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terhadap usaha perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara.

5.3.1 Penentuan faktor strategis internal

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden (nelayan, pedagang pengumpul, koperasi dan pemerintah daerah), diperoleh delapan faktor internal utama yang dapat menjadi kekuatan dan kelemahan peningkatan usaha penangkapan ikan, disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Penilaian faktor internal peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

No Parameter Kunci Indikator K/L

1 Dukungan kebijakan pemerintah daerah

Kebijakan pemerintah yang kuat terhadap

pembangunan masyarakat pesisir, seperti bantuan unit penangkapan ikan dan perbaikan akses transportasi K 2 Tenaga kerja cukup banyak Tersedianya tenaga kerja cukup bagi usaha perikanan K 3 Dukungan masyarakat

pasisir

Keterlibatan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan

dan pengelolaan SDI K

4 Kelembagan masyarakat lokal

Mulai terbangunnya tatanan di masyarakat lokal

pengelolaan SDI (kaum muda dan kaum bapak) K 5 Lemahnya akses pemasaran Nelayan Kabupaten Halmahera Utara kesulitan

menjual hasil tangkapannya karena TPI tidak berfungsi sehingga menjual ke dio-dibo (pedagang pengumpul). L 6 Kapasitas SDM nelayan

masih rendah

Tingkat pendidikan sebagian besar rendah dan terbatas

dalam penggunaan teknologi L

7 Sarana prasarana pendukung belum memadai

Kurangnya sarana prasarana pendukung usaha perikanan, seperti TPI dan pabrik es yang tidak

berfungsi L

8 Permodalan dari lembaga keuangan masih rendah

Tidak adanya agunan menyebabkan tidak dapat memanfaatkan permodalan usaha kecil menengah dari lembaga keuangan/perbankan

L

Untuk perumusan faktor strategi internal digunakan model matriks internal

factors analysis summary (IFAS). Penggunan matriks IFAS ini untuk mengukur

sejauhmana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dari usaha perikanan tangkap. Dengan melakukan pembobotan dan penilaian rating terhadap kekuatan dan kelemahan pengembangan usaha perikanan tangkap akan diperoleh skor penilaian terhadap masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan (Tabel 18).

Tabel 18 Matrik IFAS peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

Faktor-faktor Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan (Strengths)

1. Dukungan pemerintah daerah (S1) 0,20 4 0,82

2. Tenaga kerja cukup banyak (S2) 0,19 4 0,75

3. Dukungan masyarakat pesisir (S3) 0,20 4 0,79

4. Kelembagaan masyarakat lokal (S4) 0,15 3 0,45

Total Kekuatan 2,82

Kelemahan (Weakness)

1.Lemahnya akses pemasaran (W1) 0,08 1 0,08

2.Kapasitas SDM Nelayan masih rendah (W2) 0,06 1 0,06

3.Sarana prasarana pendukung belum memadai

(W3) 0,07 1 0,07

4.Permodalan dari lembaga keuangan masih

rendah (W4) 0,05 1 0,05

Total Kelamahan 0,26

Total Faktor Internal 1 3,10

Keterangan reting : 1 = sangat lemah 2 = agak lemah

3 = agak kuat 4 = sangat kuat

Hasil perhitungan IFAS menunjukkah bahwa faktor internal yang memiliki kekuatan utama peningkatan pendapatan nelayan, yaitu (1) dukungan pemerintah daerah dengan skor 0,82; (2) dukungan masyarakat pesisir dengan skor 0,79; (3) tersedianya tenaga kerja dengan skor 0,75; dan (4) dukungan kelembagaan masyarakat lokal dengan skor 0,45. Sedangkan kelemahan utama dalam peningkatan pendapatan nelayan, yaitu: (1) lemahnya akses pemasaran dengan skor 0,08; (2) sarana prasarana pendukung belum memadai dengan skor nilai 0,07; (3) kapasitas SDM nelayan masih rendah dengan skor 0,06 dan (4) permodalan lembaga keuangan masih rendah dengan skor 0,05.

Nilai total skor matrik IFAS sebesar 3,1 ≥ 2,5 artinya kondisi internal memiliki kekuatan mengatasi kelemahan. Dengan demikian jika keempat kekuatan itu dioptimalkan akan dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada.

