• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama. Masing-masing agama seperti Buddha, Konfosius, Yahudi, Kristen, dan juga Islam memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas. Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada. Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil (just war).14

Secara historis, sebenarnya istilah hukum humaniter merupakan perkembangan lebih lanjut dari istilah hukum perang (la ws of war) dan hukum konflik bersenjata (la ws of armed conflict). Hal tersebut terjadi akibat Perang Dunia I dan II yang mempengaruhi berbagai bidang, termasuk hukum perang yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan.

Hukum perang merupakan istilah yang pertama kali dikenal atau digunakan. Namun, Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)

yang telah menimbulkan korban jiwa (Perang Dunia I sekitar 38 juta orang dan Perang Dunia II sekitar 60 juta orang) maupun harta benda yang sangat besar, kemudian menimbulkan suasana antiperang yang meluas dan secara psikologis menyebabkan orang tidak lagi menyukai dan trauma dengan kata “perang”. Suasana antiperang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak mengiginkan adanya atau timbulnya perang, istilah perang sejauh mungkin dihindari dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai. Akibat dari pandangan ini adalah ditinggalkannya usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.15

Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni :

“International humanitarian law is a set of rules which seek, for humanitarian reasons, to limit the effects of armed conflict. It protects persons who are not or are no longer participating in the hostilities and restricts the means and methods of warfare. International humanitarian l aw is also known as the la w of war or the la w of armed conflict.”16

Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah kesatuan hukum yang terdiri dari konvensi Jenewa (Geneva Conventions) dan konvensi-konvensi-konvensi Hague (Hague Conventions). Konvensi Jenewa dirancang untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam pertempuran; orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dan penduduk sipil. Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban

15 KGPH. Haryomataram, Op Cit. Hlm 12

negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi alat yang digunakan untuk menyerang musuh.

Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut, hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :

1. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.17 Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum

Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :

a) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.

b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven

works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.

c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak danpenduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.

d) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik

2. Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran

Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran.18 Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum Humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.

Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi

18 Masjur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP Malang, 1995, hlm 16.

1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.19 Buku ini sangat menggugah

penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe

d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah

badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux

militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada saat medan pertempuran.

Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara

19 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4

yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku.20

Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari Interna tional Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.21 Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrumen-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan

20“Sebagaimana dimuat dari” https://m.facebook.com/notes/desiminasi-palang-merah/sejarah-singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah/148315315191118/, Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

21Hans Haug, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.

tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.

Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang menjadi mayoritas negara negara setelah tahun 1850.22 Pada dasarnya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil)23

Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya perdamaian antara pihak yang bertikai serta mambatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh pihak dalam suatu wilayah pertikaian.

22“Sebagaimana dimuat dari” http://ahrdirahmat.blogspot.com/2011/02/sejarah-lahirnya-hukum-humaniter-hampir.html, Diakses pada tanggal 21 Februari 2015

Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 (tiga) asas penting dalam Hukum Humaniter dan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional :

a) Asas Kepentingan Militer (Militery Necessity)

Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.

b) Asas Perikemanusiaan (Humanity)

Menurut asas ini pihak yang bersengketa wajib untuk memperhatikan perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c) Asas Kesatria (Chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang. Asas kesatriaan tergambar dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang

(declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war ).24

Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah: a) Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)

Prinsip kepentingan militer ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak terbatas.

b) Prinsip Kemanusiaan (Humanity)

Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang

c) Prinsip Kesatriaan (Chivalry)

Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat.

d) Prinsip Pembedaan

24“Sebagimana dimuat dari” http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.html, Diakses pada tanggal 24 Februari 2015

Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :

1) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.

2) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal).

3) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.

4) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil.

5) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

6) Rule of Engagement (ROE).25

Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara serta perlengkapan yang boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.

Hukum Den Haag (The Hague Laws) memiliki fokus pengaturan terhadap tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenalkan untuk dipakai selama perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konfrensi Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907. Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu

berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not

unlimitied”26

. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.

Konferensi Den Haag yang berlangsung dari 18 Mei-29 Juli 1899 pada akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut antara lain :

1. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.

25 Arlina Permanasari, Op cit, hlm 73 26 KGPH Hayomataram, Op cit, hlm 46

2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

3. Konvensi III mengenai adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Bahwa dalam konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi, tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut terdiri dari27:

1. Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum (peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia)

2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan

beracun dilarang.

B. Sumber Hukum Humaniter Internasional

Sebagai bagian dari hukum internasional publik, tentu saja aturan aturan HHI tidak harus hanya bersumber dari perjanjian perjanjian internasional saja. Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, norma Hukum Humaniter Internasional juga bersumber dari kebiasan hukum internasional dan prinsip-prinsip hukum yang diakuai oleh bangsa-bangsa.28 Tentu saja, perjanjian perjanjian internasional merupakan sumber yang paling mudah di temui dan bisa dipahami jika dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya. Disamping itu, keputusan organisasi internasional, sebagaimana halnya pendapat para ahli,

27 Ibid. Hlm 23

menjadi sumber untuk menemukan hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, maka telah diketahui bahwa Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum Den Haag merupakan ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konperensi Perdamaian di Den Haag (1899-1907) adalah29 :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut

Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata. 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan.

4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag.

5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di darat.

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan.

7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang. 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut. 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang. 10.Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang

di laut.

29 Arlina permanasari.Op cit. Hlm 24

11.Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut.

12.Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.

13.Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang di laut.

Konferensi Den Haag mengatur cara dan alat berperang telah membentuk persyaratan dalam Hukum Internasional bahwa pecahnya permusuhan harus didahului dengan pengumuman perang secara resmi.

Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah: 30

1. Geneva convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field ;

2. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea ;

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Pr isoner of War ;

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan :31

Dokumen terkait