• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Tentang Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita

Tuna grahita adalah kata lain dari retardasi mental (mental reterdation). Arti harfiah dari perkataan tuna adalah merugi, sedangkan grahita adalah pikiran. Seperti namanya, tuna grahita ditandai oleh ciri utamanya adalah kelemahan dalam berpikir atau bernalar. Akibat dari kelemahan tersebut anak tuna grahita memiliki kemampuan belajar dan adaptasi sosial berada di bawah rata-rata. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Munzayanah (1999: 42) yaitu:

Anak cacat mental atau cacat grahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam bidang intelektual serta seluruh kepribadiannya, sehingga mereka tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri di dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Gunnas Dybwar dalam Moh. Amin (1995: 16) yang dimaksud dengan:

Mental retardation is a condition which originates during the developmental period and is characterised by markedly subaverage intellectual is social inadeguacy.

Anak Tunagrahita adalah keterbelakangan merupakan suatu kondisi sejak masa perkembangan yang ditandai oleh kurang sempurnanya fungsi-fungsi intelektual sehingga nampak akibatnya secara sosial.

Dari kedua pendapat di atas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak tuna grahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan atau hambatan pada masa perkembangan dalam bidang intelektual dan seluruh kepribadian sehingga mereka tidak bisa hidup sendiri dalam masyarakat.

Adapun penyebab anak tunagrahita atau tunamental menurut Mulyono Abdurrahman dan Sudjadi S. (1994: 35-38) yaitu:

1. Faktor Genetik

a. Kerusakan/Kelainan Biokimia

Yaitu kerusakan pada kromosom yang dikendalikan oleh sistem enzim tertentu yang diperlukan untuk melakukan fungsi normal suatu jaringan tubuh.

b. Abnormalitas Kromosomal

Kelainan ini ditemukan pada anak yang mengalami sindroma down berasal dari translokasi yaitu anak memiliki 46 kromosom, tetapi satu pasang dari kromosom tersebut mengalami kerusakan dan bagian yang rusak tersebut bergabung dengan kromosom lainnya.

2. Faktor sebelum lahir (prenatal)

Hal ini disebabkan karena kekurangan gizi, infeksi, luka-luka atau keracunan pada janin sewaktu dalam kandungan, atau sewaktu mengandung ibu menderita penyakit seperti kholera, typus, gondok. Sehingga menyebabkan pertumbuhan bayi dalam kandungan tidak normal atau mengalami kerusakan mental dan fisik. 3. Faktor ketika lahir (natal)

Pada faktor ini disebabkan kelahiran bayi dibantu dengan alat seperti tang dan lahir sebelum waktunya (premature).

4. Faktor sesudah bayi lahir (post natal) meliputi:

Penyakit-penyakit akibat infeksi dan problema nutrisi yang diderita pada masa bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan retardasi mental, seperti penyakit encephalitis yaitu suatu peradangan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh virus tertentu, yang menyebabkan kerusakan atau infeksi pada usia dini yang menimbulkan panas tinggi dan mungkin menimbulkan kerusakan sel-sel otak.

Sedangkan meningitis adalah suatu kondisi yang berasal dari infeksi bakteri yang menyebabkan peradangan pada selaput otak dan menimbulkan kerusakan pada sistem syaraf pusat.

5. Faktor Sosiokultural

Faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap kemampuan intelektual anak.

Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab tunagrahita disebabkan oleh faktor genetik, sosial, pre natal, natal, dan post natal. b. Klasifikasi Anak Tunagrahita

Dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita menurut para ahli berbeda-beda sesuai dengan bidang ilmu dan pandangannya masing-masing. Ada yang berdasarkan etiologinya, ada yang berdasarkan kemampuan belajarnya, ciri-ciri klinis dan sebagainya. Pengklasifikasian anak tunagrahita memang perlu dilakukan untuk memudahkan guru untuk menyusun program dan memberikan bantuan serta pelaksanaan layanan pendidikan yang sebaik-baiknya dan seefektif mungkin. Adapun klasifikasi anak tunagrahita menurut Munzayanah (1999: 20-22) adalah sebagai berikut:

1. Klasifikasi menurut derajat kecacatannya. Penetapan klasifikasi ini berdasarkan pada pengukuran inteligensi yaitu terbagi menjadi:

a. Idiot

Seseorang dikatakan idiot apabila tingkat deritanya paling berat, IQ nya antara 0 – 25. Kemampuan berfikirnya demikian rendah, sehingga tidak dapat belajar bicara maupun mengurus dirinya sendiri. Hidupnya selalu memerlukan pertolongan orang lain sepanjang masa (selama-lamanya).

b. Imbisil

Penderita imbisil lebih ringan dibanding dengan penderita idiot. IQ nya antara 25 – 50. Ia dapat mengucapkan kata-kata dan dapat dilatih melakukan pekerjaan yang bersifat sederhana dan pemeliharaan atau mengurus diri sendiri. Namun ia masih memerlukan pengawasan dari orang lain.

IQ penderita debil antara 50 – 75. Mereka dapat dilatih dengan tugas-tugas yang lebih tinggi dalam kehidupan sehari-hari, dapat pula dididik dalam bidang sosial dan intelektual sampai batas-batas tertentu. Pelajaran membaca, menghitung dan menulis dapat diajarkan sampai dalam batas-batas tertentu yang dimilikinya.

2. Klasifikasi menurut etiologi yaitu : keturunan (heriditer), gangguan fisik, dan kerusakan pada otak.

3. Klasifikasi menurut tipe-tipe klinik yaitu : cretinisme (kretin, kerdil, cebol), mongol (mongolisme, mongoloid), microcephalic (microcephalus), hydrocephalic (hydrocephalus), dan cerebal palsy.

4. Klasifikasi untuk pelaksanaan pendidikan adalah: a. Anak perlu rawat

b. Anak mampu latih c. Anak mampu didik.

Jadi dapat disimpukan bahwa klasifikasi anak tunagrahita dapat dilihat dari berbagai segi yaitu dari segi kecacatan, etiologi, tipe-tipe klinik, dan pelaksanaan pendidikan.

c. Karakteristik Anak Tunagrahita

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan kecerdasan/mental dan terhambat dalam adaptasi perilaku terhadap lingkungan sedemikian rupa dan terjadi selama masa perkembangan, sehingga untuk mencapai perkembangan yang optimal diperlukan program dan layanan PLB baik yang bersekolah di sekolah biasa maupun yang bersekolah di sekolah khusus. Untuk mempermudah dalam membuat program dan melaksanakan layanan pendidikan bagi anak tuna grahita seyogianya para guru/pendidik mengenal karakteristik dan permasalahan anak tunagrahita sebagaimana telah dikemukakan oleh Moh. Amin (1995: 37-41) sebagai berikut:

Dari karakteristik anak tersebut dapat dilihat dari : (a) kecerdasan, yaitu kapasitasnya belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, (b) sosial, yaitu dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara dan memimpin diri sendiri, (c) fungsi-fungsi mental lain, yaitu mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, (d) dorongan dan emosi yaitu perkembangan dan dorongan emosi anak tuna grahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaannya, (e) organisme, yaitu dari struktur maupun fungsi organisme pada anak tuna grahita pada umumnya kurang dari anak normal.

2. Anak tuna grahita ringan, banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaraan kata-katanya. Mereka mengalami kerusakan berpikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus. Kecerdasan berpikir anak tunagrahita ringan paling tinggi sama sengan anak normal usia 12 tahun.

3. Anak tuna grahita sedang, hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik, mereka pada umumnya belajar secara membeo, perkembangan bahasanya sangat terbatas, mereka hampir selalu tergantung pada perlindungan orang lain, tetapi dapat membedakan yang bahaya dan yang bukan bahaya. Mereka mempunyai potensi belajar memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dapat mempelajari pekerjaan yang mempunyai arti ekonomi. Kecerdasan anak tunagrahita sedang setaraf dengan anak normal usia 7 tahun.

4. Anak tuna grahita berat, akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan kepada orang lain, mereka tidak dapat memelihara diri sendiri dan tidak dapat membedakan yang berbahaya dengan tidak berbahaya, tidak bisa berpartisipasi dengan lingkungan di sekitarnya, jika dia berbicara kata-kata dan ucapannya sangat sederhana, kecerdasan berpikirnya setara dengan anak normal usia 3-4 tahun.

Dari beberapa karakteristik di atas dapat disimpulkan karakteristik anak tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan fisik dan kelambatan dalam bicara, sehingga sukar diajak berkomunikasi, sulit mengadakan sosialisasi, mempunyai kemampuan yang terbatas dalam bidang intelektual, dapat dilatih untuk ketrampilan-ketrampilan yang ringan.

d. Pengertian Tunagrahita Ringan

Anak tunagrahita ringan juga dikenal dengan istilah mampu dididik atau

educable. Menurut SA. Bratanata (1997: 25), mengatakan anak tunagrahita ringan

adalah anak yang masih mempunyai kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang akademis sampai kelas dasar IV atau V dan dapat mempelajari keterampilan-keterampilan yang sederhana.

Anak tunagrahita ringan karena perkembangan mentalnya yang tergolong di bawah normal akan mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar. Anak tunagrahita ringan akan memiliki hasil belajar yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan anak normal seusianya. Namun demikian anak tunagrahita ringan dapat dididik untuk melakukan penyesuaian dalam kegiatan sehari-hari dalam jangka panjang dapat berdiri sendiri dalam masyarakat, dan mampu bekerja untuk kehidupan sesuai dengan kemampuannya.

Pada masa awal dan masa kanak-kanak, anak tunagrahita ringan sering tidak diketahui bahwa ia terbelakang. Anak tunagrahita ringan baru diketahui pada tingkat saat usia pra sekolah, terutama saat duduk di taman kanak-kanak melakukan observasi perilaku anak-anak. Anak tunagrahita ringan umumnya baru diketahui setelah adanya tuntunan penguasaan kemampuan belajar lebih ditekankan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sunarta Kartadinata (1996: 86) IQ anak tunagrahita ringan menurut klasifikasi Binet adalah 52 – 58, dan menurut skala Wescler adalah 55 – 69.

Dari kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki IQ 50 – 70 dan dikategorikan paling tinggi tingkat kemampuannya diantara kelompok anak tunagrahita lainnya, mereka tidak dapat

secara penuh mengikuti pelajaran di kelas biasa, harus dilengkapi dengan program dan metode yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya.

e. Ciri-ciri Anak Tunagrahita Ringan

Adapun ciri-ciri anak tunagrahita ringan menurut SA. Bratanata (1997: 8) : 1. Karakteristik fisik

Keadaan anak tunagrahita ringan pada umumnya tidak berbeda dengan anak normal, hanya sebagian kecil memperlihatkan ciri-ciri yang khas yaitu geraknya kurang terkordinasi.

2. Karakteristik sosial

Dalam pergaulan, mereka kurang dapat mengurus, memelihara, memimpin diri, dan mudah terperosok ke dalam lingkungan tingkah laku yang kurang baik. Namun demikian mereka dapat bergaul dengan masyarakat secara bebas walau kadang-kadang mereka mudah dipengaruhi. Anak pada kelompok ini masih mampu berkomunikasi secara tertulis yang sifatnya sederhana.

3. Karakteristik kecerdasan

Pada umumnya perkembangan kecerdasan anak tunagrahita ringan mengalami keterlambatan dan keterbatasan. Irama perkembangan dapat kita lihat pada kapasitas belajarnya. Mereka sulit untuk mempelajari hal-hal yang sifatnya abstrak. Anak tunagrahita ringan mempunyai kemampuan dididik dalam membaca, menulis, berhitung yang sederhana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan untuk dididik dalam akademis, meskipun tidak seperti anak normal.

4. Pengaruh Penggunaan Media Belajar Puzzle dalam Proses Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar Matematika Anak Tuna Grahita Ringan

Anak tuna grahita, dalam hal ini adalah anak tuna grahita ringan yang masih dapat dididik dan diajarkan membaca, menulis dan berhitung sederhana, mereka mempunyai IQ antara 50 sampai 75 atau disebut juga kelompok debil dan dikategorikan sebagai anak mampu didik. Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah: faktor internal yaitu : faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri antara lain yaitu meliputi kesehatan, minat, motivasi dan intelegensi. Anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam intelegensinya, dan mereka sulit untuk menerima pelajaran yang bersifat abstrak seperti : berhitung, menulis, dan membaca. Mereka akan lebih dapat memahami pelajaran yang bersifat konkrit misalnya pendidikan yang diberikan dengan menggunakan media puzzle dalam mata pelajaran matematika.

Secara teoritis bahwa materi pelajaran yang menggunakan media belajar puzzle dapat mengacu pada kegiatan di dalam kehidupan sehari-hari bagi anak tuna grahita. Penguasaan pendidikan yang menggunakan media belajar puzzle dalam mempengaruhi terhadap peningkatan kematangan sosial. Penguasaan pendidikan yang menggunakan media belajar puzzle, seperti: berhitung, tambahan, pengurangan, dan perkalian akan mempermudah anak untuk belajar di dalam proses pembelajaran.

Kondisi kejiwaan yang mempengaruhi dalam penggunaan media belajar puzzle adalah : intelegensi, motivasi, dan sikap. Tingkat pengaruh penggunaan media belajar puzzle mempunyai peranan penting dalam meningkatkan prestasi belajar matematika. Peranan tersebut nampak pada seorang siswa tuna grahita. Seorang anak tidak akan mau mengambil inisiatif dalam melaksanakan aktifitas dalam menggunakan media belajar puzzle apabila tidak ada perhatian, kesenangan, dan adanya dorongan.

Adanya prestasi yang baik dalam belajar matematika yang menggunakan media belajar puzzle banyak dipengaruhi oleh daya aktif dan kreativitas anak dan didukung oleh adanya sarana dan fasilitas yang menunjang tingkat prestasi belajar anak karena dengan pendidikan yang menggunakan media belajar puzzle anak akan tertarik, merasa senang untuk belajar, tidak merasa bosan, mempermudah anak untuk belajar, dan ditunjang oleh kreativitas guru dalam mengajar.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh penggunaan media belajar, termasuk media puzzle ada hubungan erat dengan prestasi belajar matematika anak tuna grahita ringan. Semakin baik dalam menggunakan media belajar, termasuk

media puzzle yang dikuasai anak akan meningkatkan prestasi belajar anak tuna grahita ringan baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari di rumah.

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan arahan penalaran untuk bisa sampai pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah:

Belajar merupakan suatu proses kegiatan yang komplek, yang melibatkan manusia, materi, managemen dan sistem. Keterkaitan berbagai elemen tersebut, akan menghasilkan produk yang optimal. Untuk peserta didik tingkat sekolah dasar kelas III, dalam mempelajari matematika, diperlukan cara penyampaian informasi yang tepat, yang mampu membangkitkan minat peserta didik. Media pembelajaran yang mudah didapat, dan mudah menggunakannya, sangat membantu mengoptimalkan prestasi belajar peserta didik.

Di sini penulis mencoba memberikan treatment (perlakuan) yang berturut-turut kepada kelompok eksperimen. Sebelum dibuat treatment anak terlebih dahulu diberikan pre test, dan setelah treatment diberikan pada anak baru diberikan post test. Dengan pemberian treatment terhadap siswa kelas III SLB – C dengan menggunakan media belajar puzzle yang berbentuk angka tersebut, maka penulis berusaha mencari jawaban “Apakah ada pengaruh pembelajaran yang menggunakan media puzzle terhadap peningkatan prestasi belajar matematika bagi siswa kelas III SLB – C Cengklik - Surakarta”. Untuk memperjelas kerangka pemikiran dapat dilihat dalam skema berikut ini:

Siswa kelas III SLB-C Cengklik

Surakarta

Pre tes Mata Pelajaran matematika

Treatment dengan menggunakan media

belajar puzzle yang berbentuk angka

Post tes Mata Pelajaran matematika

Ket: 1. Siswa kelas III SLB-C sebelum diberikan treatment, terlebih dahulu mereka diberikan pre tes soal-soal matematika.

2. Sesudah melaksanakan pre test, baru mereka diberikan treatment dengan menggunakan media belajar puzzle yang berbentuk angka.

3. Sesudah diberikan treatment, baru siswa diberikan lagi test kedua atau post test matematika.

C. Perumusan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas masalah yang diteliti dan masih dibuktikan kebenarannya. Dalam penelitian ini penulis mengajukan perumasan hipotesis yaitu :

“Ada pengaruh positif pembelajaran yang menggunakan media belajar puzzle terhadap prestasi belajar matematika anak Tunagrahita ringan kelas III SLB-C Cengklik – Surakarta”.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SLB-C YSSD Cengklik-Surakarta di jalan Mr. Sartono No. 32 Surakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2003.

B. Metode Penelitian

Di dalam penelitian diperlukan suatu cara atau metode yang tepat. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 151) yang dimaksud dengan metode penelitian adalah “Cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya”. Sedangkan menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini (1996: 9) metode penelitian adalah “Ilmu tentang metode yang dapat dipergunakan dalam melakukan kegiatan penelitian”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian adalah “Suatu metode atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengumpulan data dalam melakukan kegiatan penelitiannya”

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian eksperimen. Menurut Winarno Surakhmad (1994: 149) menyebutkan bahwa “Penelitian eksperimental adalah mengadakan kegiatan percobaan untuk melihat suatu hasil”. Sedangkan menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini (1996: 131) bahwa yang dimaksud dengan eksperimen adalah : “Prosedur penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat antara variabel yang sengaja diadakan terhadap variabel yang diluar variabel yang diteliti”.

Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penelitian eksperimen adalah “Kegiatan percobaan yang mengadakan manipulasi terhadap obyek penelitian dengan adanya kontrol untuk mengetahui hasil pengaruh faktor sebab akibat antara dua variabel”.

Adapun tujuan dari eksperimen adalah “Meneliti pengaruh dari suatu kondisi terhadap suatu gejala”. Eksperimen dipakai untuk mencari pengaruh dari suatu tindakan untuk mengetes suatu hipotesa tentang ada tidaknya pengaruh, dalam hal ini pengaruh dari penggunaan media belajar puzzle di dalam proses pembelajaran. Yang dimaksud dengan tindakan di dalam eksperimen ini adalah treatment berupa penggunaan media belajar puzzle di dalam proses pembelajaran.

Dalam hal ini penulis menggunakan pola : “Treatments by Subjects Designs” atau disingkat pola T-S. Menurut Sutrisno Hadi (1982: 453) memberikan pengertian pola T-S adalah : “Beberapa jenis atau variasi treatment (perlakuan) diberikan secara berturut-turut kepada sekelompok subjek yang sama”. Jadi satu grup yang sama pada suatu ketika dijadikan grup eksperiment (pre test), dan pada saat lain dijadikan grup kontrol (post test) atau disebut dengan istilah “Same Grup Eksperiment”.

Adapun pola eksperimen Treatments by Subjects Designs dapat penulis gambarkan sebagai berikut :

Gambar pola eksperimen di atas dapat penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Dengan mengadakan pre test (X1) yang diberikan kepada subjek sebelum diadakan perlakuan pengajaran yang menggunakan media belajar puzzle.

2. Perlakuan (Tx) yaitu proses pengajaran yang menggunakan media belajar puzzle terhadap siswa SLB-C kelas III YSSD Cengklik-Surakarta.

3. Post test (X2) yaitu memberikan test kepada subjek yang sudah diberikan perlakuan pengajaran yang menggunakan media belajar puzzle yaitu untuk mengungkap dan mengetahui hasil atau pengaruh perlakuan pengajaran dengan menggunakan media belajar puzzle.

Dengan digunakan metode ini dapat diketahui apakah ada pengaruh menggunakan media belajar puzzle dalam proses pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika anak tuna grahita ringan sebelum mendapatkan treatment dan sesudah mendapatkan treatment.

Seseorang peneliti harus mempunyai kejelian dalam melaksanakan suatu metode, sehingga akan memperoleh suatu keserasian antara metode dengan hasil yang diteliti. Oleh karena itu metode yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan kemampuan, waktu serta biaya dari peneliti itu sendiri.

Adapun langkah-langkah prosedur penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut:

1. Pra Treatment

a. Menentukan materi pengajaran matematika sebagai bahan untuk treatment b. Menyusun soal untuk try out

c. Pelaksanaan soal try out

d. Menentukan soal-soal yang valid dan reliabel 2. Melakukan pre test

3. Treatment

Treatment dalam penelitian ini mengenai penetapan media belajar puzzle yang berupa benda asli dalam mata pelajaran matematika, yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu yaitu 10 kali pertemuan, setiap kali pertemuan 45 menit.

4. Post Test

Dalam post test ini siswa diberi test yang sama dengan test yang dilakukan pada pre test.

Pre Test Perla kuan Post Test

5. Membandingkan antara X1 dan X2 untuk mengetahui pengaruh yang timbul sebagai akibat dari dipergunakannya perlakuan yang berupa penggunaan media belajar puzzle dalam pembelajaran matematika.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengemukakan alasan menggunakan pola eksperimental treatments by subjects design, seperti tersebut di bawah ini:

1. Untuk menyelidiki pengaruh eksperimen terhadap subyek seorang demi seorang. 2. Dapat menggunakan waktu yang relatif singkat, jadi penelitian ini praktis digunakan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Komaruddin yang dikutip oleh Mardalis (1990: 53) yang dimaksud dengan populasi adalah “Semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel”, sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (1998: 115) populasi adalah “Keseluruhan obyek penelitian”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa “Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau semua individu untuk menjadi sumber pengambilan sampel”.

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas III D SLB-C YSSD Cengklik-Surakarta yang berjumlah 6 siswa.

2. Sampel

Menurut Mardalis (1993: 55) mengemukakan bahwa “Sampel adalah sebagian dari seluruh individu yang menjadi obyek penelitian”. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (1998: 117) yang dimaksud dengan sampel adalah “Sebagian atau walik populasi yang diteliti”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan sampel adalah “Sebagian individu yang mewakili populasi yang diteliti yang jumlahnya kurang dari populasi”.

Dalam penelitian ini sampel tidak dipergunakan karena seluruh anggota populasi dijadikan subyek penelitian.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Sugiyono (2002: 56) yang dimaksud dengan teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel disebut juga dengan sampling.

Dalam penelitian ini, sampling tidak dipergunakan karena penelitian ini termasuk penelitian populasi yang artinya semua individu di dalam populasi yang berjumlah 6 siswa secara langsung dijadikan subyek penelitian.

D. Pengumpulan Data

Di dalam kegiatan penelitian ini penulis menggunakan instrumen yang merupakan alat ukur dimana instrumen tersebut dapat dikumpulkan dari obyek penelitian, sedangkan test digunakan untuk mengukur pengaruh dari menggunakan media belajar puzzle sebelum diberikan instrumen dan sesudah diberikan instrumen terhadap prestasi belajar matematika.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut adalah:

1. Metode Test a. Pengertian Test

Pengertian test menurut Suharsimi Arikunto (1998: 139) adalah “Serentetan pernyataan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, inteligensi,

Dokumen terkait