• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dian Kusuma Ayu ML. NIM : K BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dian Kusuma Ayu ML. NIM : K BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh penggunaan media belajar puzzle dalam

proses pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika siswa tingkat dasar kelas III SLB-C yssd Cengklik Surakarta tahun ajaran 2002/2003

Dian Kusuma Ayu ML. NIM : K 5198010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan di Indonesia mempunyai perkembangan dan kemajuan sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin hari semakin maju. Pendidikan bukan hanya sekedar media untuk mewariskan kebudayaan kepada generasi seterusnya, akan tetapi pendidikan diharapkan mampu merubah dan mengembangkan pola kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik. Terutama untuk anak-anak tuna grahita memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pasal 5 yang menyatakan “Bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”dan pasal 8 yang menyatakan “Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa”.

Sedangkan anak tuna grahita itu sendiri merupakan suatu kondisi keterbelakangan sejak masa perkembangan yang ditandai oleh fungsi-fungsi intelektual di bawah rata-rata, sehingga kemampuan untuk berpikir sangat terbatas. Dengan keterbatasan tersebut anak tuna grahita sangat sukar untuk mengikuti program pendidikan, apalagi mata pelajaran matematika yang kurang diminati oleh siswa anak tuna grahita, kenyataan ini dapat dilihat dari prestasi belajar mereka yang kurang memuaskan.

Oleh karena itu, dalam rangka untuk meningkatkan prestasi belajar matematika di sekolah dasar perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain: minat siswa terhadap matematika, tersedianya sarana media belajar yang sangat mendukung

(2)

untuk mata pelajaran matematika, penciptaan suasana belajar yang menyenangkan. Maka dari itu sebagai guru matematika seyogyanya tidak membuat mereka membuat bosan dan malas. Sebenarnya masalah tersebut dapat diatasi dengan cara menggunakan media belajar yang sesuai sehingga suasana kelas menjadi hidup dan anak tuna grahita dapat tertarik, merasa senang dan tidak bosan mengikuti pelajaran.

Dalam bidang studi matematika, media belajar puzzle angka dapat digunakan untuk lebih memperjelas pengertian siswa tentang materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Agar mereka tidak mengalami kesulitan di dalam mengerjakan soal-soal matematika, hal ini seperti yang diungkapkan oleh R. Soejadi (2000: 11) “Bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan”. Karena orang mempelajari matematika banyak yang keliru memahami konsep sehingga tanpa menguasai konsep, banyak anak yang menghafal saja. Oleh karena itu layanan pendidikan yang diberikan diupayakan untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, sehingga anak tidak hanya menghafal konsep saja akan tetapi mereka mampu menerima materi matematika secara baik dan benar, apalagi ditunjang dengan media belajar yang sangat menunjang di dalam proses belajar mengajar di dalam kelas.

Dengan adanya media belajar puzzle yang berwarna-warni anak tuna grahita akan tertarik untuk mempelajari matematika karena dengan adanya puzzle angka tersebut, anak akan merasa senang untuk mengikuti pelajaran matematika. Berdasarkan keadaan-keadaan di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang penggunaan media belajar puzzle dalam proses pembelajaran matematika. Dalam hal ini penelitian dititikberatkan pada penggunaan media belajar puzzle yang tepat, efektif untuk mendukung prestasi belajar matematika. Dari uraian di atas penulis memilik judul penelitian sebagai berikut : “PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA BELAJAR PUZZLE DALAM PROSES PEMBELAJARAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA TINGKAT DASAR KELAS III SLB-C CENGKLIK SURAKARTA TAHUN AJARAN 2003/2004”.

B. Identifikasi Masalah

(3)

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka identifikasi penelitian yang berkaitan dengan pengajaran matematika di sekolah dasar agar menjadi jelas dan terarah yaitu:

1. Bahwa anak tuna grahita mempunyai pola berpikir yang sangat terbatas karena intelegensinya di bawah rata-rata.

2. Bahwa anak tuna grahita mengalami kesulitan untuk menghitung, mengalikan, menjumlahkan, dan mengurangkan angka dalam bidang matematika.

3. Mempelajari matematika perlu memahami konsep bukan hanya menghafal saja. 4. Bahwa anak tuna grahita memerlukan media belajar yang dapat membantu mereka

untuk meningkatkan prestasi belajar matematika.

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang dikemukakan tidak terlalu luas, maka permasalahan dalam penelitian dibatasi sebagai berikut ini:

1. Masalah penggunaan media belajar puzzle

Penggunaan media belajar puzzle di sini dibatasi pada penggunaan media puzzle angka dalam bentuk deret hitung, pengurangan, tambahan, dan perkalian.

2. Masalah prestasi belajar

Prestasi belajar dibatasi pada hasil belajar dalam bidang studi matematika anak SLB-C Cengklik-Surakarta kelas III Cawu I tahun ajaran 2003/2004.

3. Masalah anak tuna grahita

Anak tuna grahita di sini dibatasi pada anak tuna grahita ringan khususnya kelas D3 SLB-C YSSD Cengklik-Surakarta.

4. Obyek penelitian: Pengaruh penggunaan media belajar puzzle dalam proses pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas III SLB-C Cengklik Surakarta.

(4)

Di dalam setiap penelitian diperlukan adanya perumusan masalah agar penelitian tetap terarah, tidak menimbulkan pengertian yang menyimpang dari pokok permasalahan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah ada pengaruh proses pembelajaran yang menggunakan media belajar puzzle terhadap peningkatan prestasi belajar matematika bagi siswa kelas SLB-C Cengklik Surakarta”.

E. Tujuan Penelitian

Agar setiap penelitian terarah dan dapat dipergunakan untuk mengembangkan serta menguji kebenaran suatu penelitian, maka dalam penelitian ini mempunyai tujuan : “Untuk mengetahui pengaruh proses pembelajaran yang menggunaan media belajar puzzle terhadap peningkatan prestasi belajar matematika bagi siswa kelas III SLB-C Cengklik-Surakarta”.

F. Manfaat Penelitian

Guna untuk mengarahkan jalannya suatu penelitian, maka dalam penelitian ini perlu dirumuskan kegunaan penelitian sebagai berikut:

1. Secara teoritis

a. Sebagai bahan masukan bagi guru, agar dapat memilih dan menggunakan media belajar yang sesuai dengan karakteristik siswa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sehingga prestasi belajar dapat dicapai secara optimal. b. Sebagai bahan masukan dan informasi guru untuk mengembangkan khasanah

pendidikan luar biasa. 2. Secara praktis

a. Sebagai pertimbangan bagi lembaga atau penyelenggara pendidikan bagi anak tuna grahita untuk lebih memperhatikan permasalah mereka dalam bidang studi matematika.

(5)

b. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematis.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Media Belajar Puzzle

a. Pengertian Media Belajar

Kata media berasal dari kata bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari medium secara harfiah berarti “Perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan”.

Dalam proses belajar mengajar, pesan atau informasi itu disampaikan oleh guru melalui perantara yang dapat berbentuk stimulus, yang disampaikan kepada siswa. Stimulus itu dapat berupa pertanyaan dari guru atau disajikan dalam bentuk alat, bagan, dan gambar yang selanjutnya oleh penerima atau siswa akan memberikan respon atau reaksi. Reaksi itu dapat mengarah ke reaksi yang aktif, misalnya berupa pertanyaan,jawaban atau saran.

Adapun pengertian media menurut Marshall Mcluhan dalam Oemar Hamalik (1990 : 248 ) “Media adalah suatu ekstensi manusia yang memungkinkannya mem-pengaruhi orang lain yang tidak mengadakan kontak langsung dengan dia”. Selanjutnya pengertian media menurut Briggs dalam Arief S. Sadiman (1996: 6) “Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan”. Dari pengertian media akhirnya dikenal dengan istilah media pengajaran, WS.

