• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

BAB II PENGATURAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN

C. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

KEUANGAN NEGARA

Pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pada Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa, “keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” kemudian di dalam pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara tersebut menyatakan bahwa:

“keuangan negara sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka (1), meliputi : a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan peminjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

47

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.”

Di dalam Penjelasan Umum mengenai Undang-Undang Keuangan Negara tersebut, mengenai pengertian dan lingkup keuangan negara dijelaskan bahwa, “pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana yang tersebut diatas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan Negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintah negara. Bidang pengelolaan negara yang begitu luas

dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan negara yang dipisahkan.48

Pengertian keuangan negara mempunyai arti yang berbeda, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Ilmu keuangan negara dapat didekati dari berbagai sudut pendekatan, misalnya sudut ekonomi, sudut ilmu politik dan sudut ilmu hukum. Secara umum dikatakan bahwa ilmu keuangan negara adalah ilmu yang mempelajari soal-soal pembelanjaan dari rumah tangga negara, yang termasuk ilmu ekonomi, juga ketentuan dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN 1776) menyatakan, dengan keuangan negara tidak hanya dimaksud “uang” negara, tetapi seluruh kekayaan negara, termasuk di dalamnya segala bagian harta milik kekayaan itu dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya baik kekayaan itu berada dalam pengurusan pada pejabat-pejabat dan/atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun dalam melaksanakan penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hukum publik maupun perdata, perusahaan negara dan perusahaan-perusahaan dimana pemerintah mempunyai kepentingan khusus dalam penguasaan dan pengurusan pihak lain maupun berdasarkan perjanjian dan penyertaan (partisipasi) pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah. Suatu pengertian yang dikemukakan oleh Van Der Kamp diatas juga memberikan pengertian yang luas bahwa keuangan meliputi semua hak yang dapat dinilai

48

Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang ataupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut.49

Terkait dengan penjelasan diatas maka, Yang termasuk “kekayaan”/ “keuangan” negara antara lain :50

1. APBN dan APBD

2. Sebagian keuangan negara yang disisihkan untuk dipergunakan untuk suatu usaha.

a. Usaha sendiri (BUMN/BUMD)

b. Usaha patungan dengan pihak swasta nasional atau pihak lain 3. Sebagian barang yang digunakan dalam proses kegiatan/pelayanan,yaitu

barang-barang yang dikenal dengan nama barang inventaris. a. Barang tidak bergerak dan lainnya

b. Barang bergerak

c. Barang atau suku cadang yang merupakan bagian dari barang inventaris.

4. Berbagai barang yang tidak lagi digunakan dalam proses kegiatan/pelayanan karena sesuatu hal, misalnya karena jumlahnya berlebih, melampaui batas waktu penggunaan, telah ada penggantinya, mengalami rusak berat sehingga terlalu mahal untuk diperbaiki

49

H. Bohari, op.cit., hal 8-9 50

5. Berbagai barang yang “dimuseumkan”, sebagai monumen, cagar budaya yang perlu dilestarikan

6. Barang-barang yang sebagai “sisa” atau “limbah” dari kekayaan negara

7. Segala kekayaan pemerintah Hindia Belanda dan milik asing lainnya yang karena Undang-Undang Dasar dan ketentuan lain menjadi milik/dinasionalisasi menjadi kekayaan negara Republik Indonesia

Hak negara yang berupa: komisi, rabat/potongan, atau penerimaan lain dengan nama dana dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung atau tidak langsung sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang/jasa termasuk tukar-menukar, hibah, penerimaan bunga sebagai akibat dari penyimpanan dana anggaran pada bank serta penerimaan dari kegiatan lainnya oleh dan/atau untuk negara. (Pasal 4 ayat (6) Keppres Nomor 16 tahun 1994).

