• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI NEGARA NETRAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dalam Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

BAGUS FIRMAN WIBOWO

NIM: 110200014

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI NEGARA NETRAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH:

BAGUS FIRMAN WIBOWO NIM: 110200014

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

KETUA DEPATEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH Dr. Jelly Leviza, SH,M.Hum NIP. 19620713198803100 NIP. 1973080120021002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Segala syukur kehadirat Allah SWT atas segala kenikmatan yang tak

terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.Shalawat dan salam

kepada Rasulullah SAW. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai salah satu syarat guna

menyelesaikan program studi S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dengan memilih judul: Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Dalam

Perspektif Hukum Humaniter Internasional.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, karena sudah berusaha untuk

memberikan perubahan yang maksimalkan kepada fakultas dengan

meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan kampus

Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, Mhum selaku Pembatu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu para

mahasiswa dengan memberikan perubahan dan kemudahan dalam

(4)

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Suhadi, SH. MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan petunjuk serta arahan selama dalam proses penulisan skripsi

ini.

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, terima

kasih atas kesabarannya dalam memberi nasihat, Motivasi, dan bimbingan

yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Abdurrahman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama

perkuliahan.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

membimbing Penulis selama masa perkuliahan.

10.Bapak / Ibu Dosen Departemen Hukum Internasional yang telah banyak

membimbing, mengarahkan dan membantu selama masa perkuliahan.

11.Terima kasih Kepada Ayahanda Dr. Sismudjito, Msi dan Ibunda Rohaniah

SE Selaku Orang tua yang telah sabar mendidik dan membesarkan penulis

hingga saat ini, juga yang telah memberikan banyak sekali doa, dukungan,

(5)

12.Terima Kasih Kepada Adinda Luhur Budi Prayogo Selaku adik kandung

penulis, yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

13.Terima kasih kepada Bude Ramlah,Isah,Niah, yang selalu memberikan

doa dan memberikan semangat kepada penulis untuk penyelesaian skripsi

ini.

14.Sahabat-Sahabat penulis, Gennady Siahaan, Randa Morgan Tarigan,

Hadismar Anwar Lubis, Dedek Rahmadsyah, Fithri Chairunnisa (Cabel),

Annisa Lubis (Calub), Algrant Christie, Gunawan Sakti, Rahmad Rivai,

Ridho Rahmandha yang senantiasa membantu dan memberikan semangat

dan motivasi kepada penulis.

15.Seluruh anak-anak ILSA (International Law Student Association) yang

telah memberikan semangat serta motivasinya kepada penulis, semoga apa

yang kita inginkan tercapai dikemudian hari kelak.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga

skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat memberikan sumbangan ilmiah

bagi Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Medan, April 2015

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Meode Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional ... 15

B. Sumber Hukum Humaniter Internasional ... 33

C. Subjek dan Objek Hukum Humaniter Internasional ... 38

(7)

BAB III : KEDUDUKAN NEGARA NETRAL DALAM HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL

A. Pengertian dan Bentuk Negara ... 50

B. Sejarah Paham Kenetralan dan Dasar Kenetralan ... 57

C. Hak dan Kewajiaban Negara Netral Menurut Hukum

Humaniter ... 63

BAB IV : KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI NEGARA NETRAL

DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

A. Sejarah Swiss Sebagai Negara yang Berdaulat ... 71

B. Swiss Sebagai Salah Satu Negara Netral ... 87

C. Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Menurut Hukum

Internasional ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(8)

ABSTRAK Bagus Firman Wibowo

*

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH** Dr. Jelly Leviza , S.H, M.Hum***

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral,untuk itu ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif. Swiss adalah salah satu contoh negara netral, dulunya swiss adalah anggota Liga Bangsa Bangsa (LBB). Kemudian setelah lahirnya PBB tahun 1945, Swiss tidak ikut dalam organisasi dunia itu walaupun aktif dalam organisasi-organisasi bersifat teknis (badan-badan khusus PBB).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan dan ruang lingkup hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan negara netral hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum internasional.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif. artinya penelitian mengacu pada norma hukum Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan,dimana melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yang berkaitan dengan Kedudukan Swiss sebagai Negara Netral dalam perspektif Hukum Humaniter.

Negara Swiss adalah sebuah negara federal yang berbatasan dengan negara Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein dan Austria. Swiss dikenal sebagai negara netral namun tetap memiliki kerjasama internasional yang kuat.

Kata Kunci : Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Dosen Pembimbing I

(9)

ABSTRAK Bagus Firman Wibowo

*

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH** Dr. Jelly Leviza , S.H, M.Hum***

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral,untuk itu ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau netralitas positif. Swiss adalah salah satu contoh negara netral, dulunya swiss adalah anggota Liga Bangsa Bangsa (LBB). Kemudian setelah lahirnya PBB tahun 1945, Swiss tidak ikut dalam organisasi dunia itu walaupun aktif dalam organisasi-organisasi bersifat teknis (badan-badan khusus PBB).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan dan ruang lingkup hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan negara netral hukum humaniter internasional, bagaimana kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum internasional.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif. artinya penelitian mengacu pada norma hukum Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan,dimana melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yang berkaitan dengan Kedudukan Swiss sebagai Negara Netral dalam perspektif Hukum Humaniter.

Negara Swiss adalah sebuah negara federal yang berbatasan dengan negara Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein dan Austria. Swiss dikenal sebagai negara netral namun tetap memiliki kerjasama internasional yang kuat.

Kata Kunci : Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral

*) Mahasiswa Fakultas Hukum **) Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum

internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh

setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral,untuk itu ikut serta

mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi

di berbagai negara. Dalam hal ini, Hukum Humaniter Internasional merupakan

suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan

oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan

kerugian dan korban perang.1

Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan

keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum

humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju

untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan

pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu

keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari

negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara

di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum

humaniter internasional.

(11)

Keikutsertaan suatu negara, dalam mempraktikan Hukum Humaniter

Internasional dalam mengesahkan perjanjian di bidang humaniter internasional,

merupakan himbauan bagi negara-negara lainnya. Dengan kata lain, keikutsertaan

suatu negara damai merupakan dorongan bagi negara-negara lainnya, termasuk

bagi negara-negara yang potensial, dalam perang, untuk berbuat serupa dalam

menghormati dan mengikatkan diri dalam dengan perjanjian hukum humaniter

internasional. Artinya, makin banyak negara yang mengakui norma-norma hukum

humaniter internasional makin besar harapan akan penghormatan dan pelaksanaan

hukum humaniter internasional oleh negara yang sedang berperang maupun yang

tidak terlibat dalam peperangan.

Pertikaian bersenjata yang terjadi di wilayah sebuah negara disebut

pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional.

salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme

penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi

Jenewa 1949 yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Tanpa

adanya mekanisme tersebut dalam penegakan hukum maka hukum humaniter

akan bersifat lemah dan akan terjadi suatu pelanggaran dan kesalahan.2

Hubungan antar negara menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan.

Termasuk dengan berkembangnya diberbagai bidang kehidupan, namun dalam

perkembangannya hampir setiap bidang mempunyai nuansa internasional dan

disentuh oleh hukum internasional. Salah satu pembahasan dalam memaparkan

berbagai hubungan yang terjadi di dunia ini adalah hubungan internasional, yaitu

(12)

dengan mempelajari manusia dan kebudayaan yang berbagai masyarakat

diseluruh dunia. Hubungan internasional adalah kunci utama negara atau dasar–

dasar negara sebagai dari salah satu bagian dari interaksi negara-negara dalam

dunia internasional, dimana negara sebagai aktor utama. Dengan semakin

berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan dari setiap negara perlu

untuk mengetahui beberapa dalam melakukan hubungan internasional salah

satunya masalah netralitas, yurisdiksi dan imunitas dalam hubungan internasional.

Negara merupakan subjek utama dari hukum internasional, baik ditinjau

secara historis maupun secara faktual. Secara historis yang pertama-tama

merupakan subjek hukum internasional pada awal mula lahir dan pertumbuhan

hukum internasional adalah negara. Peranan negara lama-kelamaan juga semakin

dominan oleh karena bagian terbesardari hubungan hubungan internasional yang

dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional

dilakukan oleh negara-negara. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh

dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan

negara. Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan

dengan subjek hukum internasional lainnya adalah, negara memiliki apa yang

disebut "kedaulatan" atau sovereignity.3

Kedaulatan yang artinya “kekuasaan tertinggi", pada awalnya diartikan

sebagai suatu kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah-pecah dan

dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Akan tetapi

kini arti dan makna dari kedaulatan itu telah mengalami perubahan. Kedaulatan

(13)

tidak lagi dipandang sebagai seatu yang bulat dan utuh melainkan dalam

batas-batas tertentu sudah tuntuk pada pembatas-batasan-pembatas-batasan. Pembatas-batasan-

Pembatasan-pembatasan itu sendiri tidak lain adalah hukum internasional dan kedaulatan dari

sesama negara lainnya. Suatu negara yang berdaulat, tetap tunduk pada hukum

internasional serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara

lainnya. Manifestasi kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua sisi

yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa kekuasaan tertinggi yang

dimiliki suatu negara itu sendiri. Sedangkan sisi ekstem, brupa kekuasaan

tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain atau dengan

subjek-subjek hukum internasional lainnya. Wujud nyata dalam sisi intern

kedaulatan tersebut dapat di lihat pada bentuk negara maupun bentuk

pemerintahannya, di mana antara negara yang satu dengan negara yang lain bisa

saja berbeda-beda, ada negara yang berbentuk kesatuan, federasi atau bentuk

lainnya.4

Negara-negara netral adalah negara yang membatasi dirinya untuk tidak

melibatkan diri dalam berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat

internasional. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan

pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau

netralitas positif. Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari

kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas individu, benda dan

lain-lain dalam batas wilayahnya (teritorial daratan, laut dan udara) pada akhirnya

(14)

dapat berkembang/meluas melalui batas-batas negara (perluasan atas individu dan

benda-benda yang terletak dinegara lain).

Swiss adalah salah satu contoh negara netral, dulunya swiss adalah

anggota Liga Bangsa Bangsa (LBB). Kemudian setelah lahirnya PBB tahun 1945,

Swiss tidak ikut dalam organisasi dunia itu walaupun aktif dalam

organisasi-organisasi bersifat teknis (badan-badan khusus PBB). Pada tahun 1986, negara

tersebut mengadakan refrendum untuk mengetahui apakah rakyat Swiss ingin

tetap berada di luar atau ingin masuk PBB. Refrendum tersebut ditolak 75%

penduduk. Kemudian pada bulan Maret 2002, diselanggarakan lagi refrendum dan

akhirnya dengan 54,6% suara, Swiss memutuskan untuk menjadi anggota PBB

dan diterima organisasi tersebut pada tanggal 10 September 2002.5

Nama Swiss dalam bahasa Latin, Confoederatio Helvetica yang berarti

Konfederasi Helvetika, dipilih untuk menghindari pemilihan salah satu dari

keempat bahasa resmi Swiss (bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh). TLD

negaranya, Confederatio Helvetica juga diambil dari nama ini. Dilihat ke-26

kantonnya, 17 berbahasa Swiss-Jerman, 4 Swiss-Romande/Prancis, 1 Italia, 3

bilingual (Jerman-Prancis) dan 1 trilingual (Italia-Prancis-Romansh). Swiss

berbatasan dengan Jerman, Perancis, Italia, Austria dan kerajaan kecil

Liechtenstein. Masyarakat Swiss menuturkan banyak bahasa dan terdapat empat

bahasa resmi, iaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia dan bahasa Romansh yang

kurang populer.

(15)

Negara swiss sebagai negara netral memiliki beberapa dasar hukum dalam

tiga dokumen yuridis yaitu pernyataan bersama tanggal 26 Maret 1815 oleh

Inggris, Prancis, Portugal dalam Kongres Wina yang menjamin netralitas swiss,

pasal 84 Act The Vienna Conggress dan Pasal 345 Treaty Versailles yang

menegaskan bagi netralitas tersebut.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan pernyataan yang menunjukan adanya jarak

antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das

sollen dan das sein.6 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan

masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

1) Bagaimanakah Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional?

2) Bagaimakah Hak dan Kewajiban Negara Netral?

3) Bagaimanakah Kedudukan Swiss Sebagai Negara Netral Menurut Hukum

Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui ruang lingkup hukum humaniter internasional.

2) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi hak-hak dari negara netral

3) Untuk mengetahui kedudukan swiss sebagai negara netral menurut hukum

internasional.

(16)

Sedangkan Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah :

A. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang

mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu hukum khusu snya

dalam bidang hukum internasional terutama mengenai kedudukan swiss sebagai

negara netral dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional. Hal ini sebagai

wujud penjelmaan penerapan dalam belajar Hukum Internasional secara

akademis.

B. Manfaat Praktis

Menjadi suatu pedoman atau bahan refrensi pada perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pemabaca pada umumnya

serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah

wawasan mengenai kedudukan swiss sebagai negara netral dalam perspektif

Hukum Humaniter Intenasional.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul: “KEDUDUKAN SWISS SEBAGAI

NEGARA NETRAL DALAM PERPEKTIF HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL” merupakan tulisan yang masih baru yang berasal dari

pemikiran sendiri. judul ini sendiri belum pernah ditulis di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dan telah diperiksa di dalam data base arsip skripsi

(17)

belum pernah ditulis oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum USU, penulis

menyusun tulisan ini melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan

bimbingan dari dosen-dosen pembimbing dan berbagai pihak lain. Dengan

demikian penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi, baik secara

ilmiah ataupun secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Hukum Humaniter dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907

Dalam konvensi Den haag 1899 dan 1907 hukum humaniter adalah hukum

yang mengatur tentang alat (means) dan cara (methods) berperang. konvensi

tersebut merupakan hasil dari konvensi Perdamaian I (First Peace Conference)

yang di selanggarakan selama dua bulan (dibuka pada tanggal 20 mei 1899) dan

konvensi Perdamaian II (Second Peace Conference) yang di selanggarakan pada

tanggal 15 Juni-18 Oktober 1907, kedua konfrensi tersebut diadakan di Den Haag,

Belanda. Berkaiatan dengan konferesi Perdamaian I pada tahun 1899, Menteri

Luar Negeri Rusia, yaitu Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua

kepala perwaikalan negara yang diakreditasikan di St. Petersburg yang berisikan

ajakan Maharaja Rusia Untuk berusaha mempertahankan perdamaian dunia dan

mengurangi persenjataan.7

Hukum Humaniter Internasional sendiri membedakan dua jenis pertikaian

bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat

non-internasional. Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih

(18)

maka disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Tujuan utama dari

hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada

mereka yang menderita/menjadi korban perang, baik mereka yang secara

nyata/aktif turut dalam permusuhan (kombat), maupun mereka yang tidak turut

serta dalam permusuhan (penduduk sipil = civilian population).8

2. Negara netral menurut para ahli dan tujuan dari negara netral

Menurut Starke yang dimaksud dengan negara netral ialah suatu negara

yang kemerdekaan, politik dan wilayahnya dengan kokoh dijamin oleh suatu

perjanjian bersama negara-negara besar (the great power). Negara-negara ini tidak

akan pernah berperang melawan negara lain, kecuali untuk pertahanan diri, dan

tidak akan pernah mengadakan perjanjian alianis yang dapat menimbulkan

peperangan. Netralitas ini mempunyai beberapa arti dan haruslah dibedakan

pengertian netralitas tetap dan netralitas sewaktu-waktu, politik netral atau

netralitas positif. Netralitas tetap adalah negara yang netralitasnya dijamin dan

dilindungi oleh perjanjian-perjanjian internasional seperti Swiss dan Austria,

sedangkan netralitas sewaktu-waktu adalah sikap netral yang hanya berasal dari

kehendak negara itu sendiri (self imposed) yang sewaktu-waktu dapat

ditanggalkannya. Swedia misalnya, selalu mempunyai sikap netral dengan

menolak mengambil ikatan politik dengan blok kekuatan manapun. Tiap kali

terjadi perang, Swedia selalu menyatakan dirinya netral yaitu tidak memihak

kepada pihak-pihak yang berperang. Netralitas Swedia tidak diatur oleh

perjanjian-perjanjian internasional, tetapi dalam kebijaksanaan yang

(19)

waktu dapat saja ditanggalkannya. Dengan berakhir perang dingin, Swedia dan

juga Finlandia ikut menjadi anggota Uni Eropa semenjak 1 Januari 1985.9 Tujuan

netralisasi ini adalah untuk memelihara perdamaian dengan cara:

1) Melindungi negara-negara kecil dari negara-negara kuat yang berdekatan

dengannya.

2) Melindungi dan menjaga kemedekaan negara netral ini di antara

negara-negara kuat.

3. Swiss sebagai negara yang netral

Swiss adalah contoh negara netral yang tetap idiil, karena keadaan

geografisnya semenjak lahir telah mempraktikkan politik netral terhadap semua

sengketa yang terjadi di kawasannya. Negara swiss terdiri dari wilayah-wilayah

yang diambil dari Negara-negara tetangganya, yaitu Austria, perancis, dan Italia.

Bila dalam suatu sengketa, swiss memihak kepada salah satu Negara tetangga,

Negara tersebut akan menjadi pecah belah dan diduduki oleh negara-negara

tetangga lainnya. Negara-negara tetangga juga memerlukan swiss sebagai negara

yang berstatus netral untuk menjadi zona penyangga.10

Nama Swiss dalam bahasa Latin, Confoederatio Helvetica yang berarti

Konfederasi Helvetika, dipilih untuk menghindari pemilihan salah satu dari

keempat bahasa resmi Swiss (bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Romansh). TLD

negaranya, .ch, juga diambil dari nama ini. Dari ke-26 kantonnya11, 17 berbahasa

9“Sebagaimana dimuat dari” https://fitria97.wordpress.com/tugas-tugas/pkn/macam-macam-bentuk-negara/ Diakses pada tanggal 11 Februari 2015

10“Sebagaimana dimuat dari” http://lanlanrisdiana.blogspot.com/2013/03/makalah-netralitas-yurisdiksi-dan.html, Diakses Pada tanggal 5 Februari 2015

(20)

Swiss-Jerman, 4 Swiss-Romande/Prancis, 1 Italia, 3 bilingual (Jerman-Prancis)

dan 1 trilingual (Italia-Prancis-Romansh). Swiss berbatasan dengan Jerman,

Perancis, Italia, Austria dan kerajaan kecil Liechtenstein. Masyarakat Swiss

menuturkan banyak bahasa dan terdapat empat bahasa resmi, iaitu bahasa Jerman,

Perancis, Italia dan bahasa Romansh yang kurang populer.

F. Metode Penulisan

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu research, yaitu

yang berasal dari kata re (kembali) search (mencari). Pada dasarnya yang dicari

itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau

ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh

melalui penalaran dedukatif dan sistematis dalam penguraiannya.12

Metode penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian

ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir

yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena

penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif.

1. Jenis penelitian hukum

Bentuk penelitian yang digunakan adalah bersifat yuridis normatif.

artinya penelitian mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum

kepustakaan13, dimana melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library

(21)

research) yang berkaitan dengan Kedudukan Swiss sebagai Negara Netral dalam

perspektif Hukum Humaniter.

2. Sumber data

Materi dalam skripsi ini diambil dari sumber data sekunder. Adapun

sumber dan sekunder yang dimaksud adalah :

a) Bahan Hukum Primier

Bahan hukum primier merupakan suatu bahan hukum yang

mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas.

Bahan hukum dalam skripsi ini dari peraturan perundang-undangan

yang ada di Hukum Internasioal dan Konvensi Den Haag yang

terdapat di Hukum Humaniter Internasional.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang merupakan

sumber informasi yang berkaitan dengan skripsi ini yaitu seperti

buku-buku, makalah-makalah, surat kabar, karya tulis ilmiah, dan

beberapa sumber dari website & www.google.com, yang mengulas

tetntang kedudukan swiss sebagai negara netral.

c) Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan dari bahan hukum

primier dan bahan sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus

(22)

3. Teknik Pengumpulan Data

Secara umum, ada dua teknik pengumpulan data yaitu : Studi kepustakaan

(Library Research) adalah teknik pengumpulan data melalui buku-buku baik

karangan dalam negeri maupun karangan luar negeri, karangan ilmiah, media

massa, majalah, serta jurnal-jurnal atau artikel-artikel yang diperoleh dari situs

internet yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data dari kualitatif, yakni

data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat cenderung ada unsur

angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

sistematika penulisan secara runut dan teratur dengan menggunakan pola deduktif

yang dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan satu sama

lain, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Bab pertama ini merupakan bab yang berisikan pendahuluan yang

merupakan pengantar yang didalamnya terurai mengenai latar belakang tentang

judul skripsi ini, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang kemudian diakhiri

dengan sistematika penulisan

BAB II : Bab kedua ini akan membahas mengenai tinjauan umum tentang hukum

(23)

hukum humaniter itu seperti apa, dan bagaimana istilah hukum humaniter, subjek

dan objek hukum humaniter, dan sumber sumber hukum humaniter beserta

aliran-aliran ruang lingkup hukum humaniter..

BAB III : Bab ketiga ini akan membahas mengenai kedudukan negara netral

dalam pandangan hukum humaniter internasional. Kemudian massuk ke sub bab 3

yakni pengertian dan bentuk-bentuk negara, sejarah paham keneteralan suatu

negara dan yang terakhir tentang hak dan kewajiban negara netral menurut hukum

humaniter.

BAB IV : Bab empat ini akan membahas kedudukan swiss sebagai negara netral

dalam perspektif hukum humaniter internasional, kemudian mempunyai 3 sub

bab, sub bab tersebut yakni sejarah swiss sebagai negara yang berdaulat, swiss

sebagai salah satu negara netral, kedudukan swiss sebagai negara netral menurut

hukum internasional.

BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari

penulis dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran saran penulis

atas sebagaimana baiknya langkah-langkah yang diambil di dalam mengatasi

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum

Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari

Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya

dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang

terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama.

Masing-masing agama seperti Buddha, Konfosius, Yahudi, Kristen, dan juga Islam

memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas.

Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada.

Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil (just war).14

Secara historis, sebenarnya istilah hukum humaniter merupakan

perkembangan lebih lanjut dari istilah hukum perang (la ws of war) dan hukum

konflik bersenjata (la ws of armed conflict). Hal tersebut terjadi akibat Perang

Dunia I dan II yang mempengaruhi berbagai bidang, termasuk hukum perang

yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan.

Hukum perang merupakan istilah yang pertama kali dikenal atau

digunakan. Namun, Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)

(25)

yang telah menimbulkan korban jiwa (Perang Dunia I sekitar 38 juta orang dan

Perang Dunia II sekitar 60 juta orang) maupun harta benda yang sangat besar,

kemudian menimbulkan suasana antiperang yang meluas dan secara psikologis

menyebabkan orang tidak lagi menyukai dan trauma dengan kata “perang”.

Suasana antiperang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya

adalah hukum perang. Karena orang tidak mengiginkan adanya atau timbulnya

perang, istilah perang sejauh mungkin dihindari dengan sendirinya istilah hukum

perang juga tidak disukai. Akibat dari pandangan ini adalah ditinggalkannya

usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.15

Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni :

“International humanitarian law is a set of rules which seek, for

humanitarian reasons, to limit the effects of armed conflict. It protects

persons who are not or are no longer participating in the hostilities and

restricts the means and methods of warfare. International humanitarian l

aw is also known as the la w of war or the la w of armed conflict.”16

Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah kesatuan hukum yang

terdiri dari konvensi Jenewa (Geneva Conventions) dan

konvensi-konvensi-konvensi Hague (Hague Conventions). Konvensi Jenewa dirancang

untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam

pertempuran; orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dan

penduduk sipil. Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban

15 KGPH. Haryomataram, Op Cit. Hlm 12

(26)

negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi

alat yang digunakan untuk menyerang musuh.

Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum

internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter

internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat.

Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk

memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap upaya yang

dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut,

hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam

tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :

1. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan

dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak

akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka,

pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat

dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari

medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan

pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan

mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu

penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat

untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.17 Selain itu, dalam berbagai

peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum

(27)

Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh

Pictet, antara lain sebagai berikut :

a) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan

lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan

perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan

musuh dan perjanjian damai.

b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven

works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah

untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan

kepada musuh juga perintah untuk merawat yang sakit dan

menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan,

”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”.

Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.

c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan

cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki

didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani

pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah,

yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para

penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun

hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak

danpenduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati

mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang

(28)

d) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan

Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang

membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus

segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua

senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan

panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat

bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan

tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan

beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra

sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang

dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta

larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga

tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan

(prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang

kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan

diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui

adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik

2. Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran

dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya

(29)

Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat

190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39,

yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan

kemungkaran.18 Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad

pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang

dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum Humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju

ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara

nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan

sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di

medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini

terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam

prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan

momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan

ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di

Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang

perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh

dengan perlakuan yang sama.

Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka

dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi

(30)

1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry

Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran

antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un

Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit

yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.19 Buku ini sangat menggugah

penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe

d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah

panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah

badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux

militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini

mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak

resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada

saat medan pertempuran.

Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah

badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena

merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil

keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian

konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada

resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran

dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal

Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi

internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara

(31)

yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang

kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya

mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih

berlaku.20

Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di

Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali

Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang.

Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan

perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka dan personil kesehatan bersifat

netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan

tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan

bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum.

Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda

pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini

merupakan lambang dari Interna tional Committee of the Red Cross, yang

sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang

didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun

1863.21 Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for

Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang

mencantumkan instrumen-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua

hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan

20“Sebagaimana dimuat dari” https://m.facebook.com/notes/desiminasi-palang-merah/sejarah-singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah/148315315191118/, Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

(32)

tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan

rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan

terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu,

seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.

Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi

melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini

perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui

traktat-traktat yang menjadi mayoritas negara negara setelah tahun 1850.22 Pada

dasarnya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan

kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik

mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka

yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil)23

Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum

Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap

seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan.

Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap

pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum

humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya

perdamaian antara pihak yang bertikai serta mambatasi kekuasaan dari setiap

pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh pihak dalam suatu

wilayah pertikaian.

22“Sebagaimana dimuat dari” http://ahrdirahmat.blogspot.com/2011/02/sejarah-lahirnya-hukum-humaniter-hampir.html, Diakses pada tanggal 21 Februari 2015

(33)

Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 (tiga) asas

penting dalam Hukum Humaniter dan Prinsip dari Hukum Humaniter

Internasional :

a) Asas Kepentingan Militer (Militery Necessity)

Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata

(belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat

mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak

melanggar hukum perang.

b) Asas Perikemanusiaan (Humanity)

Menurut asas ini pihak yang bersengketa wajib untuk memperhatikan

perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang

dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak

perlu.

c) Asas Kesatria (Chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus

diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan

Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat

dilarang. Asas kesatriaan tergambar dalam hampir semua ketentuan

Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag

III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities).

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak

akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya

(34)

(declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang

bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war ).24

Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah:

a) Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)

Prinsip kepentingan militer ini ialah hak pihak yang berperang untuk

menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam

waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya

dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat

pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk

menaklukan musuh adalah tidak terbatas.

b) Prinsip Kemanusiaan (Humanity)

Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan

(violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang.

Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan

perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus

dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak

turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang

c) Prinsip Kesatriaan (Chivalry)

Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang

yang tidak terhormat.

d) Prinsip Pembedaan

24“Sebagimana dimuat dari” http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.html,

(35)

Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas

yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang

berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua

golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian).

Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam

permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan

penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip

pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan

sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek

kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran

lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application),

yaitu :

1) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan

antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan

penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.

2) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun

untuk membalas serangan (reprisal).

3) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan

terror terhadap penduduk sipil dilarang.

4) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan

yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau

setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak

(36)

5) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan

musuh.

6) Rule of Engagement (ROE).25

Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang

lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum

Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara serta perlengkapan yang

boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai

bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua

hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.

Hukum Den Haag (The Hague Laws) memiliki fokus pengaturan terhadap

tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenalkan untuk dipakai

selama perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konfrensi

Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907.

Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum

Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu

berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not

unlimitied”26

. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu

yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.

Konferensi Den Haag yang berlangsung dari 18 Mei-29 Juli 1899 pada

akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut

antara lain :

1. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.

(37)

2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

3. Konvensi III mengenai adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22

Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Bahwa dalam konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi,

tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut

terdiri dari27:

1. Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum (peluru yang bungkusnya

tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan

membesar dalam tubuh manusia)

2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon,

selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.

3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan

beracun dilarang.

B. Sumber Hukum Humaniter Internasional

Sebagai bagian dari hukum internasional publik, tentu saja aturan aturan

HHI tidak harus hanya bersumber dari perjanjian perjanjian internasional saja.

Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, norma Hukum Humaniter

Internasional juga bersumber dari kebiasan hukum internasional dan

prinsip-prinsip hukum yang diakuai oleh bangsa-bangsa.28 Tentu saja, perjanjian

perjanjian internasional merupakan sumber yang paling mudah di temui dan bisa

dipahami jika dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya. Disamping itu,

keputusan organisasi internasional, sebagaimana halnya pendapat para ahli,

27 Ibid. Hlm 23

(38)

menjadi sumber untuk menemukan hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana

telah disebutkan pada bagian sebelumnya, maka telah diketahui bahwa Hukum

Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum Den Haag merupakan ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur

mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh

konperensi Perdamaian di Den Haag (1899-1907) adalah29 :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.

2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut

Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata.

3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan.

4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi

dengan Peraturan Den Haag.

5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral

dalam Perang di darat.

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan

Peperangan.

7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.

8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut.

9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang.

10.Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang

di laut.

(39)

11.Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak

Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut.

12.Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.

13.Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang di

laut.

Konferensi Den Haag mengatur cara dan alat berperang telah membentuk

persyaratan dalam Hukum Internasional bahwa pecahnya permusuhan harus

didahului dengan pengumuman perang secara resmi.

Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, terdiri

atas beberapa perjanjian pokok perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi

Jenewa 1949, yang masing-masing adalah: 30

1. Geneva convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded

and Sick in Armed Forces in the Field ;

2. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded,

Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea ;

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Pr isoner of War ;

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time

of War.

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977

ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan :31

30 Ibid. Hlm 32

(40)

1. Protocl Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And

Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict

(Protocol I ) ; dan

2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And

Relating to the Protection of Victims of Non Internasional Armed Conflicts

(Protocol II).

Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari

Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai

penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya

perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam

dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat

dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban

pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang

korban pertikaian bersenjata non – internasional.32

Peranan konvensi Jenewa dalam sejarah pertumbuhan hukum perang dan

kedudukan konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang

yang meliputi lebih dari separuh dari hukum perang yang berlaku pada dewasa

ini, menunjukkan berapa meluas dan mendalamnya sudah asas perikemanusiaan

dalam hukum perang. Azas perikemanusiaan tidak saja menjiwai

konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang, tetapi pada hakekatnya

merupakan suatu asas pokok dari pada seluruh hukum perang. Hukum perang,

baik yang berwujud peraturan-peraturan Den Haag maupun yang berbentuk

(41)

peraturan-peraturan Jenewa hanya dapat kita pahami sungguh-sungguh apabila

kita dapat melihat sebagai perpaduan anatra asas-asas kepentingan militer dan

asas perikemanusiaan.33

Sebagaimana halnya telah diketahui umum, bahwa sejak konferensi

Perdamaian di Kota Den Haag pada tahun 1899 telah berhasil disepakati bersama

Konvensi-konvensi Haque, yang pada pokoknya berisi hukum dan kebiasaan

perang dan cara-cara berperang pada umumnya (conduct of war), Hukum Den

Haag ataupun Hukum Jenewa merupakan bagian dari Hukum Internasional

Humaniter, karena mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan

internasional bagi kombatan, bagi mereka yang berhenti bertempur (hors de

combat), pengaturan di wilayah pendudukan, perlindungan bagi penduduk sipil,

obyek-obyek sipil, barang-barang budaya (termasuk mesjid dan gereja)

lingkungan hidup dan sebagainya. Karena itu baik hukum Haque maupun Hukum

Jenewa mengatur tentang perang, tidak mengherankan apabila ada bagian-bagian

yang saling mengisi dan melengkapi, dan kedua hukum itu merupakan perpaduan

antara asas-asas kepentingan militer dan asas-asas perikemanusiaan. Kedua

hukum itu yang kemudian dikenal sebagai hukum perang. Oleh karena eratnya

hubungan Konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban Perang

dengan asas-asas perikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi

ini disebut juga sebagai konvensi-konvensi humaniter.

C. Subjek dan Objek Hukum Humaniter Internasional

(42)

Setiap sistem hukum mempunyai subyek hukum, secara umum pengertian

subyek hukum berarti segala sesuatu yang dianggap menjadi pendukung hak dan

kewajiban. Pada mulanya, yang dianggap sebagai subyek hukum nasional

hanyalah individu. Tetapi karena perkembangan zaman, maka badan hukum juga

dapat dianggap sebagai subyek hukum (rechtspersoon), karena memiliki hak dan

kewajiban tersendiri dalam kacamata hukum.34 Hukum Internasional juga

memiliki Subyek Hukum yaitu, sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak

dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dan

kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang

sebagai subjek hukum internasional. Menurut Ian Brownlie, Subjek Hukum

Internasional merupakan entitas yang mengundang hak-hak dan

kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan

hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional. Sedangkan Menurut

Starke, subjek hukum internasional terdiri atas negara, tahta suci, Palang Merah

Internasional, organisasi internasional, orang-perorangan (individu), pemberontak,

dan pihak-pihak yang bersengketa.

Hukum internasional memiliki Subjek hukum yakni berupa :

1. Negara

Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek

hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan

bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.

(43)

Dalam suatu negara federal, pengemban hak dan kewajiban subjek hukum

internasional adalah pemerintah federal. Tetapi, adakalanya konstitusi

federal memungkingkan negara bagian (state) mempunyai hak dan

kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh

pemerintah federal. Sebagai contoh, dalam sejarah ketatanegaraan USSR

(Union of Soviet Socialist Republics) dulu, Konstitusi USSR (dalam batas

tertentu) memberi kemungkinan kepada negara-negara bagian seperti

Byelo-Rusia dan Ukraina untuk mengadakan hubungan luar negeri sendiri

di samping USSR.