(6)

Winkel (1991: 187) mengatakan bahwa “media pengajaran adalah suatu sarana non personal (bukan manusia) yang digunakan atau disediakan oleh tenaga pengajar, yang memegang peranan dalam proses belajar-mengajar, untuk mencapai tujuan instruksional”.

Dari ketiga pendapat di atas tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan media adalah segala alat fisik yang dapat memperjelas penyajian pesan yang disampaikan oleh guru kepada siswa serta merangsang siswa tersebut untuk belajar.

Sedangkan pengertian belajar menurut WS. Winkel (1991: 35). “Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar”. Sedangkan menurut Rochman Natawidjaja dan HA. Moein Moesa (1991: 172-173) “Belajar adalah proses perubahan yang terus-menerus terjadi dalam diri individu yang tidak ditentukan oleh unsur keturunan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor dari luar (eksternal)”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah “Suatu kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar atau proses perubahan yang terus-menerus terjadi dalam diri individu yang tidak dapat ditentukan oleh faktor-faktor dari luar (eksternal)”.

b. Pengertian Puzzle

Puzzle ternyata dapat mencerdaskan anak. Banyak orang tua yang bermain dan mengasuh anak dengan bermain puzzle, namum jarang yang tahu bahwa kegiatan ini merupakan satu sarana pencerdas kemampuan kognitif. Dengan puzzle tersebut kita dapat melatih anak untuk mengingat-ingat, berimajinasi, dan menyimpulkan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Astini Su’udi “Bahwa Puzzle merupakan suatu kegiatan yang merupakan salah satu sarana yang dapat mencerdaskan kemampuan kognitif, sehingga dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreatifitas dari berfikir logis.”

Di dalam Suara Merdeka (28 Oktober 2000) “Puzzle merupakan permainan yang memudahkan anak secara bertahap untuk mengembangkan kemampuan mereka

(7)

dalam memecahkan masalah, dan untuk mengetahui akan tempat-tempat permainan yang sesuai serta mengajarkan si anak untuk bertindak cermat”. Sedangkan dalam Rubrik Balita (10 Desember 2000) “Puzzle adalah suatu permainan yang mengabung-gabungkan potongan-potongan angka menjadi angka yang berbentuk deret hitung”.

Jadi dari pendapat di atas tersebut, maka dapat diambil kesimpulan “ Bahwa puzzle adalah suatu kegiatan yang berbentuk permainan yang dapat mencerdaskan kemampuan kognitif dan dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreatifitas dari berfikir logis serta bertindak cermat.” Adapun manfaat puzzle adalah sebagai berikut : 1. Suatu kegiatan yang memacu kreatifitas dan kecepatan berfikir otak.

2. Membuat otak lebih peka terhadap warna dan menajamkan insting. 3. Suatu kegiatan yang menuju positif.

4. Suatu kegiatan yang menarik kalau di kerjakan sendiri maupun bersama (teman , keluarga dan lain-lain).

5. Menambah keakraban dan melatih kerja sama.

6. Bagi anak-anak, merupakan sarana bermain dan belajar yang sangat baik (Suara Merdeka, 28 Oktober 2000).

c. Pengertian Media Belajar Puzzle

Media menurut pendapat Arif S. Sadiman (1996: 6) “Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan”. Belajar menurut WS. Winkel (1991: 35) “Belajar adalah kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar”.

Sedangkan puzzle menurut Astini Su’udi (Suara Merdeka, 28 Oktober 2000) “Puzzle merupakan suatu kegiatan yang merupakan salah satu sarana yang dapat mencerdaskan kemampuan kognitif, sehingga dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas dari berpikir logis”.

Dari ketiga pendapat di atas tersebut, maka dapat diambil kesimpulan “Bahwa media belajar puzzle adalah suatu kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar dan kegiatan tersebut dilakukan dengan melalui perantara dan perantara tersebut merupakan salah satu sarana yang dapat mencerdaskan kemampuan kognitif, sehingga dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas dari berpikir logis”.

(8)

Proses belajar adalah kegiatan yang kompleks yang berlangsung menurut aturan dan sistem tertentu. Aturan dan sistem tersebut disebut prinsip-prinsip belajar, atau hukum-hukum belajar. Di sini para guru diharapkan (bahkan murid) dapat memanfaatkan aturan dan sistem belajar dalam upaya meningkatkan proses belajar dan pembelajarannya.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar ini, menurut Slameto (1995: 27-28 ) menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip belajar terutama yang berkenaan dengan : a. Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar

1. Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional.

2. Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.

3. Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif. 4. Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.

b. Sesuai hakikat belajar

1. Belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya.

2. Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi, dan discovery.

3. Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan response yang diharapkan.

c. Sesuai materi atau bahan yang harus dipelajari

1. Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya.

2. Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapai.

d. Syarat keberhasilan belajar

1. Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang.

(9)

2. Repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian atau keterampilan atau sikap itu mendalam pada siswa.

Sedangkan prinsip-prinsip belajar menurut Rochman Natawijaja dan Moein Moesa (1992: 76-78) adalah sebagai berikut :

1. Prinsip efek kepuasan

Berdasarkan prinsip atau hukum ini, hasil belajar akan diperkuat apabila menghasilkan rasa senang atau puas.

2. Prinsip pengulangan

Prinsip ini mengandung arti bahwa hasil belajar dapat lebih sempurna apabila sering diulang, sering dilatih.

3. Prinsip kesiapan

Prinsip ini menyatakan bahwa melalui proses belajar individu akan memperoleh tingkah laku baru apabila ia telah siap belajar, kesiapan tersebut berkenaan dengan kematangan fisik, dan kesiapan psikologis.

4. Prinsip kesan pertama

Hasil belajar yang diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan, bahwa kesiapan situasi belajar yang baik, diharapkan akan memberikan kesan awal yang baik pula. Oleh karena itu, pada awal mula belajar, perlu dibentuk kebiasaan yang baik yang akan memberi makna bagi belajar berikutnya.

5. Prinsip makna yang dalam

Berdasarkan prinsip ini, belajar akan memberi makna yang dalam apabila diupayakan melalui kegiatan yang bersemangat. Pengalaman yang statis dan penyajian yang kurang menarik tidak akan memberi makna yang dalam bagi hasil belajar.

6. Prinsip bahan baru

Prinsip ini mengandung arti bahwa bahan yang baru dipelajari, akan lebih mudah diingat. Sedang bahan yang lama dipelajari, akan terhalang oleh bahan baru sehingga terbenam ke alam bawah sadar.

7. Prinsip gabungan

Prinsip ini menunjukkan perlunya ada keterkaitan bahan yang dipelajari dengan situasi belajar yang akan mempermudah berubahnya tingkah laku.

Dari prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh kedua di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa seorang siswa dapat mencapai hasil secara optimal apabila ia belajar untuk dirinya sendiri, mengalaminya sendiri, sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kondisinya, perlu diberikan penguatan dan pengulangan setelah satu kegiatan pembelajaran selesai, materinya menarik minat, perlu dilakukan evaluasi dan perlu diberikan tanggung jawab.

(10)

e. Tujuan Belajar

Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat penting, karena semua komponen yang ada dalam sistem pembelajaran dilaksanakan atas dasar pencapaian tujuan pembelajaran.

Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan atau kondisi lingkungan belajar yang baik. Sistem lingkungan belajar itu sendiri terdiri atau dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing saling mempengaruhi. Komponen-komponen itu misalnya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, materi yang ingin diajarkan, guru dan siswa yang mempunyai peranan serta memiliki hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan dan sarana atau prasarana belajar mengajar yang tersedia. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Sardiman (1990: 28) antara lain :

1. Untuk mendapatkan pengetahuan

Ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru sebagai pengajar lebih menonjol.

