• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulisan skripsi ini berisi tentang analisis kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun tinjauan kepustakaan tentang Skripsi ini adalah :

1. Direksi

Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.3 Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efesiensi, transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban, serta kewajaran.4

Pengertian direksi pada Undang-Undang BUMN tersebut sejalan dengan pengertian direksi pada Undang-Undang PT, yaitu bahwa Direksi adalah organ perseoan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.5

Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagaai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian, yaitu :

1) Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi; dan

3

Lihat Pasal 1 angka (9), Undang-Undang Nomor 19 TTahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

4

Lihat Pasal 5 ayat (3), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

5

Lihat Pasal 1 angka (5), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2) Perjanjian kerja/ perburuhan, di sisi yang lain.

Dan karena itu pelaksanaannya harus ditafsirkan berdasarkan ketentuan Pasal 1601 c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberatkan pada pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian perburuhan.6

Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan masalah, sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk direksi tersebut diatas; direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam Anggaran Dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan-bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Di sinilah sifat pertanggung jawaban renteng dan pertanghung jawaban pribadi direksi menjadi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas “kuasa” dan “perintah” perseroan, untuk kepentingan perseroan.7

Cara pengangkatan dan pemberhentian direksi pada BUMN (Persero) adalah:

6

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal 97.

7

1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi BUMN (Persero) dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

2) Dalam hal Menteri Keuangan bertindak sebagai RUPS pengangkatan Direksi ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

3) Direksi BUMN (Persero) diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan perilaku serta dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan BUMN (Persero).

4) Dalam pengangkatan dan pemberhentian direksi tersebut, RUPS meminta kepada komisaris atau pihak lain yang dipandang perlu. Pendapat komisaris dibutuhkan mengingat tugas komisaris adalah mengawasi kebijakan direksi dalam mengelola BUMN (Persero) serta memberikan nasihat kepada direksi. Sehingga komisaris dalam hal ini sepatutnya mengetahui kinerja direksi dan kondisi BUMN (Persero) tersebut. Demikian pula RUPS bila perlu dapat meminta pendapat dari pihak lain yang dipandang perlu misalnya Menteri yang membawahi sektor/bidang dari BUMN (Persero) yang bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pengangkatan anggota direksi pertama kali pada saat pendirian BUMN (Persero). 5) Jumlah anggota Direksi BUMN (Persero) disesuaikan dengan

kebutuhan dan salah seorang anggota direksi diangkat sebagai Direktur Utama.

6) Masa jabatan Direksi BUMN (Persero) adalah 5 (lima) tahun, dan dapat diangkat kembali. Anggota direksi yang telah menyelesaikan masa kerjanya dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali berdasarkan penilaian kinerja pada periode sebelumnya.8

Direksi dalam melaksanakan tugasnya wajib mencurahkan tenaga, pikiran dan perhatian secara penuh waktu pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN (Persero). Berkenaan dengan hal tersebut maka hal-hal yang merupakan tugas dan kewajiban direksi antara lain yaitu:

1) Direksi wajib menyiapkan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan BUMN (Persero) yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut. 2) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan

yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang tersebut.

3) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan kepada RUPS paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum memasuki tahun Anggaran Perusahaan.

4) Direksi wajib menyerahkan perhitungan tahunan BUMN (Persero) kepada Akuntan Publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagaimana ditetapkan oleh RUPS.9

2. BUMN (Persero)

8

I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), hal 110-111. 9

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan10. Terhadap pendirian BUMN, menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, ada 5 (lima) tujuan pendirian BUMN, yaitu:11

1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. 2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan BUMN

(Persero) adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, BUMN (Persero) dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

10

Lihat Pasal 1 angka (1), Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

11

Lihat Pasal 2, Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan penjelasannya.

3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara finansial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonoi lemah, koperasi, dan masyarakat

Kemudian sesuai dengan Undang-Undang BUMN, BUMN itu sendiri dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu PERUM (Perusahaan Umum) dan PERSERO. PERSERO adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

bertujuan mengejar keuntungan, sedangkan PERUM adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.12

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, dalam pendiriannya harus memenuhi kriteria, antara lain sebagai berikut:

1) Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang banyak.

2) Didirikan tidak hanya untuk mengejar keuntungan (costeffectiveness).

3) Berdasarkan pengkajian memenuhi persyaratan ekonomis yang diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri).

Pengusulan pendirian Perum kepada Presiden oleh Menteri dapat dilakukan atas inisiatif Menteri dan dapat pula atas inisiatif dari Menteri teknis atau dari Menteri Keuangan sepanjang memenuhi kriteria diatas.13

Terhadap BUMN (Persero) yang selanjutnya disebut Persero, maksud dan tujuannya menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN sedikit bergeser atau berubah dari maksud dan tujuannya pada saat berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang

12

Lihat Pasal 1 angka (2) dan (4), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

13

Mulhadi, Hukum Perusahaan: bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal 176-177.

Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan Persero adalah menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi, baik di pasar dalam negeri maupun internasional dan Persero dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan yang pertama di atas. Disini tampak jelas bahwa Persero pada awal-awal pendiriannya dimaksudkan untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, tetapi kemudian dengan perkembangan yang terjadi dan sesuai dengan prinsip yang dianutnya yang berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (sesuai dengan pasal 11 Undang-Undang BUMN yang mengatakan bahwa terhadap Persero berlaku ketentuan dan prinsp-prinsip Perseroan Terbatas sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur nya), maka maksud dan tujuan itu bergeser searah dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas, yaitu mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.14

3. Tindak Pidana

Hukum pidana Belanda memakai istilah starfbaar fiet, kadang-kadang juga memakai delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau crimnal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Wvs Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu stafbaar feit. Timbullah

14

masalah dalam menerjemahkan istlah starfbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak menerjemahkan stafbaar feit itu. Utrecht, menyalin istilah

strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Rupanya Utrecht menerjemahkan istilah feit secara harafiah menjadi peristiwa. Sama dengan istilah yang dipakai oleh Utrecht, UUD sementara 1950 juga memakai istilah peristiwa pidana.15

Menurut Moeljatno, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Larangan dan ancaman pidana memiliki hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang

15

tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Menurut Moeljatno, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagimana halnya dalam Pasal 14 ayat (1) UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”. Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, msialnya matinya orang.16

Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “Tindak Pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tetapi ”tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa “tindak” adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dengan tidak-tanduk, tindakan dan bertindak belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contohnya UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127,129, dan lain lain).17

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (starfbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.

16

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 60-61. 17

Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.18

Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari kejahatan. Kejahatan di dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam buku III KUHP dan di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima pengertian kejahatan dalam Kriminologi adalah sama luasnya dengan kejahatan dalam hukum pidana.19

4. Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin Corruptus dari kata kerja corrumpere

yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, mengeroyok,

kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut Corruption, dan dalam

18

Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 64, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan: USU Press, 2010), hal 74-75.

19

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta:Aksara Baru, 1987), hal 17-18, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, op.cit, hal 76.

bahasa Belanda disebut Korruptie.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara, atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau

orang lain”.21

Mahzar (2003),22 mengatakan istilah korupsi secara umum sebagai berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu menambahkan, bahwa dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan yang dilakukan oleh sejumlah ahli dalam mendefenisikan korupsi, yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi”. Mahzar pun mencatat beberapa defenisi korupsi yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Gagasan yang diambilnya dari Philip (1997) ini, menyebutkan defenisi korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefenisikan sebagai tingkah laku dan tidakan seorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti

20

A. Hamzah, Korupsi: Dalam Proyek Pembangunan. (Jakata: Akademika Pressindo, 1985), hal 2-3, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal 32.

21

Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, seperti dikutip oleh Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahannya (rev.ed;Jakarta: Sapdodadi, 2004), hal 5.

22

Asyumardi Mahzar, Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan Yang Lebih Baik; Makalah Seminar Internasional, Praktik-praktik yang Baik dalam Memerangi Korupsi di Asia (Jakarta: Transparency International Indonesia), tanggal 16-17 Desember 2003, hal 23, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, op.cit, hal 34.

keluarga, kerabat karib, dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi, jika seorang pemegang kekuasaaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau materi lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Berdasarkan kerangka ini, korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. Kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.23

23

Sementara itu, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan defenisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).24

Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussein Alatas dapat membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan ciri dari korupsi, yaitu:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

2) Korupsi pada umumnya melibatkan serba-kerahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dena begitu mendalam mengakar,sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keutungan timbak balik; 4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;

24

N. Kusuma dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal 12 dan The World Bank, memerangi Korupsi di Indonesia; Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan (Jakarta; World Bank Office Jakarta, 2003), hal 20, seperti dikutip Mansyur Semma, op.cit, hal 32-33.

5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pngkhianatan kepercayaan; 8) Setiap korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari

mereka yang melakukan tindakan itu;

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.25

Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu beliau meberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis, yaitu :26

a) Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; contohnya, seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo” atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja.

b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan

25

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer (Jakarta: LP3ES, 1983), hal 12-14 seperti dikutip oleh Elwi Danil, Korupsi Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal 7-8.

26

Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 18-20, seperti dikutip oleh Ibid, hal 10-12.

regulasi tertentu. Contohnya, di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi dikarenakan waktu mendesak (karena turunya anggaran terlambat) sehingga proses tender tidak bisa dilakukan, umumnya biasa digunakan istilah “keadaan darurat” atau “force majeur”, sehingga proses lelang atau tender dapat dikesampingkan. Bahkan dalam beberapa kasus letak “Illegal corruption” berada pada kecanggihan memainkan kata-kata, bukan substansinya.

c) Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan. Contohnya, dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan uang “sogok” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan itu dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang itu sudah termasuk ke dalam kategori “Mercenery corruption”. Bentuk “sogok” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga dalam bentuk lain.

d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi Illegal maupun

Kasus skandal Watergate adalah contoh “Ideological corruption”, dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada Undang-Undang atau hukum. Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari korupsi jenis ini.

Dokumen terkait