2. Takhta Suci

Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan) merupakan subjek

hukum internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu.

Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi

memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci

mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota negara, termasuk di

Jakarta.

3. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional (PMI), yang berkedudukan di Jenewa,

mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional.

Kedudukan Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum

internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, kini Palang

Merah Internasional diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki

(44)

lingkup terbatas. Dengan kata lain, Palang Merah Internasional bukan

merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang penuh.

4. Organisasi Internasional

Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai Subjek Hukum

internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian

perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara

Jerman dengan Inggris dan Perancis (bersama sekutunya masing-masing),

sudah terdapat Pasal-Pasal yang memungkinkan orang perseorangan

mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional.

Dengan demikian, sejak itu sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya

negara yang bisa menjadi pihak di depan suatu peradilan internasional.

5. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)

Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak

dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa

(belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip

dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang.

Namun, perkmbangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas.

Perkembangan baru tersebut adalah, adanya pengakuan terhadap gerakan

pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Pengakuan

terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional

tersebut merupakan perwujudan dari suatu pandangan baru. Pandangan

baru tersebut terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Mereka

(45)

hak asasi seperti: hak menentukan nasib sendiri hak secara bebas memilih

sistem ekonomi, politik, dan sosial mandiri dan hak menguasai sumber

kekayaan alam di wilayah yang didiaminya.35

Sebagai cabang hukum internasional, maka hukum humaniter juga

mempunyai subjek hukum yaitu berupa pemilik hak-hak dan kewajiban dalam

hukum humaniter internasional apakah yang terdapat dalam konvensi Jenewa,

untuk melindungi personil militer yang tiadak ikut mengambil bagian dalam

pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan, yakni

penduduk sipil sedangkan Konvensi Den Haag, menetapkan hak dan kewajiban

pihak-pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan

batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh.36

Berdasarkan Subjek Hukum Humaniter Internasional adalah memiliki

hak-hak dan kewajiban dalam hukum humaniter yakni :

a. Negara

b. Orang yang dilindungi dari perang seperti, anak-anak, wanita, orang sakit.

c. Pemberontak dan pihak yang bersengketa.

Pengaturan tentang suatu perang dalam Hukum Humaniter yang harus

diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar (just cause),

diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan

dengan cara-cara yang benar”. Hal tersebut dapat dipahami karena begitu besar

efek yang dirasakan akibat pecahnya konflik bersenjata ini, terutama ketika

35“Sebagaimana dimuat dari” http://www.zonasiswa.com/2014/11/subjek-hukum-internasional.html, Diakses pada tanggal 12 April 2015

(46)

Perang Dunia I yang ternyata memberikan kesengsaraan yang begitu luar biasa

bagi umat manusia. Berjuta-juta orang baik yang berasal dari kalangan militer

maupun dari kalangan sipil yang menjadi korban. Tidak hanya nyawa yang

menjadi korban bahkan kerugian yang berwujud harta kekayaan ini kiranya sulit

untuk dihitung.

Untuk itu konflik bersenjata harus diperhitungkan efek yang

ditimbulkannya, sekalipun konflik bersenjata ini harus terjadi, setidaknya konflik

bersenjata ini terjadi atas dasar (argumentasi) pada sebab yang layak dan benar

dari masing-masing pihak yang bertikai. Pihak yang bertikai ini juga harus

mematuhi hukum dan kebiasaan perang yang berlaku, karena mengingat bahwa

dampak yang sangat besar yang dirasakan akibat timbulnya konflik bersenjata ini.

Sebenarnya apa yang dapat dikategorikan sebagai pengertian konflik bersenjata

(perang) ini sampai sekarang belum begitu jelas. Sehingga pengertian secara

umum ketika mendengar istilah “penggunaan kekerasaan”37

dalam lingkup

hubungan antar negara maka yang akan tergambar dalam pemikiran adalah

pengertian “perang” itu sendiri baik bagi pihak yang telah memahami hukum dan

kebiasaan perang maupun pihak awam yang tidak mengerti hukum dan kebiasaan

perang. Sesungguhnya perang itu sendiri hanyalah merupakan salah satu

bentuk penggunaan kekerasan senjata dalam upaya penyelesaian suatu

permasalahan yang terjadi diantara para pihak. Oleh karena itu, sebagai pilihan

terakhir ketika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai

maka senjata akan menjadi pilihan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Metode Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu menekankan pada norma hukum, disamping itu juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku

penulisan hukum dengan mengkaji norma-norma hukum yang berlaku. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang. dapat dilakukan dengan cara meneliti bahan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat

Metode yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penulusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan tentang refugee atau pengungsi serta

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah doktrinal atau normatif yakni penelitian yang di lakukan dengan cara meneliti bahas pustaka atau data

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (legal research) yaitu dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (legal research) yaitu dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum