• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.2. Tinjau Pustaka

Perpindahan penduduk atau lebih dikenal dengan istilah migrasi biasanya diartikan sebagai suatu pergerakan berpindah penduduk. Migrasi dapat dilakukan oleh perorangan maupun perkelompok dan biasanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Sumber daya alam dan sumber daya manusia disetiap daerah tentunya sangat berbeda-beda, sehingga menyebabkan masyarakat melakukan migrasi ke daerah lain yang dianggap lebih baik dari daerah asalnya.

Melakukan migrasi akan selalu berkaitan dengan usaha yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam hidupnya, baik itu secara ekonomi, sosial, budaya hingga politik. Dari penjelasan tersebut, Muta’ali (2015:11) mengemukakan bahwa migrasi adalah suatu perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan melampaui batas politik atau negara ataupun batas administratif atau batas bagian dalam suatu negara.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa migrasi adalah perpindahan penduduk yang terjadi dari suatu tempat ke tempat yang lainnya baik itu antar negara maupun antar wilayah dengan tujuan untuk menetap di daerah yang ditujukan.

Ada berbagai alasan bagi masyarakat untuk melakukan suatu perjalanan berpindah atau migrasi. Didalam kegiatan migrasi tersebut selalu ada kekuatan yang mempengaruhi setiap orang untuk menentukan sikap yang harus diambil. Seseorang akan tetap tinggal di daerah asal atau melakukan perpindahan itu tergantung pada sikap yang akan diambil oleh masyarakat. Menurut Mitchel dalam Mantra (2013:184-185), bahwasanya ada beberapa kekuatan (forces) yang menyebabkan orang-orang

terikat pada daerah asal, dan ada juga kekuatan yang mendorong orang-orang untuk meninggalkan daerah asal. Kekuatan yang mengikat orang-orang untuk tinggal di daerah asal disebut dengan kekuatan sentripental (centripental forces), adapun beberapa penyebabnya adalah terikat tanah warisan, menunggu orang tua yang sudah lanjut usia dan daerah asal merupakan tanah kelahiran nenek moyangnya sehingga tidak ada niatan untuk meninggalkan kampung halaman. Sebaliknya kekuatan yang mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asal disebut dengan kekuatan sentrifugal (centrifugal forces), dan yang mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asalnya karena terbatasnya lapangan pekerjaan dan terbatasnya berbagai fasilitas yang diperlukan untuk menunjang kehidupan masyarakat. Apakah seseorang akan tetap tinggal di daerah asal ataukah pergi meninggalkan daerah asal untuk menetap di daerah lain tergantung pada keseimbangan antara dua kekuatan tersebut.

Migrasi secara sederhana diartikan sebagai suatu perpindahan yang dilakukan oleh penduduk dari suatu tempat menuju tempat yang lainnya. Pergerakan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah yang lain untuk berpindah tempat tinggal secara menetap atau hanya sementara waktu saja dan melampaui batas politik atau batas administratif suatu negara inilah yang dinamakan dengan migrasi. Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun (1985:275) menyebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu komponen perubahan dan pertumbuhan penduduk atau dapat juga diartikan sebagai suatu perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari satu tempat ke tempat yang lain melampaui batas politik/negara atau batas administratif bagian dalam suatu negara.

Di dalam perpindahan penduduk selalu akan berkaitan dengan tempat atau wilayah, waktu terjadinya migrasi baik itu saat masuk maupun keluar dari sebuah wilayah. Dari suatu tempat mulai dari lingkup administratif terkecil seperti RT/RW, desa maupun lingkup yang lebih luas seperti wilayah negara. Juga dari segi waktu, mulai dari satu hari sampai waktu yang cukup lama. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Hutabarat (1985:36-37) migrasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain:

1. Migrasi internasional yang meliputi Emigrasi, yaitu keluarnya penduduk dari suatu negara dan imigrasi yaitu masuknya penduduk kedalam suatu negara negara.

2. Migrasi internal (intern migration) yakni perpindahan penduduk yang terjadi antar wilayah di suatu negara, misalnya antar provinsi, antar kota, antar desa dan lain sebagainya.

3. Migrasi masuk (in-migration) adalah masuknya penduduk dari daerah administratif lain ke dalam suatu negara di dalam negara yang sama.

4. Migrasi keluar (out migration) adalah keluarnya penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lainnya dalam negara yang sama.

5. Migrasi semasa hidup (life time migration) adalah mereka yang bertempat tinggal diluar daerah asal kelahiran ketika dilakukan sensus atau survey penduduk.

6. Migrasi pulang (return migration/circular migration) adalah migrasi yang sesudah bermigrasi ke tempat lain di luar daerah asal kemudian pindah kembali ke tempat asal dimana bermula.

7. Urbanisasi merupakan suatu proses untuk mejadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, atau pengupayaan dari pertanian menjadi industri dan perubahan pola perilaku manusia.

8. Transmigrasi (Transmigration), yaitu pemindahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam suatu wilayah guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan lain yang dipandang perlu oleh pemerintah.

Keinginan masyarakat untuk mendapatkan daerah baru sebagai tempat tinggal selanjutnya termasuk sama dengan apa yang dikemukakan oleh Evereet Lee dalam bukunya yang berjudul Suatu Teori Migrasi (1976:275), bahwa migrasi adalah perubahan tempat tinggal yang permanen. Perpindahan yang permanen yaitu gerakan yang dilakukan oleh migran dengan tujuan menetap dalam waktu yang cukup lama atau bahkan menetap di suatu daerah hingga akhir hidupnya.Migran yang melakukan perpindahan ini setelah berada di daerah baru tidak berkeinginan untuk kembali lagi ke daerah asalnya. Hal ini terjadi karena keinginan migran untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik sudah terpenuhi, seperti memiliki tanah, rumah dan dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sebagai contoh, orang-orang Suku Bangsa Pakpak Suak Simsim yang melakukan perpindahan ke daerah Kutabuluh kini telah banyak hidup menetap dan dianggap menjadi warga tetap dan ber-KTP desa Kutabuluh.

1.2.2. Proses Migrasi

Muhidin (2003), menyatakan bahwa suku-suku Indonesia yang terkenal sangat mobile adalah Suku Bangsa Minangkabau dan Batak di Sumatera, Suku

Bangsa Bugis di Sulawesi, Suku Bangsa Banjar di Kalimantan serta Suku Bangsa Madura di Jawa. Namun terdapat perbedaan yang cukup substansial mengenai motif yang menjadi latar belakang perilaku migrasi masing-masing suku tersebut. Untuk itu, studi mengenai pola migrasi setiap suku bangsa tersebut harus difokuskan pada sistem sosial yang berlaku di dalam setiap suku, serta karakteristik sifat individunya.

Migrasi yang saat ini terjadi lebih cenderung menjadi migrasi internal, dimana suku-suku bermigrasi dari satu wilayah asal ke wilayah lain yang masih dalam satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan agar para pemigran tidak merasa sulit untuk kembali ke daerah asalnya ketika ia ingin kembali untuk berkunjung.

Orang-orang Suku Bangsa Pakpak biasanya melakukan migrasi menuju tempat yang dianggap dekat dengan kampung halamannya. Hal ini dilakukan dengan maksud jika berada di daerah perantauan tidak menguntungkan maka mereka dapat dengan mudah kembali ke daerah asalnya. Persamaan bahasa dan adat istiadat yang ada di suatu daerah tujuan para pemigran Pakpak juga merupakan satu faktor penting bagi orang-orang Pakpak untuk melakukan migrasi. Persamaan bahasa dapat mempermudah seorang pendatang untuk melakukan adaptasi dan jika adat istiadat yang dilakukan tidak terlalu berbeda maka orang-orang Pakpak akan dengan senang hati untuk mengikutinya.

Orang-orang Suku Bangsa Pakpak yang melakukan migrasi menuju daerah yang sangat jauh biasanya akan sulit untuk kembali ke daerah asalnya. Mereka akan kembali ke kampung halamannya hanya jika mereka berhasil diperantauan. Namun ada juga orang-orang yang pergi merantau tidak kembali lagi ke kampung

halamannya dikarenakan jarak yang sangat jauh atau bahkan hingga melupakan daerah asalnya. Tak jarang kita jumpai orang-orang Pakpak yang tidak tahu dimana lebbuh dari marganya sendiri, hal ini terjadi karena memang orang tuanya tidak mengajari anak-anaknya tentang budaya nenek moyangnya.

1.2.3. Adaptasi Budaya

Adapatasi budaya terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki makna, yaitu kata adaptasi dan budaya. Adaptasi adalah kemampuan mahluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar dapat tetap hidup dengan baik, adaptasi juga dapat diartikan sebagai cara–cara yang dipakai oleh perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang akan mereka hadapi dan untuk memperoleh keseimbangan-keseimbangan positif dengan kondisi latar belakang perantau (Usman Pelly, 1998:83). Sedangkan kata budaya atau yang lebih sering kita dengan dengan kata kebudayaan adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengelola dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 1965:77).

Menurut Giliin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (1990), ada dua macam proses sosial yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu proses sosial asosiatif dan proses sosial disosiatif. Proses sosial assosiatif merupakan suatu proses sosial yang pada realitas sosial anggota masyarakatnya dalam keadaan harmonis dan saling bekerjasama, proses sosial terbagi kedalam tiga bentuk, yaitu:

1. Akulturasi diartikan sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kelompok budaya tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga lambat

laun diterima dalam kebudayaannya sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan itu.

2. Akomodasi adalah suatu keadaan keseimbangan atau usaha-usaha mengakhiri pertikaian secara permanen atau sementara diantara pihak-pihak yang berkonflik. Sebagai hasil interaksi sosial, akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dimana terdapat keseimbangan baru setelah pihak-pihak yang berkonflik berbaikan kembali.

3. Asimilasi adalah proses sosial yang ditandai dengan usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat diantara individu maupun kelompok manusia. Apabila orang-orang melakukan asimilasi kedalam suatu kelompok masyarakat, maka tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan mereka dianggap sebagai orang asing.

Proses disosiatif merupakan suatu proses sosial yang di dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakatnya selalu bersaing, oleh karena itu proses sosial ini dibagi atas dua bentuk yaitu:

1. Persaingan adalah suatu proses sosial dimana dua atau lebih orang berjuang dan bersaing satu sama lainnya untuk memiliki atau memnpergunakan barang-barang yang berbentuk material atau bukan material. Didalam persaingan tidak ada unsur ancaman dan kekerasan, tidak ada intrik dan rasa saling curiga. Masing-masing pesaing memiliki pemikiran tersendiri, aseperti halnya perlombaan renang dimana biasanya setiap peserta memiliki jalurnya tersendiri.

2. Kontravensi adalah bentuk persaingan dan konflik. Dalam kontravensi ada unsur intrik maupun fitnah. Kontravensi dintandai dengan gejala-gejala ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rancana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan atau kebencian terhadap pribadi seseorang.

Manusia dikatakan sebagai makluk sosial yang dinamis seringkali tidak dapat menghindari keadaan yang memaksa mereka untuk memasuki sebuah lingkungan atau budaya yang baru, serta berkomunikasi dengan orang-orang dari lingkungan baru tersebut. Padahal untuk memasuki dan memahami lingkungan dari budaya yang baru bukanlah hal yang mudah. Banyak kendala dan hambatan yang akan timbul dalam proses adaptasi yang terjadi. Dalam proses awal terjadi adaptasi sosial budaya, tentunya akan dihadapi beberapa hambatan-hambatan yang memang sangat wajar dialami. Hal ini terjadi karena penyesuaian diri itu tidak hanya terjadi dengan sendirinya tetapi harus melalui beberapa proses. Adapun beberapa contoh hambatan yang akan dihadapi adalah dari segi cara makan, bahasa, interaksi sosial, fasilitas umum dan aturan-aturan hidup yang berlaku hingga tradisi yang ada.

1.2.4. Defenisi Kebudayaan

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi dan akal) yang dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal dan budi manusia (van der peet, 1951).

Demikianlah budaya adalah daya dan budi yang berupa cipta, karsa dan rasa sedangkan kebudayaan itu merupakan hasil dari cipta, karsa dan rasa itu

(Djojodigoeno, 1958:24-27). Dalam istilah antropologi budaya perbedaan tersebut ditiadakan. Kata budaya dalam antropologi hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari kebudayaan yang artinya sama.

Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan.

Berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koenjaraningrat, 2009:146).

Dalam ilmu antropologi kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal ini berarti bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, refleks atau bahkan kelakuan yang membabi buta.

J.J. Honingman dalam bukunya yang berjudul The World of Man (1959:11-12) membedakan tiga gejala kebudayaan, yaitu:

1. Ideas, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini sifatnya abstrak dan tidak dapat diraba, karena berada dalam pikiran manusia yang berupa hasil pemikirannya.

Ide dan gagasan menjadi jiwa dalam kehidupan bermasyarakat atau lebih sederhananya dikatakan sebagai adat-istiadat.

2. Activities, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini dikatakan sebagai

sistem sosial yang berasal dari tindakan manusia sendiri. Sistem ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan dan bergaul satu sama lainnya. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret dan terjadi pada kehidupan kita setia hari, bisa difoto dan juga didokumentasikan.

3. Artifacts, yaitu kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik. Berupa seluruh fisik, aktivitas dan karya senua manusia dalam masyarakat. Sifat paling konkretnya berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto.

Ketiga wujud kebudayaan ini dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat tentu tidak terpisahkan satu samalainnya. Kebudayaan adalah adat-istiadat yang mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan karya manusia pasti akan menghasilkan benda-benda kebudayaan.

Oleh karena itu, semua karya yang dihasilkan berdasarkan ide-ide dan pikiran manusia dianggap sebagai kebudayaan.

1.2.5. Masyarakat

Masyarakat adalah istilah lain untuk kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyrakat, yaitu: kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok dan perkumpulan. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta atau berpartisipasi”.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi. Adanya prasarana untuk berinteraksi membuat warga dari suatu kelompok manusia menjadi lebih mudah untuk berinteraksi. Sebaliknya jika hanya ada satu potensi untuk berinteraksi belum berarti bahwa orang-orang dari suatu kesatuan akan benar-benar berinteraksi. Suatu suku bangsa, misalnya suku bangsa Bali, mempunyai potensi untuk berinteraksi, yaitu dengan bahasa Bali. Namun adanya potensi itu saja tidak akan menyebabkan semua orang Bali tanpa alasan mengembangkan aktivitas yang menyebabkan suatu interaksi secara intensif diantara semua orang Bali tadi.

Perlu kita ketahui bahwa tidak semua kesatuan manusia yang berkumpul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus agar dikatakan sebagai masyarakat. Seperti halnya sekumpulan orang yang mengelilingi tukang sayur belum dapat dikatakan bermasyarakat, karena mereka tidak punya ikatan yang khusus kecuali untuk membeli sayuran. Malah sebaliknya, untuk sekumpulan manusia yang berkumpul tersebut dipakai istilah kerumunan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengna istilah crowd (Geertz, 1973:412-453).

Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan tersebut. Pola yang khas tersebut harus bersifat mantap dan kontiniu dengan kata lain pola khas tersebut harus sudah menjadi adat-istiadat yang khas.

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem

adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oeh suatu rasa identitas bersama.

J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka yang berjudul Cultural Sociology (1954: hlm. 139) merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah “...

the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative”. Unsur grouping dalam defenisi tersebut menyerupai unsur kesatuan hidup dan defenisi kita, unsur common customs dan traditions adalah unsur adat-istiadat dan kontinuitas dalam defenisi kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity sama dengan unsur identitas bersama. Suatu tambahan dalam defenisi Gillian adalah unsur the largest yang berarti terbesar. Konsep tersebut dapat ditetapkan pada konsep masyarakat suatu bangsa atau negara yang lain.

Dokumen terkait