5.3.2 Penentuan faktor strategis eksternal

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diperoleh delapan faktor eksternal yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Faktor eksternal berpengaruh positif adalah peluang dan berpengaruh negatif adalah ancaman, disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Penilaian faktor eksternal peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

No Parameter Kunci Indikator P/A

1 Potensi SDI belum dimanfaatkan optimal

Potensi SDI sebersar 148.473,8 ton per/tahun dengan tingkat pemanfaatan baru 13,13%

P 2 Prospek perikanan tangkap

menjanjikan

Wilayah Kab Halut merupakan kepulauan sehingga pengembangan usaha perikanan sangat berpotensi

P 3 Pangsa pasar usaha perikanan

terbuka

Dengan promosi melalui website dan membuka jaringan pemasaran akan membuka akses pemasaran dan investasi

P

4 Peluang Pengembangan Bank

Perkreditan Rkayat (BPR) Nelayan

Pengembangan usaha perikanan akan berdampak meningkatkan pendapatan daerah (PAD)

P

5 Harga ikan rendah Mekanisme pasar belum teratur dengan

baik dan tidak ada standar harga dasar ikan A 6 Ketergantungan terhadap

Dibo-dibo sangat kuat

Nelayan untuk kebutuhan melaut masih

mengadalkan pinjaman dari dibo-dibo A

7 Kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dan IUU

Penurunan SDI karena destruktif dan illegal fishing yang dilakukan nelayan luar daerah

dan asing A

8 Koordinasi antar sektor terkait masih rendah

Koordinasi antar instasi terkait rendah

menyebabkan tumpang tindih kebijakan A

Keterangan reting : P = Potensi A = Ancaman

Untuk penilaian terhadap faktor strategi eksternal yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan digunakan model matriks eksternal factors

sejauhmana peluang dan ancaman faktor eksternal terhadap peningkatan pendapatan nelayan, seperti tersaji pada Tabel 20.

Tabel 20 Matrik EFAS Peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara.

Faktor-faktor Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang (Opportunities)

1. Potensi SDI belum dimanfaatkan optimal (O1) 0,14 4 0,55

2. Prospek perikanan tangkap menjanjikan (O2) 0,11 4 0,45

3. Pangsa pasar perikanan terbuka (O3) 0,13 3 0,40

4. Peluang BPR Nelayan (O4) 0,11 3 0,33

Total Kekuatan 1,74

Ancaman (Threats)

1. Harga ikan rendah (T1) 0,14 2 0,27

2. Ketergantungan terhadap dibo-dibo (T2) 0,13 2 0,26

3. Kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dan

IUU (T3) 0,12 2 0,25

4. Koordinasi antar sektor masih rendah (T4) 0,11 1 0,11

Total Kelamahan 0,89

Total Faktor Internal 1 2,63

Hasil analisis tabel EFAS menunjukkah bahwa faktor eksternal utama yang mempengaruhi peningkatan pendapatan nelayan, yaitu: (1) potensi SDI belum dimanfaatkan optimal dengan skor 0,55; (2) prospek perikanan tangkap dengan skor 0,45; (3) pangsa pasar perikanan terbuka dengan skor 0,40; dan (4) Peluang BPR Nelayan dengan skor 0,33. Sedangkan ancaman yang utama, yaitu: (1) harga ikan yang rendah dengan skor 0,55; (2) ketergantungan terhadap dibo-dibo dengan skor 0,52; (3) kegitan penangkapan ikan yang merusak dengan skor 0,50; dan (4) koordinasi antar sektor masih lemah dengan skor 0,34.

Total skor pada matrik EFAS sebesar 2,6 ≥ 2,5 artinya sistem mampu merespon situasi eksternal yang ada. Dengan kata lain, jika semua peluang dapat dimanfaatkan dengan optimal akan dapat mengatasi berbagai ancaman tersebut.

5.3.3 Penentuan strategi peningkatan pendapatan nelayan

Untuk menentukan alternatif strategi kebijakan peningkatan usaha penangkapan ikan, pemerintah daerah dan masyarakat pesisir dapat menggunakan kekuatan-peluang yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan-ancaman yang

dihadapi. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS dirumuskan alternatif strategi kebijakan bagi peningkatan pendapatan nelayan dengan menggunakan analisis matriks SWOT, seperti disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Matriks SWOT peningkatan usaha panangkapan ikan di Kabupaten Halmahera Utara.

