• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu

Hessie (2009) menyatakan bahwa perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 37 tahun (1970-2006), pertumbuhan produksi beras di Indonesia sebesar 2.8 persen per tahun. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi beras 1994 sebesar 2.6 persen per tahun. Pertumbuhan produksi beras per tahun memang lebih tinggi dari konsumsi beras, namun rata-rata konsumsi beras per tahun masih lebih tinggi dari rata-rata produksi beras, yaitu sebesar 27,859.140 ton sedangkan rata-rata produksi beras per tahun hanya 26,725.780 ton. Oleh karena itu, secara umum produksi beras Indonesia selama kurun waktu 37 tahun terakhir ini masih belum dapat menutupi konsumsi beras, sehingga pemerintah masih mengimpor beras. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi yang dapat direpresentasikan

dari luas areal panen dan produktivitas padi adalah resiko harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi, dan tren waktu. Sementara faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan populasi.

Sunani (2009) menyimpulkan bahwa pada persamaan luas areal panen, variabel harga gabah di tingkat petani, luas areal irigasi, dan curah hujan daerah setempat berpengaruh positif sedangkan harga pupuk urea dan harga jagung sebagai komoditi kompetitif tanaman padi dalam penggunaan lahan berpengaruh negatif, sehingga harga riil jagung atau semua variabel berpengaruh nyata secara statistik. Pada persamaan produktivitas padi, variabel harga gabah di tingkat petani, luas areal panen, jumlah penggunaan pupuk urea, dan tren berpengaruh positif, sedangkan upah tenaga kerja berpengaruh negatif. Selain itu, harga riil gabah di tingkat petani, semua variabel berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi.

Pada persamaan konsumsi beras, variabel jumlah penduduk, PDRB, dan harga jagung sebagai komoditi substitusi berpengaruh positif sedangkan harga eceran beras berpengaruh negatif. Hanya jumlah penduduk yang berpengaruh nyata sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras. Pada persamaan harga eceran beras, variabel jumlah konsumsi beras, dan harga eceran beras t-1 berpengaruh positif sedangkan jumlah produksi beras berpengaruh negatif. Hanya variabel harga eceran beras t-1 yang berpengaruh nyata.

Pratiwi (2008) menuliskan beberapa kesimpulan, diantaranya kebijakan peningkatan produk beras diintervensi pemerintah melalui berbagai Program

Peningkatan Produksi Padi (P4) seperti pengelolaan Bimbingan Massal (Bimas) tahun 1965, Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1798, dan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) tahun 2007. Pelaksanaan program melalui dua paket teknologi, yaitu bantuan alat dan bahan serta pendekatan sosial. Kebijakan impor dilakukan melalui penetapan tarif spesifik, kuota tarif, dan red line untuk menekan jumlah ekspor beras. Kebijakan harga dilakukan dengan menetapkan HDPP untuk produsen, OPM, Raskin, dan menetapkan pagu harga untuk konsumen. Kebijakan distribusi menunjuk Bulog sebagai pengelola CBP sekaligus sebagai penyalur Raskin. Keempat kebijakan mengalami berbagai hambatan baik dari internal maupun eksternal sehingga belum mencapai sasaran yang diharapkan.

Kebijakan distribusi merupakan kebijakan paling efektif dibandingkan dengan ketiga kebijakan yang lainnya. Baiknya distribusi beras didukung oleh spesifiknya intervensi Bulog terhadap distribusi beras nasional. Bulog hanya menguasai kurang dari sepuluh persen pangsa pasar beras dan hanya digunakan sebagai CBP melalui pengadaan dalam negeri. Selain itu, juga didukung dengan gudang yang tersebar di seluruh Indonesia dan koordinasi dengan baik antar wilayah dan hak istimewa yang dimiliki Bulog sebagai State Trading Enterprise

(STE) stabilitator harga. Kebijakan harga dinilai tidak efektif karena kecenderungan pemerintah melindungi konsumen melalui ceilling price, OPM, dan Raskin justru mendistorsi harga pasar beras karena sarat subsidi. Kebijakan impor juga dinilai tidak efektif karena tarif impor justru memicu tingginya penyelundupan yang akibatnya merusak harga beras domestik. Selain itu juga tercermin dari perbedaan data jumlah impor antar instansi. Kebijakan produksi

dinilai sebagai kebijakan paling tidak efektif karena kegagalan pemerintah mengurangi konversi, mendiversifikasi pangan, dan produktivitas yang stagnan.

Prioritas strategi kebijakan pengembangan perberasan nasional adalah mengkombinasikan kebijakan protektif dengan kebijakan promotif untuk melindungi beras dalam negeri. Strategi kebijakan lainnya adalah mengembangkan diversifikasi berbasis pangan lokal, mengembangkan input dan teknologi melalui kemitraan, memperbaiki infrastruktur dan teknologi budidaya, memperbaiki mekanisme kredit, mengawasi kinerja dan transparansi Bulog serta melakukan reformasi agrarian.

Prioritas pertama dari program peningkatan produksi padi adalah membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait. Prioritas kedua adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal. Prioritas ketiga adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian dapat dikurangi.

Adriana (2007) menyimpulkan bahwa penawaran beras dunia bagi Indonesia semakin meningkat karena beras yang diperdagangkan di pasar dunia cenderung mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi beras dunia. Peningkatan tersebut karena didukung kebijakan perberasan negara-negara eksportir utama dalam memberikan insentif kepada petani untuk meningkatkan produksi beras secara berkelanjutan. Kebijakan perberasan Indonesia yang ditujukan melindungi produsen dalam pengembangannya saat ini telah berjalan cukup efektif dikarenakan telah ada penetapan tarif, pengaturan izin, dan tata laksana impor yang ditujukan untuk perlindungan produsen dan konsumen.

Penelitian Sitepu (2002) menunjukkan bahwa permintaan beras domestik dan dunia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tetapi responnya inelastis. Sedangkan terhadap jumlah penduduk dan jumlah produksi beras, responnya elastis. Menurut Sitepu (2002), kebijakan harga dasar akan menyebabkan net surplus akan bertambah, sedangkan kebijakan penghapusan harga input berdampak pada penurunan produksi, namun demikian total net surplus akan mengalami peningkatan. Pemberlakuan liberalisasi perdagangan (penghapusan peran Bulog dalam pengadaan dan penyaluran gabah atau beras serta penghapusan tarif) tidak efisien dan tidak tepat karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang diterima oleh produsen, sehingga net surplus akan berkurang.

Model ekonometrika dalam penelitian ini terdiri dari 7 persamaan struktural yaitu luas areal panen padi, produktivitas padi, harga riil gabah tingkat petani, jumlah impor beras, permintaan beras, harga riil beras Indonesia, dan harga riil beras impor Indonesia serta 3 persamaan identitas yaitu produksi padi, produksi beras, dan penawaran beras. Berdasarkan hasil analisis dari ketujuh simulasi yang diterapkan, diperoleh kebijakan paling layak untuk disarankan kepada pemerintah Indonesia sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui program pencapaian target pemenuhan beras dari kemampuan produksi sendiri (swasembada) dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi, yaitu kebijakan kenaikan harga riil pembelian pemerintah terhadap gabah dan beras. Kebijakan ini terbukti mampu mendorong peningkatan produksi padi/beras dan menambah pendapatan petani padi yang cukup besar melalui peningkatan harga riil gabah tingkat petani dan harga riil beras Indonesia.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Dokumen terkait