2. Pemahaman konsep keterampilan

Pemahaman konsep atau merumuskan konsep juga memerlukan suatu keterampilan. Keterampilan memang dapat dididik, yaitu dengan melatih kemampuan. Interaksi yang mengarah pada pencapaian keterampilan ini akan menuruti kaidah-kaidah tertentu dan bukan semata-mata yang menghafalkan atau meniru.

3. Pembentukan sikap

Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak akan lepas dari penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu guru tidak sekedar sebagai pengajar tetapi betul-betul sebagai pendidik yang memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, dalam diri anak didik atau siswa akan tumbuh kesadaran dan kemauan, untuk mempraktekan segala sesuatu yang sudah dipelajari.

(11)

Dengan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan di atas dimaksudkan sebagai dasar membuat program pembelajaran yang baik sehingga memperoleh hasil pembelajaran secara optimal. Dengan kata lain, prinsip-prinsip belajar tersebut mempunyai pengaruh sangat positif terhadap hasil pembelajaran.

Di samping hal-hal yang positif yang berpengaruh terhadap hasil pembelajaran, terdapat juga hal-hal negatif pengaruhnya terhadap hasil pembelajaran. Suharno, dkk (1995: 104) menyebutkan sikap dan kebiasaan belajar yang tidak baik antara lain :

1) Kebiasaan belajar yang tidak tertib, artinya belajar yang hanya dilakukan jika akan ulangan saja.

2) Kurang disiplin pribadi, artinya siswa tidak disiplin dalam menyelesaikan tugas belajar serta menepati waktu belajar.

3) Salah pengertian bahwa belajar hanya cukup dengan membaca saja, tidak ada usaha memahami, mengulangi, meringkas, membuat tanda yang dapat memperlancar pembelajaran.

4) Penggunaan metode yang tidak sesuai dengan materi yang dipelajari. 5) Kurangnya lingkungan belajar yang menunjang keberhasilan belajar

6) Kurangnya pengertian bahwa belajar memerlukan kondisi fisik yang sehat, sehingga kurang menjaga kesehatannya.

g. Ciri-ciri Belajar

Belajar pada dasarnya ditunjukkan oleh adanya perubahan tingkah laku melalui pengalaman pribadi yang tidak disebabkan kematangan, pertumbuhan atau insting. Sedangkan ciri-ciri belajar menurut Rochman Natawidjaja dan Moein Moesa (1992: 73) adalah sebagai berikut:

1) Belajar menyebabkan perubahan pada aspek-aspek kepribadian yang berfungsi terus menerus.

2) Belajar adalah perbuatan sadar, karena itu peristiwa belajar selalu mempunyai tujuan

3) Belajar hanya terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual

4) Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh melibatkan keseluruhan tingkah laku yang mengintegrasikan semua aspek-aspek yang terlibat di dalamnya baik norma, fakta, sikap, pengertian, kecakapan maupun keterampilan. 5) Belajar adalah proses interaksi, bukan sekedar proses penyerapan yang

berlangsung tanpa usaha yang aktif dari individu yang belajar

6) Perubahan tingkah laku yang berlangsung dari yang paling sederhana sampai pada yang kompleks.

(12)

Perilaku belajar adalah perilaku yang cukup kompleks karena banyak unsur yang terlibat didalamnya. Sedangkan menurut Rochman Natawidjaja dan Moein Moesa (1992: 75-76) bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam belajar adalah sebagai berikut :

1) Tujuan yang ingin dicapai

Dibalik tingkah laku belajar ada unsur keinginan, harapan, tujuan yang ingin dipenuhi.

2) Pola respon dan kemampuan yang dimiliki atau kesiapannya

Setiap individu memiliki pola yang dapat digunakan saat menghadapi situasi belajar.

3) Situasi belajar

Yang dimaksud dengan situasi belajar di sini adalah benda, orang dan simbol yang ada di lingkungan yang belajar.

4) Tafsiran situasi sebelum berbuat

Individu dihadapkan pada situasi memilih melalui proses penafsiran situasi yang dihadapinya.

5) Reaksi atau respon

Respon merupakan kegiatan atau kesiapan internal untuk berbuat. Respon itu dapat berbentuk kata-kata, gerakan, kegiatan atau meningkatnya ketegangan dalam diri individu.

6) Reaksi terhadap kegagalan

Sekiranya individu gagal mencapai tujuannya, mungkin akan tumbuh kekecewaan pada dirinya, sehingga tidak mau mencobanya lagi.

i. Kegunaan Media

Di dalam proses belajar mengajar adakalanya belajar yang diperoleh tidak selalu seperti yang diharapkan. Hal tersebut mungkin disebabkan karena komunikasi yang tidak lancar, atau terjadi perbedaan persepsi antara guru dengan siswa dan mungkin karena hambatan lain. Dalam hal ini media pendidikan dapat membantu mengurangi hambatan-hambatan tersebut. Menurut Arief S. Sadiman (1996: 16) secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan sebagai berikut :

1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka)

2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera

3) Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk:

(13)

b) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan

c) Memungkinkan anak belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

4) Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan sama untuk setiap siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Apalagi bila latar belakang lingkungan guru dan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan, yaitu kemampuannya dalam :

a) Memberikan perangsang yang sama b) Mempersamakan pengalaman c) Menimbulkan persepsi yang sama.

Jadi dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan berfariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi secara langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan, memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

j. Jenis-jenis Media Pendidikan

Berbagai jenis media pendidikan telah kita kenal dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Dari berbagai jenis media ini ditentukan oleh berbagai tujuan pengajaran yang ingin dicapai, serta lembaga sekolah yang bersangkutan. Untuk mengetahui jenis-jenis media yang sedang dipakai dibutuhkan klasifikasi dari berbagai jenis media tersebut.

Media dapat diklasifikasikan melalui berbagai sudut pandangan. Menurut Arief S. Sadiman (1996: 28) jenis-jenis media pendidikan adalah : 1. Media grafis (gambar atau foto, sketsa, diagram, bagan atau chart, grafft atau graphs, kartun, poster, peta atau globe, papan atau flanel, papan atau buletin), 2. Media audio (radio, alat perekam pita magnetik), 3. Media proyeksi diam (film bingkai, film

(14)

rangkai, media transparensi, proyektor tak tembus pandang, mikrofis, film, film gelam, televisi, vidio).

Dari bermacam-macam media tersebut di atas tinggal bagaimana kita memilih dan menggunakannya, yang tentunya tidak lepas dari hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan sehingga dapat ditentukan pemilihan yang tepat. Di dalam penelitian ini penulis mengambil media asli dan tiruan yaitu media puzzle angka. k. Kriteria Pemilihan Media

Media dapat berfungsi sebagai alat bantu, sebagai elemen dari proses pengajaran, maupun sebagai figur yang bertindak sebagai wakil guru dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi mengingat beraneka ragamnya serta masing-masing media mempunyai karakteristik sendiri maka kita harus berusaha memilihnya dengan cermat agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih media sehingga kegiatan mengajar berhasil yaitu : “1) kesesuaian dengan tujuan pengajaran, 2) tingkat kemampuan siswa, 3) ketersediaan media, 4) biaya, dan 5) mutu tekniknya.” (Mudhoffir, 1990: 82).

Kesesuaian dengan tujuan pengajaran maksudnya media yang telah kita pilih hendaknya menunjang tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Masalah tujuan ini adalah kriteria yang paling pokok, sedangkan lainnya merupakan kelengkapan dari kriteria utama ini.

Media yang akan kita gunakan hendaknya dipilih sesuai dengan tingkat kemampuan dan kesiapan siswa. Misalnya media yang canggih kurang tepat untuk taman kanak-kanak dan yang sesuai, misalnya dengan benda-benda mainan.

Ketersediaan media maksudnya adalah seringkali media yang kita nilai sangat tepat untuk tujuan pengajaran, misalnya saja film ternyata di sekolah kita tidak tersedia dan lagi tidak semua sekolah dilengkapi dengan listrik. Jadi pengajar diharapkan lebih kreatif untuk menciptakan yang lain sebagai penggantinya. Masalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan dan menggunakan media hendaknya benar-benar seimbang dengan hasil yang dicapai. Kita harus dapat

(15)

memilih media yang mudah didapatkan dan cukup efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

2. Tinjauan Tentang Prestasi Belajar Matematika a. Pengertian Prestasi Belajar

Dalam usaha belajar mengakibatkan adanya perubahan, maka perlu diketahui besarnya perubahan itu menunjukkan adanya kemampuan yang disebut prestasi. Sehubungan dengan itu, prestasi belajar adalah hasil usaha belajar dalam waktu tertentu setelah proses belajar terjadi. M. Bukhori (t.th. 91) menyatakan bahwa :

Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai atau ditunjukkan oleh murid-murid sebagai hasil belajarnya, baik berupa angka atau huruf, serta tindakan yang mencerminkan hasil belajar yang dicapai anak dalam periode tertentu.

Sedangkan prestasi belajar menurut WS. Winkel (1996: 162) menyatakan “Prestasi belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti keberhasilan usaha-usaha yang dapat dicapai”.

Jadi kedua pendapat di atas tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai baik berupa angka atau huruf dan hasil yang dicapai itu dapat dikatakan baik atau buruk setelah melewati tahap kegiatan yaitu evaluasi.

b. Pengertian Matematika

Mata pelajaran matematika adalah kumpulan bahan kajian dan pelajaran tentang bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya, sehingga dapat meningkatkan ketajaman penalaran siswa untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta lebih mengembangkan sikap logis, kritis, cermat, disiplin dan menghargai kegunaan matematika.

(16)

Menurut R. Soedjadi (2000: 11) berpendapat bahwa matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan. Sedangkan matematika menurut Johnson dan Myklebust yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1999: 252) “Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan kekurangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir”.

Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang amat pesat, baik materi maupun kegunaannya. Dengan demikian setiap upaya penyusunan kembali atau penyempurnaan kurikulum matematika, sekolah perlu mempertimbang-kan perkembangan, pengalaman masa lalu dan kemungkinan masa depan.

Dari kedua pendapat di atas tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan tentang penalaran logik yang berhubungan dengan bilangan dan bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan kekurangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir.

c. Pengertian Prestasi Belajar Matematika

WS. Winkel (1996: 162) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti keberhasilan usaha-usaha yang dapat dicapai. Sedangkan pengertian matematika menurut R. Soedjadi (2000: 11) “Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan”. Dari pengertian tentang prestasi belajar matematika seperti yang diuraikan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti keberhasilan usaha-usaha yang dapat dicapai tentang pengetahuan penalaran logik yang berhubungan bilangan.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Perbuatan belajar merupakan perbuatan yang ringan dan mudah karena belajar melibatkan aktivitas jiwa, raga serta lingkungan dalam belajar seseorang akan menghasilkan pengetahuan dan kecakapan supaya berhasil dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Yang perlu diperhatikan di sini adalah

(17)

faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Menurut Slameto (1995: 39) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar sebagai berikut :

1) Faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, yaitu:

a) Faktor jasmaniah, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh

b) Faktir psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan.

c) Faktor kelelahan, meliputi kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.

2) Faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari luar individu yang sedang belajar. Hal ini dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu :

a) Faktor keluarga yang meliputi : cara orang tua mendidik, hubungan antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.

b) Faktor sekolah yaitu : metode belajar, kurikulum, hubungan guru siswa, disiplin sekolah, alat pengajaran, keadaan gedung, dan metode belajar. c) Faktor masyarakat yaitu : kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa,

teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.

Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1990: 102) membagi faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menjadi :

1) Faktor individual (ada pada diri organisme sendiri)

a) Aspek fisiologi bersifat jasmaniah, yaitu pada tegangan otot atau tonus yang menandai kebugaran organ-organ tubuh dan sendi, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.

b) Aspek psikologis bersifat rohaniah, meliputi:

- tingkat kecerdasan intelegensia, yaitu tingkat kecerdasan siswa yang tidak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

- Tingkat kematangan atau pertumbuhan, mengajarkan sesuatu yang baru dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah memungkinkan potensi-potensi jasmani dan rohaninya telah matang untuk itu.

(18)

c) Latihan atau ulangan, yaitu karena berlatih seringkali mengulang sesuatu, maka kecakapan dan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadi semakin dikuasai dan makin mendalam.

d) Motivasi, kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal, akan menyebabkan bersemangatnya siswa dalam proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah. e) Sifat-sifat pribadi seseorang, sifat kepribadian yang ada pada diri seseorang

itu sedikit banyak turut mempengaruhi sampai dimanakah hasil belajar yang dapat dicapai.

2) Faktor sosial (dari luar individu)

a) Faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam belajar turut memegang peranan penting, maka fasilitas tersebut tidak tersedia dalam keluarga maka dapat mempengaruhi aktifitas siswa dalam belajar.

b) Guru dan cara mengajarnya, terutama dalam belajar di sekolah faktor guru dan cara mengajar merupakan faktor yang penting pula, bagaimana sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan kepada anak didiknya turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai oleh anak didiknya.

c) Alat-alat belajar, sekolah yang cukup memiliki alat dan perlengkapan yang diperlukan untuk belajar ditambah dengan cara mengajar yang baik dari guru-gurunya, kecakapan guru dalam menggunakan alat itu akan mempermudah dan mempercepat proses belajar anak.

d) Lingkungan dan kesempatan, banyak anak yang tidak dapat belajar dengan hasil baik dan tidak dapat mempertinggi belajarnya, akibatnya tidak ada kesempatan yang disebabkan oleh sibuknya pekerjaan setiap hari, pengaruh lingkungan yang buruk dan negatif, serta faktor-faktor lain yang terjadi di luar kemampuannya.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor individu yang belajar dan sebagai faktor pendukung

(19)

adalah faktor dari luar individu baik itu faktor keluarga, faktor sekolah, faktor masyarakat dan faktor sosial.

e. Tujuan Pengajaran Matematika

Dalam Kurikulum Sekolah Dasar (1994) Depdikbud (1993: 62) bahwa tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar ialah:

1) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif. 2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir

matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Dengan demikian tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar tersebut memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika pada berbagai keperluan hidup.

Sedangkan tujuan khusus pengajaran matematika dalam Kurikulum Sekolah Dasar (1994) Depdikbud (1993: 63) adalah untuk:

1) Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.

2) Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika.

3) Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

4) Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin (h. 63).

Adapun tujuan pembelajaran Matematika menurut Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang dikemukakan oleh R. Soejadi (2000: 43-44) dibagi menjadi dua yaitu :

a. Tujuan Umum diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar adalah:

1. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien.

(20)

2. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

b. Tujuan khusus diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar adalah : 1. Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung

(menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari. 2. Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui

kegiatan matematika.

3. Membentuk sikap logis, kritis, cermat dan kreatif dan disiplin.

4. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di SLTP.

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa tujuan utama mata pelajaran matematika khususnya di sekolah dasar ialah agar siswa dapat berpikir logis, kritis, cermat, kreatif, jujur, efektif dan disiplin menghadapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari untuk mencapai tujuan hidup sesuai dengan perkembangan jaman serta sebagai bekal untuk melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

f. Fungsi Mata Pelajaran Matematika

Fungsi mata pelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari; GBPP Kurikulum 94 (1993: 62). g. Kurikulum Matematika Caturwulan II Kelas III SD

Materi mata pelajaran Matematika Kelas III tahun pelajaran 94 petunjuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar Depdikbud (1993: 63) adalah bahan kajian matematika di sekolah dasar mencakup; “aritmatika (berhitung), pengantar aljabar, geometri, pengukuran dan kajian data (pengantar statistika). Penekanan diberikan pada penguasaan bilangan termasuk berhitung.”