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness) 1) Dukungan pemerintah

daerah (S1)

1) Lemahnya akses pemasaran (W1)

2) Tenaga kerja cukup banyak (S2)

2) Kapasitas SDM nelayan masih rendah (W2) 3) Dukungan masyarakat

pesisir (S3)

3) Sarana Prasarana pendukung belum memadai (W3) 4) Dukungan Kelembagaan

masyarakat lokal (S4)

5) Permodalan lembaga keuangan masih rendah (W4)

Peluang (Opportunities) Strategi SO : Strategi WO : 1) Potensi SDI belum

dimanfaatkan optimal (O1)

1) Pengembangan skala usaha perikanan tangkap

2) Bantuan unit penangkapan ikan 2) Prospek perikanan tangkap menjanjikan (O2) 3) Pengembangan jaringan pasar

4) Pembinaan dan pelatihan 3) Pangsa pasar hasil

perikanan terbuka (O3) 4) Peluang BPR Nelayan

(O4)

5) Pembangunan sarana prasarana pendukung usaha peraikanan tangkap Ancaman (Threats) Strategi ST : Strategi WT : 1) Harga ikan rendah (T1)

2) Ketergantungan terhadap dibo-dibo (T2)

6) Pengembangan jaringan pasar

3) Kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak dan IUU (T3)

8) Penegakan Hukum

4) Koordinasi antar sektor masih rendah (T4)

7) Peningkatkan kerjasama antar sektor terkait untuk mendukung usaha perikanan tangkap

Hasil matriks SWOT menunjukkan bahwa ada tujuh alternatif strategi kebijakan peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara. Namun untuk strategi pengembangan skala usaha perikanan tangkap mencakup bantuan unit penangkapan ikan, maka menjadi enam rumusan strategi meliputi: 1) Alternatif 1, pengembangan skala usaha perikanan tangkap.

2) Alternatif 2, pembinaan dan pelatihan.

3) Alternatif 3, pembangunan sarana prasarana pendukung usaha perikanan tangkap.

Eksternal Faktor

Internal Faktor

4) Alternatif 4, pengembangan jaringan pasar. 5) Alternatif 5, penegakan hukum.

6) Alternatif 6, peningkatkan kerjasama antar sektor terkait untuk mendukung usaha perikanan tangkap.

Setelah berbagai alternatif strategi dianalis menggunakan matrik SWOT, tahap terakhir adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan keputusan adalah memilih strategi terbaik sesuai dengan kondisi internal dan eksternal suatu sistem. Untuk menentukan skala prioritas dari ketujuh alternatif strategi kebijakan dilakukan analisis matrik Quantitative Strategic Planning

Matrix (QSPM). Berdasarkan hasil analisis matrik QSPM (lihat Tabel 22)

diperoleh skala prioritas strategi kebijakan sebagai berikut:

1) Prioritas ke-1, pengembangan skala usaha perikanan tangkap dengan skor 6,94.

2) Prioritas ke-2, pembangunan sarana prasarana pendukung usaha perikanan tangkap dengan skor 6,75.

3) Prioritas ke-3, pengembangan jaringan pasar dengan skor 6,64. 4) Prioritas ke-4, pembinaan dan pelatihan dengan skor 5,61. 5) Prioritas ke-5, penegakan hukum dengan skor 5,28.

6) Prioritas ke-6, peningkatkan kerjasama antar sektor terkait untuk mendukung usaha perikanan tangkap dengan skor 5,12.

Tabel 22 Analisis matriks QSPM penentuan skala prioritas alternatif strategi kebijakan peningkatan usaha peangkapan ikan.

Alternatif Strategi

Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4 Alternatif 5 Alternatif 6 Bobot

AS WAS AS WAS AS WAS AS WAS AS WAS AS WAS

Peluang O1 0.14 4.00 0.55 3.00 0.41 4.00 0.55 4.00 0.55 4.00 0.55 3.00 0.41 O2 0.11 4.00 0.45 3.00 0.34 4.00 0.45 4.00 0.45 3.00 0.34 3.00 0.34 O2 0.13 4.00 0.54 3.00 0.40 4.00 0.54 4.00 0.54 3.00 0.40 3.00 0.40 O4 0.11 4.00 0.44 3.00 0.33 4.00 0.44 3.00 0.33 3.00 0.33 1.00 0.11 Ancaman T1 0.14 2.00 0.27 2.00 0.27 3.00 0.41 4.00 0.55 2.00 0.27 2.00 0.27 T2 0.13 2.00 0.26 3.00 0.39 4.00 0.52 4.00 0.52 1.00 0.13 2.00 0.26 T3 0.12 3.00 0.37 4.00 0.50 1.00 0.12 1.00 0.12 1.00 0.12 2.00 0.25 T4 0.11 2.00 0.23 1.00 0.11 2.00 0.23 3.00 0.34 2.00 0.23 4.00 0.46 Kekuatan S1 0.20 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 4.00 0.82 S2 0.19 4.00 0.75 2.00 0.38 3.00 0.56 3.00 0.56 2.00 0.38 2.00 0.38 S3 0.20 4.00 0.79 3.00 0.60 4.00 0.79 4.00 0.79 4.00 0.79 3.00 0.60 S4 0.15 4.00 0.61 2.00 0.30 4.00 0.61 4.00 0.61 3.00 0.45 3.00 0.45 Kelemahan W1 0.08 4.00 0.30 2.00 0.15 2.00 0.15 2.00 0.15 2.00 0.15 1.00 0.08 W2 0.06 3.00 0.19 4.00 0.25 3.00 0.19 2.00 0.13 2.00 0.13 1.00 0.06 W3 0.07 3.00 0.20 3.00 0.20 4.00 0.26 2.00 0.13 2.00 0.13 2.00 0.13 W4 0.05 3.00 0.16 3.00 0.16 2.00 0.11 1.00 0.05 1.00 0.05 2.00 0.11 Total 6.94 5.61 6.75 6.64 5.28 5.12 Prioritas 1 4 2 3 5 6 Keterangan:

a. Alternatif 1, Pengembangan skala usaha perikanan tangkap b. Alternatif 4, Pengembangan jaringan pasar

c. Alternatif 2, Pembinaan dan pelatihan d. Alternatif 5, Penegakan Hukum

e. Alternatif 3, Pembangunan sarana prasarana pendukung usaha

peraikanan tangkap

6.1 Keragaan Usaha Penangkapan Ikan

Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara termasuk skala kecil dengan ukuran armada penangkapan ikan kurang dari 10 GT dan bersifat subsisten. Oleh karena itu, produktifitas nelayan di Kabupaten Halmahera Utara sangat rendah. Untuk meningkatkan produktifitas nelayan skala kecil Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara memberikan program permberdayaan nelayan berupa gillner, rawai dan pajeko (mini purse seine).

Nelayan sebelum mendapat bantuan unit penangkapan gillnet sebagian besar adalah nelayan pancing ulur (handline) dan sebagian kecil buruh nelayan yang tidak memiliki unit penangkapan ikan. Umumnya nelayan handline bersifat subsisten dengan didukung unit penangkapan ikan sederhana berupa perahu dayung/layar dan alat tangkap berupa dua atau lebih unit pancing ulur.

Kenaikan pendapatan yang tinggi pada nelayan gillnet ini disebabkan terjadi peningkatan produksi yang mencolok dari 7 kg/trip dan jumlah trip 15 trip per bulan (sebelum mendapat bantuan unit penangkapan) menjadi 18 kg/trip dan jumlah trip sebanyak 22 trip per bulan (setelah mendapat bantuan unit penangkapan), seperti tersaji pada Tabel 11. Kondisi ini mungkin terjadi sebagai dampak lompatan teknologi (frogging) unit penangkapan ikan, yaitu yang semula nelayan hanya menggunakan alat tangkap pancing ulur (handline) dan perahu dayung/layar berubah menjadi nelayan yang menggunakan alat tangkap gillnet

dan perahu ketitinting bermesin 5,5 PK. Kondisi ini memungkinkan nelayan menjangkau fishing ground yang lebih jauh disekitar perairan karang dekat pulau-pulau kecil dimana daerah penangkapan ikan tersebut tingkat upaya penangkapannya masih relatif sedikit dan sumberdaya ikannya masih cukup tersedia.

Dalam upaya kenaikan pendapatan nelayan mini purse seine dan rawai setelah mendapat bantuan unit penangkapan, bukan disebabkan peningkatan produksi penangkapan tetapi lebih karenakan berubahnya status dari buruh nelayan menjadi nelayan pemilik. Perubahan status tersebut, otomatis merubah sistem bagi hasil yang semula dari laba bersih ada bagian juragan/pemilik unit

penangkapan sebesar 50% untuk pemilik mini purse seine dan 40% pemilik rawai. Setelah mendapat bantuan unit penangkapan ikan, bagian hasil juragan/pemilik unit penangkapan menjadi spenuhnya bagian kelompok (kepemilikan bersama) sehingga laba bersih menjadi 100% bagi kelompok nelayan mini purse seine dan neyalan rawai. Hal ini menunjukkan pemberian bantuan unit penangkapan ikan memberikan dampak mobilitas vertical nelayan, yaitu berubah status dari buruh nelayan menjadi pemilik kapal (pengusaha) (Satria 2001).