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 adalah Undang-Undang Keuangan Negara, tetapi substansi yang diatur tidak hanya keuangan negara. Akan tetapi, juga keuangan daerah, keuangan BUMN dan BUMD, bahkan keuangan badan-badan lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, dimana pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, sehingga antara judul undang-undang dan substansi yang diatur dalam undang-undang tersebut tidak sinkron.51

51

Dalam Undang-Undang Keuangan Negara terdapat Pasal “celaka” yang dapat menimbulkan kerugian dan membangkrutkan negara yang disebabkan rumusan pasal yang asal jadi, demi kepentingan ambisi melakukan pemeriksaan terhadap keuangan publik maupun keuangan privat. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 2 huruf I, dimana keuangan negara yang dirumuskan dalam Pasal 1 Ketentuan Umum berlaku pula bagi keuangan/kekayaan privat yang dirumuskan sebagai berikut,

“… kekayaan pihak lain yang memperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.”

Dengan rumusan pasal tersebut, maka negara menjadi turut bertanggung jawab terhadap kekayaan pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah sehingga apabila pihak swasta dalam keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit, maka negara juga harus turut bertanggung jawab atas utang swasta. Hal ini disebabkan kekayaan pihak lain (termasuk badan hukum privat) yang dimiliknya itu diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Karena hal ini menurut konsepsi Pasal 2 huruf I Undang-Undang Keuangan Negara, keuangan pihak lain yang mendapat fasilitas dari pemerintah merupakan termasuk keuangan negara. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus yang terjadi antara Pertamina dengan PT. Karaha Bodas (KBC), dimana Pertamina dituntut untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 261 (dua ratus enam puluh satu) juta oleh KBC atas proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berdasarkan Energy Sales Contact (ESC) yang ditunda pemerintah karena akan berpotensi negara menanggung semua kerugian yang

diderita oleh perusahaan tersebut (Pertamina), termasuk uang 95% (Sembilan puluh lima persen) milik pemerintah yang berada di bank yang terletak di Amerika Serikat. Akibat sengketa ini, uang negara yang ada di bank yang terletak di Amerika Serikat tersebut dibekukan oleh Pengadilan Arbitrase Internasional dengan alasan sebagai jaminan dari sengketa yang sedang terjadi tersebut.52

D. FATWA MAHKAMAH AGUNG DAN PERATURAN PEMERINTAH LAINNYA

Masalah lain terkait kedudukan keuangan negara pada BUMN timbul lagi ketika di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang tata cara penghapusan puitang Negara/daerah. Pada Pasal 19 menyatakan penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak atas piutang Negara/daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negara/daerah yang pengurusan diserahkan kepada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan ini tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham.53 Pemerintah kemudian tampaknya menyadari kekeliruan pemikiran dalam peraturan tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (Non-Performing loan/NPL) PT. Bank BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI 1946

52

Ibid. hal 76. 53

(Persero) Tbk. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, sehingga pemerintah melalui Menteri Keuangan pada saat itu, Sri Mulyani, menyatakan “Selanjutnya pengurusan piutang perusahaan Negara/daerah dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi peraturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan terbatas dan UU BUMN”.54

Usulan perubahan PP No.14 tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di dalam Komisi XI karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Ada usul dari Anggota DPR, untuk perubahan PP No.14 tahun 2005 perlu meminta Fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang berpendapat, pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara.55

Untuk menegahi masalah perbedaan persepsi/pandangan terhadap keuangan negara tersebut, pada tanggal 16 Agustus 2006, Mahkmah Agung mengeluarkan Fatwa, yang menyatakan :56

a. Bahwa pada Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang –Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang merupakan Undang-Undang khusus tentang Badan Usaha Milik Negara, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan Negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada system APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

54 Ibid. 55

Media Indonesia,11 Juli 20016, seperti dikutip oleh Ibid.

56

Lihat Fatwa Mahkamah Agung Nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006.

b. Bahwa pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lain yang sah”; bahwa oleh karena itu piutang BUMN bukanlah piutang Negara. c. Bahwa ketentuan tentang piutang BUMN di dalam Undang-Undang Nomor

49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-Undang Nomor 49 Prp. 1960 tersebut.

d. Terkait dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang BUMN maka ketentuan dalam pasal 2 huruf g khusus klausul mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

e. Bahwa perlu dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Lebih lanjut terkait Fatwa Mahkamah Agung tersebut, Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, telah menjelaskan bahwa Fatwa Mahkamah Agung tersebut harus dilihat berdasarkan persepektif hukun perdata, dan tidak bias dicampurkan dengan pengertian hukum pidana.57

57

Lihat Rubrik Politik dan Hukum, Harian Kompas, Sabtu 30 September 2006, hal 3, seperti dikutip oleh Marwan Effendy, op.cit., hal 106.

BAB III

MENENTUKAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (Persero)

A. KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Kesalahan pengelolaan keuangan negara menyebabkan penggunaannya menjadi tidak tepat sasaran dan menimbulkan kerugian negara. Kesalahan terjadi karena pelakunya melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam mengelola keuangan negara. Hal ini tidak boleh dilakukan agar terhindar dari cengkeraman hukum sebagai objek hukum bukan sebagai subjek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban dalam perhubungan hukum.58

Berdasarkan Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang dimaksud dengan kerugian negara adalah “kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”, sehingga jika dilihat dari pengertian sebelumnya, maka pengertian kerugian negara menurut

58

Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 71.

Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan adalah sama.

Di dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa “secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

Rumusan tim survey Departemen Keuangan melalui Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, kerugian negara adalah berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan oleh suatu tindakan melanggar hukum/kelalaian seseorang dan/atau disebabkan oleh suatu tindakan melanggar hukum/kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar dugaan dan di luar kemampuan manusia (force majeure), sehingga dari rumusan tentang kerugian negara tersebut maka yang menjadi penyebab kerugian negara diakibatkan oleh :59

1. Perbuatan melawan hukum 2. Kelalaian

3. Sesuatu diluar kemampuan manusia (force majeure)

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikemukakan unsur-unsur kerugian negara adalah :60

59

J.Kardjo, op.cit, hal 51.

60 Ray Pratama Siadari, “Kerugian Negara”,

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kerugian-negara.html (diakses pada 13 mei 2015, 10:35 WIB)

1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara yang berupa uang, surat berharga, barang milik negara dari nilai atau jumlah yang seharusnya.

2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya, sehingga kerugian negara tersebut bukan hanya merupakan indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian.

3. Kerugian tersebut merupakan akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, dan unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.

Faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan kebijaksanaan yang tidak benar, yang akhirnya justru memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Pengelola keuangan negara seperti melupakan identitasnya pada saat diserahi tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian. Ketika faktor-faktor yang mnyebabkan timbulnya kerugian negara dikaji dalam aspek hukum, kerugian negara berada dalam ranah hukum publik, seperti hukum administrasi dan hukum pidana. Terkaitnya hukum pidana dalam masalah kerugian negara karena perbuatan itu dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan bahkan perekonomian negara. Sebenarnya hukum perdata tidak menjangkau mengenai kerugian negara dan penyelesaiannya, walaupun

terdapat prosedur tuntutan ganti kerugian maupun penjatuhan sanksi berupa ganti kerugian. Ketidakjangkauan hukum perdata disebabkan substansi hukum yang terkandung di dalamnya hanya bersifat keperdataan, yakni mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain saja.61

Tujuan diselenggarakannya upaya untuk menyelesaikan kerugian negara bukan semata-mata untuk memperoleh kembali kekayaan negara, tujuan lain yang juga penting adalah :62

1. Telaksananya tertib hukum

Indonesia sebagai negara hukum harus menjunjung tinggi kedaulatan hukum demi tercapainya tujuan hukum tersebut. Terhadap kerugian keuangan negara, Undang-Undang sudah mengaturnya di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

2. Tertib administrasi

Dalam negara yang sedang membangun, memang sistem admininstrasinya masih memerlukan penataan dan pengembangan. Dengan dilaksanakan proses penyelesaian kerugian keuangan negara diharapkan administrasi keuangan negara dapat mencerminkan keadaan keuangan negara yang sesungguhnya, sehingga di dalam proses penyusunan kebijakan nantinya

61

Muhammad Djafar Saidi, op.cit, hal 72. 62

keadaan keuangan negara menjadi salah satu faktor pertimbangan yang penting.

3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia

Dengan dilakukannya proses penyelesaian kerugian negara maka setiap pihak yang terlibat di dalam proses pengelolaan keuangan negara akan berpikir ulang jika hendak melakukan kesalahan yang disengaja karena memperhitungkan sanksi yang akan mereka terima.

4. Meningkatkan upaya untuk mencegah terjadinya kerugian negara

Dengan ditaatinya sistem pelaporan dan tindak lanjutnya maka akan segera dapat diketahui modus operandi setiap perbuatan yang melanggar hukum dan kelalaian yang secara langsung atau tidak langsung membawa pengaruh pada kerugian negara. Data tersebut akan bermanfaat untuk menyusun seperangkat aturan yang dapat dipergunakan untuk menangkal agar kerugian negara tidak terjadi, atau jika akhirnya pun terjadi, kerugian dapat ditekan sekecil mungkin.

Pengaruh yang timbul akibat adanya kerugian negara :63

1. Di bidang penerimaan

Penerimaan negara adalah merupakan sumber pembiayaan negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Jika hak negara tersebut berkurang, maka penerimaan yang menjadi hak negara juga berkurang. Sehingga tidak seluruh penerimaan yang menjadi hak negara dapat didayagunakan untuk

63

kepentingan rakyat banyak. Dengan adanya perbuatan melawan hukum yang megakibatkan kerugian negara di bidang penerimaan negara, dapat juga mengakibatkan sumber pendapatan tidak tergali sebatas hak negara. Kolusi antara pejabat dan pihak ke-3 mengakibatkan sumber penerimaan tidak tergali secara sempurna sesuai dan sebatas hak negara.

2. Di bidang pengeluaran

Kerugian negara merupakan pengeluaran-pengeluaran yang tidak diimbangi dengan barang/jasa. Walaupun ada barang/jasanya maka jumlahnya atau kualitasnya tidak sebanding. Kerugian negara juga mengakibatkan pengeluaran dua kali. Sehingga mengakibatkan kenaikan pengeluaran untuk barang/jasa yang sama. Rakyat terpaksa menanggung beban yang lebih berat dari seharusnya

3. Di bidang administrasi

Kerugian negara menimbulkan administrasi yang tidak/kurang sesuai dengan kenyataan. Seharusnya setiap administrasi menggambarkan fakta yang sesungguhnya. Tetapi dengan adanya kerugian negara hal tersebut menjadi tidak tercapai. Dengan adanya kerugian negara sebagian rencana (APBN) tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah disepakati antara rakyat (DPR) dan pemerintah.

4. Di bidang hukum

Dengan adanya kerugian negara, telah menunjukkan adanya pelanggaran berbagai ketentuan. Disiplin nasional tidak/kurang berjalan sebagaimana

diharapkan. Bahkan wibawa hukum menjadi tanda tanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

5. Di lingkungan internasional

Dengan disidangkannya berbagai pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara di Pengadilan Negeri (baik di dalam negeri dan di luar negeri) dapat menimbulkan keraguan bagi negara donor (pemasok modal). Negara donor akan menjadi lebih bergairah membantu bila dana yang diberikan dipergunakan sebagaimana diharapkan.

B. PIHAK YANG BERWENANG MELAKUKAN PERHITUNGAN

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam Pasal 23E ayat (1) menyebutkan bahwa “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri.” Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia menghendaki adanya suatu lembaga yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab terkait dengan keuangan negara yang disebut badan pemeriksa keuangan. Hal tersebut kemudian direspon dengan dikeluarkannya peraturan mengenai badan pemeriksa keuangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah wajib dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan selaku pemeriksa atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara adalah bersifat bebas dan mandiri. Bebas diartikan dapat melakukan segala tindakan yang terkait pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, mandiri diartikan dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, termasuk pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, dan bahkan dari dalam Badan Pemeriksa Keuangan sendiri.64

Tugas Badan Pemeriksa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah:

1. Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;

2. Menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya;

64

3. Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut, diserahkan pula hasil pemeriksaan itu kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Selain tugas yang dimilikinya, terdapat pula wewenang untuk menopang atau menunjang tugas tersebut. Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang BPK adalah :

Dokumen terkait