BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum
Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari
Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya
dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang
terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama.
Masing-masing agama seperti Buddha, Konfosius, Yahudi, Kristen, dan juga Islam
memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas.
Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada.
Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil (just war).14
Secara historis, sebenarnya istilah hukum humaniter merupakan
perkembangan lebih lanjut dari istilah hukum perang (laws of war) dan hukum
konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hal tersebut terjadi akibat Perang
Dunia I dan II yang mempengaruhi berbagai bidang, termasuk hukum perang
yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan.
Hukum perang merupakan istilah yang pertama kali dikenal atau
digunakan. Namun, Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)
yang telah menimbulkan korban jiwa (Perang Dunia I sekitar 38 juta orang dan
Perang Dunia II sekitar 60 juta orang) maupun harta benda yang sangat besar,
kemudian menimbulkan suasana antiperang yang meluas dan secara psikologis
menyebabkan orang tidak lagi menyukai dan trauma dengan kata “perang”.
Suasana antiperang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya
adalah hukum perang. Karena orang tidak mengiginkan adanya atau timbulnya
perang, istilah perang sejauh mungkin dihindari dengan sendirinya istilah hukum
perang juga tidak disukai. Akibat dari pandangan ini adalah ditinggalkannya
usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.15
Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni :
“International humanitarian law is a set of rules which seek, for
humanitarian reasons, to limit the effects of armed conflict. It protects
persons who are not or are no longer participating in the hostilities and
restricts the means and methods of warfare. International humanitarian l
aw is also known as the law of war or the law of armed conflict.”16
Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah kesatuan hukum yang
terdiri dari konvensi-konvensi Jenewa (Geneva Conventions) dan
konvensi-konvensi-konvensi Hague (Hague Conventions). Konvensi Jenewa dirancang
untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam
pertempuran; orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dan
penduduk sipil. Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban
15 KGPH. Haryomataram, Op Cit. Hlm 12
negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi
alat yang digunakan untuk menyerang musuh.
Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum
internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter
internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat.
Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk
memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap upaya yang
dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut,
hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam
tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :
1. Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan
dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak
akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka,
pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat
dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari
medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan
pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan
mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu
penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat
untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.17 Selain itu, dalam berbagai
peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum
Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh
Pictet, antara lain sebagai berikut :
a) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan
lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan
perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan
musuh dan perjanjian damai.
b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan
kepada musuh juga perintah untuk merawat yang sakit dan
menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan,
”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”.
Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.
c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan
cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki
didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani
pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah,
yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para
penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun
hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak
danpenduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati
mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang
d) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan
Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang
membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus
segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua
senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan
panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat
bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan
tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan
beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra
sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang
dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta
larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga
tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan
(prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang
kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan
diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui
adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik
2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya
Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat
190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39,
yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan
kemungkaran.18 Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad
pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang
dan penggunaan senjata-senjata tertentu.
3. Zaman Modern
Hukum Humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju
ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara
nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan
sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di
medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini
terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam
prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan
momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan
ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di
Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang
perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh
dengan perlakuan yang sama.
Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka
dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi
1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry
Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran
antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un
Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit
yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.19 Buku ini sangat menggugah
penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah
panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah
badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux
militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak
resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada
saat medan pertempuran.
Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah
badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena
merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil
keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian
konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada
resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran
dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal
Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi
internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara
yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang
kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya
mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih
berlaku.20
Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di
Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali
Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang.
Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan
perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka dan personil kesehatan bersifat
netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan
bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum.
Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda
pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini
merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang
sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang
didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun
1863.21 Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for
Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang
mencantumkan instrumen-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua
hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan
20“Sebagaimana dimuat dari” https://m.facebook.com/notes/desiminasi-palang-merah/sejarah-singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah/148315315191118/, Diakses pada tanggal 11 Maret 2015
tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan
rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan
terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu,
seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi
melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini
perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui
traktat-traktat yang menjadi mayoritas negara negara setelah tahun 1850.22 Pada
dasarnya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan
kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik
mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka
yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil)23
Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum
Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap
seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan.
Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap
pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum
humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya
perdamaian antara pihak yang bertikai serta mambatasi kekuasaan dari setiap
pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh pihak dalam suatu
wilayah pertikaian.
22“Sebagaimana dimuat dari” http://ahrdirahmat.blogspot.com/2011/02/sejarah-lahirnya-hukum-humaniter-hampir.html, Diakses pada tanggal 21 Februari 2015
Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 (tiga) asas
penting dalam Hukum Humaniter dan Prinsip dari Hukum Humaniter
Internasional :
a) Asas Kepentingan Militer (Militery Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata
(belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat
mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak
melanggar hukum perang.
b) Asas Perikemanusiaan (Humanity)
Menurut asas ini pihak yang bersengketa wajib untuk memperhatikan
perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang
dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak
perlu.
c) Asas Kesatria (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan
Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat
dilarang. Asas kesatriaan tergambar dalam hampir semua ketentuan
Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag
III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities).
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak
akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya
(declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang
bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).24
Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah:
a) Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)
Prinsip kepentingan militer ini ialah hak pihak yang berperang untuk
menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya
dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat
pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk
menaklukan musuh adalah tidak terbatas.
b) Prinsip Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan
(violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang.
Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan
perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus
dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak
turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang
c) Prinsip Kesatriaan (Chivalry)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang
yang tidak terhormat.
d) Prinsip Pembedaan
24“Sebagimana dimuat dari” http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.html,
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas
yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang
berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua
golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian).
Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam
permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan
penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip
pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan
sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek
kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran
lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application),
yaitu :
1) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan
antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan
penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
2) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun
untuk membalas serangan (reprisal).
3) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan
terror terhadap penduduk sipil dilarang.
4) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan
yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau
setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak
5) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan
musuh.
6) Rule of Engagement (ROE).25
Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang
lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara serta perlengkapan yang
boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai
bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua
hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.
Hukum Den Haag (The Hague Laws) memiliki fokus pengaturan terhadap
tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenalkan untuk dipakai
selama perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konfrensi
Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907.
Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not
unlimitied”26. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.
Konferensi Den Haag yang berlangsung dari 18 Mei-29 Juli 1899 pada
akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut
antara lain :
1. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.
2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3. Konvensi III mengenai adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22
Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
Bahwa dalam konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi,
tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut
terdiri dari27:
1. Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum (peluru yang bungkusnya
tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan
membesar dalam tubuh manusia)
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon,
selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan
beracun dilarang.
B. Sumber Hukum Humaniter Internasional
Sebagai bagian dari hukum internasional publik, tentu saja aturan aturan
HHI tidak harus hanya bersumber dari perjanjian perjanjian internasional saja.
Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, norma Hukum Humaniter
Internasional juga bersumber dari kebiasan hukum internasional dan
prinsip-prinsip hukum yang diakuai oleh bangsa-bangsa.28 Tentu saja, perjanjian
perjanjian internasional merupakan sumber yang paling mudah di temui dan bisa
dipahami jika dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya. Disamping itu,
keputusan organisasi internasional, sebagaimana halnya pendapat para ahli,
27 Ibid. Hlm 23
menjadi sumber untuk menemukan hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana
telah disebutkan pada bagian sebelumnya, maka telah diketahui bahwa Hukum
Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.
Hukum Den Haag merupakan ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur
mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh
konperensi Perdamaian di Den Haag (1899-1907) adalah29 :
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata.
3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan.
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi
dengan Peraturan Den Haag.
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral
dalam Perang di darat.
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan
Peperangan.
7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut.
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang.
10.Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang
di laut.
11.Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut.
12.Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
13.Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang di
laut.
Konferensi Den Haag mengatur cara dan alat berperang telah membentuk
persyaratan dalam Hukum Internasional bahwa pecahnya permusuhan harus
didahului dengan pengumuman perang secara resmi.
Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, terdiri
atas beberapa perjanjian pokok perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi
Jenewa 1949, yang masing-masing adalah: 30
1. Geneva convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded
and Sick in Armed Forces in the Field ;
2. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded,
Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea ;
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of War ;
4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time
of War.
Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977
ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan :31
30 Ibid. Hlm 32
1. Protocl Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And
Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict
(Protocol I ) ; dan
2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And
Relating to the Protection of Victims of Non Internasional Armed Conflicts
(Protocol II).
Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari
Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai
penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya
perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam
dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat
dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban
pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang
korban pertikaian bersenjata non – internasional.32
Peranan konvensi Jenewa dalam sejarah pertumbuhan hukum perang dan
kedudukan konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang
yang meliputi lebih dari separuh dari hukum perang yang berlaku pada dewasa
ini, menunjukkan berapa meluas dan mendalamnya sudah asas perikemanusiaan
dalam hukum perang. Azas perikemanusiaan tidak saja menjiwai
konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang, tetapi pada hakekatnya
merupakan suatu asas pokok dari pada seluruh hukum perang. Hukum perang,
baik yang berwujud peraturan-peraturan Den Haag maupun yang berbentuk
peraturan-peraturan Jenewa hanya dapat kita pahami sungguh-sungguh apabila
kita dapat melihat sebagai perpaduan anatra asas-asas kepentingan militer dan
asas perikemanusiaan.33
Sebagaimana halnya telah diketahui umum, bahwa sejak konferensi
Perdamaian di Kota Den Haag pada tahun 1899 telah berhasil disepakati bersama
Konvensi-konvensi Haque, yang pada pokoknya berisi hukum dan kebiasaan
perang dan cara-cara berperang pada umumnya (conduct of war), Hukum Den
Haag ataupun Hukum Jenewa merupakan bagian dari Hukum Internasional
Humaniter, karena mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan
internasional bagi kombatan, bagi mereka yang berhenti bertempur (hors de
combat), pengaturan di wilayah pendudukan, perlindungan bagi penduduk sipil,
obyek-obyek sipil, barang-barang budaya (termasuk mesjid dan gereja)
lingkungan hidup dan sebagainya. Karena itu baik hukum Haque maupun Hukum
Jenewa mengatur tentang perang, tidak mengherankan apabila ada bagian-bagian
yang saling mengisi dan melengkapi, dan kedua hukum itu merupakan perpaduan
antara asas-asas kepentingan militer dan asas-asas perikemanusiaan. Kedua
hukum itu yang kemudian dikenal sebagai hukum perang. Oleh karena eratnya
hubungan Konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban Perang
dengan asas-asas perikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi
ini disebut juga sebagai konvensi-konvensi humaniter.
C. Subjek dan Objek Hukum Humaniter Internasional
Setiap sistem hukum mempunyai subyek hukum, secara umum pengertian
subyek hukum berarti segala sesuatu yang dianggap menjadi pendukung hak dan
kewajiban. Pada mulanya, yang dianggap sebagai subyek hukum nasional
hanyalah individu. Tetapi karena perkembangan zaman, maka badan hukum juga
dapat dianggap sebagai subyek hukum (rechtspersoon), karena memiliki hak dan
kewajiban tersendiri dalam kacamata hukum.34 Hukum Internasional juga
memiliki Subyek Hukum yaitu, sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak
dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dan
kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang
sebagai subjek hukum internasional. Menurut Ian Brownlie, Subjek Hukum
Internasional merupakan entitas yang mengundang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan
hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional. Sedangkan Menurut
Starke, subjek hukum internasional terdiri atas negara, tahta suci, Palang Merah
Internasional, organisasi internasional, orang-perorangan (individu), pemberontak,
dan pihak-pihak yang bersengketa.
Hukum internasional memiliki Subjek hukum yakni berupa :
1. Negara
Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek
hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan
bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.
Dalam suatu negara federal, pengemban hak dan kewajiban subjek hukum
internasional adalah pemerintah federal. Tetapi, adakalanya konstitusi
federal memungkingkan negara bagian (state) mempunyai hak dan
kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah federal. Sebagai contoh, dalam sejarah ketatanegaraan USSR
(Union of Soviet Socialist Republics) dulu, Konstitusi USSR (dalam batas
tertentu) memberi kemungkinan kepada negara-negara bagian seperti
Byelo-Rusia dan Ukraina untuk mengadakan hubungan luar negeri sendiri
di samping USSR.
2. Takhta Suci
Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan) merupakan subjek
hukum internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu.
Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi
memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci
mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota negara, termasuk di
Jakarta.
3. Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional (PMI), yang berkedudukan di Jenewa,
mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional.
Kedudukan Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum
internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, kini Palang
Merah Internasional diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki
lingkup terbatas. Dengan kata lain, Palang Merah Internasional bukan
merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang penuh.
4. Organisasi Internasional
Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai Subjek Hukum
internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian
perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara
Jerman dengan Inggris dan Perancis (bersama sekutunya masing-masing),
sudah terdapat Pasal-Pasal yang memungkinkan orang perseorangan
mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional.
Dengan demikian, sejak itu sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya
negara yang bisa menjadi pihak di depan suatu peradilan internasional.
5. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)
Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak
dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa
(belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip
dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang.
Namun, perkmbangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas.
Perkembangan baru tersebut adalah, adanya pengakuan terhadap gerakan
pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Pengakuan
terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional
tersebut merupakan perwujudan dari suatu pandangan baru. Pandangan
baru tersebut terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Mereka
hak asasi seperti: hak menentukan nasib sendiri hak secara bebas memilih
sistem ekonomi, politik, dan sosial mandiri dan hak menguasai sumber
kekayaan alam di wilayah yang didiaminya.35
Sebagai cabang hukum internasional, maka hukum humaniter juga
mempunyai subjek hukum yaitu berupa pemilik hak-hak dan kewajiban dalam
hukum humaniter internasional apakah yang terdapat dalam konvensi Jenewa,
untuk melindungi personil militer yang tiadak ikut mengambil bagian dalam
pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan, yakni
penduduk sipil sedangkan Konvensi Den Haag, menetapkan hak dan kewajiban
pihak-pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan
batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh.36
Berdasarkan Subjek Hukum Humaniter Internasional adalah memiliki
hak-hak dan kewajiban dalam hukum humaniter yakni :
a. Negara
b. Orang yang dilindungi dari perang seperti, anak-anak, wanita, orang sakit.
c. Pemberontak dan pihak yang bersengketa.
Pengaturan tentang suatu perang dalam Hukum Humaniter yang harus
diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar (just cause),
diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan
dengan cara-cara yang benar”. Hal tersebut dapat dipahami karena begitu besar
efek yang dirasakan akibat pecahnya konflik bersenjata ini, terutama ketika
35“Sebagaimana dimuat dari” http://www.zonasiswa.com/2014/11/subjek-hukum-internasional.html, Diakses pada tanggal 12 April 2015
Perang Dunia I yang ternyata memberikan kesengsaraan yang begitu luar biasa
bagi umat manusia. Berjuta-juta orang baik yang berasal dari kalangan militer
maupun dari kalangan sipil yang menjadi korban. Tidak hanya nyawa yang
menjadi korban bahkan kerugian yang berwujud harta kekayaan ini kiranya sulit
untuk dihitung.
Untuk itu konflik bersenjata harus diperhitungkan efek yang
ditimbulkannya, sekalipun konflik bersenjata ini harus terjadi, setidaknya konflik
bersenjata ini terjadi atas dasar (argumentasi) pada sebab yang layak dan benar
dari masing-masing pihak yang bertikai. Pihak yang bertikai ini juga harus
mematuhi hukum dan kebiasaan perang yang berlaku, karena mengingat bahwa
dampak yang sangat besar yang dirasakan akibat timbulnya konflik bersenjata ini.
Sebenarnya apa yang dapat dikategorikan sebagai pengertian konflik bersenjata
(perang) ini sampai sekarang belum begitu jelas. Sehingga pengertian secara
umum ketika mendengar istilah “penggunaan kekerasaan”37
dalam lingkup
hubungan antar negara maka yang akan tergambar dalam pemikiran adalah
pengertian “perang” itu sendiri baik bagi pihak yang telah memahami hukum dan
kebiasaan perang maupun pihak awam yang tidak mengerti hukum dan kebiasaan
perang. Sesungguhnya perang itu sendiri hanyalah merupakan salah satu
bentuk penggunaan kekerasan senjata dalam upaya penyelesaian suatu
permasalahan yang terjadi diantara para pihak. Oleh karena itu, sebagai pilihan
terakhir ketika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai
maka senjata akan menjadi pilihan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Selanjutnya sistem hukum juga mempunyai obyek hukum yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia/badan hukum) yang dapat
menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum, oleh
karenanya dapat dikuasai oleh subyek hukum.38 Obyek hukum ini berupa benda.
Berikut penjelasan benda sebagai obyek hukum, menurut pasal 503, 504 dan 505
KUHperdata, dan sehubungan dengan perundang-undangan lainnya, benda atau
zaak dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu berupa :
1) Benda bertubuh atau benda berwujud (lichamelijke zaken), benda ini
bersifat diraba dirasakan dengan panca indra.
2) Benda tak bertubuh atau benda tak berujud (onlichamelijke zaken), benda
ini hanya dapat dirasakan dengan panca indra saja, tidak dapat dilihat dan
dirasakan. Tidak dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan.39
Kemudian Manusia yang pernah sebagai Obyek hukum pada masa
sekarang ini perbudakan sudah tidak ada lagi, perbudakan dianggap suatu
perbuatan yang bertentangan dengan kemanuisaan dan tiap-tiap negara modern ini
tidak membenarkan adanya perbudakan. Perbudakan ini sendiri bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia seperti yang telah dicetuskan tanggal 10 Desember
1948 oleh lembaga dunia PBB dalam Universal Declaration of Human Right.
Lalu selain membahas perbudakan, manusia dianggap sebagai benda yang
dijualbelikan, disewakan, bahkan ada pula di sembelih seperti binatang.40
Hukum internasional juga memiliki obyek hukum yaitu pokok-pokok
permasalahan yang dibicarakan atau dibahas dalam hukum internasional. Namun,
38 R. Soeroso, Op cit, hlm 246 39 Ibid, hlm248
kawasan geografis suatu Negara (difined territory) juga dapat dikatakan sebagai
objek hukum internasional dikarenakan sifat objek hukum internasional hanya
biasa dikenai kewajiban tanpa biasa menuntut haknya. Contoh-contoh objek
hukum internasional adalah.
a) Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
Hukum Internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum
internasional yang ditunjukkan untuk menjamin perlindungan terhadap
pribadi (individu)
b) Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional adalah semua norma hukum internasional
yang bertujuan memberi perlindungan pada saat timbul konflik bersenjata
bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur yang tidak bias lagi
menjalankan tugasnya lagi, atau orang-orang yang tidak terlibat dalam
pertempuran
c) Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan (massal)
Istilah ini dikeluakan oleh pengadilan Nurenberg untuk perbuatan kejam
Nazi Jerman terhadap warga negaranya sendiri. Namun, dewasa ini
genosida (pembunuhan massal dilatar belakangi kebencian terhadap etnis,
suku tertentu) juga termasuk dalam hukum ini.41
Objek hukum internasional dapat berubah disebabkan dunia global dan
internasional yang bersifat dinamis (selalu berubah). Sehingga tindak lanjut dari
hukum internasional itu sendiri akan berubah mengikuti arus perkembangan
zaman dan permasalahan baru yang akan timbul dalam hubungan internasional
kedepannya. Seperti permasalahan kasus perompakan kapal-kapal laut di Somalia.
Kasus ini menyebabkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan
resolusi agar kejadian ini tidak terulang kembali.42
Sebagai cabang Hukum Internasional, maka Hukum humaniter juga
mempunyai Obyek hukum berupa, benda benda yang terkait dengan kekayaan
budaya (cultural property). Obyek hukum humaniter ini bertujuan untuk
melindungi benda benda kekayaan budaya dan melindungi semua penduduk sipil
dengan memfasilitasi berupa medis dan ambulances. Hukum humaniter
melindungi cultural property atas perbuatan-perbuatan berupa :
1) Perusakan (destruction)
2) Pencurian (theft)
3) Pengambil alihan (requisition)
4) Penyitaan (confiscation)
5) Tindak balasan (acts of reprisal)
Kemudian untuk sebagai penambahan penjelasan penggunaan cultural
property untuk mendukung aksi militer tidak dibenarkan/dilarang (Pasal 53
Additional Protocol I dan Pasal 16 Additional Protocol II).43
Konvensi Hague 1954 ini mempunyai suatu prinsip dasar yang menjadi
dasar ideologi perlindungan benda budaya dunia. Prinsip tersebut terdapat dalam
pembukaan konvensinya: “Being Convinced that damage to cultural property
belonging to any people whatsoever means damage to cultural heritage of all
42“Sebagaimana dimuat dari” https://younkhendra.wordpress.com/2009/01/26/tugas-mt-kul-hukum-internasional/, Diakses pada tanggal 14 April 2015
mankind, since each people makes its contribution to the culture of the world”.
Perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini terbagi menjadi General
Protection, dan Special Protection. Perlindungan Umum atau General Protection
diberikan pada setiap properti budaya yang ada dalam suatu area konflik
bersenjata. Militer dilarang menggunakan properti tersebut kecuali ada
kepentingan militer yang memaksa. Perlindungan Khusus diberikan bagi properti
budaya yang kemudian telah didaftarkan dalam suatu International Register of
Cultural Property under Special Protection, maka pengecualian untuk boleh
berlakunya peran militer dalam properti budaya hanyalah dengan alasan
”unavoidable military necessity (kepentingan militer yang tak terhindarkan)”.
Peraturan ini dengan jelas menunjukkan kelemahan Konvensi ini, karena ternyata
properti budaya pun masih dapat digunakan untuk kepentingan militer, walaupun
kelebihannya adalah dengan adanya peraturan tersebut, bolehnya digunakan suatu
properti budaya adalah hanya izin kepada komando tertinggi, sehingga perusakan
yang terjadi mampu tereduksi.44
Pemahaman mengenai benda budaya dari aspek yuridis, merupakan dari
ketentuan Hukum Humaniter yakni Protokol Tambahan I tahun 1977. Ketentuan
Pasal 52 ayat (1) Protokol I menyatakan bahwa ‘objek sipil adalah semua objek
yang bukan objek militer’. Norma ini kelihatannya sangat simpel dan mudah
dimengerti.
Akan tetapi ketentuan dalam ayat (1) ini kemudian masih diperjelas
kembali dengan ketentuan ayat (2)-nya. Ayat (2) menambahkan bahwa yang
dimaksud dengan sasaran militer adalah semua objek yang karena sifatnya,
lokasinya, tujuan atau kegunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif
pada operasi militer dan apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik
keseluruhannya maupun sebagian, dikuasai atau dinetralkan, dalam situasi yang
terjadi pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang
pasti. Maka, bahwa suatu objek sipil dapat pula dianggap sebagai sasaran militer
apabila telah memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam Pasal 52 ayat (2)
ini. Dengan demikian, suatu objek sipil dapat pula dianggap sebagai objek militer
bila karena sifat/lokasinya, objek tersebut dapat memberikan kontribusi yang
efektif dalam operasi militer, atau bila objek tersebut dihancurkan, dikuasai,
dinetralisasikan baik sebagian maupun seluruhnya, maka hal itu dapat
memberikan keuntungan militer yang pasti. Hal ini berarti suatu objek sipil, dapat
dimiliterkan, baik itu dengan dijadikan sebagai markas atau tempat
persembunyian ataupun dijadikan tempat penyimpanan amunisi dan sebagainya.45
Jika hal ini dilakukan, maka sudah barang tentu objek tersebut bukan lagi
merupakan objek sipil, karena telah kehilangan fungsi-fungsi sipilnya sebagai
objek sipil namun objek tersebut akan dianggap sebagai objek militer karena
fungsinya telah beralih untuk membantu tujuan-tujuan yang bersifat militer.
Dengan demikian, objek tersebut dapat dijadikan sasaran serangan walaupun dari
segi penampilannya merupakan objek sipil. Salah satu contoh benda budaya yang
mendapat perlindungan khusus yaitu Candi Borobudur, Candi Sewu, Masjid
Istiqlal, Monas, dll. Dalam pasal 11 ayat (1-3) Konvensi Den Haag 1954
dijelaskan bahwa :
1) Jika suatu negara pihak melakukan suatu perlanggaran terhadap Pasal 9
(Konvensi Den Haag 1954), berkenaan dengan benda budaya yang berada
dalam perlindungan khusus, maka pihak musuh selama pelanggaran
tersebut terjadi, harus dibebaskan dari kewajiban untuk menjamin imunitas
benda budaya yang bersangkutan. Bagaimanapun, selama memungkinkan,
pihak musuh terlebih dahulu harus meminta agar pelanggaran tersebut
dihentikan.
2) Imunitas benda budaya yang berada dalam perlindungan khusus dapat
dicabut hanya dalam kasus-kasus yang sangat eksepsional (khusus) dari
kepentingan militer yang mutlak, dan hanya hanya berlaku pada saat
diperlukan saja. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang
Komandan yang memimpin suatu pasukan setingkat Divisi atau yang lebih
tinggi apabila situasi mengijinkan, maka Pihak musuh harus diberitahukan
sebelumnya mengenai penarikan imunitas benda budaya tersebut.
3) Pihak yang menarik imunitas tersebut, sesegera mungkin harus
menginformasikan Komisioner Jendral untuk Benda-benda Budaya
sebagaimana tercantum dalam Regulasi, secara tertulis dan dengan
menyebutkan alasannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 tersebut, maka telah jelas bahwa suatu
benda budaya dapat dicabut imunitasnya sebagai benda budaya, apabila lokasi,
militer sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 52 ayat (2) Protokol Tambahan I
1977. Apabila benda tersebut berada dalam perlindungan khusus, maka pelepasan
imunitas tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Komandan yang
mempimpin pasukan setingkat Divisi (pangkat minimal Mayor Jendral), dan
pelepasan imunitas benda budaya tersebut harus memenuhi persyaratan
sebagaimana Pasal 11 Konvensi Den Haag 1954.46
D. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional
Ruang lingkup Hukum Humaniter mempunyai beberapa aliran,berikut
aliran dari ruang lingkup hukum humaniter internasional :
a) Aliran yang sangat luas
Jean pictet berpendapat bahwa ruang lingkup aliran sangat luas ialah:
1) Hukum perang, yang terbagi jadi 2 bagian yakni:
1. Hukum the Hague
2. Hukum Jenewa
2) Hak-hak asasi manusia (human right)
International Humanitarian law kemudian diberi definisi sebagai
berikut :
International Humanitarian Law, in the wide sinse, is constituted
by all the international legal provisions, whether written or
customary, ensuring respect for the individual and his well being.
Selanjutnya, Pictet juga memberikan definisi law of war, law of the
Hague, law of Geneva dan legislation of human right. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Pictet menggunakan istilah
hukum perang dalam arti yang sebenarnya (the law of war properly so
called),yaitu hukum the Hague. Selanjutnya Pictet menamakan hukum jenewa
sebagai hukum humaniter yang sebenarnya (humanitarian law properly
so-called). Adapun yang dimaksudkan dengan legislation of human right adalah
sebagai berikut:
“Legislation of human right has as object to guarantee at all time for individuals the enjoyment of fundamental right and liberties and to
preserve them from social evils.”
Seterusnya Pictet menjelaskan lima fundamental principles dan tiga
common principles.
Pendapat Pictet ini digolongkan dalam pendapat yang memberikan ruang
lingkup yang luas karena disamping hukum perang, yang mencakup hukum the
Hague dan hukum Geneva, International Humanitarian Law juga mencakup
human right. Tidak banyak ahli yang menganut pendapat Pictet ini. Salah seorang
ahli yang mendukung pendapat yang sempit adalah Geza Herczegh. Menurutnya,
pengertian International Humanitarian Law hanyalah terbatas pada hukum
Geneva saja. Geza Herczegh mengatakan :
We inevitably come to conclusion that the term international humanitarian
law cannot be properly used in other than its stricter meaning in my view,
Adapun alasan yang dikemukakan oleh Herczegh berkaitan dengan
pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hukum yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat internasional
dan humaniter hanyalah apa yang disebut hukum Jenewa saja. Apabila
hukum the Hague dimasukkan, hal ini hanya akan mengurangi sifat
humaniter yang begitu diutamakan.
2. Human right tidak dimasukkan karena didalam literatur hukum negara
sosialis, human right ini ditegakkan (enforced) oleh negara dengan
jalan/sarana hukum nasional.47
b) Aliran sempit
Seorang ahli lain yang juga menganut pendapat yang sempit adalah
Esbjorn Rosenblad, akan tetapi pendapatnya tidak sama dengan
pendapat Herczegh. Rosenblad mengatakan bahwa the law of
armed conflict berhubungan dengan masalah :
1) Permulaan dan berakhirnya pertikaian
2) Penduduk wilayah lawan
3) Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
Rosenblad berpendapat bahwa law of warfare mempunyai arti yang
lebih sempit dari Law armed conflict, dan Law of warfare ini antara
lain mencakup :
1. Metode dan sarana berperang.
2. Status kombat.
3. Perlindungan terhadap yang sakit,tawanan perang dan
orang sipil.
Berbeda dengan Herczegh, Rosenblad dalam International Human Law,
kecuali hukum Jenewa, juga sebagian dari hukum the Hague, yaitu yang
berhubungan dengan metode berperang. 48
Menurut Rosenblad, law of warfare inilah yang oleh ICRC disebut
international humanitarian law applicable in armed conflicts, dan oleh United
Nations dinamakan human right in armed conflicts. Dapat disimpulkan bahwa
menurut Rosenblad, International humanitarian law itu identik dengan law of
warfare, dan law of warfare ini merupakan bagian dari law of armed conflict.
Selain dua ahli yang telah disebut diatas, Mochhtar Kusumaatmadja juga dapat
dimasukkan dalam golongan ini. Beliau berpendapat tentang Hukum Humaniter
Internasional pendapat tersebut yakni sebagai berikut.49
“Humanitarian law itu adalah sebagian dari Hukum perang yang mengatur
ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang berlainan dengan bagian
Hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu
misalnya senjata-senjata yang dilarang”
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa konflik bersenjata masih
tetap ada. Timbul pertanyaan, yaitu pertikaian semacam itu hendak diberi nama
apa dan apa pula nama hukum yang mengaturnya, pada saat itu mulai
diperkenalkan istilah baru baru, yaitu: laws of armed conflict .50 Selain itu,
pengunaan istilah hukum konflik bersenjata ini juga dimaksudkan untuk
48 Ibid ,hlm 21 49 Ibid
menghindari kata “perang” yang memang sudah tidak disukai lagi serta untuk
menggambarkan seolah-olah perang tidak ada lagi. Istilah hukum perang sudah
tidak disukai lagi, tetapi dipihak lain masih dianggap perlu adanya
ketentuan-ketentuan yang mengatur pertikaian bersenjata, sekalipun pertikaian tersebut tidak
lagi dinamakan perang sebagai pengganti istilah hukum perang, dipakai istilah
laws of armed conflict.
Menurut KGPH. Haryomataram yang dimaksud dengan hukum humaniter
adalah seperangkat aturan yang didasarkan atas perjanjian internasional dan
kebiasaan internasional yang membatasi kekuasaan pihak yang berperang dalam
menggunakan cara dan alat berperang untuk mengalahkan musuh dan mengatur
perlidungan korban perang.51
Sedangkan menurut J.G.Starke yang dimaksud dengan hukum humaniter
terdiri dari seperangkat pembatasan yang diatur oleh hukum internasional yang
didalamnya diatur penggunaan kekerasan yang dapat digunakan untuk
menundukan pihak musuh dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap
individu dalam perang dan konflik bersenjata.52
Jean Jacques Rosseau mengatakan bahwa perang harus berlandaskan pada
moral. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam buku nya yang berjudul The
Social Contract. Inilah yang kemudian menjadi konsep dari Hukum Humaniter
Internasional. Lalu pada abad ke 19, landasan yang diberikan oleh J.J Rosseau ini
kemudian diikuti oleh Henry Dunant yang tak lain adalah initiator organisasi
Palang Merah. Pada akhirnya, negara-negara membuat suatu kesepakatan tentang
51 Ibid, hlm 31
peraturan peraturan internasional yang bertujuan untuk menghindari penderitaan
sebagai akibat dari perang. Peraturan-peraturan yang diciptakan dibuat dalam
suatu konvensi, dan disetujui untuk dipatuhi bersama.
Sejak saat itu, terjadi perubahan dari sifat pertikaian bersenjata dan daya
merusak yang disebabkan dari penggunaan senjata modern. Pada akhirnya
menyadarkan perlunya suatu perbaikan serta perluasan Hukum Humaniter. Sangat
tidak mungkin untuk menemukan bukti dokumenter, kapan dan dimana aturan
aturan hukum humaniter itu timbul, dan bahkan lebih sulitnya lagi adalah
menyebutkan “pencipta” hukum humaniter tersebut.53