6.2 Tingkat Pendapatan dan Kelayakan Usaha

Tingkar pendapatan nelayan sangat tergantung pada jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari operasi penangkapan. Jumlah hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang digunakan. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh ketiga jenis alat tangkap bantuan, menunjukkan hasil produksi dari alat tangkap pajeko lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap rawai dan gillnet. Dengan jumlah produksi yang tinggi berkorelasi terhadap pendapatan, yaitu nilai nominal pendapatan nelayan mini purse seine lebih tinggi dari pendapatan nelayan rawai dan gillnet.

Alat tangkap mini purse seine termasuk alat tangkap aktif dan efektif untuk menangkap ikan pelagis kecil. Prinsip penangkap alat tangkap ini adalah dengan melingkarkan jaring purse seine terhadap gerombolan ikan pelagis di permukaan air (Baskoro dan Effendi 2005). Pengoperasian mini purse seine di Kabupaten Halmahera Utara menggunakan alat bantu rumpon dan perahu lampu sehingga operasi penangkapan mini purse seine lebih efektif dan efisien. Menurut Monintja (1990) menyatakan rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang bermanfaat: (1) efesiensi waktu dan menghemat bahan bakar dalam pengintaian, (2) meningkatkan hasil tangkapan per upaya penangkapan, (3) meningkatkan mutu hasil tangkapan berdasarkan spesies dan komposisi ukuran ikan.

Menurut Ayodhyoa (1981), agar benar-benar bisa memperolah hasil tangkapan yang besar, maka sangatlah dikehendaki kelompok-kelompok ikan yang berdensitas tinggi. Dengan pengertian bahwa jarak antara satu individu dengan individu lainnya dari kelompok ikan sangat dekat. Untuk mengumpulkan gerombolan ikan tersebut maka digunakan alat bantu rumpon. Dengan ukuran

jaring kantong rata-rata 300 meter dan tinggi 50 meter memungkinkan menangkap sebagian besar dari gerombolan ikan pelagis tersebut. Menurut Gunarso (1996), kelebihan dari tingkah laku ikan yang bergerombol adalah dapat menangkap ikan dalam jumlah sangat besar. Hal ini didukung dengan hasil tangkapan mini purse

seine rata-rata per trip sebanyak 1700 kg (Tabel 13).

Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan rawai menempati urutan kedua setelah alat tangkap pajeko. Alat tangkap rawai merupakan alat tangkap pasif dan selektif (Baskoro dan Effendi 2005). Operasi rawai tetap/dasar di daerah dekat perairan karang dengan menggunakan umpan. Penggunaan umpan bertujuan untuk memikat ikan target agar mau memakan umpan tersebut sehingga terkait oleh pancing. Oleh karena itu, jumlah tangkapan rawai akan tergantung pada jumlah banyaknya rawai (basket), umpan dan daerah penangkapan ikan. Untuk alat tangkap rawai bantuan dari pemerintah kabupaten Halmahera Utara terdiri dari 2-5 basket rawai dengan rata-rata hasil tangkapan ikan sebanyak 500-600 kg/trip.

Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan gillnet lebih sedikit dibandingkan dengan hasil tangkapan dengan mini purse seine dan rawai. Sesuai dengan karakteristiknya, gillnet merupakan alat tangkap pasif dan selektif (Baskoro dan Effendi 2005). Pengoperasian gillnet di rentang dikolom perairan secara pasif dan menghadang ikan yang datang. Panjang dan ukuran mata jaring menentukan jumlah dan ukuran ikan yang tertangkap. Jaring gillnet bantuan dari pemerintah kabupaten Halmahera Utara hanya dua piece gillnet sekitar 100 meter

(1 piece 45-55 meter). Hal inilah yang menyebabkan rendahnya hasil tangkapan

yang diperoleh nelayan jaring insang penerima bantuan. Menurut Baskoro dan Effendi (2005), menyatakan panjang, tinggi dan ukuran mata jaring berperan