(21)

Lebih lanjut dijelaskan dalam program pengajaran Matematika Kelas III Depdikbud (1993: 79) ini terhadap pembelajaran setiap pokok bahasan adalah sebagai berikut: “Peserta didik mampu melakukan penguasaan bilangan (deret hitung), menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan saja”.

3. Tinjauan Tentang Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita

Tuna grahita adalah kata lain dari retardasi mental (mental reterdation). Arti harfiah dari perkataan tuna adalah merugi, sedangkan grahita adalah pikiran. Seperti namanya, tuna grahita ditandai oleh ciri utamanya adalah kelemahan dalam berpikir atau bernalar. Akibat dari kelemahan tersebut anak tuna grahita memiliki kemampuan belajar dan adaptasi sosial berada di bawah rata-rata. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Munzayanah (1999: 42) yaitu:

Anak cacat mental atau cacat grahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam bidang intelektual serta seluruh kepribadiannya, sehingga mereka tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri di dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Gunnas Dybwar dalam Moh. Amin (1995: 16) yang dimaksud dengan:

Mental retardation is a condition which originates during the developmental period and is characterised by markedly subaverage intellectual is social inadeguacy.

Anak Tunagrahita adalah keterbelakangan merupakan suatu kondisi sejak masa perkembangan yang ditandai oleh kurang sempurnanya fungsi-fungsi intelektual sehingga nampak akibatnya secara sosial.

(22)

Dari kedua pendapat di atas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak tuna grahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan atau hambatan pada masa perkembangan dalam bidang intelektual dan seluruh kepribadian sehingga mereka tidak bisa hidup sendiri dalam masyarakat.

Adapun penyebab anak tunagrahita atau tunamental menurut Mulyono Abdurrahman dan Sudjadi S. (1994: 35-38) yaitu:

1. Faktor Genetik

a. Kerusakan/Kelainan Biokimia

Yaitu kerusakan pada kromosom yang dikendalikan oleh sistem enzim tertentu yang diperlukan untuk melakukan fungsi normal suatu jaringan tubuh.

b. Abnormalitas Kromosomal

Kelainan ini ditemukan pada anak yang mengalami sindroma down berasal dari translokasi yaitu anak memiliki 46 kromosom, tetapi satu pasang dari kromosom tersebut mengalami kerusakan dan bagian yang rusak tersebut bergabung dengan kromosom lainnya.

2. Faktor sebelum lahir (prenatal)

Hal ini disebabkan karena kekurangan gizi, infeksi, luka-luka atau keracunan pada janin sewaktu dalam kandungan, atau sewaktu mengandung ibu menderita penyakit seperti kholera, typus, gondok. Sehingga menyebabkan pertumbuhan bayi dalam kandungan tidak normal atau mengalami kerusakan mental dan fisik. 3. Faktor ketika lahir (natal)

Pada faktor ini disebabkan kelahiran bayi dibantu dengan alat seperti tang dan lahir sebelum waktunya (premature).

4. Faktor sesudah bayi lahir (post natal) meliputi:

Penyakit-penyakit akibat infeksi dan problema nutrisi yang diderita pada masa bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan retardasi mental, seperti penyakit encephalitis yaitu suatu peradangan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh virus tertentu, yang menyebabkan kerusakan atau infeksi pada usia dini yang menimbulkan panas tinggi dan mungkin menimbulkan kerusakan sel-sel otak.

(23)

Sedangkan meningitis adalah suatu kondisi yang berasal dari infeksi bakteri yang menyebabkan peradangan pada selaput otak dan menimbulkan kerusakan pada sistem syaraf pusat.

5. Faktor Sosiokultural

Faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap kemampuan intelektual anak.

Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab tunagrahita disebabkan oleh faktor genetik, sosial, pre natal, natal, dan post natal. b. Klasifikasi Anak Tunagrahita

Dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita menurut para ahli berbeda-beda sesuai dengan bidang ilmu dan pandangannya masing-masing. Ada yang berdasarkan etiologinya, ada yang berdasarkan kemampuan belajarnya, ciri-ciri klinis dan sebagainya. Pengklasifikasian anak tunagrahita memang perlu dilakukan untuk memudahkan guru untuk menyusun program dan memberikan bantuan serta pelaksanaan layanan pendidikan yang sebaik-baiknya dan seefektif mungkin. Adapun klasifikasi anak tunagrahita menurut Munzayanah (1999: 20-22) adalah sebagai berikut:

1. Klasifikasi menurut derajat kecacatannya. Penetapan klasifikasi ini berdasarkan pada pengukuran inteligensi yaitu terbagi menjadi:

a. Idiot

Seseorang dikatakan idiot apabila tingkat deritanya paling berat, IQ nya antara 0 – 25. Kemampuan berfikirnya demikian rendah, sehingga tidak dapat belajar bicara maupun mengurus dirinya sendiri. Hidupnya selalu memerlukan pertolongan orang lain sepanjang masa (selama-lamanya).

b. Imbisil

Penderita imbisil lebih ringan dibanding dengan penderita idiot. IQ nya antara 25 – 50. Ia dapat mengucapkan kata-kata dan dapat dilatih melakukan pekerjaan yang bersifat sederhana dan pemeliharaan atau mengurus diri sendiri. Namun ia masih memerlukan pengawasan dari orang lain.

(24)

IQ penderita debil antara 50 – 75. Mereka dapat dilatih dengan tugas-tugas yang lebih tinggi dalam kehidupan sehari-hari, dapat pula dididik dalam bidang sosial dan intelektual sampai batas-batas tertentu. Pelajaran membaca, menghitung dan menulis dapat diajarkan sampai dalam batas-batas tertentu yang dimilikinya.

2. Klasifikasi menurut etiologi yaitu : keturunan (heriditer), gangguan fisik, dan kerusakan pada otak.

3. Klasifikasi menurut tipe-tipe klinik yaitu : cretinisme (kretin, kerdil, cebol), mongol (mongolisme, mongoloid), microcephalic (microcephalus), hydrocephalic (hydrocephalus), dan cerebal palsy.

4. Klasifikasi untuk pelaksanaan pendidikan adalah: a. Anak perlu rawat

b. Anak mampu latih c. Anak mampu didik.

Jadi dapat disimpukan bahwa klasifikasi anak tunagrahita dapat dilihat dari berbagai segi yaitu dari segi kecacatan, etiologi, tipe-tipe klinik, dan pelaksanaan pendidikan.

c. Karakteristik Anak Tunagrahita

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan kecerdasan/mental dan terhambat dalam adaptasi perilaku terhadap lingkungan sedemikian rupa dan terjadi selama masa perkembangan, sehingga untuk mencapai perkembangan yang optimal diperlukan program dan layanan PLB baik yang bersekolah di sekolah biasa maupun yang bersekolah di sekolah khusus. Untuk mempermudah dalam membuat program dan melaksanakan layanan pendidikan bagi anak tuna grahita seyogianya para guru/pendidik mengenal karakteristik dan permasalahan anak tunagrahita sebagaimana telah dikemukakan oleh Moh. Amin (1995: 37-41) sebagai berikut:

(25)

Dari karakteristik anak tersebut dapat dilihat dari : (a) kecerdasan, yaitu kapasitasnya belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, (b) sosial, yaitu dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara dan memimpin diri sendiri, (c) fungsi-fungsi mental lain, yaitu mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, (d) dorongan dan emosi yaitu perkembangan dan dorongan emosi anak tuna grahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaannya, (e) organisme, yaitu dari struktur maupun fungsi organisme pada anak tuna grahita pada umumnya kurang dari anak normal.

2. Anak tuna grahita ringan, banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaraan kata-katanya. Mereka mengalami kerusakan berpikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus. Kecerdasan berpikir anak tunagrahita ringan paling tinggi sama sengan anak normal usia 12 tahun.

3. Anak tuna grahita sedang, hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik, mereka pada umumnya belajar secara membeo, perkembangan bahasanya sangat terbatas, mereka hampir selalu tergantung pada perlindungan orang lain, tetapi dapat membedakan yang bahaya dan yang bukan bahaya. Mereka mempunyai potensi belajar memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dapat mempelajari pekerjaan yang mempunyai arti ekonomi. Kecerdasan anak tunagrahita sedang setaraf dengan anak normal usia 7 tahun.

4. Anak tuna grahita berat, akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan kepada orang lain, mereka tidak dapat memelihara diri sendiri dan tidak dapat membedakan yang berbahaya dengan tidak berbahaya, tidak bisa berpartisipasi dengan lingkungan di sekitarnya, jika dia berbicara kata-kata dan ucapannya sangat sederhana, kecerdasan berpikirnya setara dengan anak normal usia 3-4 tahun.

(26)

Dari beberapa karakteristik di atas dapat disimpulkan karakteristik anak tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan fisik dan kelambatan dalam bicara, sehingga sukar diajak berkomunikasi, sulit mengadakan sosialisasi, mempunyai kemampuan yang terbatas dalam bidang intelektual, dapat dilatih untuk ketrampilan-ketrampilan yang ringan.

d. Pengertian Tunagrahita Ringan

Anak tunagrahita ringan juga dikenal dengan istilah mampu dididik atau

educable. Menurut SA. Bratanata (1997: 25), mengatakan anak tunagrahita ringan

adalah anak yang masih mempunyai kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang akademis sampai kelas dasar IV atau V dan dapat mempelajari keterampilan-keterampilan yang sederhana.

Anak tunagrahita ringan karena perkembangan mentalnya yang tergolong di bawah normal akan mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar. Anak tunagrahita ringan akan memiliki hasil belajar yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan anak normal seusianya. Namun demikian anak tunagrahita ringan dapat dididik untuk melakukan penyesuaian dalam kegiatan sehari-hari dalam jangka panjang dapat berdiri sendiri dalam masyarakat, dan mampu bekerja untuk kehidupan sesuai dengan kemampuannya.

Pada masa awal dan masa kanak-kanak, anak tunagrahita ringan sering tidak diketahui bahwa ia terbelakang. Anak tunagrahita ringan baru diketahui pada tingkat saat usia pra sekolah, terutama saat duduk di taman kanak-kanak melakukan observasi perilaku anak-anak. Anak tunagrahita ringan umumnya baru diketahui setelah adanya tuntunan penguasaan kemampuan belajar lebih ditekankan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sunarta Kartadinata (1996: 86) IQ anak tunagrahita ringan menurut klasifikasi Binet adalah 52 – 58, dan menurut skala Wescler adalah 55 – 69.

Dari kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki IQ 50 – 70 dan dikategorikan paling tinggi tingkat kemampuannya diantara kelompok anak tunagrahita lainnya, mereka tidak dapat

(27)

secara penuh mengikuti pelajaran di kelas biasa, harus dilengkapi dengan program dan metode yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya.

e. Ciri-ciri Anak Tunagrahita Ringan

Adapun ciri-ciri anak tunagrahita ringan menurut SA. Bratanata (1997: 8) : 1. Karakteristik fisik

Keadaan anak tunagrahita ringan pada umumnya tidak berbeda dengan anak normal, hanya sebagian kecil memperlihatkan ciri-ciri yang khas yaitu geraknya kurang terkordinasi.

2. Karakteristik sosial

Dalam pergaulan, mereka kurang dapat mengurus, memelihara, memimpin diri, dan mudah terperosok ke dalam lingkungan tingkah laku yang kurang baik. Namun demikian mereka dapat bergaul dengan masyarakat secara bebas walau kadang-kadang mereka mudah dipengaruhi. Anak pada kelompok ini masih mampu berkomunikasi secara tertulis yang sifatnya sederhana.

3. Karakteristik kecerdasan

Pada umumnya perkembangan kecerdasan anak tunagrahita ringan mengalami keterlambatan dan keterbatasan. Irama perkembangan dapat kita lihat pada kapasitas belajarnya. Mereka sulit untuk mempelajari hal-hal yang sifatnya abstrak. Anak tunagrahita ringan mempunyai kemampuan dididik dalam membaca, menulis, berhitung yang sederhana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan untuk dididik dalam akademis, meskipun tidak seperti anak normal.

4. Pengaruh Penggunaan Media Belajar Puzzle dalam Proses Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar Matematika Anak Tuna Grahita Ringan

(28)

Anak tuna grahita, dalam hal ini adalah anak tuna grahita ringan yang masih dapat dididik dan diajarkan membaca, menulis dan berhitung sederhana, mereka mempunyai IQ antara 50 sampai 75 atau disebut juga kelompok debil dan dikategorikan sebagai anak mampu didik. Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah: faktor internal yaitu : faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri antara lain yaitu meliputi kesehatan, minat, motivasi dan intelegensi. Anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam intelegensinya, dan mereka sulit untuk menerima pelajaran yang bersifat abstrak seperti : berhitung, menulis, dan membaca. Mereka akan lebih dapat memahami pelajaran yang bersifat konkrit misalnya pendidikan yang diberikan dengan menggunakan media puzzle dalam mata pelajaran matematika.

Secara teoritis bahwa materi pelajaran yang menggunakan media belajar puzzle dapat mengacu pada kegiatan di dalam kehidupan sehari-hari bagi anak tuna grahita. Penguasaan pendidikan yang menggunakan media belajar puzzle dalam mempengaruhi terhadap peningkatan kematangan sosial. Penguasaan pendidikan yang menggunakan media belajar puzzle, seperti: berhitung, tambahan, pengurangan, dan perkalian akan mempermudah anak untuk belajar di dalam proses pembelajaran.

Kondisi kejiwaan yang mempengaruhi dalam penggunaan media belajar puzzle adalah : intelegensi, motivasi, dan sikap. Tingkat pengaruh penggunaan media belajar puzzle mempunyai peranan penting dalam meningkatkan prestasi belajar matematika. Peranan tersebut nampak pada seorang siswa tuna grahita. Seorang anak tidak akan mau mengambil inisiatif dalam melaksanakan aktifitas dalam menggunakan media belajar puzzle apabila tidak ada perhatian, kesenangan, dan adanya dorongan.

Adanya prestasi yang baik dalam belajar matematika yang menggunakan media belajar puzzle banyak dipengaruhi oleh daya aktif dan kreativitas anak dan didukung oleh adanya sarana dan fasilitas yang menunjang tingkat prestasi belajar anak karena dengan pendidikan yang menggunakan media belajar puzzle anak akan tertarik, merasa senang untuk belajar, tidak merasa bosan, mempermudah anak untuk belajar, dan ditunjang oleh kreativitas guru dalam mengajar.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh penggunaan media belajar, termasuk media puzzle ada hubungan erat dengan prestasi belajar matematika anak tuna grahita ringan. Semakin baik dalam menggunakan media belajar, termasuk

(29)

media puzzle yang dikuasai anak akan meningkatkan prestasi belajar anak tuna grahita ringan baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari di rumah.

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan arahan penalaran untuk bisa sampai pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah:

Belajar merupakan suatu proses kegiatan yang komplek, yang melibatkan manusia, materi, managemen dan sistem. Keterkaitan berbagai elemen tersebut, akan menghasilkan produk yang optimal. Untuk peserta didik tingkat sekolah dasar kelas III, dalam mempelajari matematika, diperlukan cara penyampaian informasi yang tepat, yang mampu membangkitkan minat peserta didik. Media pembelajaran yang mudah didapat, dan mudah menggunakannya, sangat membantu mengoptimalkan prestasi belajar peserta didik.

Di sini penulis mencoba memberikan treatment (perlakuan) yang berturut-turut kepada kelompok eksperimen. Sebelum dibuat treatment anak terlebih dahulu diberikan pre test, dan setelah treatment diberikan pada anak baru diberikan post test. Dengan pemberian treatment terhadap siswa kelas III SLB – C dengan menggunakan media belajar puzzle yang berbentuk angka tersebut, maka penulis berusaha mencari jawaban “Apakah ada pengaruh pembelajaran yang menggunakan media puzzle terhadap peningkatan prestasi belajar matematika bagi siswa kelas III SLB – C Cengklik - Surakarta”. Untuk memperjelas kerangka pemikiran dapat dilihat dalam skema berikut ini:

Siswa kelas III SLB-C Cengklik

Surakarta

Pre tes Mata Pelajaran matematika

Treatment dengan menggunakan media

belajar puzzle yang berbentuk angka

Post tes Mata Pelajaran matematika

(30)

Ket: 1. Siswa kelas III SLB-C sebelum diberikan treatment, terlebih dahulu mereka diberikan pre tes soal-soal matematika.

2. Sesudah melaksanakan pre test, baru mereka diberikan treatment dengan menggunakan media belajar puzzle yang berbentuk angka.

3. Sesudah diberikan treatment, baru siswa diberikan lagi test kedua atau post test matematika.

C. Perumusan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas masalah yang diteliti dan masih dibuktikan kebenarannya. Dalam penelitian ini penulis mengajukan perumasan hipotesis yaitu :

“Ada pengaruh positif pembelajaran yang menggunakan media belajar puzzle terhadap prestasi belajar matematika anak Tunagrahita ringan kelas III SLB-C Cengklik – Surakarta”.

(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SLB-C YSSD Cengklik-Surakarta di jalan Mr. Sartono No. 32 Surakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2003.

B. Metode Penelitian

Di dalam penelitian diperlukan suatu cara atau metode yang tepat. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 151) yang dimaksud dengan metode penelitian adalah “Cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya”. Sedangkan menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini (1996: 9) metode penelitian adalah “Ilmu tentang metode yang dapat dipergunakan dalam melakukan kegiatan penelitian”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian adalah “Suatu metode atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengumpulan data dalam melakukan kegiatan penelitiannya”

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian eksperimen. Menurut Winarno Surakhmad (1994: 149) menyebutkan bahwa “Penelitian eksperimental adalah mengadakan kegiatan percobaan untuk melihat suatu hasil”. Sedangkan menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini (1996: 131) bahwa yang dimaksud dengan eksperimen adalah : “Prosedur penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat antara variabel yang sengaja diadakan terhadap variabel yang diluar variabel yang diteliti”.

Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penelitian eksperimen adalah “Kegiatan percobaan yang mengadakan manipulasi terhadap obyek penelitian dengan adanya kontrol untuk mengetahui hasil pengaruh faktor sebab akibat antara dua variabel”.

(32)

Adapun tujuan dari eksperimen adalah “Meneliti pengaruh dari suatu kondisi terhadap suatu gejala”. Eksperimen dipakai untuk mencari pengaruh dari suatu tindakan untuk mengetes suatu hipotesa tentang ada tidaknya pengaruh, dalam hal ini pengaruh dari penggunaan media belajar puzzle di dalam proses pembelajaran. Yang dimaksud dengan tindakan di dalam eksperimen ini adalah treatment berupa penggunaan media belajar puzzle di dalam proses pembelajaran.

Dalam hal ini penulis menggunakan pola : “Treatments by Subjects Designs” atau disingkat pola T-S. Menurut Sutrisno Hadi (1982: 453) memberikan pengertian pola T-S adalah : “Beberapa jenis atau variasi treatment (perlakuan) diberikan secara berturut-turut kepada sekelompok subjek yang sama”. Jadi satu grup yang sama pada suatu ketika dijadikan grup eksperiment (pre test), dan pada saat lain dijadikan grup kontrol (post test) atau disebut dengan istilah “Same Grup Eksperiment”.

Adapun pola eksperimen Treatments by Subjects Designs dapat penulis gambarkan sebagai berikut :

Gambar pola eksperimen di atas dapat penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Dengan mengadakan pre test (X1) yang diberikan kepada subjek sebelum diadakan perlakuan

pengajaran yang menggunakan media belajar puzzle.

2. Perlakuan (Tx) yaitu proses pengajaran yang menggunakan media belajar puzzle terhadap siswa SLB-C kelas III YSSD Cengklik-Surakarta.

3. Post test (X2) yaitu memberikan test kepada subjek yang sudah diberikan perlakuan

pengajaran yang menggunakan media belajar puzzle yaitu untuk mengungkap dan mengetahui hasil atau pengaruh perlakuan pengajaran dengan menggunakan media belajar puzzle.

Dengan digunakan metode ini dapat diketahui apakah ada pengaruh menggunakan media belajar puzzle dalam proses pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika anak tuna grahita ringan sebelum mendapatkan treatment dan sesudah mendapatkan treatment.

Seseorang peneliti harus mempunyai kejelian dalam melaksanakan suatu metode, sehingga akan memperoleh suatu keserasian antara metode dengan hasil yang diteliti. Oleh karena itu metode yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan kemampuan, waktu serta biaya dari peneliti itu sendiri.

Adapun langkah-langkah prosedur penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut:

1. Pra Treatment

a. Menentukan materi pengajaran matematika sebagai bahan untuk treatment b. Menyusun soal untuk try out

c. Pelaksanaan soal try out

d. Menentukan soal-soal yang valid dan reliabel 2. Melakukan pre test

3. Treatment

Treatment dalam penelitian ini mengenai penetapan media belajar puzzle yang berupa benda asli dalam mata pelajaran matematika, yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu yaitu 10 kali pertemuan, setiap kali pertemuan 45 menit.

4. Post Test

Dalam post test ini siswa diberi test yang sama dengan test yang dilakukan pada pre test.

Pre Test Perla kuan Post Test

(33)

5. Membandingkan antara X1 dan X2 untuk mengetahui pengaruh yang timbul sebagai akibat

dari dipergunakannya perlakuan yang berupa penggunaan media belajar puzzle dalam pembelajaran matematika.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengemukakan alasan menggunakan pola eksperimental treatments by subjects design, seperti tersebut di bawah ini:

1. Untuk menyelidiki pengaruh eksperimen terhadap subyek seorang demi seorang. 2. Dapat menggunakan waktu yang relatif singkat, jadi penelitian ini praktis digunakan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Komaruddin yang dikutip oleh Mardalis (1990: 53) yang dimaksud dengan populasi adalah “Semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel”, sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (1998: 115) populasi adalah “Keseluruhan obyek penelitian”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa “Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau semua individu untuk menjadi sumber pengambilan sampel”.

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas III D SLB-C YSSD Cengklik-Surakarta yang berjumlah 6 siswa.

2. Sampel

Menurut Mardalis (1993: 55) mengemukakan bahwa “Sampel adalah sebagian dari seluruh individu yang menjadi obyek penelitian”. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (1998: 117) yang dimaksud dengan sampel adalah “Sebagian atau walik populasi yang diteliti”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan sampel adalah “Sebagian individu yang mewakili populasi yang diteliti yang jumlahnya kurang dari populasi”.

Dalam penelitian ini sampel tidak dipergunakan karena seluruh anggota populasi dijadikan subyek penelitian.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Sugiyono (2002: 56) yang dimaksud dengan teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel disebut juga dengan sampling.

Dalam penelitian ini, sampling tidak dipergunakan karena penelitian ini termasuk penelitian populasi yang artinya semua individu di dalam populasi yang berjumlah 6 siswa secara langsung dijadikan subyek penelitian.

D. Pengumpulan Data

Di dalam kegiatan penelitian ini penulis menggunakan instrumen yang merupakan alat ukur dimana instrumen tersebut dapat dikumpulkan dari obyek penelitian, sedangkan test digunakan untuk mengukur pengaruh dari menggunakan media belajar puzzle sebelum diberikan instrumen dan sesudah diberikan instrumen terhadap prestasi belajar matematika.

(34)

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut adalah:

1. Metode Test a. Pengertian Test

Pengertian test menurut Suharsimi Arikunto (1998: 139) adalah “Serentetan pernyataan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok”.

Sedangkan menurut M. Chabib Thoha (1991: 43) menyatakan bahwa “Test adalah alat pengukur berupa pertanyaan, perintah, dan petunjuk yang ditujukan kepada teste untuk mendapatkan respon sesuai dengan petunjuk tersebut”.

Dari kedua pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “Test adalah serentetan pertanyaan, perintah, latihan, atau alat pengukur yang berupa keterampilan, pengetahuan, inteligensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok yang ditujukan kepada teste untuk mendapatkan respon sesuai dengan petunjuk tersebut.

Test dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh dari menggunakan media belajar puzzle dalam proses pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas III SLB-C sebelum diberikan perlakuan yang menggunakan media belajar puzzle (pre test) dan setelah diberikan perlakuan yang menggunakan media belajar puzzle (post test).

b. Bentuk Test

Menurut Tuckman yang dikutip oleh Rochman Natawidjaja dan H.A. Moein Moesa (1992: 117) ada beberapa jenis test yaitu :

1. Menurut Jenisnya

a. Test tertulis yaitu test dilakukan dengan menggunakan lembaran kertas dan pensil. b. Test lisan yaitu dimana soal-soal dikemukakan secara lisan dan dijawab pula oleh

siswa-siswa secara lisan.

c. Test tindakan yaitu test yang digunakan untuk menguji kemampuan siswa-siswa dalam melakukan suatu atau sejumlah perbuatan. Misalnya siswa disuruh maju untuk menyelesaikan soal-soal di papan tulis.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan ragam pilihan ganda yang pelaksanaannya terbagi dalam dua tahapan yaitu :

a. Pre Test : test yang dilaksanakan sebelum siswa mengikuti tiap satu-satuan program kegiatan yang direncanakan. Test ini diberikan untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

b. Post Test : test yang dilaksanakan setelah siswa mengikuti program pengajaran yang diberikan. Test ini digunakan sebagai dasar pengukuran sejauhmana pengaruh dari penggunaan media belajar puzzle dapat tercapai.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan test obyektif dengan dasar pertimbangan bahwa dengan test obyektif dapat dievaluasi hasil yang lebih luas dan menyeluruh serta menghindari pengaruh subyektif penulis sendiri. Test ini diberikan kepada siswa SLB-C kelas IIID, adapun jumlah test yang diberikan terdiri pre test 30 soal, dan post test 30 soal.

Bentuk test yang diberikan adalah test yang soal atau pertanyaan yang tertutup (test obyektif) dengan ragam pilihan ganda. Tiap satu nomor dengan jawaban benar akan

(35)

mendapat nilai 1, dan jawaban yang salah mendapat nilai 0. Test ini digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar.

Menurut Sumadi Suryobroto (1990: 37) menyatakan bahwa test obyektif adalah “test yang dibuat sedemikian rupa sehingga test tersebut dapat dinilai secara obyektif, dinilai oleh siapapun akan menghasilkan nilai yang sama. Sedangkan menurut Chabib Thoha (1991: 55) mengungkapkan “test obyektif yaitu test tulis yang itemnya dapat dijawab dengan memilih jawaban yang sudah tersedia”.

Dari kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa test obyektif adalah “test tulis yang itemnya dapat dijawab dengan memilih jawaban yang sudah tersedia dan test tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga test tersebut dapat dinilai secara obyektif oleh siapapun akan menghasilkan nilai yang sama”.

Agar test dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai alat ukur dan memenuhi syarat test yang baik perlu dibuat dengan langkah sebagai berikut:

1. Membuat kisi-kisi test. Penyusunan test dengan acuan validitas isi berdasarkan ruang lingkup materi matematika SLB-C kelas IIID, tujuan instruksional umum dan khusus dengan memperhatikan aspek-aspek yang perlu dikembangkan salah satunya adalah aspek kognitif lengkap dengan kolom-kolom bahasan, indikator, diskriptod, dan nomor item. Adapun kisi-kisi soal dapat dilihat pada tabel kisi-kisi soal matematika.

2. Penulisan soal atau pertanyaan test. Setelah penyusunan kisi-kisi test, langkah berikutnya adalah penulisan soal atau pertanyaan test sesuai dengan kisi-kisi tersebut dan membuat kunci jawaban test.

3. Uji coba test atau try out test. Untuk menguji soal atau pertanyaan test apakah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang baik, maka perlu diujicobakan kepada kelompok lain. Di dalam try out ini penulis mengujicobakan kepada kelompok siswa kelas III SLB-C di Karanganyar. Hasil test pada ujicoba ini digunakan untuk menguji validitas, reliabilitas, dan analisis item.

4. Menggandakan soal atau pertanyaan test. Setelah soal test diujicobakan, diuji validitas, reliabilitas, dan analisis item selanjutnya item tertentu ada yang diperbaiki atau diganti, maka soal test siap digandakan untuk digunakan sebagai alat penelitian.

5. Soal atau pertanyaan test yang telah digandakan diberikan kepada sampel sebagai pre test untuk mengetahui kemampuan awal siswa.

6. Setelah diberi perlakuan, soal atau pertanyaan test tersebut diberikan kembali kepada siswa untuk dikerjakan sebagai post test guna mengetahui kemampuan siswa setelah perlakuan.

2. Menurut Kegunaannya

a. Untuk menunjang obyektivitas pengamatan yang dilakukan oleh guru. b. Untuk menimbulkan perilaku dalam kondisi yang relatif terkontrol. c. Untuk mengukur sampel kemampuan individu.

d. Untuk mengukur perilaku hasil belajar sesuai dengan tujuan pengajaran. e. Untuk mengungkap perilaku yang tidak tampak.

f. Untuk meramalkan perilaku yang akan ditampilkan oleh individu. g. Memberikan umpan balik dalam pengambilan keputusan tentang siswa.

Gambar

Gambar pola eksperimen di atas dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Histogram  Pre Test
Tabel 3. Persiapan Perhitungan Wilcoxon Test
Tabel 4. Tabel Kesimpulan Hasil Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Bauran komunikasi pemasaran (marketing communication mix) agar dapat mendorong efektifitas dan efisiensi komunikasi pemasaran terdiri dari delapan model komunikasi utama),

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi.. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

Jadi, secara umum informasi adalah data yang sudah diolah menjadi suatu bentuk lain yang lebih berguna yaitu pengetahuan atau keterangan yang ditujukan bagi

Semua obat sediaan/obat paten yang mengandung bahan obat tergolong Daftar G, pada bungkus luar oleh pabrik harus disebutkan bahwa obat itu hanya boleh diserahkan dengan resep

Jawablah pertanyaan dibawah ii dengan benar. 1) Buatlah kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya Siapa dan Bagaimana dari bacaan “Protes Kecil Para Utusan”. 2) Jelaskan apa

Metode ini menggunakan metode deskriptif karena peneliti bermaksud untuk menggambarkan secara apa adanya tentang penerapan metode pemberian tugas untuk pengembangan

[r]

Berbagai kritik atas atas kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat